Suara Hidayatullah : Mei 2000/Muharram-Shafar 1421 | ||
Mengganti Pemimpin Cara
Islam Mencegah Bangkitnya Fir'aun Baru Ingin berkuasa tanpa batas Di antara sekian banyak penyakit yang paling berbahaya jika hinggap pada diri penguasa adalah jika ia sudah merasa berkuasa. Jika seorang penguasa kemasukan nafsu ingin berkuasa dan mulai menganggap dirinya paling berkuasa, tidak ada lagi kekuasaan lain yang diakui dan dipatuhinya, maka sikap ini tidak saja membahayakan kehidupan masyarakat dan negara, tapi juga mengancam perdamaian dunia. Orang yang sudah dihinggapi penyakit ini akan menjadi sangat agresif. Semua ingin ditundukkan di bawah kakinya. Dalam diri setiap manusia sebenarnya sudah ada bibit-bibit penyakit kuasa ini. Jauh dalam lubuk hati manusia tersimpan rapi suatu kecenderungan untuk menguasai. Hanya saja ada orang yang mampu menyembunyikannya baik-baik sehingga tidak sampai keluar mewujud menjadi sikap-sikap arogansi. Tapi ada pula di antaranya yang tidak mampu menahan gejolak hatinya itu, sehingga tampak di dalam dirinya sikap-sikap yang penuh ambisi maupun agresi yang berlebihan. Jika ada kesempatan untuk mengekspresikan, maka saat itu juga ia wujudkan dalam bentuk agresi. Jika sifat ingin berkuasa dan merasa kekuasaannya tidak ada yang membatasi ini hinggap pada orang-orang biasa saja, bahayanya tidaklah terlalu besar. Mungkin hanya orang-orang di sekitarnya yang menjadi korban. Tetapi jika sikap itu hinggap, masuk, dan menyelinap ke dalam diri orang yang sedang memegang kekuasaan, maka bahayanya akan melingkupi semua orang, barang, dan wilayah yang menjadi kekuasaannya. Fir'aun adalah sosok penguasa yang tidak kuasa menahan sifat ingin kuasanya. Kecenderungan untuk berkuasa menemukan momentum setelah kekuasaan benar-benar berada di tangannya. Klan Fir'aun menjadi raja yang bukan sekadar raja. Boleh disebut raja diraja. Kekuasaannya dijalankan secara otoriter-totaliter. Di telunjuk merekalah terletak peraturan. Di mulutnya tersimpan undang-undang. Apalagi orang-orang yang mengelilinginya merupakan kumpulan `Yes Man`, selalu mengangguk dan membenarkan semua sikap dan perilaku rajanya. Puncak dari semua itu adalah ketika Fir'an tak lagi sanggup menahan diri untuk kemudian menyatakan dirinya sebagai sembahan bagi rakyatnya. Perkataan Fir'aun ini diabadikan dalam al-Qur'an: “Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya, seraya berkata, `Akulah tuhanmu yang paling tinggi.' Maka Allah mengadzabnya dengan adzab di akhirat dan adzab di dunia.” (QS an-Naazi'aat: 22-24) Fir'aun sebagai sosok manusia memang sudah lama meninggal dunia. Penguasa terkuatnya mati dalam peristiwa tragis ketika hendak mengejar-ngejar kaum Nabi Musa yang tak seberapa besar kekuatannya. Ia justru tenggelam di Laut Merah setelah lautan itu dibelah oleh tongkat Musa. Kematian Fir'aun bukan berarti kematian pahamnya. Fir'aun mati dengan meninggalkan warisan yang abadi, yaitu paham Fir'aunisme. Inilah yang terus berkembang, mewabah, berjangkit hampir pada setiap penguasa. Sungguh kita harus hati-hati dan waspada jika Fir'aunisme telah hinggap pada penguasa. Kita harus bisa memagari penguasa agar tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mengembangbiakkan penyakit ini pada dirinya. Harus diciptakan sebuah sistem yang memungkinkan seorang penguasa tunduk pada hukum, sehingga hukum itulah yang berkuasa atas diri para penguasa. Al-Ghazali adalah salah seorang ulama yang sangat peduli terhadap masalah ini. Dalam banyak tulisannya ia sangat serius mengupas persoalan kekuasaan sampai ke akar-akarnya. Perhatian Al-Ghazali yang serius disebabkan kekhawatirannya jika hal itu benar-benar terjadi. Sebab, jika Fir'aunisme telah hinggap pada penguasa, maka seluruh rakyat bakal menjadi korbannya. Timbullah nafsu imperialisme, militerisme, chauvinisme, absolutisme, serta sikap-sikap otoriter dan totaliter lainya. Secara detail, kemudian Al-Ghazali menyusun tingkat-tingkat nafsu berkuasa itu dalam beberapa tingkatan. Pertama, hubbul istilaa (nafsu ingin kebesaran penaklukan). Pada tingkatan ini seseorang ingin mengembangkan dirinya dengan memperbesar pengaruh, baik melalui ilmu pengetahuan maupun kekuatan. Dengan mengembangkan ilmu tersebut ia berharap dapat menaklukkan orang lain, setidak-tidaknya dapat mempengaruhi jalan pikiran dan perasaan orang lain. Kedua, hubbul isti'la' (nafsu berkuasa), yaitu dorongan dalam diri seseorang untuk menguasai dan menundukkan orang lain di bawah kekuasaannya. Semakin besar kekuasaan yang dipegangnya, bertambah kuatlah keinginan untuk memperbesar kekuasaannya. Pada tingkatan ini orang sudah mulai berpikir