Halaman Empat

ALTERNATIF

Edisi 05/2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA INDEKS

REFLEKSI

REDAKSI

SALAM SASTRA

NOVEL

GALERI PUISI

CERPEN

PUISI PILIHAN

CERPEN  PILIHAN

PUISI PILIHAN

 

NURDIN F.JOES:
SIAPA YANG BAKAR TANAH KAMI


Siapa yang bakar tanah kami
apinya melalap tempat mengaji
pondok yang dibangun dengan sedekah 
demi sedekah
dari segenggam beras dan satu kilo padi
selesainya lama sekali
menanti bertahun-tahun.
Di sini anak kami belajar alif, ba, 
belajar mencium sajadah
tegak lurus menghadap Ka'bah
kiblat yang satu
menyapa sang Khalik yang satu
mengirimkan salam kepada Muhammad 
Di sini kami belajar mengenal 
wajah rasul-rasul yang lain
siapa ibu bapanya
garis mana keturunannya;
apa pula mukjizatnya.
Di sini kami kenal keramat ibu-ibu
kami tatap butir-butir peluh orangtua
yang menabung harta benda
untuk pendidikan anak-anaknya.
Di sini kami belajar mencintai guru-guru
yang mencurahkan kasih sayang
saat memberikan pelajaran dan peta agama.
Kami juga belajar siapa tetangga
belajar budi pekerti.

Siapa yang bakar tanah kami
apinya melalap gedung sekolah
dibangun dalam rentang waktu lama
dengan swadaya, jerih tenaga rakyat,
dan dana negara
seleasainya pun sangat lama
di sini kami belajar a, b, c, 
mengenal nama sendiri
mengenal tanggal lahir
mengenal peta bumi
memahami negeri orang 
dan negeri sendiri
bila suatu saat tersesat tahu ke mana kembali.
Di sini kami belajar bela negara
mengenal warna merah dan putih
memayungi nusantara
satu di antara republik terbesar di dunia
negeri padat penduduk
ratusan suku bangsa
ratusan bahasa berbeda 
puluhan ribu pulaunya


Siapa yang bakar tanah kami
apinya menghanguskan rumah rakyat 
dibangun sedikit sedikit 
dengan tenaga tangan sendiri
mengumpulkan sepotong-sepotong kayu;
satu zak satu zak semen
pasir pun diangkut sendiri.
Di sini kami beribadah memberi keturunan
mengajar adab dan sopan santun
mengenal tamu-tamu
orang kampung sendiri
orang orang pendatang
yang sama derajatnya dalam al-Quran.
Dari rumah ini pula
langkah kami ayunkan pagi hari
demi membangun hari depan
menuju taman pendidikan
menuntut ilmu
menuju laut lepas
mengais harapan di lautan
menuju ladang-ladang
agar stok pangan tak akan putus
menuju hutan hutan 
mengharap rezeki asal rerimba.

Siapa yang bakar tanah ini
apinya membakar guru sekolah 
yang sedang mendayung sepeda
menuju madrasah 
tempat putra putri bangsa belajar membaca
mengeja warna warni angkasa
memimpikan cita-citanya
tentang sekolah tinggi Syiah Kuala 
dan IAIN Ar-Raniry di Darussalam
Universitas Sumatera Utara di Tanah Batak
Universitas Indonesia di ibukota
Universitas Gajah Mada di Tanah Jawa
Universitas Udayana di Tanah Hindu
Universitas Hasanuddin di Tanah Bugis 
Universitas Mataram di Pulau Lombok
Universitas Cendrawasih di Tanah Papua
Universitas Lambung Mangkurat di Kalimantan.
Besar sekali cita-cita kami
dapat bersekolah di Universitas Malaya
atau Universitas Harvard di Amerika
Universitas Sorbone di Prancis
Universitas Kairo di Mesir
Universitas Monash di Australia
dan ribuan sekolah tinggi lainnya.

Siapa bakar tanah kami
apinya membakar teungku-teungku
yang sedang mengajarkan agama di pesantren
sedang mengajar tajwid al-Quran 
agar rakyat tidak tersesat
ketika merantau ke negeri orang
dan bila pun terlupa dapat beristighfar
dan bila pun hanyut di lautan lepas
mampu bererenang melawan ombak
kemudian selamat kembali.

