Dari Partai
Politik Kembali ke Gerakan Sosial.
Studi Kasus Partai Keadilan
Media Indonesia -
Opini (6/7/00)
Oleh Muhammad Qodari
Dosen Psikologi Politik, Fakultas Psikologi-UI
PARTAI
Keadilan (PK) yang baru ber-Munas I tanggal 19-21 Mei 2000, menyatakan
akan memperjuangkan pembatalan electoral threshold 2% sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Bila
UU Pemilu itu dibatalkan, maka PK yang memperoleh 1,437 juta suara
atau 1,36 persen suara dalam Pemilu 1999 akan bisa mengikuti Pemilu
2004. Saya termasuk yang menyayangkan keputusan ini. Daripada mengupayakan
`menganulir` UU Pemilu, atau membuat nama baru, atau `melebur` ke
partai lain dengan tujuan mempertahankan eksistensi diri, saya lebih
melihat pentingnya jalan `radikal`. Lebih baik PK bubar dan para
aktivisnya kembali ke format gerakan sosial seperti semula.
Seperti diakui Fahri Hamzah, salah seorang deklarator PK, partai
ini telah dibangun oleh `anak-anak sekolah`, maksudnya anak-anak
muda, yang punya "gagasan untuk berjemaah, berkumpul dalam
suatu kesadaran akan pentingnya membina diri secara fisik, mental,
dan spriritual". Di mana "kesadaran ini berlanjut menjadi
semacam gerakan purifikasi" yang menjadikan "sejarah nabi
dan sahabat sebagai ingatan dasar". Dengan pengakuan Fahri
itu, dapat dikatakan secara tentatif embrio PK tak lain adalah sebuah
gerakan dakwah Islam yang tumbuh di kampus-kampus seantero Nusantara,
seperti kampus UI, ITB, IPB, IKIP Jakarta, dan lain-lainnya (baca
laporan penelitian Litbang Depag RI tahun 1995 tentang gerakan Islam
di sembilan kampus di Jawa). Adapun oleh pihak luar, gerakan ini
dinamai dengan beberapa cara, antara lain Usrah, Tarbiyah, atau
Halaqah. Saya pinjam nama yang pertama: Usrah.
Sebagai sebuah gerakan sosial-keagamaan Usrah berkembang dengan
pesat. Seperti pernah dituturkan Tempo (11-18 Januari 1999) gerakan
ini telah berkembang di Indonesia sejak 1980-an dengan basis gerakan
di kampus (dan di SMU-pen.). Hanya gerakan ini sengaja tidak menampilkan
diri secara terbuka seperti layaknya gerakan mahasiswa berbasis
agama yang konvensional semisal HMI dan PMII. Tampaknya mereka memang
sengaja menjalankan strategi ini dengan maksud agar tidak menjadi
sorotan penguasa Orde Baru yang cenderung curiga dengan `geliat`
masyarakat. Usrah pun selama dasawarwa pertama usia mereka, tidak
atau jarang menjamah isu-isu politik dalam negeri. Hanya isu-isu
internasional seperti Chechnya, Bosnia, Afghanistan, yang direspons.
Dengan strategi perkembangan secara diam-diam dan anatomi organisasi
berbentuk jaringan sel bolehlah kita sebut gerakan ini underground.
Dengan ajaran keagamaan yang purifikatif --Neo-Revivalisme kata
beberapa orang-- Usrah berkembang dengan pesat. Di UI-Depok menurut
penelitian Litbang Depag, tak kurang dari 4.000-5.000 orang peserta
Usrah, yang berarti satu dari setiap lima orang mahasiswa UI. Tak
heran bila penelitian itu menyebut gerakan dakwah ini telah mejadi
sebuah `gerakan sosial`. Hal ini saya kira tidak meleset, ideologi
Neo-Revivalis yang menjanjikan suatu sistem hidup Islam yang holistik,
menjadi daya tarik bagi calon pesertanya sekaligus indikator untuk
menyebut Usrah sebagai gerakan sosial.
Usrah mulai teridentifikasi oleh sesama mahasiswa di sekitar awal
1990-an, di antaranya ketika para aktivisnya mulai menjalankan langkah
dan kebijakan `afirmatif` di wilayah `politik kampus`. Maksud saya,
mereka mulai ikut bermain dalam kancah perebutan ketua-ketua organisasi
kemahasiswaan, baik di tingkat fakultas maupun tingkat universitas.
