Suara Hidayatullah : Mei 2000/Muharram-Shafar 1421  

Berganti Disebabkan Krisis

Syarat moral dan syarat fisik

Sangat sedikit referensi Islam lama yang mengupas persoalan-persoalan di seputar kekuasaan. Jika kita mencari hak-hak dan kewajiban rakyat kepada penguasa, banyak buku yang mengupasnya. Demikian pula jika kita mencari hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya. Tetapi kita akan menemui banyak kesulitan jika hendak mencari jawaban tentang kapan sebuah kekuasaan itu harus dilawan dan dijatuhkan, bagaimana cara menjatuhkannya, beserta konsekuensi-konsekuensi yang menyertainya.

Imam Mawardi adalah salah seorang tokoh yang pertama mengupas persoalan ini. Mawardi mengatakan bahwa sebuah pemerintahan sejauh mungkin hendaknya bisa dipertahankan. Tetapi tidak tertutup kemungkinan sebuah pemerintahan itu dijatuhkan. Menjatuhkan pemerintahan yang sah boleh dilakukan jika ada alasan yang kuat atau sebab-sebab yang tidak terbantahkan untuk menjatuhkannya.

Dalam hal ini, ulama bersepakat bahwa sebuah pemerintahan Islam baru boleh dijatuhkan jika yang bersangkutan murtad, keluar dari agama Islam. Tentang hal ini tidak ada seorang ulamapun yang menolak. Semua bersepakat, termasuk Imam Mawardi sendiri.

Tentu saja kejadiannya sangat sedikit, bahkan belum pernah terjadi dalam sejarah, seorang Amirul Mukminin murtad dari Islam. Sebejat-bejatnya akhlaq penguasa Islam, tidak ada yang menyatakan secara terang-terangan telah keluar dari Islam. Raja-raja Islam terdahulu, sekalipun telah menyimpang jauh dari rel ajaran Islam, tetap saja mengaku sebagai penguasa Islam, bahkan menyatakan sebagai pemimpin dan pelindung ummat Islam.

Pendapat yang lebih progresif menyatakan bahwa tidak saja kemurtadan yang bisa mengantarkan penguasa untuk mundur atau diundurkan, tapi juga persoalan moral. Jika seorang penguasa melakukan penyimpangan moral, baik moral umum maupun moral politik, maka selayaknya mereka mundur, atau jika tidak, `dimundurkan`. Pelanggaran moral umum ialah berbuat maksiat atau melanggar hukum moral di tengah masyarakat umum, seperti mengganggu kehormatan perempuan, minum minuman keras yang memabukkan, dan tindakan tercela lainnya yang mengurangi citra diri sebagai sosok Muslim, apalagi sebagai pemimpin Islam.

Adapun pelanggaran moral politik itu meliputi pengkhianatan terhadap negara dan konstitusi yang berlaku. Pelanggaran itu meliputi high treason (pengkhianatan kenegaraan), violation of the constitution (perkosaan terhadap konstitusi), dan gross misconduct (kelakuan yang amat buruk), utamanya pelanggaran HAM.

Syaikhul Islam Imam Al-Ghazali sangat menekankan soal moral penguasa ini, baik moral umum maupun moral politik. Itulah sebabnya, Al-Ghazali membuat panduan moral penguasa negara. Ada sepuluh tugas moral penguasa yang harus dijalankan secara baik, yaitu:

  1. Mengetahui dan menyadari betapa penting dan beratnya tugas pemerintahan, yang baik buruknya sangat tergantung pada dirinya sebagai penguasa
  2. Hendaklah seorang pemimpin negara tidak berpuas diri sekadar bisa menghindar dari berbuat dzalim, tapi ia juga harus meratakan gerakan anti kedzaliman itu kepada semua menteri, gubernur, bupati, dan seluruh pegawai negara, dari tingkat pusat sampai yang paling bawah
  3. Kepala negara hendaknya membebaskan dirinya dari sikap takabur. Percaya diri (PD) yang berlebihan bisa menjerumuskan seseorang pada sikap takabur. PD itu harus, tapi jika over bisa melahirkan kesombongan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kemarahan dan dendam dari rakyat
  4. Kepala negara harus memelihara sikap kerakyatan. Ia harus dekat dengan rakyat, bersama rakyat, dan memberi pelayanan sepenuh hati kepada rakyat. Ia harus merasa seperti rakyat biasa, tidak lebih sedikitpun juga
  5. Penguasa tidak boleh menghabiskan waktu untuk mengerjakan ibadah sunnah, sementara di hadapan pintunya masih ada rakyat yang memerlukan bantuannya
  6. Menjauhi sifat tamak dan loba. Menghindari keinginan untuk bermewah-mewah, baik dalam hal berpakaian, perhiasan, rumah tempat tinggal, kendaraan, dan sebagainya. Keadilan hanya bisa ditegakkan oleh orang-orang yang bersikap sederhana
  7. Selama masih bisa bersikap lunak, hendaknya pemimpin negara menghindari sikap keras dan kasar
  8. Berusaha keras untuk mendapat simpati dan keridhaan rakyat yang dipimpinnya. Hal ini dapat diperoleh melalui satu cara, yaitu menjalankan ajaran Islam secara sungguh-sungguh dan konsekuen. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mempertemukan antara keridhaan rakyat dan keridhaan Allah Swt
  9. Pemimpin negara hendaknya menghindari upaya mendapat dukungan rakyat dengan tindakan yang merugikan Islam. Misalnya, demi menyenangkan hati rakyat banyak yang kebetulan berpengaruh dan kurang menyukai Islam, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat menentang ajaran Islam
  10. Senantiasa membantu kesulitan rakyat pada saat krisis, membelanjakan uang negara untuk menghindari kelaparan, dan mengatasi lonjakan harga-harga bahan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak. Untuk itu, para penimbun beras dan sembilan bahan pokok lain hendaknya dibasmi dan dihancurkan.