Siapa yang bakar tanah kami
apinya membakar tubuh rakyat
yang sedang menjala ikan
di laut lepas
yang sedang naik gunung 
mencari rotan
yang sedang membajak sawah
di tengah ladangnya.
Kami pun roboh satu satu 
darahnya mengalir
tangisan demi tangisan keras terdengar
dari anak-anak
dan para isteri
yang ayahnya terjungkal
yang suaminya tersungkur

Siapa yang bakar tanah kami
apinya menghanguskan polisi
dari pangkat rendah dan tinggi
mereka tewas disambar puluru
demi membela merah putih
merekatkan nusa bangsa
menyelamatkan Indonesia Raya.
Ketika roboh di tanah
anak-anaknya keras menangis
istri-istrinya keras meratap
tangis itu sama sekali tak sebanding
dengan nyawa yang melayang
ratap dan tangis itu 
tidak sebanding dengan pangkat anumerta
yang diberikan atas jasanya.

Siapa yang bakar tanah kami
apinya membakar tubuh tentara
dari tingkat prajurit sampai perwira
mereka terkulai mencium tanah
tersambar timah panas
dalam menjalankan tugas negeri
menyelamatkan proklamasi.
Ketika roboh di bumi
anak-anaknya keras menangis
istri-istrinya keras merintih
tangis dan rintih itu
tidak sebanding dengan tanda jasa
yang diumumkan oleh negara.

Siapa yang saling membenci
siapa yang memercikkan api,
siapa yang membakar tanah kami

siapa lagi yang akan membenci
kapan api padam di tanah ini.

Banda Aceh, Juli - September 2003
(kepada Indonesia 58 tahun)

 

NURDIN F.JOES, Pemenang Lomba Cipta Puisi untuk Kemerdekaan Namibia (Toward Namibian Independence) yang diselenggarakan kantor penerangan PBB di Jakarta pada 1987 ini rajin mengumpulkan karyanya menjadi buku, Surat dari Belantar (1988), Sengketa (1990), dan Langkah Ketiga (1994). Di samping itu, sekian puisi penyair produktif ini tersebar di sejumlah media cetak dan buku kumpulan bersama. 

 

CERPEN PILIHAN 

Tongkat Musa
KURNIA EFFENDI

Pulang dari kantor, dia temukan sebatang tongkat di dekat lemari jam. Dia memang biasa menggantungkan jas dan dasi di kapstock sebelah lemari jam. Dengan demikian, wajarlah jika keberadaan tongkat itu langsung diketahuinya. Terbuat dari galih kayu, tampak kuat sosoknya. Ujung melengkung seperti layaknya tongkat penyangga tubuh tua seorang kakek. Bukan tongkat baru, karena tak tampak lagi bekas serutan.

Segera dia memanggil isterinya. Adzan maghrib baru saja mengalun dari surau sebelah rumah, tentu isterinya sedang shalat. Tapi dia mendengar suara kericik air dari dalam kamar-mandi. Mungkin isterinya sedang mengambil air wudlu. Sambil menunggu, dia melepas sepatu, mencari sarung, dan mencuci tangan di washtafel.

Kakinya diselonjorkan di sofa, seraya meraih koran yang baru sebagian dibaca pagi tadi. Namun, rasa kantuk menyergap. Kemacetan jalan raya membuat tubuhnya letih. Itulah yang acap terjadi, jalan tersendat-sendat sejak keluar dari gedung kantornya sampai ke kompleks perumahan. Apalagi ini hari Jumat. Hampir semua orang berebut pulang tepat waktu untuk sebuah week-end.

Tiba-tiba ia merasa dibangunkan oleh Asyiah, isterinya. "Mandilah supaya segar. Sehabis shalat kita makan malam. Ada anggur kesukaan ayah sebagai pencuci mulut."

"Oh, kenapa aku tertidur di sini?" Dia seperti menyadari sebuah kesalahan. Matanya memperhatikan sekitar, lampu-lampu telah menyala terang, berkilat dipantulkan dinding marmer. "Apakah ada yang tahu aku tertidur?"

