Halaman Empat

ALTERNATIF

Edisi II/Minggu, 8 Februari  2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA FOKUS

SOSOK

SALAM SASTRA 

ESAI

SURAT SASTRA

GALERI PUISI 

 CERPEN

APRESIASI

PUISI PILIHAN

CERPEN PILIHAN

BUKU SASTRA

PUISI PILIHAN

 

 

DOEL CP ALLISAH

Bayang Biru

 

aku telah memasuki lorong panjang hatimu

segala keteduhan, dan bukit-bukit biru debaran

dada

wangimu wahai

mengaliri seluruh urat darahku

mengaliri seluruh ruang jiwaku

engkaukah kasih bayangan

ketakmungkinan pahit yang ternikmat

ketakmungkinan yang melelapkan hasrat?

 

aku telah memasuki lorong panjang hatimu

engkaukah yang menuntunnya

jalan sesat yang kita sesali

atau inilah harus hidup kita

sebelum alirnya membawa luka di tepian

jurang

tasik akhir hidup ini

 

aku telah terlampau jauh memasuki lorong

panjang hatimu (tanpa peduli dimana ujungnya)

atau inikah takdir garis usia kita

ataukah awal perih yang kita persiapkan?

 

hanya engkaulah yang tahu

hanya engkaulah!

 

22 Januari, 2002

 

 

Orkestra Pakem

 

aku tak tahu engkau

aku tak mengenalmu

seharusnya alir air membawa bayang daun

menuruni arus senyum manismu

 

aku tak tahu engkau

dan tak seharusnya mengajakmu

atau membayangkan harum kembang

dalam rimbun tamansari

ah, andai saja kenangan tak selalu membimbing perih

(seperti perangkap tekukur di pasar Ngasem)

dan aku selalu benar dengannya

engkau yang menggamitku

membekap debar dada dalam angan-angan

 

aku tak tahu engkau

aku tak mengenalmu

(walau aroma tubuh menebar anggur sepanjang ruang)

sesuatu telah menghalaumu dalam sesak pejalan kaki

meninggalkan lengkung jauh

dalam semilir angin malam

 

yogyakarta

agustus 2000

 

 

 

 

Ulee Kareng

 

tiba-tiba kaupun mabuk cuaca

dalam sayap asap dan bising knalpot

walau didadamu yang ranum, masih kau simpan

sisa rimbun asamjawa

dimana kita pernah bercerita

tentang pasaran palawija

atau ketika peukansabtu yang purba

diantara rencana peupokleumo ataupun peusabeharga

diantara pasar bakongasoeu dan hiruk pikuk pedagang

obat kakilima

 

tiba-tiba kaupun mabuk cuaca

perlahan wajahmu yang lindap

layu dalam helaan zaman

dalam cekikikan remang cafe-cafe

dalam kepungan tungku pembakaran tempurung

apaseuman

 

suatu ketika (dalam mabuk cuacamu)

lewat jendela warung kopi amatsolong

dimana bau kampungku semakin gamang

aku terawang lekuk tubuhmu (yang tersingkap dadanya)

namun kau, tanpa mengeluh membiarkan siapa saja

menjamahnya

menggumulinya dalam airmataku

 

banda aceh oktober 1998

 

 

 

Di Rotterdam Ketika Mimpi

 

 

di rotterdam, apakah yang bisa kubayangkan lagi

negeri yang dipenuhi rongga-rongga kanal

atau musim salju yang menggigilkan tubuh mungilmu

hingga ke tulang sumsum?

 

di rotterdam pada tahun ketujuh engkau mengirim sebingkai gambar dengan jaket kedodoran dan warna-warna cerah kembang tulip di latar belakang

mengaburkan tatapan tetapan dalam air mata

 

di rotterdam, apakah yang bisa kubayangkan lagi

batas waktukah (yang membedakan malammu)

atau melepaskan engkau melayang dalam pengembaraan tak berpangkal?

 

di rotterdam, berapa jauhkah batas kau, aku?

 

ramadhan 1993

 

 

 

 

Bandung

 

Kabut sore menenggelamkan tubuhmu dalam diam

lingkupi kekaguman yang samar-samar gemetar

setelah berpuluh purnama saling berjanji

menyimpan hasrat yang tak pernah selesai

 

Kabut sore menenggelamkan tubuhmu dalam diam

kita pun tercekam

memahami makna pertemuan-pengertian, atau inikah

pertanda sempurna keheningan dan riuh angin di pohon-pohon

di ranting-ranting yang dihanguskan terik siang?

