GALERI
PUISI
PEDJE
Ayat-Ayat Waktu
begitu
banyak penanda waktu
: langkah-langkah bergegas hilang ditelikung cemas
5
Juni 2002
Cerita
untuk Elang, 1
di
sebatang trotoar
seorang bocah membiarkan mimpinya telantar
: gambar dua gunung mengapit matahari bersinar
tak ada pepohonan atau semak belukar
juga sawah luas terhampar
di jalan
pecahan arang berceceran
aspal mengusam
Januari-Juni
2003
Pemandangan
Senja, 1
ketika
senja tiba di tanah basah, sekawan nyamuk berkepak resah
di antara lengking azan dari puncak menara, gemuruh kereta menuju utara,
dan jerit bayi dari rumah tanpa jendela
seorang wanita menggelepar dengan mulut berbusa beraroma racun serangga
Januari-Juni
2003
Pemandangan Senja, 2
matahari
pucat pasi
memergoki wajahnya terpantul di kaca-kaca gedung-gedung tinggi
berjuta orang memburu bayang-bayang
anak-anak menurunkan layang-layang
Januari-Juni 2003
Di Luar Angkasa
Untuk Anakku, Langit Biru
Langit masih menyisakan warna jingga ketika kau tertawa
mengempas sunyi yang dibangun dari berjuta sungai air mata
yang hilang arah menuju muara
“Kita akan menepi,” katamu dengan tawa yang telah berubah
menjadi garis tipis yang entah apa maknanya
Tapi, di manakah tepi sebenarnya
di ruang angkasa ini, ketika ilusi cakrawala
seakan moksa
“Kita akan ciptakan tepi sendiri seperti matahari
mencipta lewat ujung-ujung garis sinarnya,” katamu
dengan nada lelah tapi tetap ingin terlihat gagah.
Langit tak lagi memiliki warna jingga
dan kenangan pada bumi
berkejaran dengan hujan asteroid
sunyi pun terbangun kembali
Menteng,
2001
Siapa
Siapa
yang tiba-tiba cemburu melihat kita mengisap luka dan menebar begitu
banyak benih cinta di atasnya? Siapa yang kemudian tersenyum malu
mengintip kita menari-nari dan menyanyi ketika hujan berkerumun bertepuk
tangan seolah anak-anak yang diberi kembang gula? Siapa pula yang
berbisik ingin ikut sambil meniupkan aroma purba yang dibawa Adam dan
Hawa ketika terpaksa turun dari surga?
Menteng,
Januari 2002
*
* * * * * * * * * *
* * * * * * * * *
* *
D.
KEMALAWATI
RUMAH
MALAKA
bermula
di halaman rumahmu Malaka
serumpun
bunga warna-warni
bercerita
tentang cinta
muara
sungai Duyung
melambai
ke negeri seberang
tangan
gemulai lincah bersalaman
lalu
Ayer Keroh merangkai bunga
dalam
jambangan
indah
dalam tatapan
hangat
dalam pelukkan
bermula
di halaman rumahmu Malaka
seorang
lelaki bersahaja
memandang
senja kemilau
kita
saling merajuk dalam ‘dondang sayang’
tetabuhan
gendang
seruling
bersahutan.
Malaka, april 2002
MEREKA
MENGUBAR KATA
bicara
itu seperti pisau seribu arah
dalam
remang senja
selalu
saja ada ketakutan
yang
terpelihara
terkurung
dalam maya
bicara
itu tak ubahnya nila
berwarna
unggu
berenang
dalam arus pikirku
bicara
itu menggunci gerak
tangan
kaki yang bebas merdeka
-Banda Aceh, Agustus 2002
NUNUKAN
DAN WAJAH NEGERIKU
melihat
Nunukan yang diamuk gelombang
simpang
siur wajah negeriku dalam porak
sangat
majemuk
semua
terjual dalam ringkih kesetaraan
malam
melaju dalam senyap duka
Nunukan
akan tenggelam
wajah
negeriku bias sejenak
Wajah
negeriku selalu garang, bila berbicara tentang Aceh
sedikit
terperangah
berapi-api
tentang Laskar Jihad
sangat
norak dengan demonstran
sedikit
bernyanyi tentang Papua Merdeka
membelai
penuh kasih Jakarta
berdangsaria
dengan Cina
menari
sal-sal dengan Afrika
atau
berpelukan mesra dengan Amerika
lalu
berada dimana sukacita yang ditawarkan bertahun-tahun dalam merah yang
berani atau putih nan suci. aku menggugat demi cinta seorang ibu
TKI yang harus merelakan bayinya seharga Rp 500 ribu berjalan terburu
menutupi dadanya bernanah. aku menggugat demi tubuh anakku yang hancur
karena bom yang dipaksakan meledak, demi putriku yang disetubuhi peluru
tanpa bersanding dipelaminan,
demi
air mata yang pernah mengalir diwajah keibuanmu, ibu
Nunukan
hanya sekilas bernama luka
perihnya
terkubur dalam sukma selamanya.
