ALTERNATIF |
Edisi05/2004 |
GALERI PUISI PUISI-PUISI DARI ACEH
Maskirbi TARIAN SUNYI
Ada yang menari di kesunyian malam ketika kutanyakan, tarian apa itu "tarian sunyi," katanya "mari ikut menari," ajaknya lalu kami menari dengan irama degup jantung kami berputar-putar melingkari angin, semakin cepat putaran kami, semakin kecil lingkaran kami lenguh nafas, ketip jari, hentak kaki; hempas lengan, degup jantung menjadi nyanyian. ketika kutanyakan nyanyian apa itu "nyanyian dzikri" ucapnya "ayo erus menari, ayo nyanyian dzikir ajaknya ia peluk tubuhku dan mempercepat tarian kami sampai tak ada suara, kecuali angin, kecuali sunyi kami menjadi angin terapung di lautan udara, lain menjadi sunyi. Aku tak bertanya lagi, kecuali terus Menari sampai telanjang di dalam sunyi?
Fikar W.Eda BIARKAN
KAMI biarkan
kami tegak di sini biarkan
kami tegak di sini biarkan
kami tegak di sini biarkan
kami tegak di sini biarkan
kami di sini biarkan
kami di sini jangan
paksa kami minum anggur kami
bukan batu keramat Jakarta, April 1998 AA Manggeng DINIHARI
DI TAMAN KAMBOJA Bunga
kamboja berguguran di sebuah pedalaman Bunga
kamboja berguguran di sebuah pedalaman Pohon
kamboja yang tumbuh di taman kita Kamboja,
bunga kamboja (ACEH,
3 Pebruari 1999) Wiratmadinata BiOGRAFI
MERDEKA Kembang
taman yang kita semai bersama Nyanyian-nyanyian
kita juga, Impian-impian
kita pun, Aku
senantiasa ingin memastikan, Kembang
setaman, Wahai
langit dan angkasa yang terbuka, Aceh, 1999. Budi Arianto PAMPLET DI HARIAN PAGI II
menyimak berita pagi negeri ini adalah air mata banjiri ladang-ladang kering hanyutkan mimpi mengusir burung-burung pipit dan kuncup kembang berserak di hempas angin
Banda Aceh 1993
Din
Saja KEPADA SAUDARAKU ORANG MELARAT Sekarang
katakan pada mereka, kami
penguasa, pemegang amanah kita katakan
bahwa kita, orang-orang pemilik kekuasaan, memang
sedang dimelaratkan oleh sesuap nasi memang
sedang diperdayakan dalam bersikap, tapi
kini, katakan segera kepada mereka, kami
penguasa, pemeras hidup kita, katakan
segera bahwa kita, pemilik kekuasaan, kami
akan menolak setiap pemberian yang
menjatuhkan martabat kemanusiaan kami
nyatakan. Banda
Aceh, 31 Oktober 2002
TENTANG PENYAIR Maskirbi, AA Manggeng, Fikar W Eda, Wiratmadinata, Budi Arianto, dan Din Saja, adalah para penyair Aceh. Karya-karya mereka tersebar di sejumlah media massa dan dalam sejumlah buku kumpulan antologi bersama. |
CERPEN
Pipit
Tak Selamanya Luka
Akhirnya apa yang selama ini ditakuti Selly terjadi. ''Selly, maukah kamu menjadi menantu ibuku?'' tanya Abdul Halim seusai mereka melatih anak-anak Taman Pendidikan Alquran (TPA) yang diadakan di masjid kampus. Meskipun sudah berbulan-bulan Selly bersiap-siap jika suatu hari Abdul Halim bicara soal cinta, tak urung dia tergagap juga. ''Apa?'' tanyanya. Dada Selly mendadak berguncang keras. Angin Bogor yang nakal membuat wajahnya yang pias menjadi pucat pasi. Sekuntum bunga kaliandara jatuh di jilbab putihnya. ''Aku ingin memperistrimu, jika kamu memang masih belum punya calon,'' kata Abdul Halim tegas. Senja baru saja menggelar sayapnya di ufuk barat. Rona merah membias langit. ''Dul, aku aku belum pernah memikirkan hal itu,'' sahutnya terbata-bata. ''Kalau begitu, pikirkanlah. Masih ada waktu. Saat wisuda bulan depan, aku berharap sudah