 

Kabut sore menenggelamkan tubuhmu dalam diam

aku pun menjadi paham

betapa kental kerinduan, setelah berpuluh purnama

saling menanti

dipertautkan sepanjang malam!

 

Dago, Januari 1993

 

 

 

 DoeL CP. Allisah dilahirkan di Banda Aceh, 3 Mei 1961.Suami cerpenis Nani HS ini dikenal sebagai wartawan yang pernah bekerja di berbagai media massa. Terakhir bekerja sebaagi reporter Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan kontributor sebuah media asing.

CERPEN PILIHAN:

Bingung

HASYIM KS

 

Ternyata bukan kita di dunia saja yang bigung akhir-akhir ini.  Para malaikat pun di wilayahnya banyak yang bingung. Yang paling bingung adalah Malaikat, yang mengurus hidup matinya manusia di bumi. Dengan sebuah buku catatan di tangan, akhir-akhir ini beliau tidak tetap duduknya. Kepada pembantu-pembantunya, Malaikat mengeluh bahwa manusia-manusia yang mati dan datang melapor meminta tempat di alam barzah sangat sulit dikenali.

Nomor urutnya sudah tak tentu lagi. Nomor panggilan mereka bukan lagi dari atas, bahkan yang jauh di bawah pun datang melapor minta disediakan tempat.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” serunya kepada beberapa anggota.

“Kami juga bingung wahai malaikat,” jawab mereka.

“Kalau begitu mari ikut saya.”

Mereka menuju ke tempat antrian para “tamu” yang sudah berhari-hari menunggu giliran untuk mendapat tempat. Luar biasa ramainya. Mereka berdiri berkelompok-kelompok dengan wajah harap-harap cemas. Malaikat mulai memeriksa.

“Yang ini kelompok dari mana?” tanya Malaikat.

“Dari Maluku,” suara menjawab serentak.

“Yang ini?”

“Kami dari Papua.”

“Kalian?”

“Kami dari Kalimatan Tengah.”

“Kalian?”

“Kami dari Aceh.”

“Wah ini langganan lama,” bisik Malaikat.” Aceh adalah langganan yang lama telah kita kenal semenjak perang melawan Kumpeni Belanda di abad lalu. Padahal mereka hidup di satu kawasan bernama Indonesia.”

Malaikat menggeleng-geleng, sembari berucap: “Bagaimana mungkin. Negara Indonesia itu telah ditakdirkan Tuhan terletak di bawah garis edar matahari yang memberi kelimpahan cahaya sepanjang tahun. Negeri yang bukan terdiri dari tanah benua yang menyatu seperti negeri-negeri tetangganya. Tuhan telah menentukan bahwa negeri itu dijadikan dalam bentuk pulau-pulau agar air laut dapat menyusup ke celah-celahnya, agar mereka dapat memanfaatkan keberadaan laut yang didalamnya bukan saja memiliki ikan tapi juga barang tambang yang mampu meningkatkan kehidupan warganya secara adil. Yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang bukan saja pandai omong tapi mampu berbuat bijaksana dengan memanfaatkan otak. Karena dari memakan hasil bumi yang makmur secara halal, akan mampu menggerakkan energi otak untuk berkiprah kepada warganya secara positif”.

“Tapi justru di sana pulalah akhir-akhir ini terjadi bencana ya Malaikat,” jawab para anggota serentak. “Dan dampaknya membias juga ke tempat kita dengan berduyun-duyunnya mereka yang mati datang dari negeri makmur tersebut. Datang ke tempat kita meminta tempat istirahat menunggu hari kiamat. Dampaknya, kita bingung jadinya.”

Malaikat menggeleng-geleng lagi. Kemudian menyambung “nah kebingungan kita ini, kita batasi saja. Karena nanti di hari pengadilan, di depan Mahkamah Tuhan, para pemimpin, raja, menteri, wakil rakyat, anggota majelis pengatur rakyat dan mereka-mereka yang seharusnya menjadi khalifah di muka bumi, akan ditanyai Tuhan lebih dahulu. Walau kita batasi kebingungan kita, tapi ada satu kebingungan yang tak dapat kita elakkan saat ini, yakni mereka yang datang ke tempat ini harus disediakan tempat.”