-Banda Aceh,September 2002
Pedje, nama aslinya Purwadi
Djunaedi. Lahir di Jakarta, 28 Desember 1969. Selain teater, ia juga
senang menulis puisi. Kumpulan puisi pertamanya, Jendela: Sajak-Sajak
Purwadi Djunaedi, diterbitkan oleh PT Margi Wahyu pada tahun 1994.
Kini bekerja sebagai redaktur senior di majalah wanita Lisa
D
Kemalawati, seorang penyair wanita Aceh yang dinilai sangat
produktif. Karya-karyanya disiarkan dalam media massa, Aceh, Medan dan
Jakarta juga dikumpulkan dalam berbagai antologi puisi bersama.
Kini Wakil
Sekretaris Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB) periode 1989 - 2003.·
|
CERPEN:
Sorban
Sang Kiai
MAGHFUR
SAAN
Mendadak!
Mendadak sekali kepergian Kiai Mukhlis. Pada subuh yang membeku, ia
masih memimpin solat subuh. Tapi seusai wirid dan berdoa, ia berpamitan
kepada para santrinya untuk pergi meninggalkan pesantrennya dalam waktu
yang tak terbatas. Ia tidak menyebutkan untuk keperluan apa. Ia hanya
bicara singkat, untuk mengikuti sidang para kiai. Ia meninggalkan
sorbannya di meja kecil yang biasa untuk mengajar para santrinya.
“Sidang para kiai? Sudah sedemikian bobrokkah keadaan umat sehingga
para kiai harus bersidang?” tanya para santri kepada Barok.
“Aku belum bisa menjawab sekarang,” jawab Barok, lurah pondok yang
disegani oleh sesama santri.
Para santri bingung. Mereka bertanya-tanya tentang kepergian kiainya
itu. Kemudian Barok memberikan kesejukan kepada teman-temannya, “Kiai
kita itu suhud. Doakan saja agar Allah menjaganya.”
Tetapi kata-kata Barok justru memancing diskusi panjang. Berbagai
pendapat mereka muntahkan.
“Jangan bicarakan ini! Jangan bicarakan! Ini urusan kiai. Aku tidak
ingin melangkahi kedaulatan kiai,” ujar Barok setelah hampir setiap
santri mau unjuk bicara.
“Melangkahi kedaulatan kiai?” tanya Rokhim, seorang santri yang
dikenal kritis. “Kurasa kiai sangat demokratis. Kedaulatanya tak
pernah ia persoalkan. Bukankah kita sering mendengar ucapan kiai bahwa
yang punya kedaulatan itu hanya Allah?”
Barok merenung. Memang ia sering mendengar kata-kata itu. Bahkan ketika
ia telanjur mengajar kepada santri lain, kiai tidak menegurnya. Kemudian
ia memandang ke arah sorban kiai seraya menyertakan ucapan salam.
Rokhim dan teman-temannya mengikuti Barok, memandang sorban sang kiai.
Juga menyertakan ucapan salam, sekan-akan kiai ada di tempat itu.
Setelah itu memandang Barok, menunggu kata-kata Barok berikutnya.
“Ada dua kutub dalam diri kiai, yaitu kehendak dan ilmu. Kehendak,
hanya boleh dimiliki oleh kiai. Kehendak itu subyektif dan sangat
personal. Tak seorang pun boleh ikut campur. Barang siapa ikut campur,
maka hukumnya dosa. Karena Allah menjamin hak personal. Sedangkan ilmu
itu obyektif. Ia netral. Ia boleh dimiliki oleh siapa pun. Karena
sesungguhnya ilmu itu dari Allah,” ujar Barok.
