ALTERNATIF |
Edisi
05/2004 |
BERITA | INDEKS | GALERI PUISI |
PUISI PILIHAN |
CERPEN PILIHAN |
PUISI PILIHAN
NURDIN
F.JOES:
NURDIN F.JOES, Pemenang Lomba Cipta Puisi untuk Kemerdekaan Namibia (Toward Namibian Independence) yang diselenggarakan kantor penerangan PBB di Jakarta pada 1987 ini rajin mengumpulkan karyanya menjadi buku, Surat dari Belantar (1988), Sengketa (1990), dan Langkah Ketiga (1994). Di samping itu, sekian puisi penyair produktif ini tersebar di sejumlah media cetak dan buku kumpulan bersama.
|
CERPEN PILIHAN Tongkat
Musa Pulang
dari kantor, dia temukan sebatang tongkat di dekat lemari jam. Dia
memang biasa menggantungkan jas dan dasi di kapstock sebelah lemari jam.
Dengan demikian, wajarlah jika keberadaan tongkat itu langsung
diketahuinya. Terbuat dari galih kayu, tampak kuat sosoknya. Ujung
melengkung seperti layaknya tongkat penyangga tubuh tua seorang kakek.
Bukan tongkat baru, karena tak tampak lagi bekas serutan. Segera
dia memanggil isterinya. Adzan maghrib baru saja mengalun dari surau
sebelah rumah, tentu isterinya sedang shalat. Tapi dia mendengar suara
kericik air dari dalam kamar-mandi. Mungkin isterinya sedang mengambil
air wudlu. Sambil menunggu, dia melepas sepatu, mencari sarung, dan
mencuci tangan di washtafel. Kakinya
diselonjorkan di sofa, seraya meraih koran yang baru sebagian dibaca
pagi tadi. Namun, rasa kantuk menyergap. Kemacetan jalan raya membuat
tubuhnya letih. Itulah yang acap terjadi, jalan tersendat-sendat sejak
keluar dari gedung kantornya sampai ke kompleks perumahan. Apalagi ini
hari Jumat. Hampir semua orang berebut pulang tepat waktu untuk sebuah
week-end. Tiba-tiba
ia merasa dibangunkan oleh Asyiah, isterinya. "Mandilah supaya
segar. Sehabis shalat kita makan malam. Ada anggur kesukaan ayah sebagai
pencuci mulut." "Oh,
kenapa aku tertidur di sini?" Dia seperti menyadari sebuah
kesalahan. Matanya memperhatikan sekitar, lampu-lampu telah menyala
terang, berkilat dipantulkan dinding marmer. "Apakah ada yang tahu
aku tertidur?" "Tak
seorang pun melihat. Bukankah rumah kita memiliki dinding
berlapis-lapis?" ujar Asyiah menenangkan. "Apakah perlu
kujerang air untuk berendam?" Dia
mengangguk dan bangkit dari sofa berlapis kulit bulu domba. Berjalan ke
arah kamar mandi yang dipenuhi bau rempah. Kesegaran mulai bangkit
dengan menghirup aroma yang sedap. "Uh, betapa melelahkan menjadi
penguasa. Apa lagi yang harus kutitahkan besok kepada orang
banyak?" bisiknya perlahan. Dia menatap cermin di kamar mandi.
Memandang wajah keras dengan torehan kewibawaan. Tapi dia juga tahu, di
balik sepasang mata yang garang itu tersembunyi ketakutan. "Ayah,
segeralah wudlu. Waktu maghrib hampir habis." Isterinya
mengingatkan. Shalat?
Tubuhnya terasa gemetar. Rupanya inilah sumber ketakutan itu.
Berulangkali sang isteri memintanya shalat, tapi dia selalu merasa orang
lainlah yang harus menyembahnya. Ia paling berkuasa di negeri ini.
Seluruh sabdanya menjadi hukum dan undang-undang. Apa pun yang
dikehendaki tinggal menyebutkan. Semua tunduk di hadapannya, tak berani
menatap matanya, kecuali ingin dihukum. Langkah kakinya membuat segenap
orang di negeri ini berdebar dan was-was. Hanya satu yang ternyata tak
sanggup dia taklukkan: isterinya yang jelita dan tiada banding di
seluruh penjuru. Setiap
kali dia hendak menyentuh tubuh Asyiah di ambang ranjang, selalu muncul
jarak tak terlampaui. Ia akan menatap nanar tubuh molek itu, bergetar
sebelum sampai waktunya, dan lunglai tak berdaya di sisi ranjang. Ia
akan senantiasa mengalami ejakulasi dini, dan akhirnya mengatakan:
"Aku terlalu banyak minum anggur malam ini...." Bertahun-tahun
perkawinan itu dijalani dengan kesunyian sebuah kamar tidur. Wangi tubuh
Asyiah memenuhi ruang, menggoda nafsunya, namun tak sampai ujung jarinya
meremas lengan langsat itu, dia terkulai dengan igauan tak tentu arah.
Ia meraung seperti singa, namun akhirnya rubuh di atas sprei yang kusut.