ada kepastian.'' "Kenapa?'' ''Karena Nyak dan Babeku udah enggak sabar minta dicarikan menantu yang cantik dan solehah.'' Pertanyaan Abdul Halim mengusik ketenangan batin Selly. Membuatnya tak bisa tidur walau sedetik. Malam terasa panjang. Hanya suara jengkerik membelah sepi. Jerit burung malam seakan mengerti perasaan seorang anak manusia yang sedang dirundung kegalauan. Mereka mulai akrab sejak setahun lalu, ketika sama-sama terlibat dalam kegiatan dakwah di masjid. Abdul Halim anak Perikanan, sedangkan Selly, Teknologi Pertanian. Selly mengenal Abdul Halim sebagai lelaki yang sopan dan sederhana. Putra Betawi yang lebih senang dipanggil Bang Dul oleh adik kelasnya itu selalu bicara apa adanya, dan penuh ketulusan. Namun, hal itulah yang kini justru mengetuk batinnya. ''Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku tak boleh menerima cinta seorang lelaki. Tidak juga Dul,'' desahnya dalam hati. ''Kulihat sejak kemarin kamu melamun terus. Ada apa, Sel?'' tanya Nadia, teman kostnya. Selly menggeleng. ''Ah, enggak ada apa-apa. Aku mungkin cuma lelah saja. Skripsi dan ujian akhir itu betul-betul menguras energiku.'' ''Tapi
kulihat kamu terus murung? Ada masalah yang mengganjal?'' Nadia menatap wajah sahabatnya agak lama. ''Selly, kita sudah empat tahun bersahabat. Kita selalu berbagi suka dan duka. Ketika hubunganku dengan Mas Ari hampir retak tahun lalu, kamulah orang yang telah berjasa menyatukan kembali cinta kami. Kini, biarlah aku membantumu sekali saja. Coba aku tebak, apakah... apakah ini masalah cinta?'' Selly tidak menyahut. Hanya sorot matanya menyatakan 'ya'. ''Dul?'' Lagi-lagi Selly hanya diam. "Belumkah tiba waktunya bagi sang Kembang Kampus untuk membuka pintu hatinya bagi seorang lelaki?'' Kali ini Selly menggeleng. ''Tidak,'' katanya parau. ''Kamu masih tetap trauma dengan perkawinan orang tuamu?'' Selly mengangguk perlahan. ''Aku takut,'' suaranya samar, lebih mirip bisikan. Lima tahun silam, Selly adalah seorang gadis periang. Ayah Selly, Kosasih, adalah seorang direktur di sebuah BUMN di Bandung. Sementara ibunya, Devi, lebih banyak mencurahkan waktu untuk keluarga di rumah. Hingga suatu hari, tanpa sengaja Devi memergoki Kosasih bersama seorang wanita muda dan seorang bocah kecil berusia sekitar dua tahun di sebuah restoran. Ketika suaminya pulang, Devi segera memberondongnya dengan segala macam pertanyaan. Kosasih mengakui, wanita bernama Yana itu adalah istri muda yang dinikahinya diam-diam tiga tahun silam. Devi shock. Dia terkena serangan jantung. Sebulan kemudian meninggal. Selly yang ketika itu sudah berusia 17 tahun amat terguncang. Sedangkan kakaknya, Taufik, lebih bisa menerima kenyataan itu. Sebagai anak perempuan, apalagi anak bungsu, Selly sangat mengidolakan ayahnya. Namun, sejak kejadian yang menyakitkan itu, dia tak mau lagi tinggal di rumah orangtuanya. Dia lebih memilih ikut neneknya di Lembang, meski harus pindah SMU. Dan ketika akhirnya dia diterima kuliah di Institut Pertanian Bogor, dia telah bertekad menutup pintu hatinya bagi semua lelaki. Sebagai kompensasinya, dia menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar, dan aktif dalam organisasi kampus maupun kegiatan di masjid kampus. ''Selly,
kamu tak bisa selamanya menjadi pipit yang luka. Kamu harus bangkit.