Secara moral, penguasa atau pemimpin negara seharusnya bisa menjalankan kesepuluh tugas moral tersebut. Jika ia sendiri yang melanggar, maka bisa dibuatkan skor untuk dinilai. Penilaian bisa dilakukan oleh majelis yang mewakili rakyat. Hal itu bisa dilakukan pada setiap periode. Bisa setiap tahun, bisa juga pada lima tahunan, tergantung kesepakatan bersama. Jika pelanggaran moral itu telah banyak dilakukan sehingga rapor merahnya yang dominan, maka majelis bisa menjatuhkan pemerintahan yang seperti itu.

Hal ini sangat berbeda dengan pandangan orang-orang sekuler, yang memandang persoalan moral dengan sebelah mata. Seorang presiden yang melakukan pelanggaran moral bisa saja tetap bertengger di atas kursi kekuasaannya manakala dia bisa menyejahterakan rakyat melalui pertumbuhan ekonomi yang baik. Dalam Islam tidak demikian. Sekalipun seorang penguasa telah berhasil mengangkat ekonomi rakyat, tapi jika ia melakukan pelanggaran moral yang berat, maka bisa dijatuhkan.

Syarat kedua yang menjadi sebab dibolehkannya sebuah pemerintahan di-ma`zul-kan adalah jika mereka telah cedera salah satu panca inderanya. Salah satu syarat menjadi penguasa dalam Islam adalah basthatan fil-'ilmi wal-jism, kuat ilmu dan jasmaninya. Jika seorang penguasa cedera atau cacat, baik karena kecelakaan ketika menjalankan tugas, misalnya perang, maka penguasa tersebut bisa di-ma'zul-kan. Yang demikian itu dilakukan karena seorang penguasa yang cacat akan banyak menemui kesulitan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Jika yang cacat misalnya salah satu tangannya putus, barangkali tidak terlalu banyak menganggu tugas-tugas kenegaraannya. Tetapi jika kakinya yang putus, dan kaki penggantinya tidak berfungsi normal, maka ia akan menemui banyak kesulitan. Apalagi jika yang cacat dan tak bisa diatasi itu adalah telinga atau matanya. Seorang kepala negara yang buta tentu sangat merisikokan rakyatnya karena ia tak bisa membaca.

Tugas kepala negara itu sangat banyak. Dibutuhkan tenaga yang prima untuk bisa menjalankannya. Ia harus mengurus pemerintahan, menerima tamu-tamu, baik asing maupun domestik, bermusyawarah dengan para ahli di segala bidang, menetapkan dan menandatangani keputusan-keputusan, menyelesaikan konflik, dan sebagainya. Bagaimana mungkin tugas-tugas yang berat seperti itu bisa dijalankan secara baik dan sempurna oleh seorang yang cacat?

Selain dua hal pokok yang menyebabkan seorang kepala negara jatuh atau dijatuhkan, menurut Prof Dr A Shalaby adalah ketidakmampuan penguasa mengatasi dan menyelesaikan krisis. Tidak ada satu masa pemerintahanpun yang tidak menghadapi kegentingan-kegentingan, baik kegentingan yang sangat gawat maupun yang lebih ringan. Semuanya harus diselesaikan.

Kemampuan seorang kepala negara dapat diukur dari kesanggupannya mengatasi masa-masa krisis seperti ini, baik yang menyangkut krisis ekonomi maupun krisis politik. Kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan krisis menjadi tolok ukurnya. Jika suatu pemerintahan justru memberikan resep yang salah terhadap negara yang sedang sakit, maka sakitnya akan menjadi parah. Yang menjadi korban pertama adalah rakyat kebanyakan, yang miskin dan tak berdaya. Itulah sebabnya, Prof Shalaby menjadikan persoalan ini menjadi salah satu pertimbangan dalam menjatuhkan sebuah pemerintahan. Bahkan menurutnya, inilah yang lebih riil, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

 

Simak juga:
  • Mengganti Pemimpin Cara Islam
  • Berganti Disebabkan Krisis
  • 'Azal bila Mampu, Uzlah bila Tidak