Suara Hidayatullah : Mei 2000/Muharram-Shafar 1421  

'Azal bila Mampu, Uzlah bila Tidak

Cara bersikap terhadap pemimpin yang dzalim

S istem pemerintahan Islam yang belum pernah mengenal pembatasan waktu kerja bagi kepala negara dan pemerintah, dengan sendirinya menghadapi persoalan ketika harus memecat pemimpinnya. Apalagi bila pemimpin itu dzalim atau lemah.

Imam Ghazali dalam bukunya Al Iqtishad fil-I'tiqad mengatakan, “Persoalan-persoalan ini membangkitkan pertentangan-pertentangan dan siapa yang dapat menghindarkan diri daripadanya lebih selamat daripada orang yang mencampuri atau terlibat di dalamnya, meski pendirian yang diambilnya ada benar, apalagi kalau memilih jalan yang salah.”

Sungguhpun begitu, Al-Ghazali tidak menutup jalan. Dengan hati-hati sekali dia mempertimbangkan kepada rakyat supaya memilih satu dari dua jalan:

  1. 'azal, yaitu rakyat menggunakan haknya untuk memecat kepala negara atau menjatuhkan pemerintah, jika mereka cukup kemampuan (syaukah) untuk mengembalikan keamanan
  2. 'uzlah, yaitu rakyat menjauhkan diri atau bersikap non-kooperatif terhadap kepala negara atau pemerintah tersebut jika mereka tidak cukup mempunyai kemampuan.

Al-Ghazali sengaja memilih perkataan `syaukah' sebagai syarat perlawanan rakyat, bukan perkataan `senjata' atau `kekuatan' karena kekuatan itu lebih mengandung arti `pengaruh' atau `kemampuan' yang tidak memerlukan pertumpahan darah. Tetapi kalau keadaan perlawanan begitu rupa sehingga pertumpahan darah tidak dapat dihindari, maka haruslah diusahakan korbannya sesedikit mungkin dan sesegera mungkin dijamin kembalinya keamanan. Persoalan inilah yang dianggap oleh al-Ghazali sangat sulit, karena memerlukan organisasi perjuangan yang teratur dan dapat mengendalikan perlawanan ke jalan yang lebih aman dan cepat. Diperingatkannya hadits Nabi yang berbunyi, “Kepala negara yang dzalim masih lebih baik daripada kekacauan. Keduanya tidaklah baik, akan tetapi di antara hal-hal yang tidak baik itu orang harus dapat memilihnya.”

Prof Shalaby menerangkan, “... pemberontakan yang diperbolehkan untuk memecat pemerintahan yang dzalim ialah pemberontakan yang tiada mengakibatkan bahaya. Pemberontakan semacam ini pernah terjadi di Mesir, dan berhasil menumbangkan singgasana Faruk.”

Dalam tulisannya, “Hukum melakukan pemberontakan terhadap kepala negara yang dzalim”, Arsyad Lubis mengemukakan perbedaan sikap ulama-ulama terkemuka. Yang menyetujui pemberontakan misalnya Imam Mutawalli, Hasyiyah Asnal Mathalib, dan Imam Ibnu Hazmin dalm bukunya Al-Muhalla. Sementara yang tidak setuju di antaranya Imam al-Qaffal dan Imam Nawawi, yang mengatakan bahwa `ijma segala ulama mengatakan haramnya pemberontakan.'

Ulama lain, Syeik Ar-Ramli al-Kabbir menjelaskan pendirian Imam Nawawi, bahwa pemberontakan yang dikatakan haram itu kalau dilakukan tanpa alasan dan takwil. Pemberontakan yang dilakukan oleh Husein, putra Ali bin Abi Thalib, dan oleh Abdullah bin Zubair, tidaklah termasuk pemberontakan yang haram.

Perlawanan terhadap seorang kepala negara yang melanggar peraturan atau suatu pemerintah yang dzalim, harus dilakukan secara legal oleh wakil-wakil rakyat melalui majelis-majelis. Jika cara ini tidak membawa hasil yang memuaskan barulah rakyat membentuk organisasi yang teratur yang mempunyai `syaukah'. Semakin besar syaukah-nya kepada rakyat maka semakin kuatlah perlawanannya. Kemudian barulah dilakukan adu syaukah, dengan menghindarkan sejauh mungkin pertumpahan darah. Tetapi jika pertumpahan darah tidak dapat dihindarkan, harus diusahakan sesedikit mungkin memakan korban.

Cara-cara yang teratur seperti ini tidak bisa disebut `al-baghyi' dan pelakunya tidak termasuk `al-bughah', pemberontakan dan pemberontak dalam arti jelek yang dicela agama. Justru cara ini bisa disebut `ats-tsaurah' dan orangnya dinamakan `ats-tsaairun' yang berkonotasi baik, yaitu revolusi yang dipimpin oleh kaum revolusioner.

Cara-cara inilah yang dianjurkan oleh Al-Ghazali, yang disebutkannya bahwa rakyat menggunakan hak `azal. Al-Ghazali membenarkan revolusi demi menegakkan keadilan dan membenamkan kedzaliman. Ia menganjurkan tugas total dan khusus `amar ma'ruf nahi munkar' atas seluruh rakyat dan para pemimpin serta ulama, agar berani mengatakan kebenaran di hadapan pemerintahan yang dzalim.

Revolusi yang demikian dinamakan `jihad', dan pejuang-pejuangnya dinamakan mujahidun yang diridhai Tuhan. Di dalam buku `Ihya' juz II disebutkan nama-nama pejuang-ulama yang siap sedia mengorbankan dirinya untuk menjalankan revolusi demikian itu.

Tetapi jikalau organisasi rakyat tidak cukup mempunyai syaukah, tenaga perjuangannya tidak sanggup melaksanakan suatu revolusi dengan sebaik-baiknya, maka Al-Ghazali menasihatkan supaya rakyat menempuh jalan kedua, yaitu `uzlah, bersikap menjauhkan diri dan melakukan politik non-kooperatif.

 

Simak juga:
  • Mengganti Pemimpin Cara Islam
  • Berganti Disebabkan Krisis
  • 'Azal bila Mampu, Uzlah bila Tidak