Suara Hidayatullah : Mei 2000/Muharram-Shafar 1421  

Kesaksian Para Tentara

Satu persatu para pelaku kasus Tanjung Priok dari kalangan militer dipanggil Komnas HAM. Mereka sudah tersebar di berbagai tempat, baik masih aktif maupun sudah pensiun. Bahkan ternyata ada yang orang tuanya telibat PKI.

Mestinya Hermanu (60) bisa menikmati hari tuanya di Kediri, Jawa Timur bersama anak cucunya. Tapi karena keterlibatannya dalam peristiwa Tanjung Priok (TP) enam belas tahun yang lalu, suami Sri Murtiningsih itu harus memberi keterangan sehubungan ulahnya menyiram pengajian di masjid Al-A'raf dengan air comberan dan masuk masjid tanpa buka sepatu, ketika yang bersangkutan bertugas di Kodim 502 Tanjung Priok.

Akibat ulahnya itu masyarakat TP marah dan membakar motor aparat keamanan. Sejumlah warga pun ditangkap aparat. Besoknya terjadi peristiwa berdarah yang masih gelap hingga sekarang itu.

Mestinya hari Rabu dua pekan silam (26/4) Hermanu harus menghadap Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan HAM Tanjung Priok (KP3T) Komnas HAM untuk dimintai keterangannya, sebagaimana yang dijanjikan oleh Aisyah Amini —salah seorang anggota KP3T— sebelumnya. Wartawan pun menunggu salah satu saksi pelaku ini. Namun hingga sore hari tidak ada tanda-tanda Hermanu bakal datang menghadap ke kantor Komnas HAM.

Di hari tuanya sekarang, Hermanu tinggal di sebuah dusun kecil bernama Begendul, Desa Sido Wareg Kecamatan Plemahan Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sehari-harinya Hermanu berdagang hasil bumi seperti bawang merah, bawang putih, lombok, dan sejenisnya. Sejauh itu masyarakat setempat masih merasa aman-aman saja.

Tapi sekarang warga mulai gerah dengan ulah Hermanu dan kawan-kawannya yang mengusik keberadaan tanah sejumlah masyarakat di desa itu. “Hermanu memobilisir sejumlah warga untuk merebut tanah-tanah yang sudah dibeli oleh masyarakat dengan cara yang sah,” kata Haji Fadlan, salah seorang yang bersengketa tanah.

Kiprah Hermanu yang memberikan semangat kepada para penggugat tanah itu dibenarkan oleh istri Hermanu sendiri. “Karena bapaklah orang-orang di sini berani menggugat, dulu mereka takut,” kata Murtiningsih.

Di desa kecil itu Hermanu diperlakukan layaknya god father bagi pendukungnya. Ketika Sahid berkunjung ke rumahnya, para `pengawalnya' yang berjumlah enam orang itu, sangat teliti memeriksa tamu-tamu yang belum dikenal, apalagi yang mencurigakan. Nampaknya Hermanu masih memainkan perannya sebagai mantan militer. Di desa ini, cerita Hermanu menjelang peristiwa TP dulu, menjadi semacam cerita kepahlawanan.

Yang menarik, orang-orang yang di-back up Hermanu itu adalah anak-anak aktivis PKI di Kediri, yang dulu hak tanahnya dicabut oleh negara karena keterlibatannya. Tanah orang tua Hermanu termasuk yang dicabut oleh negara setelah peristiwa Gestapu. “Ayah Pak Hermanu memang dianggap simpatisan PKI,” tambah Murtiningsih. Lha!!

Pekan-pekan ini memang giliran para pelaku yang diperiksa KP3T Komnas HAM. Selain Hermanu, saksi pelaku dari tentara yang diperiksa antara lain Kol Sriyanto, Mayjen R Butar Butar, Sutrisno Miscung, Pranowo, Alip Pandoyo, dan Edi Nalapraya.

Salah satu saksi penting yang hadir ketika itu adalah Sutrisno Miscung. Ketika peristiwa TP berlangsung, Sutrisno menjabat sebagai komandan regu yang memimpin 13 anggota pasukan yang didatangkan dari Arhanud. Pasukan inilah yang menembak para korban TP ketika itu.