"Tak seorang pun melihat. Bukankah rumah kita memiliki dinding berlapis-lapis?" ujar Asyiah menenangkan. "Apakah perlu kujerang air untuk berendam?"

Dia mengangguk dan bangkit dari sofa berlapis kulit bulu domba. Berjalan ke arah kamar mandi yang dipenuhi bau rempah. Kesegaran mulai bangkit dengan menghirup aroma yang sedap. "Uh, betapa melelahkan menjadi penguasa. Apa lagi yang harus kutitahkan besok kepada orang banyak?" bisiknya perlahan. Dia menatap cermin di kamar mandi. Memandang wajah keras dengan torehan kewibawaan. Tapi dia juga tahu, di balik sepasang mata yang garang itu tersembunyi ketakutan.

"Ayah, segeralah wudlu. Waktu maghrib hampir habis." Isterinya mengingatkan.

Shalat? Tubuhnya terasa gemetar. Rupanya inilah sumber ketakutan itu. Berulangkali sang isteri memintanya shalat, tapi dia selalu merasa orang lainlah yang harus menyembahnya. Ia paling berkuasa di negeri ini. Seluruh sabdanya menjadi hukum dan undang-undang. Apa pun yang dikehendaki tinggal menyebutkan. Semua tunduk di hadapannya, tak berani menatap matanya, kecuali ingin dihukum. Langkah kakinya membuat segenap orang di negeri ini berdebar dan was-was. Hanya satu yang ternyata tak sanggup dia taklukkan: isterinya yang jelita dan tiada banding di seluruh penjuru.

Setiap kali dia hendak menyentuh tubuh Asyiah di ambang ranjang, selalu muncul jarak tak terlampaui. Ia akan menatap nanar tubuh molek itu, bergetar sebelum sampai waktunya, dan lunglai tak berdaya di sisi ranjang. Ia akan senantiasa mengalami ejakulasi dini, dan akhirnya mengatakan: "Aku terlalu banyak minum anggur malam ini...."

Bertahun-tahun perkawinan itu dijalani dengan kesunyian sebuah kamar tidur. Wangi tubuh Asyiah memenuhi ruang, menggoda nafsunya, namun tak sampai ujung jarinya meremas lengan langsat itu, dia terkulai dengan igauan tak tentu arah. Ia meraung seperti singa, namun akhirnya rubuh di atas sprei yang kusut. Asyiah hanya tersenyum, dan dengan suara yang manja memintanya untuk shalat.

Airmatanya berlelehan. Ia melupakan dirinya sebagai laki-laki. Ia lihat wajahnya di cermin sebagai seorang pecundang yang tak berguna. Ia memiliki otot-otot keras dan kekuasaan, tapi di rumah ini hanya sanggup mencium bekas telapak kaki Asyiah. Ia akan merasakan orgasme tiada tara setiap tercecap di lidahnya jejak sandal Asyiah yang melangkah dengan gemulai di ubin kemilau.... Oh, betapa malangnya!

Ketukan di pintu kamar mandi membuatnya terjaga dari lamunan. Ia terkesiap, sekaligus terbangun dari tidur singkatnya di sofa dekat lemari jam. Dentang lagu dari lonceng yang menandai waktu setengah tujuh, membuat ia bebas dari mimpi buruknya.

"Oh, rupanya aku tertidur! Hari ini macet luar biasa," keluhnya sambil menegakkan badan. "Aku mau mandi dulu."

"Cepatlah, Mas. Sudah kusiapkan handuk di kamar mandi." Isterinya tersenyum. Sungguh, itu senyum yang menenteramkan. Apa pun problem di kantor, akan pupus begitu terpandang senyum isterinya. Tapi, senyum yang sama adalah semacam teror. "Mau makan dulu atau shalat dulu?"

Shalat? Ia tidak menjawab. Langsung masuk ke balik pintu kamar mandi, dan segera terdengar suara air mengguyur tubuhnya. Hampir satu jam dihabiskan waktu di bawah shower. Waktu shalat pun lewat.