Nyatanya, di tengah kepastian politik mahasiswa 1990-an, Usrah berhasil
merebut jabatan-jabatan puncak di organisasi-organisasi mahasiswa
intrauniversitas. Ini menjelaskan dengan gamblang mengapa mereka
pada bulan Maret 1998 dengan luar biasa cepat dan masif dapat menciptakan
sebuah front gerakan mahasiswa bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) hampir di seluruh provinsi dan kota besar di Indonesia.
KAMMI inilah `tapal batas` yang membagi periode underground dengan
periode keterbukaan Usrah.
Metamorfosa gerakan Usrah memasuki tahapan baru ketika akhirnya
PK didirikan bulan Agustus 1998 untuk melengkapi wahana perjuangan
ideologis mereka. Tentu saja tidak semua aktivis PK adalah peserta
Usrah. Saya lihat para konseptor dan aktivis PK ketika itu juga
mengundang sejumlah orang yang tidak masuk melalui jalur pengaderan
Usrah tapi dianggap memiliki kesesuaian pokok-pokok pandangan dengan
Usrah untuk menjadi eksponen pendukungnya.
Strategi perjuangan
Menurut Fahri Hamzah, PK didirikan karena dakwah harus dijalankan
dengan `kaki yang lengkap`. Karena itu, meski Usrah telah berhasil
tumbuh sebagai kekuatan budaya tanding (counter culture), ia belum
cukup efektif menghadapi kekuatan sosial lain yang memiliki wahana
politik. Di sini, saya menyayangkan pilihan strategi perjuangan
Usrah yang mengambil bentuk partai politik. Akan lebih baik bila
para aktivis Usrah lebih mengkonsentrasikan diri untuk meneruskan
format perjuangan mereka semula sebagai sebuah gerakan sosial.
Persoalan pertama dengan pilihan menjadi partai politik adalah dilema
tuntutan organisasi yang berbeda: Usrah sebagai gerakan sosial dan
Usrah sebagai partai politik. Kedua bentuk `organisasi` ini memiliki
tuntutan eksistensial yang berbeda satu sama lain. Seperti kita
ketahui, bicara politik adalah bicara kekuasaan. Lord Acton pun
berkata "power tends to corrupt". Manisnya madu kekuasaan
bisa saja melenakan aktivis Usrah di PK yang rata-rata masih `hijau`
itu. Memang ada mekanisme seleksi dan internal kontrol partai terhadap
politisi PK, namun siapa yang bisa menjamin bahwa politisi, bahkan
institusi PK sendiri, suatu saat akan terbujuk dengan politik dagang
sapi yang jauh dari norma yang selama ini begitu diyakini.
Persoalan kedua, hasil penghitungan suara mengharuskan Usrah bekerja
sama (baca: berkompromi) dengan banyak pihak, bahkan dengan mereka
yang `berseberangan` ideologi. Salah satu faktor keberhasilan Usrah
dalam membentuk kadernya selama ini adalah upaya pendefinisian garis
ideologis yang tegas. Dengan kompromi yang harus dibuat PK tadi
apa jadinya dengan kemurnian akan `meluntur`, dan akibatnya `militansi`
dalam mempertahankan identitas kader akan berubah.
Terpecahnya konsentrasi, dana, dan sumber daya manusia dalam tubuh
gerakan Usrah adalah persoalan ketiga. Partisipasi politik dalam
wujud PK bukanlah aktivitas gratisan. Aktivis itu membutuhkan dana
yang tidak sedikit sebagaimana kita lihat dalam kampanye Pemilu
1999. Saya kira akan lebih produktif bila sumber finansial dan tenaga
yang ada digunakan untuk membangun basis gerakan sosial yang lebih
luas.
Alasan terakhir untuk membantah urgensi mendirikan partai politik
adalah asumsi bahwa kekuatan gerakan sosial kalah efektif dengan
kekuatan politik. Keberhasilan yang ditunjukkan Usrah selama ini
untuk mengubah (baca: mentransformasi) karakteristik individu kader-kadernya,
yang diteruskan pada level keluarga, menurut saya telah meruntuhkan
dengan sendirinya asumsi di atas. Bukankah menjadi keyakinan aktivis
Usrah juga bahwa politik negara pada esensinya adalah `politik individu`
sekaligus `politik keluarga`?