“Bukankah tempat di alam barzah itu cukup luas ya Malaikat?” tanya para anggota.

Malaikat menatap lagi ke buku catatannya, lalu menjawab: “Memang. Tempat tersebut sampai hari terakhir keberadaan bumi yaitu hari kiamat masih mampu menampung. Tapi apakah kita yang mengurus masalah ini harus pula melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan?”

“Ketentuan apa?” tanya para anggota.

“Ya. Mereka yang mati di bumi dan disediakan tempat di alam barzah tersebut adalah mereka yang mati menurut jadwal. Dalam buku ini telah ada nomor urutnya. Yang kacau dan membingungkan kita adalah nomor ini tidak berurutan lagi. Mereka datang berbondong-bondong. Ternyata mereka-mereka di bumi yang bernama Indonesia itu ada yang tak beres. Siapa tahu, mereka potong kompas melaksanakan kematian-kematian di luar jadwal. Itu artinya telah melangkahi wewenang kita.”

Semua anggota terdiam.

Sementara itu, hinggar-binggar dari barisan yang menunggu terus saja berlangsung. bahkan dari barisan tersebut terdengar pertanyaan: “bagaimana Malaikat, apakah di sini berlaku juga KKN?”

“KKN? Apa pula itu?” tanya Malaikat.

“Kami juga kurang maklum ya Malaikat,” jawab mereka, “Karena ketika di bumi kami sangat awam terhadap politik-politikan. Tapi setidaknya yang disebut KKN itu kami terjemahkan sebagai pekerjaan yang memperjuangkan dahulu kepentingan para konco terdekat dan golongan-golongan tertentu.”

“Tempat ini,” seru Malaikat lantang, “adalah tempat dimana keadilan dan kebersamaan dijadikan. Kami tidak pernah menempatkan anak kandung atau anak tiri dalam penunjukkan tempat istirahat kalian.”

“Tapi yang kemarin-kemarin kok ada yang mendapat tempat, apa bedanya dengan kami?”

“Nah, disini kalian bingung juga kan? Mereka yang nomor panggilnya secara berurutan dan tiba saat gilirannya datang kemari, merekalah yang berhak mendapat tempat.”

Suasana hening.

Malaikat dan anggotanya yang bingung meninggalkan tempat yang bersuasana bingung itu setelah berseru kepada pengantri: “Kalian tunggu, kami akan bermusyawarah, mencari solusi menyelesaikan kebingungan ini.”

Rombongan saling melihat sesama mereka. Di setiap wajah tergores rasa ketidakpercayaan. Salah seorang pimpinan rombongan bertanya:” Apakah di tempat ini sama juga seperti di negeri kita?”

“Maksudnya?” tanya yang lain.

“Apakah di sini berlaku juga tatakrama untuk duduk bermusyawarah antar sesama malaikat?”

“Sulit juga untuk dijawab,” seru yang lain hampir serentak.

Sementara itu di suatu tempat ternyata memang Malaikat dengan anggotanya duduk bermusyawarah. Malaikat angkat bicara: “Di tempat kita ini barangkali inilah untuk pertama kali kita duduk bermusyawarah. Istilah tersebut sebenarnya tak ada dalam kamus tugas kita, karan apa yang kita kerjakan memang sudah teratur. Tapi ternyata entah zaman di bumi sudah berubah, kita pun terkena biasnya, maka penyakit mereka yang namanya bingung itu hadir di tengah-tengah kita di sini.”

Lalu yang namanya musyawarah itu berlangsung juga. Hanya bedanya tidak ada istilah alot dalam mengambil keputusan. Usai musyawarah, Malaikat bersama anggotanya kembali berada di kelompok tamu bumi yang bahkan ternyata sudah bertambah banyak lagi.

Suasana hening. Para mantan manusia dari Indonesia ini kembali berharap-harap cemas. Bahkan mencurigai musyawarah para malaikat tadi hanya sebagai basa-basi saja atau setidaknya sebagai sandiwara sebagaimana yang sering mereka rasakan di bumi.