Kepada Aisyah Amini yang memeriksanya, Sutrisno mengakui pasukan inilah yang berhadapan dengan massa ketika itu. “Tapi saya sebagai komandan regu tidak tahu siapa yang menembak mereka,” katanya. Lagipula, kata Sutrisno, perintah tembak tidak berasal darinya, meskipun pasukan itu di bawah tanggung jawabnya.

Namun Sutrisno menyebut nama, Sriyanto, yang ketika itu salah seorang atasannya. “Yang memberi perintah tembak ketika itu Pak Sriyanto, meskipun mereka adalah anak buah saya, tapi kan ada atasan saya itu.” kata Sutrisno kepada wartawan yang merubungnya usai pemeriksaan.

Sekarang Sutrisno bertugas di Kostrad dengan pangkat kolonel. Bila kasus ini kelak dibawa ke pengadilan, Sutrisno pasrah saja dengan Panglima TNI. “Namanya anak buah, saya taat saja pada perintah atasan,” tambahnya.

Kebetulan pada hari yang sama Sriyanto juga diperiksa oleh KP3T Komnas HAM. Kepada tim pemeriksa yang menanyakan pristiwa TP itu, Sriyanto yang kini juga berpangkat kolonel dengan enteng menyatakan tidak tahu bahwa korban Priok ketika itu jumlahnya ratusan orang.

Ketika ditanya siapa yang melakukan penembakan ketika itu, Sriyanto juga menyatakan tidak tahu. “Saya tidak tahu dan ketika itu saya tidak membawa senjata, “ cetusnya usai dimintai keterangannya oleh anggota KP3T, HAM Lies Soegondo dan M Salim beserta dua asisten M Nur dan Nanang.

Ketika dikejar wartawan, siapa yang memberikan aba-aba penembakan ketika itu seperti yang disampaikan Sutrisno? Sriyanto tidak menjawab bahkan langsung ngeloyor ke mobil dan pergi.

Salah satu saksi pelaku lain dari kalangan militer yaitu R Butar Butar yang saat itu menjabat Komandan Kodim Jakarta Utara. Ketika datang ke Komnas HAM, Butar Butar didampingi sejumlah perwira dengan seragam lengkap.

Tidak jauh dengan Sriyanto, Butar Butar yang kini menjadi salah seorang perwira tinggi di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) juga tidak memberi jawaban yang tegas. Bahkan ia mengaku tidak tahu-menahu mengapa sampai timbul banyak korban. “Kita tidak menghendaki kejadian itu. Dan itu jangan sampai terulang kembali,” ucapnya kepada wartawan.

Menurut pengakuannya, waktu terjadi peristiwa itu Butar Butar tidak ada di tempat kejadian. Karenanya ia menolak kalau dirinya dituduh terlibat dalam tragedi yang menewaskan banyak korban itu. “Lha waktu itu saya ada di kantor kok,” jelasnya lagi. “Saya tidak ada di lapangan dan saat tidak membawa bedil.”

Kebetulan pada saat Butar-butar dipanggil, Dewi Wardah, istri almarhum Amir Biki datang ke Komnas HAM. Dewi Wardah pun histeris, “Siapa yang menembak suami saya, hei?” Butar Butar pun tidak menghiraukannnya.

Ketidakjelasan siapa sebenarnya yang memerintahkan dan melakukan penembakan di Jalan Sindang membuat para korban semakin bingung dan kecewa.

Pemeriksaan terhadap beberapa saksi pelaku yang lain seperti Pranowo, Alip Pandoyo, Eddie Nalapraya, dan beberapa tokoh lainnya juga tidak banyak memberikan keterangan yang berarti.

Pranowo misalnya, menyatakan tidak tahu-menahu peristiwa itu. Bahkan secara tegas Pranowo menolak dirinya dituduh selaku pemberi perintah tembak. “Saya tidak tahu, waktu itu saya cuma menerima korban dari rumah sakit RSPAD,” ucapnya. Ketika dikejar mereka dikubur dimana? “Saya tidak tahu. Saya tidak di lapangan,” tambahnya.

