Halaman Dua |
ALTERNATIF |
Edisi
II/Minggu, 8 Februari 2004 |
HALAMAN DUA |
PENGELOLA
REDAKSI: Mustafa Ismail Para Kontributor PENERBIT: Rumah Sastra Pamulang E-MAIL:
KEPADA PENGIRIM KARYA Redaksi tidak bisa memberi pengganti ongkos kirim atau honor kepada karya yang dimuat.
PENULIS
Betapa banyak orang ingin menjadi penulis. Betapa banyak buku yang menawarkan kiat-kiat menjadi penulis, baik itu ditulis oleh pengarang dalam negeri, maupun buku-buku terjemahan. Memang asyik menjadi penulis. Bisa menulis apa saja. Kebahagiaan paling besar bagi seseorang ketika ide-ide, gagasan dan apa yang dipikirkan dan dibayangkannya bisa dinikmati orang. Dan kemampuan seperti itu hanya dipunyai seorang penulis atau seorang pengarang. Tetapi kerap kali keinginan untuk menjadi penulis itu terhenti ketika berhadapan dengan sebuah institusi bernama media. Tak jarang, calon belum-belum, sudah merasa terkapar begitu menerima penolakan karya-karyanya oleh media. Seolah, itu menjadi lonceng kematian bagi keinginannya yang baru tumbuh untuk menjadi penulis. Ada pula penulis yang cukup puas dengan karya-karya yang telah dia hasilkan dan dimuat di koran, meskipun hanya koran di kotanya. Ia tidak bersemangat lagi untuk mencoba tantangan yang lebih luas, misalnya bertarung dengan penulis-penulis lain yang mengirimkan karyanya ke koran-koran besar. Apalagi ketika ia punya "junior", orang-orang lebih muda yang kerap membaca tulisannya di media lokal itu dan menobatkannya sebagi guru. Dipuja dan disegani. Omongannya didengar. Kadang-kadang suka dimintai komentar oleh wartawan. Kalau mengirim karya ke koran di kotanya, langsung dimuat. Di kotanya, atau di provinsinya, ia orang top. Lama-lama, ia menjadi pejabat di organisasi-organisasi kesenian. Makin bertambahlah wibawanya sebagai seorang seniman, sebagai seorang sastrawan. Pendeknya, ia menjadi raja. Di daerah, bukan tidak sedikit raja-raja semacam itu, mereka yang telah mencapai masa orgasme berkesenian, lalu tidak berselera lagi untuk meningkatkan kemampuanya. Ia merasa tidak perlu mengirim karya-karya ke koran-koran besar, bersaing dengan penulis-penulis lain. Karena di daerahnya ia sudah punya segala hal: karya, wibawa dan nama. Meskipun karya-karya yang dihasilkan begitu-begitu saja, tidak maju, dan tidak pernah memberikan sesuatu yang baru. Ia tidak punya tantangan baru. Ia tidak tertantang untuk membikin karya yang lebih bagus dari karya orang lain agar bisa lolos dari tangan redaktur koran-koran besar itu. Apalagi, ketika satu-dua karya yang dikirimkan ditolak media itu. Akibatnya, ia menjadi stagnan. Kreativitasnya macet. Ia memang mencipta puisi atau menulis cerpen, tetapi tugasnya tidak berbeda lagi dengan tukang. Ya, ia menjadi tukang. Ia hanya menggunakan keterampilannya untuk menulis, tidak lagi mencari, menemukan, dan menemukan hal-hal baru untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan itu. Tak heran kalau tidak ada orang yang mengenalnya. Tidak ada orang yang membicarakan karya-karyanya. Tidak ada orang yang mencatat namanya, kecuali di daerahnya sendiri. Sebab, karya-karyanya hanya milik pembaca di daerahnya, bukan milik pembaca di semesta raya ini. Ia mungkin akan bertolak belakang dengan orang lain, atau mungkin juniornya, yang gemar "mengadu" karya ke koran-koran besar. Ia pelan-pelan punya banyak teman. Ia kerap diundang untuk pertemuan-pertemuan sastrawan atau untuk membaca karya. Karya-karyanya kemudian dibicarakan orang. Jelas, semua itu akan mempengaruhi gairah dan semangatnya untuk berkarya. Ia akan terus mencari dan menemukan, bukan menggunakan apa yang sudah ada. Memang tak mudah untuk menjadi penulis, apalagi menjadi penulis untuk pembaca semesta. Tetapi banyak orang ingin menjadi penulis. Apalagi, ketika dunia tulis menulis melahirkan selebritas-selebritas baru. Melahirkan bintang-bintang baru, yang tak kalah dengan dunia hiburan. Sudah tentu, bukan tulisannya yang membikin dia jadi