Asyiah hanya tersenyum, dan dengan suara yang manja memintanya untuk
shalat. Airmatanya
berlelehan. Ia melupakan dirinya sebagai laki-laki. Ia lihat wajahnya di
cermin sebagai seorang pecundang yang tak berguna. Ia memiliki otot-otot
keras dan kekuasaan, tapi di rumah ini hanya sanggup mencium bekas
telapak kaki Asyiah. Ia akan merasakan orgasme tiada tara setiap
tercecap di lidahnya jejak sandal Asyiah yang melangkah dengan gemulai
di ubin kemilau.... Oh, betapa malangnya! Ketukan
di pintu kamar mandi membuatnya terjaga dari lamunan. Ia terkesiap,
sekaligus terbangun dari tidur singkatnya di sofa dekat lemari jam.
Dentang lagu dari lonceng yang menandai waktu setengah tujuh, membuat ia
bebas dari mimpi buruknya. "Oh,
rupanya aku tertidur! Hari ini macet luar biasa," keluhnya sambil
menegakkan badan. "Aku mau mandi dulu." "Cepatlah,
Mas. Sudah kusiapkan handuk di kamar mandi." Isterinya tersenyum.
Sungguh, itu senyum yang menenteramkan. Apa pun problem di kantor, akan
pupus begitu terpandang senyum isterinya. Tapi, senyum yang sama adalah
semacam teror. "Mau makan dulu atau shalat dulu?" Shalat?
Ia tidak menjawab. Langsung masuk ke balik pintu kamar mandi, dan segera
terdengar suara air mengguyur tubuhnya. Hampir satu jam dihabiskan waktu
di bawah shower. Waktu shalat pun lewat. Dengan
tubuh wangi, dia duduk di meja makan. Isterinya menuang sayur ke atas
piring nasinya. "Cukup?" Dia mengangguk. Ketika
melakukan suapan pertama, matanya tertumbuk pada tongkat di dekat lemari
jam. Ah, dia telah melupakannya! "Itu tongkat dari mana?" "Tongkat?"
Isterinya menoleh ke arah mata suaminya memandang. "Oh, tadi
seseorang bernama Musa yang mengantarkan. Katanya pesanan ayah?" "Aku
memesan tongkat?" Keningnya berkerut. "Mungkin dia salah
alamat...." "Sebentar
aku lihat tanda-terimanya." Isterinya mengambil kertas dari rak
buku. Diberikannya kepada suaminya. "Coba baca, di situ tertera
nama ayah." Ia
membenarkan. Tapi buat apa memesan tongkat? Terlalu dini jika itu untuk
memudahkannya melangkah saat renta nanti. "Namaku bisa saja sama
dengan orang lain. Tapi alamatnya tak salah, ini alamat rumah kita.
Mungkin hadiah dari seseorang. Siapa tadi yang mengantarkan?" "Musa."
"Musa?
Dia... sekadar kurir atau pembuat tongkat itu?" Isterinya
menggeleng. "Apakah betul-betul ayah tidak memesannya? Mungkin ayah
ingin menghadiahkannya kepada seseorang, dan memesan kepada Musa." Tampak
dia mengingat-ingat, tapi tak sebersit pun ingatan yang berkaitan dengan
tongkat. Apalagi tongkat Musa. Dan... Musa? Dadanya berdesir. Ia jadi
gelisah. "Kenapa,
Mas? Teringat sesuatu mengenai tongkat itu?" isterinya bertanya. "Tidak.
Tidak apa-apa." Ia seperti ingin selekasnya menyelesaikan makan
malamnya. "Aku akan menelepon seseorang. Mungkin ia tahu
jawabnya." Itu
ucapan sekenanya. Pikirannya diperas, namun tak ada isyarat apa pun
tentang tongkat itu. Hanya, saat maghrib tadi, ia bermimpi perihal
dirinya sebagai pemimpin sebuah negeri. Pemimpin yang berkuasa penuh dan
disembah rakyatnya. Apakah yang dimaksud adalah Fir'aun? Itu yang tadi
membuatnya gemetar sesaat. Bagaimanapun, nama Musa terkait erat dengan
raja angkuh itu. Ia
memang menelepon beberapa kawan, tapi berbicara hal-hal kantornya. Ia
hanya ingin mengalihkan perhatian sang isteri. Di rumahnya tak ada
seorang anak pun. Entah siapa yang mandul, namun pada kenyataannya: dari
dua belas tahun perkawinan, tidak membuahkan keturunan. Itu pula yang
menyebabkan hari-harinya sunyi, selain bercakap-cakap dengan isterinya.
Dia sering diminta berdoa untuk mendapatkan anak, tapi untuk shalat pun
begitu berat dilakukan. Dengan berbagai cara isterinya membujuk, tapi
kekerasan hatinya membuat usaha sang isteri majal. Kini, melalui mimpi
buruknya tadi, dia berperan sebagai Fir'aun. Pemimpin negara yang
mengaku dirinya Tuhan. Tengah
malam yang ditunggu tiba. Dia pun bangkit dari tempat tidur diam-diam.
