Artikel
Belajar dari Hutan Adat Guguk
Catatan Perjalanan Studi Banding ke Kelompok Pengelola
Hutan Adat (KPHA) Desa Guguk, Kab. Merangin - Jambi
Penulis : Suratno
Dibalai
Desa Guguk yang bertipe rumah panggung tanpa dinding, duduk dua kelompok
masyarakat yang berasal dari 2 budaya berbeda. Kelompok pertama adalah
sang tuan rumah, penduduk desa guguk yang mayoritas bersuku melayu
bercampur minang serta mataram. Dan dikelompok lainnya duduk dengan
penuh perhatian orang-orang yang datang dari tanah batak. Terlihat
sedikit kontras, sang tuan rumah yang bertutur lembut dengan orang
batak yang walau santai, gaya bicaranya tetap saja keras, sekilas
kesannya membentak sang tuan rumah. Walau begitu pertemuan pagi itu
tetap terasa hangat dan akrab. Inilah ciri khas Indonesia, banyak
perbedaan tapi bukan berarti tidak bisa menyatu.
Pertemuan kali ini memang bukan hanya
mengobrol tentang 2 budaya yang berbeda, tapi ingin berbagi pengalaman
tentang pengelolaan hutan ditingkat masyarakat yang telah dilakoni
oleh warga desa guguk. Mereka telah mengelola sendiri hutan disekitar
pemukiman mereka dan pada tahun 2003 telah mendapatkan pengakuan dari
pemerintah yang menyebutkan bahwa hutan tersebut telah berstatus sebagai
Hutan Adat Desa Guguk. Mereka juga telah membentuk kelompok pengelola
hutan adat mereka sendiri.
Hal inilah yang ingin dipelajari oleh
warga Desa Sileu-leu Parsaoran, Kec. Sumbul, Kab. Dairi - Sumatera
Utara. Mereka datang dari lingkungan yang mirip dengan Desa Guguk,
yakni hidup dipinggir kawasan hutan. Mereka ingin mencontoh warga
Guguk yang memiliki taraf hidup sejahtera dengan cara bersahabat dengan
hutan tanpa harus merusaknya. Studi banding yang membawa 12 orang
beserta Kepala Desa Sileu-leu Parsaoran, yang juga diikuti oleh 2
staf Kecamatan Sumbul, difasilitasi oleh Lembaga Studi Pemantauan
Lingkungan (LSPL) Medan, bekerjasama dengan Kelompok Konservasi Indonesia
- KKI Warsi dilaksanakan tanggal 12-17 Februari 2007. Warga Sile-leu
Parsaoran berencana akan membuat sebuah Peraturan Desa tentang pengelolaan
hutan. Dengan adanya peraturan desa diharapkan dapat menyelamatkan
kondisi hutan Lae Pondom (hutan yang bertetangga langsung dengan desa
mereka) yang kini telah semakin rusak. Mereka mulai kuatir bila tidak
ada mekanisme yang dibuat, maka kebutuhan air yang berasal dari lae
Pondom akan berkurang seiring dengan berkurangnya jumlah pohon di
Lae Pondom. Ini berarti bencana bagi desa mereka.
Dengan
difasilitasi LSPL, warga mencoba mencari contoh yang telah sukses
membuat dan menerapkan Peraturan Desa tentang pengelolaan hutan yang
dikelola masyarakat. Dari berbagai informasi, akhirnya Desa Guguk
- Jambi menjadi pilihan sebagai tempat belajar.
Desa guguk telah menjadi ikon pelestarian
hutan berbasis masyarakat di Indonesia. Banyak pihak yang telah belajar
dari desa ini. Bahkan pada bulan Maret lalu, Duta besar Inggris secara
khusus meninjau Hutan Adat Guguk dan memberi apresiasi positif kepada
masyarakat guguk.
Selain berdiskusi langsung tentang manajemen
pengelolaan KPHA Guguk, warga Sileu-leu Parsaoran juga melihat langsung
kondisi hutan adat guguk yang terletak dipunggung bukit Tapanggang.
Hutan ini memiliki banyak jenis kayu berkelas/ bernilai ekonomi tinggi
dan juga didiami banyak satwa. Sanksi keras diberlakukan bagi orang
yang mengambil kayu atau satwa tanpa izin dari Tetua adat dan KPHA
Guguk.
Hutan seluas 690 ha ini dapat dikatakan
hutan milik warga Guguk sejak dahulu kala, karena satu dokumen peta
hutan yang diterbitkan oleh kesultan jambi pada tahun 1137 H, meyebutkan
bahwa warga guguk telah diakui memiliki hutan ini. Sangat berbeda
dengan warga Sileu-leu yang berstatus sebagai pendatang dan relatif
baru sekitar 50 tahun mendiami desa mereka.
Meski ada perbedaan karakteristik budaya
dan daerah, namun contoh yang didapat dari hutan guguk menjadi acuan
untuk memulai peduli lingkungan dengan kerja nyata.

Awal
- Sejarah
- Visi
dan Misi - Struktur
Organisasi - Isu
Strategis - Program
Kerja - Artikel
- Publikasi