untuk menggunakan cara-cara yang tidak wajar guna mendapatkannya. Ketiga, at-tahshish. Setelah meluap-luap keinginan untuk berkuasa, maka timbullah keinginan untuk mendapat hak-hak istimewa. Ia telah mengangkat dirinya setingkat atau beberapa tingkat di atas orang lain, sehingga menganggap wajar jika dirinya mendapatkan hak istimewa dalam segala hal, baik berupa fasilitas maupun prioritas lainnya. Pada tahapan ini seorang panguasa sering tergoda untuk mendapatkan hak-hak hukum secara khusus. Jika hal itu terjadi berulang-ulang, maka lama-kelamaan ia menjadi kebal hukum. Keempat, hubbul istibdad. Puncak dari semuanya adalah keinginan seseorang untuk meletakkan segala kekuasaan di tangannya. Ia tidak cukup menjadi penguasa tapi ingin menjadi yang mahakuasa. Ia masih merasa kurang jika hanya menjadi penguasa biasa. Ada keinginan dan dorongan yang kuat agar semua orang berada dalam genggaman kekuasaannya. Hingga keluar pernyataan, “Aku adalah tuhanmu yang maha tinggi“, baik dinyatakan secara terang-terangan atau disembunyikan dalam bungkus yang sangat bagus dan rapi. Indikasinya dapat dilihat dari sikap-sikap kepala negara yang diktator, absolut, otoriter, dan totaliter. Selanjutnya, Al-Ghazali mengingatkan bahwa bahaya terbesar kemanusiaan adalah ketika kekuasaan manusia yang terbatas itu dilaksanakan secara tak terbatas. Ini berbeda dengan Tuhan. Dia menggunakan kekuasaan-Nya secara tak terbatas, tapi memiliki kekuasaan yang tak terbatas pula. Wajar dan tidak membahayakan siapapun juga. Tapi jika manusia yang memiliki kekuasaan terbatas menggunakan kekuasaannya secara mutlak, maka tidak saja merugikan dan menghancurkan dirinya sendiri, tapi juga merugikan dan menjerumuskan manusia yang lain. Perdamaian menjadi taruhannya. Keamanan menjadi barang mahal, dan kesejahteraan hilang-sirna. Allah Swt telah menyiapkan bekal yang cukup bagi manusia untuk hidup di dunia ini. Segala hal yang dibutuhkan oleh manusia telah disediakan oleh Allah Swt, baik yang masih berada dalam perut bumi, di dasar lautan, di daratan, maupun di udara. Semua telah cukup, bahkan untuk suatu kehidupan jutaan tahun lagi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari persediaan alam ini. Asal manusia kreatif dan mampu mendayagunakan segala potensi dirinya, termasuk potensi ilmu pengetahuannya, maka alam telah memanjakan manusia. Tidak ada yang sia-sia di muka bumi ini. Semua berguna dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Jika demikian seharusnya, kenapa terjadi berbagai krisis, seperti krisis ekonomi yang mendera kita saat ini? Jawabnya sederhana. Pada dasarnya tidak ada yang namanya krisis ekonomi itu. Semua persediaan telah cukup dan dicukupkan oleh Allah. Yang menjadi persoalan adalah distribusi ekonomi. Sekelompok kecil manusia menguasai sebagian besar asset ekonomi dunia. Itulah persoalannya. Bicara tentang distribusi, tidak lepas dari persoalan manajemen kekuasaan. Ujung-ujungnya selalu kembali pada penguasa negara. Distribusi yang kurang adil biasanya disebabkan karena terjadinya kolusi penguasa dengan pengusaha-pengusaha tertentu yang menjadi kroninya. Maka dapat disaksikan, di satu sisi sebagian besar rakyat miskin kekurangan makanan, sementara sebagian kecil penggede negara dan pengusaha nasional bergelimang uang dan fasilitas. Jika rakyat kecil untuk makan hari ini saja harus banting tulang, peras keringat, maka orang-orang tertentu menumpuk-numpuk harta hingga tak habis untuk tujuh turunan. Di tengah badai krisis yang menggila, anak-anak miskin banyak yang mati karena kekurangan gizi, sementara orang-orang tertentu melakukan pesta-pora di hotel-hotel berbintang dengan berbagai suguhan mewah. Inilah potret kehidupan kita, akibat dari keserakahan penguasa. Semua itu bermula dari krisis akhlaq dan moral yang melanda mereka. Jika moral penguasa sudah rusak, maka hancurlah negara. Tidak hanya ekonominya yang kocar-kacir, tapi segera disusul dengan krisis politik, krisis sosial, krisis keadilan, dan berujung pada krisis kepercayaan. Jika sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya, maka segala tindakan bisa terjadi. Semua orang melakukan apa saja semaunya. Jangan bicara keamanan, sebab pada situasi seperti itu keamanan merupakan barang mewah dan harga nyawa menjadi murah. Persoalannya, dalam situasi seperti itu apakah seorang penguasa akan dibiarkan tetap berada di kursi kekuasaannya? Bolehkah sebuah pemerintahan yang sah digulingkan? Kapankah sebuah revolusi dibenarkan? Bagaimana pula penguasa baru dapat diakui dan diterima? Kajian Utama kita kali ini mencoba mengupasnya dari perspektif ajaran Islam. Simak juga:
|