Memang sangat naif bila para petugas keamanan itu merasa tidak tahu ada perintah tembakan dan para penembak. “Mereka pasti tahu. Persoalannya, mereka mau mengaku atau tidak?” kata Dewi Wardah.

Menangapi kerisauan para korban, anggota Aisyah Amini hanya berjanji akan berusaha mendapatkan keterangan lebih dalam dari para anggota militer yang bertugas ketika itu.

Selama ini KP3T memang selalu disorot karena dianggap kurang serius dalam menuntaskan kasus TP. Karena itulah Dewi Wardah dan sejumlah korban merasa perlu memasang tenda di depan Komnas HAM. “Agar mereka sungguh-sungguh dalam memeriksa kasus Tanjung Priok,” kata Dewi Wardah.

Tuntutan mereka memang tidak muluk-muluk, “Tegakkan keadilan dan rehabilitasi nama baik!” Semoga berhasil.

Telepon Korban Pun Disadap

Upaya kalangan militer menggagalkan kasus Tanjung Priok (TP) tidak hanya dengan memberikan iming-iming uang, tetapi juga berbagai upaya lain yang lebih kasar, seperti penyadapan telepon dan teror kepada keluarga korban.

Penyadapan telepon itu dialami oleh Mochtar Beni Biki, Koordinator Keluarga Besar Korban Kasus (KBKK) Priok. “Mulanya saya tidak tahu,” kata Beni Biki. Dia mulai menyadari bahwa teleponnya di sadap justru ketika Beni diundang ke Kantor Kodim beberapa waktu silam.

Hari itu Beni diundang oleh Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara. Di ruangan sang komandan Beni berdiskusi tentang banyak hal tentang pemanggilan para korban TP oleh Kodim. Ketika asyik berdiskusi dengan komandan Kodim, tiba-tiba telepon di kantor Kodim berdering. Petugas pun mengangkatnya. Ternyata di seberang terdengar suara orang yang mencari Beni Biki.

Merasa tidak mengenal Beni Biki, petugas yang mengangkat telepon kebingungan, “Pak Beni, ada yang mencari Pak Beni.” Yusron Zaenuri, salah seorang yang mendampingi Beni di kantor Kodim, langsung menyambarnya telepon dan berbicara dengan lawan bicara. “Ternyata lawan bicaranya adalah istrinya Beni.”

“Memangnya kamu telepon ke mana, yang bunyi kok telepon Kodim?” tanya Yusron kepada istri Beni.

“Ke handphone-nya Bang Beni. Mana tahu saya telepon Kodim?” jawab istri Beni dari seberang.

Pembicaraan tidak berlanjut dan telepon langsung ditutup karena merasa ada yang tidak beres. “Sejak itu saya baru menyadari telepon saya disadap,” kata Beni Biki.

Tidak hanya sampai di situ. Kelompok militer juga mulai menjamah barang bukti yang merupakan kunci bagi pengungkapan kasus TP. Salah satunya adalah kuburan para korban yang diyakini ditemukan di Kramat Ganceng, Pondok Rangoon, Jakarta Timur.

Kini ada dua kelompok yang berkepentingan terhadap keberadaan kuburan korban di Kramat Ganceng itu. Pihak investigator menginginkan agar kuburan dibongkar, sementara kelompok militer menginginkan agar kuburan tidak dibongkar.

Langkah yang dilakukan oleh kelompok militer adalah mempengaruhi masyarakat untuk menolak bila kelak ada yang ingin membongkar kuburan untuk kasus TP ini, termasuk Komnas HAM.

Kegigihan kelompok militer yang dimotori oleh Kodam Jaya, mulai dari tawaran damai hingga penyadapan telepon ini, bisa dipahami. Sebab salah satu calon tersangkanya adalah Try Sutrisno yang tidak lain adalah mertua Pangdam Jaya, Mayjen Riyamizard Ryacudu. Karena itulah pihak militer nampak gigih membela tersangka kasus Priok ini.

 

Simak juga:
  • Jurus Militer Gagalkan Priok
  • Kesaksian Para Tentara
  • Amunisi Para Pejuang Priok