Lalu berserulah Malaikat: “Dalam sesaat ini kami tetapkan siapa-siapa di antara kalian yang memang pendapat giliran datang kemari dan siap yang tidak...”

Begitu Malaikat berhenti berseru, maka rombongan ramai tadi secara menakjubkan terpisah dalam dua bagian.

Malaikat melanjutkan seruannya: “Yang rombongan kanan, harap berjalan ke arah sana. Kalian memang sudah waktunya berada di alam barzah menunggu untuk hari penentuan kelak. Dan yang rombongan kiri, karena belum gilirannya untuk melaporkan kemari, harap kembali ke bumi”...

Terdengar serentak gumam yang membahana dari rombongan itu.

“Jangan segan-segan kembali ke tempat kalian masing-masing di bumi. Hal begini memang sering terjadi, dimana orang yang sudah mati tiba-tiba hidup kembali. Di bumi, kejadian tersebut disebut mati suri. Pulanglah dan masuk kembali ke raga kalian masing-masing dan tunggu panggilan yang sebenarnya dari kami. Sudah pasti kalian akan mendapat tempat di sini kelak.”

Begitu selesai berseru, Malaikat dan para anggotanya lenyap dari pandangan.

Lalu tak ada dialog lagi.

Hening.

Mereka mantan manusia yang muncul secara prematur tersebut kembali turun ke bumi. Tapi ternyata kebingungan ini tidak berakhir. Baik yang menimpa mereka yang disuruh pulang itu maupun kelompok para malaikat. Karena beberapa hari kemudian (menurut Waktu Bumi), mereka muncul kembali ke tempat para malaikat.

“Hei kok kembali?” tanya Malaikat.

“Gawat suasana di bumi wahai Malaikat. Ternyata tubuh-tubuh kami tak dapat kami masuki lagi. Ada diantara kami sampai ratusan banyaknya tak memiliki lagi kepala. Ada pula yang ketika mau masuk ternyata isi perut sudah dimakan binatang buas karena mayat dibuang di dalam hutan. Ada pula yang tak mungkin dimasuki lagi karena ternyata ada mayat yang dibungkus dalam kantong plastik, dibuang ke tengah laut. Dan ketika diketemukan oleh para nelayan, mayat tersebut hanya tinggal kerangka saja.”

Malaikat dan para anggotanya kembali bingung. Setelah hening sejenak maka Malaikat menjawab: “Menurut pengalaman orang-or_ang di bumi, kalau matinya memang belum waktu dan jasadnya tak dapat dimasuki lagi, maka mereka akan bergentanyangan untuk menunggu tiba saat kematiannya yang tepat waktu. Kalau di bumi disebut sebagai hantu yang kerjanya bertualang menunggu manusia hidup. Nah, kalian kembali ke bumi untuk menjadi hantu. Nasihat kami adalah bahwa kalian jangan tanggung-tanggung bertindak sebagai hantu. Tapi harus tertib dan disiplin. Kalian kalian karena kalian adalah makhluk halus yang mampu menyusup sampai ke ranjang tidur mereka. Ke kantor mereka. Ke markas-markas mereka. Kalian sekarang sudah kebal terhadap senjata apapun. Cekik mereka satu persatu sampai mampus. Kalau perlu seisi rumah mereka kalian ganggu. Kami pikir itulah kerja yang lebih baik untuk kalian sembari menunggu giliran kalian dipanggil kemari secara prosedur resmi. Sekian. Selamat bertugas.”

Para malaikat lenyap. Kemudian rombongan mantan manusia dari bumi tersebut bubar. Yang barangkali akan mengemban tugas mereka untuk mencari sasaran balas dendam tanpa perlu merasa bingung lagi.

(Banda Aceh, Maret 2001)

 

HASYIM KS, Hasyim KS, lahir di Lhokpaoh Tapaktuan 21 Juli 1940. Bekas redaktur budaya Serambi Indonesia ini meninggal di Lhokpaoh, Aceh Selatan, Selasa 13 Januari 2004. Ia seorang penyair, cerpenis, penulis novel dan ahli foklor Aceh.  Karya-karnya tersebar di berbagai media dan sejumlah buku antologi bersama.

MAKLUMAT: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dengan menyebut sumber.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. 

web design by: musismail