Isterinya lelap dalam dengkur halus. Dia berjingkat menujuruang tengah,
mendapatkan tongkat itu masih di tempatnya. Dihinggapi perasaan ragu,
disentuhnya tongkat itu. Digenggam pada bagian yang lengkung.
"Tongkat yang bagus!" pujinya dalam bisik. "Siapa yang
telah sengaja mengirimnya kemari? Benarkah namanya Musa?" Dengan
penuh perhatian dia mengamati tongkat kayu yang kokoh itu. Pada
penampang bulat di bagian bawah, yang senantiasa bertemu tanah jika
digunakan untuk melangkah, tertera sebuah tarikh dengan huruf Mesir
Kuno. Ia gemetar sekaligus tersenyum. Bisa saja pembuatnya sengaja
menuliskan peristiwa ketika Nabi Musa melawan Fir'aun. Tapi seandainya
benar, tongkat ini telah lolos dari lorong waktu. Menyeberangi abad demi
abad, dan sampai di sini melalui seorang laki-laki yang (mengaku)
bernama Musa. Ada
percik sensasi pada matanya, yang mendorongnya membawa tongkat itu ke
kamar mandi. Dipandangnya air melimpah di bak mandi yang dia bayangkan
sebagai lautan. Tongkat yang dipegangnya penuh konsentrasi itu diayun ke
atas air. Dan, srrrt! Air dalam bak itu terbelah menjadi dua bagian,
mirip agar-agar kenyal yang diiris oleh sebilah pisau dan disibakkan.
Matanya memandang takjub. Setakjub-takjubnya. Ia merasa tak pernah
belajar sihir, meskipun film favoritnya adalah serial Charmed. Tangannya
seperti ikut terpukau, kaku dengan tongkat yang kejang. Dia berusaha
melihat secara detail bagian-bagian air yang saling memisahkan diri.
Sampai tangannya lelah, dan akhirnya tongkat itu diangkat. Dia kembali
takjub, ketika sepasang bagian air dalam bak itu menyatu dengan suara
debur. Keringat dingin meleleh di leher. Jantungnya berdegup kencang.
Dia ingin mengulangi mengayunkan tongkatnya, namun tak berani. Dia
merasa ini sebuah cara Tuhan berbicara kepadanya. Dia
melangkah keluar kamar mandi. Ragu, antara menyimpan tongkat itu atau
membangunkan isterinya untuk menunjukkan sebuah keajaiban. Akhirnya dia
memilih menyimpan pengalaman itu untuk sementara. Dengan pipi penuh
airmata, dia pun mengambil air wudlu. Sesuatu yang baru dilakukan sejak
dia tinggalkan shalat belasan tahun lalu. Isterinya
terjaga ketika dia sedang bersujud. Lampu temaram memberikan siluet
tubuh suaminya. Membungkuk, mencium sajadah, seperti sebongkah hajar
aswad. Isterinya mengucap syukur, tanpa bermaksud mengganggu. Dia tetap
berbaring dan memandang suaminya diam-diam. ***
Tiba
di kantor, dia minta sekretarisnya untuk membuat undangan makan siang di
Ancol. Acara ini terasa mendadak, tapi dia ingin seluruh karyawannya
bisa hadir. Telah dipesannya tempat di belakang Putri Duyung Cottage,
halaman berpasir menghadap laut. Setelah
makan siang, dia bermaksud menyampaikan berita tentang hidayah yang
diterimanya semalam. Mungkin akan menjadi pelajaran bagi yang lain.
Kesombongan tidak harus dilawan dengan kekerasan. Kesabaran isterinya
telah mengirimkan tongkat Musa kepadanya. Tentu, hendak dia buktikan
kemampuan tongkat itu membelah lautan. Pidato
singkatnya di depan semua karyawan, seusai makan siang, menerbitkan
perasaan haru. Ada beberapa yang meneteskan airmata. Lalu dia mengajak
semua karyawan berdiri di tepi pantai. Udara cerah membuat laut tampak
kebiru-biruan. Dilolosnya kain putih yang membalut tongkat dari Musa.
Sengaja dia tunjukkan tongkat yang diterima kemarin. "Aku
ingin, kita dihindarkan dari penyakit ketakaburan. Kita bukan tandingan
Tuhan, jadi sudah kewajiban kita untuk menyembah-Nya. Aku hendak
menunjukkan kepada kalian, bahwa iman seseorang akan membuat segalanya
mungkin terjadi atas pertolongan Tuhan. Lihatlah apa yang sanggup
dilakukan tongkat Musa ini." Ia
pun mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi, dan mengayunkan ke permukaan
air pantai yang membasahi sebagian sepatunya.*** Jakarta,
24 Nopember 2002 Cerpen ini dikutip dari Republika 2 Februari 2003
KURNIA EFFENDI, lahir di Tegal, 43 tahun lalu. Karya penyair sekaligus cerpenis ini banyak dimuat di berbagai media massa, di samping dalam sejumlah buku antologi bersama, selain buku kumpulan puisi pribadinya "Kartunama Putih".
|
HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF. Untuk kepentingan bisnis, seperti pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. |