Mendengar jawaban Barok, para santri diam. Rupanya mereka paham. Memang
di situlah kelebihan Barok. Ia bukan saja disegani lantaran kedekatannya
dengan kiai, tapi ilmunya memang lebih tinggi.
“Jika kita ingin memperoleh ilmunya, maka dengan cara apa pun tak ada
larangan. Bahkan dengan cara seperti memeras cucian pakaian saja, tak
dilarang. Kiai bersedia diperlakukan seperti itu. Karena bagi kiai,
memberi ilmu itu sodakoh,” ujar Barok lagi.
***
Sudah
beberapa minggu kiai tidak kunjung datang. Tapi keadaan pesantren
berjalan normal, seperti tak ada apa-apa. Para santri tetap mengaji dan
menuntut ilmu sebagaimana biasa.
Sorban sang kiai masih tergeletak di atas meja. Tak ada yang berani
memegang, apalagi memindahnya. Sedang untuk menatapnya saja para santri
selalu mengucapkan salam, seakan-akan yang mereka tatap itu kiai.
“Sorban kiai yang ditinggalkan di atas meja itu refleksi kehendak atau
ilmu?” tanya beberapa santri kepada Barok.
Barok tak bisa menjawab. Akhirnya beberapa yang lain berpendapat
sendiri-sendiri. Di antara mereka terpecah. Ada yang berpendapat
kehendak, ada yang berpendapat ilmu. Jika kehendak, maka tak seorang pun
boleh memegang apalagi mengambilnya. Jika ilmu, maka setiap santri boleh
memakainya.
Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya disepakati sebuah mufakat
dengan suara terbanyak. Yang menang adalah bahwa sorban yang
ditinggalkan itu refleksi dari ilmu. Konsekuensinya, sorban itu boleh
dipegang atau dipakai oleh setiap para santri. Dan setiap santri berhak
memakai sorban itu.
Maka setiap santri mencoba memakai sorban itu. Tapi aneh, setiap santri
yang mencoba memakainya merasa memakai terus. Seakan-akan sorban itu
terus melekat. Dan semua santri akhirnya merasa memiliki sorban sang
kiai.
Merasa sudah memiliki ilmu sang kiai, para santri banyak yang pulang ke
rumah masing-masing. Ada yang langsung mendirikan pondok pesantren, ada
yang berdakwah dengan mendatangi kampung-kampung, ada yang memasuki
kelompok-kelompok atau golongan tertentu, ada juga yang masuk ke
berbagai parpol. Bahkan ada yang mendirikan parpol baru.
Dalam waktu yang relatif singkat, para santri Kiai Mukhlis terkenal di
mana-mana. Banyak dari mereka sudah dipercaya menjadi pemimpin yang
berpengaruh. Bukan saja mereka dipatuhi karena wibawanya, tapi mereka
benar-benar bisa menjadi sumur untuk ditimba airnya.
***
Malam
tanpa bintang. Barok dan beberapa temannya duduk mengelilingi meja kiai.
Sorban kiai masih tetap tergeletak utuh. Rupanya santri Kiai Mukhlis
hanya tinggal beberapa orang saja. Banyak dari mereka sudah keluar dan
sukses menjadi pemimpin. Tapi Barok cemas lantaran tak ada seorang pun
bekas temannya itu yang mau menengok kembali almamaternya.
“Apakah mereka sudah lupa lantaran bergelimpangan harta?” tanya
Rokhim kepada Barok.
“Kita tak boleh suudzon dulu. Ya, berprasangka baiklah dulu. Mungkin
mereka sibuk dengan mengajarnya,” ujar Barok memberi angin sejuk.
“Apakah kita tidak perlu mencoba mendatangi mereka?”
“Untuk apa?”
“Untuk mengetahui secara jelas apa kegiatan mereka.”
“Kurasa tidak perlu. Bukankah mereka sudah merasa punya ilmu dari
kiai?”
“Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kiai akan marah.
Bagaimana tanggung jawab kita?”
Barok diam. Ia memandang sorban kiai. Tapi tak mendatangkan pikiran
baru. Dan bolam di atas meja kiai yang menemani mereka seakan-akan mau
padam. Barok sedih. Tapi seketika itu juga kesedihannya hilang, lantaran
ia ingat bahwa kesedihan adalah hambatan dalam makrifat. Ia lalu
tersenyum.
