Halaman Tiga

ALTERNATIF

Edisi II/Minggu, 8 Februari  2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA FOKUS

SOSOK

SALAM SASTRA 

ESAI

SURAT SASTRA

GALERI PUISI 

CERPEN

APRESIASI

PUISI PILIHAN

CERPEN PILIHAN

BUKU SASTRA

GALERI PUISI

PEDJE


Ayat-Ayat Waktu

begitu banyak penanda waktu
: langkah-langkah bergegas hilang ditelikung cemas

5 Juni 2002

 


Cerita untuk Elang, 1

di sebatang trotoar
seorang bocah membiarkan mimpinya telantar
: gambar dua gunung mengapit matahari bersinar
tak ada pepohonan atau semak belukar
juga sawah luas terhampar
di jalan
pecahan arang berceceran
aspal mengusam

Januari-Juni 2003

 

 

Pemandangan Senja, 1

ketika senja tiba di tanah basah, sekawan nyamuk berkepak resah
di antara lengking azan dari puncak menara, gemuruh kereta menuju utara,
dan jerit bayi dari rumah tanpa jendela
seorang wanita menggelepar dengan mulut berbusa beraroma racun serangga

Januari-Juni 2003

 

Pemandangan Senja, 2

matahari pucat pasi
memergoki wajahnya terpantul di kaca-kaca gedung-gedung tinggi
berjuta orang memburu bayang-bayang
anak-anak menurunkan layang-layang
Januari-Juni 2003

 

Di Luar Angkasa

Untuk Anakku, Langit Biru

Langit masih menyisakan warna jingga ketika kau tertawa

mengempas sunyi yang dibangun dari berjuta sungai air mata
yang hilang arah menuju muara
“Kita akan menepi,” katamu dengan tawa yang telah berubah
menjadi garis tipis yang entah apa maknanya
Tapi, di manakah tepi sebenarnya

di ruang angkasa ini, ketika ilusi cakrawala

seakan moksa
“Kita akan ciptakan tepi sendiri seperti matahari

mencipta lewat ujung-ujung garis sinarnya,” katamu

dengan nada lelah tapi tetap ingin terlihat gagah.
Langit tak lagi memiliki warna jingga

dan kenangan pada bumi

berkejaran dengan hujan asteroid

sunyi pun terbangun kembali

Menteng, 2001

Siapa

Siapa yang tiba-tiba cemburu melihat kita mengisap luka dan menebar begitu banyak benih cinta di atasnya? Siapa yang kemudian tersenyum malu mengintip kita menari-nari dan menyanyi ketika hujan berkerumun bertepuk tangan seolah anak-anak yang diberi kembang gula? Siapa pula yang berbisik ingin ikut sambil meniupkan aroma purba yang dibawa Adam dan Hawa ketika terpaksa turun dari surga?

Menteng, Januari 2002

 

* *  *  * *  *  * *   *  * *  *  * *   *  * *  *  * *   *  * 

 

 

D. KEMALAWATI

RUMAH MALAKA

 

bermula di halaman rumahmu Malaka

serumpun bunga warna-warni

bercerita tentang cinta

muara sungai Duyung

melambai ke negeri seberang

tangan gemulai lincah bersalaman

 

lalu Ayer Keroh merangkai bunga

dalam jambangan

indah dalam tatapan

hangat dalam pelukkan

 

bermula di halaman rumahmu Malaka

seorang lelaki bersahaja

memandang senja kemilau

 

kita saling merajuk dalam ‘dondang sayang’

tetabuhan gendang

seruling bersahutan.

                    Malaka, april 2002

 

MEREKA MENGUBAR KATA

 

bicara itu seperti pisau seribu arah

dalam remang senja

selalu saja ada ketakutan

yang terpelihara

terkurung dalam maya

 

bicara itu tak ubahnya nila

berwarna unggu

berenang dalam arus pikirku

 

bicara itu menggunci gerak

tangan kaki yang bebas merdeka

                                 -Banda Aceh, Agustus 2002

 

 

NUNUKAN DAN WAJAH NEGERIKU

 

melihat Nunukan yang diamuk gelombang

simpang siur wajah negeriku dalam porak

sangat majemuk

semua terjual dalam ringkih kesetaraan

malam melaju dalam senyap duka

Nunukan akan tenggelam

wajah negeriku bias sejenak

 