Saya bahkan melihat kampanye `politik` Usrah paling berhasil selama
ini bukanlah kampanye `resmi` menjelang Pemilu 1999, melainkan kampanye
yang dihadirkan setiap hari di rumah, di kampus, di kantor, dan
di lingkungan tetangga. Yakni menjunjung akhlak mulia, seperti jujur
dan amanah. Menurut Tempo (11-18 Januari 1999): "sederhana,
sopan, rendah hati (tawadlu), rajin ibadah, dan menegakkan sunah".
Saya rasa tidak ada kampanye yang lebih persuasif selain kredibilitas
diri yang tinggi.
Kembali ke gerakan sosial
Merujuk pada pengalaman, format Usrah sebagai gerakan sosiallah
yang paling cocok dan terbukti sangat berhasil. Lebih sekadar menarik
banyak generasi muda Islam untuk mengikuti pengajian/mentoring agama
yang diselenggarakannya, serta mengintroduksi sistem nilai `purifikasi`,
Usrah sebagai gerakan sosial bahkan mampu membuat sistem nilai itu
diadopsi oleh ikhwan dan akhwat dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Tentu saja gerakan Usrah memiliki kelemahan. Sejumlah kader Usrah
masih menampilkan `kelompok-sentrisme` yang kuat dan cara berpikir
yang rigid.
Perlu digarisbawahi, sejauh yang saya pahami, rekan sosial Usrah
belum memasuki usia matangnya, baik dari segi pengalamannya maupun
konstituennya. Mayoritas kader-kader Usrah sekarang barulah memasuki
tahapan menengah awal dalam kelas sosial di masyarakat. Banyak yang
masih pelajar atau mahasiswa. Yang karyawan baru sampai kelas manajer
menengah. Yang profesional, seperti dokter baru menyelesaikan kuliah
spesialisnya. Yang pegawai negeri baru sampai golongan III. Yang
pedagang baru memiliki toko satu-dua, dst. Secara sosial-ekonomi,
generasi Usrah baru akan matang sekitar 10-15 tahun ke depan.
Di masa itu, bila Usrah berpartai dukungan basis sosialnya telah
matang dan luas. Daya tahannya terhadap money politics tangguh karena
ia sendiri memiliki sumber-sumber internal yang mandiri. Meski demikian,
saya pribadi tetap berpendapat alangkah baiknya kalau Usrah tidak
perlu menciptakan partai politiknya sendiri. Lebih baik bila kader-kader
Usrah masuk ke berbagai partai yang ada sementara tetap memanfaatkan
Usrah sebagai forum pertemuan, forum silaturahmi, forum saling mengingatkan.
Strategi semacam ini sangat feasible. Bukankah HMI berhasil menempatkan
banyak mantan aktivisnya di jajaran elite penentu kebijakan negeri
ini. Hanya saja di sinilah PR bagi Usrah, sistem pengaderan HMI
relatif gagal `memastikan` setiap alumninya untuk menjadi `uswatun
hasanah` (contoh yang baik). Jangan-jangan sekarang lebih banyak
alumni HMI yang `brengsek` daripada yang benar, seperti Cak Nur.
Saya tidak bermaksud mengatakan pendirian PK sebagai sayap politik
Usrah sebagai sebuah aboritive process --proses yang tiba-tiba karena
tuntutan dan kesempatan keadaan. Namun pengalaman dua tahun terakhir
menunjukkan, dalam reformasi, perubahan struktural telah terjadi.
Partai bertumbuhan, aktor politik berganti, dan peraturan direvisi.
Tetapi Indonesia tetap seperti jalan di tempat lantaran perubahan
kultural belum berlangsung. Perilaku politik lama tetap bertahan
dan mentalitas Orde Baru masih dianut. Pengalaman ini menunjukkan
masih terlalu luas lahan sosial-kultural umat yang belum tergarap.
Sementara semua golongan sibuk berebut lahan politik. Lantas siapa
yang akan menggarapnya? Format gerakan sosial masih sangat memerlukan
konsentrasi aktivis Usrah untuk mewujudkan imagined community yang
bernama masyarakat madani.***
(c) Copyright 2001 Abdur
Rahim
|