Dengan tubuh wangi, dia duduk di meja makan. Isterinya menuang sayur ke atas piring nasinya. "Cukup?" Dia mengangguk.

Ketika melakukan suapan pertama, matanya tertumbuk pada tongkat di dekat lemari jam. Ah, dia telah melupakannya! "Itu tongkat dari mana?"

"Tongkat?" Isterinya menoleh ke arah mata suaminya memandang. "Oh, tadi seseorang bernama Musa yang mengantarkan. Katanya pesanan ayah?"

"Aku memesan tongkat?" Keningnya berkerut. "Mungkin dia salah alamat...."

"Sebentar aku lihat tanda-terimanya." Isterinya mengambil kertas dari rak buku. Diberikannya kepada suaminya. "Coba baca, di situ tertera nama ayah."

Ia membenarkan. Tapi buat apa memesan tongkat? Terlalu dini jika itu untuk memudahkannya melangkah saat renta nanti. "Namaku bisa saja sama dengan orang lain. Tapi alamatnya tak salah, ini alamat rumah kita. Mungkin hadiah dari seseorang. Siapa tadi yang mengantarkan?"

"Musa."

"Musa? Dia... sekadar kurir atau pembuat tongkat itu?"

Isterinya menggeleng. "Apakah betul-betul ayah tidak memesannya? Mungkin ayah ingin menghadiahkannya kepada seseorang, dan memesan kepada Musa."

Tampak dia mengingat-ingat, tapi tak sebersit pun ingatan yang berkaitan dengan tongkat. Apalagi tongkat Musa. Dan... Musa? Dadanya berdesir. Ia jadi gelisah.

"Kenapa, Mas? Teringat sesuatu mengenai tongkat itu?" isterinya bertanya.

"Tidak. Tidak apa-apa." Ia seperti ingin selekasnya menyelesaikan makan malamnya. "Aku akan menelepon seseorang. Mungkin ia tahu jawabnya."

Itu ucapan sekenanya. Pikirannya diperas, namun tak ada isyarat apa pun tentang tongkat itu. Hanya, saat maghrib tadi, ia bermimpi perihal dirinya sebagai pemimpin sebuah negeri. Pemimpin yang berkuasa penuh dan disembah rakyatnya. Apakah yang dimaksud adalah Fir'aun? Itu yang tadi membuatnya gemetar sesaat. Bagaimanapun, nama Musa terkait erat dengan raja angkuh itu.

Ia memang menelepon beberapa kawan, tapi berbicara hal-hal kantornya. Ia hanya ingin mengalihkan perhatian sang isteri. Di rumahnya tak ada seorang anak pun. Entah siapa yang mandul, namun pada kenyataannya: dari dua belas tahun perkawinan, tidak membuahkan keturunan. Itu pula yang menyebabkan hari-harinya sunyi, selain bercakap-cakap dengan isterinya. Dia sering diminta berdoa untuk mendapatkan anak, tapi untuk shalat pun begitu berat dilakukan. Dengan berbagai cara isterinya membujuk, tapi kekerasan hatinya membuat usaha sang isteri majal. Kini, melalui mimpi buruknya tadi, dia berperan sebagai Fir'aun. Pemimpin negara yang mengaku dirinya Tuhan.

Tengah malam yang ditunggu tiba. Dia pun bangkit dari tempat tidur diam-diam. Isterinya lelap dalam dengkur halus. Dia berjingkat menujuruang tengah, mendapatkan tongkat itu masih di tempatnya. Dihinggapi perasaan ragu, disentuhnya tongkat itu. Digenggam pada bagian yang lengkung. "Tongkat yang bagus!" pujinya dalam bisik. "Siapa yang telah sengaja mengirimnya kemari? Benarkah namanya Musa?"

Dengan penuh perhatian dia mengamati tongkat kayu yang kokoh itu. Pada penampang bulat di bagian bawah, yang senantiasa bertemu tanah jika digunakan untuk melangkah, tertera sebuah tarikh dengan huruf Mesir Kuno. Ia gemetar sekaligus tersenyum. Bisa saja pembuatnya sengaja menuliskan peristiwa ketika Nabi Musa melawan Fir'aun. Tapi seandainya benar, tongkat ini telah lolos dari lorong waktu. Menyeberangi abad demi abad, dan sampai di sini melalui seorang laki-laki yang (mengaku) bernama Musa.