Wajah negeriku selalu garang, bila berbicara tentang Aceh

sedikit terperangah

berapi-api tentang Laskar Jihad

sangat norak dengan demonstran

sedikit bernyanyi tentang Papua Merdeka

membelai penuh kasih Jakarta

berdangsaria dengan Cina

menari sal-sal dengan Afrika

atau berpelukan mesra dengan Amerika

 

lalu berada dimana sukacita yang ditawarkan bertahun-tahun dalam merah yang  berani atau putih nan suci. aku menggugat demi cinta seorang ibu TKI yang harus merelakan bayinya seharga Rp 500 ribu berjalan terburu menutupi dadanya bernanah. aku menggugat demi tubuh anakku yang hancur karena bom yang dipaksakan meledak, demi putriku yang disetubuhi peluru tanpa bersanding dipelaminan,

demi air mata yang pernah mengalir diwajah keibuanmu, ibu

 

Nunukan hanya sekilas bernama luka

perihnya terkubur dalam sukma selamanya.

                        -Banda Aceh,September 2002

 

 


Pedje, nama aslinya Purwadi Djunaedi. Lahir di Jakarta, 28 Desember 1969. Selain teater, ia juga senang menulis puisi. Kumpulan puisi pertamanya, Jendela: Sajak-Sajak Purwadi Djunaedi, diterbitkan oleh PT Margi Wahyu pada tahun 1994. Kini bekerja sebagai redaktur senior di majalah wanita Lisa

D Kemalawati, seorang penyair wanita Aceh yang dinilai sangat produktif. Karya-karyanya disiarkan dalam media massa, Aceh, Medan dan Jakarta juga dikumpulkan dalam berbagai antologi puisi bersama. Kini Wakil Sekretaris Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB) periode 1989 - 2003.·

CERPEN:   

Sorban Sang Kiai
 MAGHFUR SAAN

Mendadak! Mendadak sekali kepergian Kiai Mukhlis. Pada subuh yang membeku, ia masih memimpin solat subuh. Tapi seusai wirid dan berdoa, ia berpamitan kepada para santrinya untuk pergi meninggalkan pesantrennya dalam waktu yang tak terbatas. Ia tidak menyebutkan untuk keperluan apa. Ia hanya bicara singkat, untuk mengikuti sidang para kiai. Ia meninggalkan sorbannya di meja kecil yang biasa untuk mengajar para santrinya.
“Sidang para kiai? Sudah sedemikian bobrokkah keadaan umat sehingga para kiai harus bersidang?” tanya para santri kepada Barok.
“Aku belum bisa menjawab sekarang,” jawab Barok, lurah pondok yang disegani oleh sesama santri.
Para santri bingung. Mereka bertanya-tanya tentang kepergian kiainya itu. Kemudian Barok memberikan kesejukan kepada teman-temannya, “Kiai kita itu suhud. Doakan saja agar Allah menjaganya.”
Tetapi kata-kata Barok justru memancing diskusi panjang. Berbagai pendapat mereka muntahkan.
“Jangan bicarakan ini! Jangan bicarakan! Ini urusan kiai. Aku tidak ingin melangkahi kedaulatan kiai,” ujar Barok setelah hampir setiap santri mau unjuk bicara.
“Melangkahi kedaulatan kiai?” tanya Rokhim, seorang santri yang dikenal kritis. “Kurasa kiai sangat demokratis. Kedaulatanya tak pernah ia persoalkan. Bukankah kita sering mendengar ucapan kiai bahwa yang punya kedaulatan itu hanya Allah?”
Barok merenung. Memang ia sering mendengar kata-kata itu. Bahkan ketika ia telanjur mengajar kepada santri lain, kiai tidak menegurnya. Kemudian ia memandang ke arah sorban kiai seraya menyertakan ucapan salam.
Rokhim dan teman-temannya mengikuti Barok, memandang sorban sang kiai. Juga menyertakan ucapan salam, sekan-akan kiai ada di tempat itu. Setelah itu memandang Barok, menunggu kata-kata Barok berikutnya.
“Ada dua kutub dalam diri kiai, yaitu kehendak dan ilmu. Kehendak, hanya boleh dimiliki oleh kiai. Kehendak itu subyektif dan sangat personal. Tak seorang pun boleh ikut campur. Barang siapa ikut campur, maka hukumnya dosa. Karena Allah menjamin hak personal. Sedangkan ilmu itu obyektif. Ia netral. Ia boleh dimiliki oleh siapa pun. Karena sesungguhnya ilmu itu dari Allah,” ujar Barok.
Mendengar jawaban Barok, para santri diam. Rupanya mereka paham. Memang di situlah kelebihan Barok. Ia bukan saja disegani lantaran kedekatannya dengan kiai, tapi ilmunya memang lebih tinggi.
“Jika kita ingin memperoleh ilmunya, maka dengan cara apa pun tak ada larangan. Bahkan dengan cara seperti memeras cucian pakaian saja, tak dilarang. Kiai bersedia diperlakukan seperti itu. Karena bagi kiai, memberi ilmu itu sodakoh,” ujar Barok lagi.