selebritas. Tetapi karena ia perempuan dan cantik. Wajah atau kecantikan, entah mengapa, dalam dunia sastra menjadi sangat berperan. Cantik dan camera face. Enak dilihat. Hal lain lagi yang akan sangat mendukung, latar belakang, misalnya keluarga tokoh terkenal. Bisa juga ia menjadi teman baik orang-orang terkenal itu. Anggota keluarga orang terkenal akan sangat mudah membuat seorang menjadi terkenal. Tak terkecuali menjadi penulis. Satu lagi, orang kaya. Bagi yang punya uang, bisa dengan mudah menerbitkan sendiri karya-karya yang dihasilkan. Sebab, sekarang sangat sulit menerbitkan karya, apalagi bagi penulis muda. |
(Disampaikan
pada peluncuran buku kumpulan puisi Untuk Bunda dan Dunia,
karya Abdurahman Faiz, 27 januari 2004. Tulisan ini dikutip
dari sebuah mailing list, dengan penyuntingan
seperlunya oleh redaksi ALTERNATIF) Menurut si pengirim, "biarlah urusan politik diurus oleh Pak De Hamzah Haz, Pak De Amin Rais, Bu De Megawati dan Om Kwik Kian Gie". Lebih jauh ia meminta Faiz untuk tidak berpuisi, melainkan bermain sepuas-puasnya sebagaimana anak lain seusia Faiz. Apakah komentar Faiz tentang hal ini? Dia tersenyum. "Lagi-lagi orang dewasa yang tidak demokratis," ujarnya sambil ngeloyor pergi bermain bersama teman-temannya. "Yang nulis seperti itu kan sudah banyak. Aku juga sering menulis hal itu, juga tentang kucingku waktu aku kecil." Kami sendiri terbahak manakala membaca tulisan tersebut. Tanpa disuruhpun Faiz dengan senang hati bermain sepeda, basket, sepak bola gundu, berenang, bahkan kadang-kadang computer games. Dan di luar puisinya yang beredar di internet, sebenarnya Faiz memiliki banyak puisi lain-tentang dunia anak bawah 10 tahun yang disebut-sebut itu. Sejumlah orang menduga Faiz kutu buku dan sangat serius. Tidak. Sejauh ini, ia bahkan lebih suka bermain ketimbang membaca atau menonton televisi. Ia juga humoris dan sangat menikmati masa kanak-kanaknya. Tapi
Faiz gemar bertanya. Rasa ingin tahunya besar. Pada usia empat
tahun, ia bertanya tentang bagaimana bentuk angin, mengapa
Allah tidak "Bunda,
sekarang pura-puranya aku jadi tukang koran ya!" Atau: "Bunda,
sekarang aku jadi anak tukang jual kue ya!" Dan:
"Aku sedang jadi supir Ia
sering bercerita tentang temannya. Kadang teman yang sebenarnya, dan
kadang tentang teman imajinernya. Ketika kami bertanya
tentang Mimis--
anak seumurnya yang diceritakannnya sebagai korban kerusuhan
1998-- Faiz Ia juga mengeluarkan kalimat-kalimat yang tak terduga. "Aku mencintai Bunda seperti aku mencintai surga." Lalu: "Aku ingin Allah mencium ayah bunda dalam tamanNya terindah nanti." Atau: "Bunda, apakah cinta selalu menyediakan airmata?" Kami sering menyediakan waktu panjang untuk sekadar ngobrol dan merekam apa yang diucapkan Faiz sejak ia kecil. Kelak, setelah Faiz duduk di TK, kami menyemangatinya bahwa apa yang ia ucapkan sangat puitis dan bila ditulis akan menjelma puisi yang sangat indah.Pada usia enam tahun, Faiz menjadi montir kecil yang menolong Bundanya mengembalikan file yang tak sengaja terhapus di komputer kami. Ia juga yang mengajari Oma-nya menggunakan fasilitas sms. Ia mengajari om dan tantenya menggunakan kamera digital, PDA dan handycam. Dia masih sering bicara soal cinta dan gemar meledek ayahnya. "Cintaku pada Bunda sebesar Amerika Serikat," katanya suatu ketika. "Kalau cinta Faiz pada ayah?" tanya kami. "Sebesar Timor-timur," jawabnya sambil tergelak-gelak. Pada tahun 2001 itu, Timor-timur sedang jadi berita karena dalam proses lepas dari Indonesia. Saya jadi ingat kecemasan John Naisbitt dalam bukunya 'High Tech, High Touch' tentang orang-orang tua yang kehilangan kendali atas anak-anaknya karena anak-anak mereka lebih fasih dalam teknologi. Saya bersyukur Faiz sejauh ini masih terkendali. Ketika
Faiz memenangkan lomba menulis surat pada presiden, mulai muncul
pertanyaan, "Bagaimana caranya mendidik anak supaya
menjadi seperti
Faiz? Apa yang diajarkan pada Faiz?" Pertanyaan seperti