Ada percik sensasi pada matanya, yang mendorongnya membawa tongkat itu ke kamar mandi. Dipandangnya air melimpah di bak mandi yang dia bayangkan sebagai lautan. Tongkat yang dipegangnya penuh konsentrasi itu diayun ke atas air. Dan, srrrt! Air dalam bak itu terbelah menjadi dua bagian, mirip agar-agar kenyal yang diiris oleh sebilah pisau dan disibakkan. Matanya memandang takjub. Setakjub-takjubnya. Ia merasa tak pernah belajar sihir, meskipun film favoritnya adalah serial Charmed.

Tangannya seperti ikut terpukau, kaku dengan tongkat yang kejang. Dia berusaha melihat secara detail bagian-bagian air yang saling memisahkan diri. Sampai tangannya lelah, dan akhirnya tongkat itu diangkat. Dia kembali takjub, ketika sepasang bagian air dalam bak itu menyatu dengan suara debur. Keringat dingin meleleh di leher. Jantungnya berdegup kencang. Dia ingin mengulangi mengayunkan tongkatnya, namun tak berani. Dia merasa ini sebuah cara Tuhan berbicara kepadanya.

Dia melangkah keluar kamar mandi. Ragu, antara menyimpan tongkat itu atau membangunkan isterinya untuk menunjukkan sebuah keajaiban. Akhirnya dia memilih menyimpan pengalaman itu untuk sementara. Dengan pipi penuh airmata, dia pun mengambil air wudlu. Sesuatu yang baru dilakukan sejak dia tinggalkan shalat belasan tahun lalu.

Isterinya terjaga ketika dia sedang bersujud. Lampu temaram memberikan siluet tubuh suaminya. Membungkuk, mencium sajadah, seperti sebongkah hajar aswad. Isterinya mengucap syukur, tanpa bermaksud mengganggu. Dia tetap berbaring dan memandang suaminya diam-diam.

***

Tiba di kantor, dia minta sekretarisnya untuk membuat undangan makan siang di Ancol. Acara ini terasa mendadak, tapi dia ingin seluruh karyawannya bisa hadir. Telah dipesannya tempat di belakang Putri Duyung Cottage, halaman berpasir menghadap laut.

Setelah makan siang, dia bermaksud menyampaikan berita tentang hidayah yang diterimanya semalam. Mungkin akan menjadi pelajaran bagi yang lain. Kesombongan tidak harus dilawan dengan kekerasan. Kesabaran isterinya telah mengirimkan tongkat Musa kepadanya. Tentu, hendak dia buktikan kemampuan tongkat itu membelah lautan.

Pidato singkatnya di depan semua karyawan, seusai makan siang, menerbitkan perasaan haru. Ada beberapa yang meneteskan airmata. Lalu dia mengajak semua karyawan berdiri di tepi pantai. Udara cerah membuat laut tampak kebiru-biruan. Dilolosnya kain putih yang membalut tongkat dari Musa. Sengaja dia tunjukkan tongkat yang diterima kemarin.

"Aku ingin, kita dihindarkan dari penyakit ketakaburan. Kita bukan tandingan Tuhan, jadi sudah kewajiban kita untuk menyembah-Nya. Aku hendak menunjukkan kepada kalian, bahwa iman seseorang akan membuat segalanya mungkin terjadi atas pertolongan Tuhan. Lihatlah apa yang sanggup dilakukan tongkat Musa ini."

Ia pun mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi, dan mengayunkan ke permukaan air pantai yang membasahi sebagian sepatunya.***

Jakarta, 24 Nopember 2002

Cerpen ini dikutip dari Republika  2 Februari 2003

 

KURNIA EFFENDI,   lahir di Tegal, 43 tahun lalu. Karya penyair sekaligus cerpenis ini banyak dimuat di berbagai media massa, di samping dalam sejumlah buku antologi bersama, selain buku kumpulan puisi pribadinya "Kartunama Putih".

HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis.

web design by: musismail