Bukankah kamu yang selalu mengingatkanku bahwa hidup mengarah ke masa
depan? Masa lalu telah selesai, betapapun indah ataupun menyakitkan, dia
telah pergi bersama waktu.'' ''Realistislah. Jika cinta itu memang sudah datang di hatimu, kenapa kamu harus menolaknya?'' ''Aku... aku belum siap, Nadia. Sungguh.'' Di kampusnya, Selly adalah kembang yang tidak hanya diincar oleh para mahasiswa, melainkan juga dosen-dosen muda. Dia memiliki hampir semua syarat seorang wanita untuk dinikahi. Wajah seputih kabut dengan sorot mata sendu, agak tersembunyi di balik bulu mata lentiknya. Bibir tipis dan lesung pipi kirinya menambah indah bila tersenyum. Selarik rambut tipis di atas bibirnya makin mempertegas kecantikannya. Apalagi dengan tahi lalat di dagu kanannya yang gampang mencuri perhatian lelaki manapun yang berada di dekatnya. Baju gamis dipadu kerudung putih lebar menutupi dadanya menumbuhkan aura kewibawaan. Betapapun tertutupnya gamis itu, namun tak mampu menyembunyikan postur tubuhnya yang jenjang. Namun, Selly tak pernah memberikan sinyal untuk bicara soal cinta. Dia sangat menutup diri untuk bicara hal yang satu ini. Dia pun tak pernah membiarkan orang bertanya tentang pribadi dan latar belakang keluarganya. Hanya kepada Nadia, dia mau berbagi tentang riwayat hidupnya. ''Kesiapan
itu terletak di hati kita. Selama pintu hatimu masih tertutup, kamu
bagaikan malam yang tak berani menghadapi datangnya matahari. Selly,
mengapa kamu tidak menjadikan dirimu sebagai fajar yang merekah dan
begitu gembira menyambut datangnya pagi hari?'' Selly berusaha menghindari pertemuan dengan Abdul Halim. Dia hampir tidak pernah ke kampus, kecuali kalau ada hal yang perlu sekali. Dia sengaja tidak memberitahukan ayahnya mengenai acara wisuda itu. Dia ingin sendiri. Biarlah teman-temannya gegap gempita bersama keluarganya masing-masing. Namun,
suatu pagi dia tak bisa lari dari Abdul Halim. Lelaki itu menunggunya di
depan pintu perpustakaan, tepat ketika Selly baru saja mengembalikan
buku-buku yang dipinjamnya. Selain itu, aku ingin tahu alasanmu.'' ''Aku tidak mau bicara cinta dulu, Dul.'' ''Aku tidak bicara soal cinta. Aku mengajakmu menikah. Seperti kata Nabi, cara terbaik menerima cinta seorang lelaki adalah dalam sebuah pernikahan.'' ''Sudahlah,
Dul.'' Selly segera berlalu. Dia melangkah cepat. Abdul Halim hendak
mengejar, namun kemudian mengurungkan niatnya. Selesai acara wisuda, dia segera berjalan meninggalkan aula. Namun, betapa terkejutnya dia, saat tiba di depan pintu. Neneknya, ayahnya, Taufik, ibu tiri dan adik tirinya berdiri menyambutnya. Di samping mereka, ada sepasang keluarga bersama Abdul Halim. ''Selamat ya, Nak. Apakah kamu masih marah sama Ayah?'' ujar Kosasih bergetar. Selly menatap mereka bergantian. Matanya menyapu. wajah Abdul Halim. ''Maafkan aku, Selly. Aku yang memberi tahu mereka untuk datang,'' kata Abdul Halim. ''Cucuku, apakah lima tahun belum cukup untuk menghukum ayahmu?'' ujar neneknya perlahan. Selly menggigit bibirnya. Air matanya tiba-tiba menderas. Dia menghambur ke pelukan ayahnya. ''Ayah, maafkan Selly,'' katanya terbata-bata. ''Sudahlah,
Nak. Ayah rasanya tak kuasa menahan rindu padamu.'' Yang
dipanggil Babe mengangguk. ''Kagak salah pilihan Lu, Dul.'' Tiba-tiba Selly tersenyum. ''Baiklah.'' ''Alhamdulillaah,'' terdengar seperti suara koor. ''Ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu telepon keluargaku?'' bisik Selly kepada Abdul Halim. ''Aku
yang memberi tahu,'' tiba-tiba Nadia sudah berada di dekatnya.
*) Cerpen ini dikutip dari Republika, edisi Minggu, 31 Agustus 2003
Irwan Kelana, seorang wartawan, banyak menulis cerpen-cerpen Islami serta menjadi editor sejumlah buku kumpulan cerpen Islami.
|
HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF. Untuk kepentingan bisnis, seperti pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. |