***

Sudah beberapa minggu kiai tidak kunjung datang. Tapi keadaan pesantren berjalan normal, seperti tak ada apa-apa. Para santri tetap mengaji dan menuntut ilmu sebagaimana biasa.
Sorban sang kiai masih tergeletak di atas meja. Tak ada yang berani memegang, apalagi memindahnya. Sedang untuk menatapnya saja para santri selalu mengucapkan salam, seakan-akan yang mereka tatap itu kiai.
“Sorban kiai yang ditinggalkan di atas meja itu refleksi kehendak atau ilmu?” tanya beberapa santri kepada Barok.
Barok tak bisa menjawab. Akhirnya beberapa yang lain berpendapat sendiri-sendiri. Di antara mereka terpecah. Ada yang berpendapat kehendak, ada yang berpendapat ilmu. Jika kehendak, maka tak seorang pun boleh memegang apalagi mengambilnya. Jika ilmu, maka setiap santri boleh memakainya.
Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya disepakati sebuah mufakat dengan suara terbanyak. Yang menang adalah bahwa sorban yang ditinggalkan itu refleksi dari ilmu. Konsekuensinya, sorban itu boleh dipegang atau dipakai oleh setiap para santri. Dan setiap santri berhak memakai sorban itu.
Maka setiap santri mencoba memakai sorban itu. Tapi aneh, setiap santri yang mencoba memakainya merasa memakai terus. Seakan-akan sorban itu terus melekat. Dan semua santri akhirnya merasa memiliki sorban sang kiai.
Merasa sudah memiliki ilmu sang kiai, para santri banyak yang pulang ke rumah masing-masing. Ada yang langsung mendirikan pondok pesantren, ada yang berdakwah dengan mendatangi kampung-kampung, ada yang memasuki kelompok-kelompok atau golongan tertentu, ada juga yang masuk ke berbagai parpol. Bahkan ada yang mendirikan parpol baru.
Dalam waktu yang relatif singkat, para santri Kiai Mukhlis terkenal di mana-mana. Banyak dari mereka sudah dipercaya menjadi pemimpin yang berpengaruh. Bukan saja mereka dipatuhi karena wibawanya, tapi mereka benar-benar bisa menjadi sumur untuk ditimba airnya.