ini belakangan
semakin sering kami terima, seiring dengan beredarnya
puisi-puisi Faiz
di berbagai mailing list di internet. Puisi-puisi ini beredar
tidak
sengaja karena semula kami edarkan guna kalangan terbatas
untuk Sesungguhnya kamilah yang banyak belajar dari Faiz. Anak ini punya empati besar pada sekitar. Suatu hari ketika kami mengajaknya pergi naik angkutan kota 02 jurusan Cililitan, angkot tersebut berhenti di lampu merah Garuda-Taman Mini. Di sana banyak anak jalanan mengemis dan mengamen. Faiz mencolek bundanya dengan mata basah dan berkata, "Bunda, alasan apa yang menyebabkan kita tidak menaruh mereka semua di rumah kita?" Dan: "Kalau jadi presiden, aku sih akan sering datang melihat mereka." Begitu juga bila ada tukang nasi goreng lewat di tengah malam---dan kebetulan Faiz belum tidur-Faiz akan bertanya, "Bunda, alasan apa yang menyebabkan kita tidak membeli nasi goreng malam ini?" Ketika bundanya berkata, "Nak, ini sudah malam, kita sudah mau tidur. Kita pun sudah makan." Mendengar jawaban itu, Faiz membalikkan badan dan menitikkan airmata. "Apa salahnya sih menolong orang?" Tanpa kami ingatkan, sepertiga uangnya dari hasil lomba atau dari manapun, selalu disumbangkan bagi mereka yang tak mampu. Ketika kami ajak untuk syukuran HUT-nya di Panti Balita, Cipayung, Faiz berkata: "Tidak usah deh. Aku usul kirim makanan enak aja buat mereka. Kan kasihan mereka ulangtahunnya nggak pernah dirayakan, masak aku merayakan di sana?" Kami mendidik Faiz dengan cara yang biasa, sebagaimana cara jutaan orang tua lainnya di Indonesia. Kami membiasakan diri berdialog dengan Faiz, menyajikan pilihan-pilihan yang tersedia baginya, berdiskusi tentang bagaimana ia dapat memilih, menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan seterusnya. Sahabat kami, Santi Soekanto, pernah menasihati kami, jauh sebelum Faiz lahir, agar tidak memperlakukan anak dengan cara yang kekanak-kanakan. Kami bersyukur karena Faiz mudah diajak dialog. Tapi kami lebih bersyukur karena Faiz bukan tipe 'pak turut.' Ia selalu bertanya mengapa begini, mengapa begitu sebelum melakukan sesuatu. Kadang kala memang melelahkan-sampai-sampai sering kami harus mencari referensi tentang hal yang ia tanyakan. Tapi Faiz terlatih untuk melakukan segala sesuatu dengan alasan. Kami mendidik Faiz dengan cara biasa. Karena itu kami miris manakala gelombang pujian berdatangan dari mana-mana, "Faiz anak luar biasa." Kami khawatir pujian berlebihan ini mengecilkan room for error (ruang kesalahan) bagi Faiz. Dalam batas-batas tertentu, Faiz masih butuh belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Kami juga khawatir pujian berlebihan ini membuat orang-orang tua lainnya terhalang untuk memberi kesempatan yang sebesar-besarnya bagi anak mereka masing-masing. Padahal kami yakin jika anak-anak punya kesempatan yang besar untuk mengembangkan dirinya sendiri, niscaya kita akan menyaksikan lebih banyak harapan yang tumbuh bagi Indonesia yang lebih baik. Dan Faiz? Justru karena ia memiliki kepolosan kanak-kanak dan jiwa yang bersih, kami yakin suara dalam puisinya adalah perasaan dan harapan yang sesungguhnya. Kami tak akan pernah memaksa Faiz untuk melakukan sesuatu, namun akan terus mendorong Faiz untuk berkarya dalam lapangan apapun yang ia suka. Kami tak ingin meremehkan kemampuan anak kami atau jutaan anak Indonesia lainnya. Mereka cerdas dan mempunyai potensi yang luar biasa. Tinggal apakah kita mau memperhatikan, mendorong dan memberikan ruang bagi mereka. Kami bangga pada Faiz. Kami sayang padanya dan akan terus bekerja keras mendidik serta mengembangkannya agar ia dapat tumbuh sebagaimana yang Allah Ta'ala kehendaki baginya. Silakan
memberikan saran, kritik atau masukan bagi karya Faiz, Faiz atau
bagi kami.
(Tomi Satryatomo dan
Helvy Tiana Rosa)
|
HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF. Untuk kepentingan bisnis, seperti pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. |