“Dalam keadaan begini, masak sampean masih sempat tersenyum?” tanya
Rokhim lagi.
“Aku harus bersedih sebagaimana sampean lakukan itu? Tidak! Kesedihan
itu petaka.”
Kini Rokhim ganti diam. Teman-temannya pun diam. Mereka ingat bahwa tak
ada yang boleh ditakuti selain Allah. Kekhawatiran, kelaparan, dan
ketakutan harus dibuang jauh untuk menjadi manusia suhud sebagaimana
sang kiai.
Ketika malam masih setia mengirim angin dingin ke tubuh para santri,
Kiai Mukhlis pulang.
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh!” sapa Kiai Mukhlis
dengan sejuk.
“Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh!” jawab para santri.
Seketika itu juga hati para santri lega. Kesejukan kembali mengisi
setiap relung hatinya yang paling dalam. Mereka pun menyalami dan
mencium tangan sang kiai
Kiai duduk bersila di belakang mejanya. Ia memakai sorban yang sama
dengan sorban yang masih tergeletak di atas mejanya itu. Memandang
sorban yang tergeletak itu, kiai manggut-manggut.
“Ada apa dengan sorban itu, kiai?” tanya Barok.
“Kalian tidak mencemaskannya?” tanya kiai kemudian kepada Barok dan
teman-temannya.
Para santri tidak ada yang berani menjawab. Ada di antara mereka yang
cemas, tapi ada juga yang tidak.
“Aku melihat sorbanku sudah tercabik-cabik. Tersobek-sobek! Suatu
tanda bahwa santri yang menyerap ilmuku masih sebagian-sebagian.”
“Astaghfirullah! Jangan-jangan mereka salah menerapkannya, Kiai.”
“Kemungkinan besar, begitu.”
“Padahal banyak dari mereka sudah mendirikan pondok. Banyak pula dari
mereka sudah menjadi pemimpin.”
“Itu hak mereka.”
“Kalau kemudian mereka menyebarkan ketidakbaikan?”
“Itu dosa mereka.”
“Kalau masyarakat jadi rusak?”
“Itu urusan Allah. Dan Allah jualah yang akan memperbaiki pada saatnya
nanti. Mungkin sekarang ini Allah sedang mencoba keteguhan umat.”
“Kalau lantaran perbuatan mereka, lantas kiai ditangkap?”
“Yang memenjarakan dan membebaskan manusia hanya Allah.”
Kiai Mukhlis berzikir. Para santri mengikutinya. Wajah Kiai Mukhlis
tampak tenang meski para santri menganggap banyak masalah yang sedang
melilitnya. Setelah lama berzikir Kiiai Mukhlis berhenti.
“Kalian ingin tahu apa yang dibicarakan dalam sidang para kiai?”
tanya Kiai Mukhlis.
“Ya, Kiai.”
“Semua kiai ingin mengundurkan diri, lantaran umat sudah sangat kacau.
Banyak kiai yang hampir putus asa. Mereka juga kecewa lantaran mereka
diperalat untuk kepentingan duniawi. Ternyata mereka sadar bahwa ilmu
yang mereka sampaikan tidak dipahami sebagai ilmu yang netral. Antara
ilmu dan kehendak sudah campur jadi satu.”
“Keputusannya bagaimana, Kiai?”
“Tak ada keputusan apa-apa. Semuanya diserahkan kepada pribadi
masing-masing. Aku sendiri akan tetap mengajar meski hanya sebuah bolam
yang mendengarkan..”
Subuh datang. Kiai Mukhlis memimpin solat subuh. Di belakangnya berderet
para santri menjadi makmum. Meski hanya tinggal beberapa saja.
Ketika solat usai, para santri kaget karena di dekatnya sudah ada dalam
barisan mereka, Dul Manaf santri yang sudah keluar.
“Maafkan aku Kiai,” ujar Dul Manaf saat kiai sudah bersila kembali
di belakang meja kecilnya. “Aku sudah keluar dari pesantren dan sudah
menjadi tokoh penting di sebuah parpol. Aku sudah bergelimang harta.
Tapi aku sadar bahwa semua itu hanya tipuan duniawi. Maka terimalah
pertobatanku, Kiai.”
“Allah Maha Pengampun. Mudah-mudahan teman-temanmu akan kembali dari
kesesatannya,” ujar Kiai Mukhlis tersenyum. ****
|