***

Malam tanpa bintang. Barok dan beberapa temannya duduk mengelilingi meja kiai. Sorban kiai masih tetap tergeletak utuh. Rupanya santri Kiai Mukhlis hanya tinggal beberapa orang saja. Banyak dari mereka sudah keluar dan sukses menjadi pemimpin. Tapi Barok cemas lantaran tak ada seorang pun bekas temannya itu yang mau menengok kembali almamaternya.
“Apakah mereka sudah lupa lantaran bergelimpangan harta?” tanya Rokhim kepada Barok.
“Kita tak boleh suudzon dulu. Ya, berprasangka baiklah dulu. Mungkin mereka sibuk dengan mengajarnya,” ujar Barok memberi angin sejuk.
“Apakah kita tidak perlu mencoba mendatangi mereka?”
“Untuk apa?”
“Untuk mengetahui secara jelas apa kegiatan mereka.”
“Kurasa tidak perlu. Bukankah mereka sudah merasa punya ilmu dari kiai?”
“Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kiai akan marah. Bagaimana tanggung jawab kita?”
Barok diam. Ia memandang sorban kiai. Tapi tak mendatangkan pikiran baru. Dan bolam di atas meja kiai yang menemani mereka seakan-akan mau padam. Barok sedih. Tapi seketika itu juga kesedihannya hilang, lantaran ia ingat bahwa kesedihan adalah hambatan dalam makrifat. Ia lalu tersenyum.
“Dalam keadaan begini, masak sampean masih sempat tersenyum?” tanya Rokhim lagi.
“Aku harus bersedih sebagaimana sampean lakukan itu? Tidak! Kesedihan itu petaka.”
Kini Rokhim ganti diam. Teman-temannya pun diam. Mereka ingat bahwa tak ada yang boleh ditakuti selain Allah. Kekhawatiran, kelaparan, dan ketakutan harus dibuang jauh untuk menjadi manusia suhud sebagaimana sang kiai.
Ketika malam masih setia mengirim angin dingin ke tubuh para santri, Kiai Mukhlis pulang.
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh!” sapa Kiai Mukhlis dengan sejuk.
“Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh!” jawab para santri.
Seketika itu juga hati para santri lega. Kesejukan kembali mengisi setiap relung hatinya yang paling dalam. Mereka pun menyalami dan mencium tangan sang kiai
Kiai duduk bersila di belakang mejanya. Ia memakai sorban yang sama dengan sorban yang masih tergeletak di atas mejanya itu. Memandang sorban yang tergeletak itu, kiai manggut-manggut.
“Ada apa dengan sorban itu, kiai?” tanya Barok.
“Kalian tidak mencemaskannya?” tanya kiai kemudian kepada Barok dan teman-temannya.
Para santri tidak ada yang berani menjawab. Ada di antara mereka yang cemas, tapi ada juga yang tidak.
“Aku melihat sorbanku sudah tercabik-cabik. Tersobek-sobek! Suatu tanda bahwa santri yang menyerap ilmuku masih sebagian-sebagian.”
“Astaghfirullah! Jangan-jangan mereka salah menerapkannya, Kiai.”
“Kemungkinan besar, begitu.”
“Padahal banyak dari mereka sudah mendirikan pondok. Banyak pula dari mereka sudah menjadi pemimpin.”
“Itu hak mereka.”
“Kalau kemudian mereka menyebarkan ketidakbaikan?”
“Itu dosa mereka.”
“Kalau masyarakat jadi rusak?”
“Itu urusan Allah. Dan Allah jualah yang akan memperbaiki pada saatnya nanti. Mungkin sekarang ini Allah sedang mencoba keteguhan umat.”
“Kalau lantaran perbuatan mereka, lantas kiai ditangkap?”
“Yang memenjarakan dan membebaskan manusia hanya Allah.”
Kiai Mukhlis berzikir. Para santri mengikutinya. Wajah Kiai Mukhlis tampak tenang meski para santri menganggap banyak masalah yang sedang melilitnya. Setelah lama berzikir Kiiai Mukhlis berhenti.
“Kalian ingin tahu apa yang dibicarakan dalam sidang para kiai?” tanya Kiai Mukhlis.
“Ya, Kiai.”
“Semua kiai ingin mengundurkan diri, lantaran umat sudah sangat kacau. Banyak kiai yang hampir putus asa. Mereka juga kecewa lantaran mereka diperalat untuk kepentingan duniawi. Ternyata mereka sadar bahwa ilmu yang mereka sampaikan tidak dipahami sebagai ilmu yang netral. Antara ilmu dan kehendak sudah campur jadi satu.”
“Keputusannya bagaimana, Kiai?”
“Tak ada keputusan apa-apa. Semuanya diserahkan kepada pribadi masing-masing. Aku sendiri akan tetap mengajar meski hanya sebuah bolam yang mendengarkan..”
Subuh datang. Kiai Mukhlis memimpin solat subuh. Di belakangnya berderet para santri menjadi makmum. Meski hanya tinggal beberapa saja.
Ketika solat usai, para santri kaget karena di dekatnya sudah ada dalam barisan mereka, Dul Manaf santri yang sudah keluar.
“Maafkan aku Kiai,” ujar Dul Manaf saat kiai sudah bersila kembali di belakang meja kecilnya. “Aku sudah keluar dari pesantren dan sudah menjadi tokoh penting di sebuah parpol. Aku sudah bergelimang harta. Tapi aku sadar bahwa semua itu hanya tipuan duniawi. Maka terimalah pertobatanku, Kiai.”
“Allah Maha Pengampun. Mudah-mudahan teman-temanmu akan kembali dari kesesatannya,” ujar Kiai Mukhlis tersenyum. ****

MAKLUMAT: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dengan menyebut sumber.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. 

web design by: musismail