Halaman Tiga

ALTERNATIF

Edisi05/2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA INDEKS

REFLEKSI

REDAKSI

SALAM SASTRA

NOVEL

GALERI PUISI

CERPEN

PUISI PILIHAN

CERPEN  PILIHAN

GALERI PUISI

PUISI-PUISI DARI ACEH

 

Maskirbi 

TARIAN SUNYI

 

Ada yang menari di kesunyian malam

ketika kutanyakan, tarian apa itu

"tarian sunyi,"

katanya

"mari ikut menari,"

ajaknya

lalu kami menari dengan irama degup jantung

kami berputar-putar melingkari angin, semakin

cepat putaran kami, semakin kecil lingkaran kami

lenguh nafas, ketip jari, hentak kaki; hempas lengan,

degup jantung menjadi nyanyian.

ketika kutanyakan nyanyian apa itu

"nyanyian dzikri"

ucapnya

"ayo erus menari, ayo nyanyian dzikir

ajaknya

ia peluk tubuhku dan mempercepat tarian kami

sampai tak ada suara, kecuali angin, kecuali sunyi

kami menjadi angin terapung di lautan udara, lain

menjadi sunyi. Aku tak bertanya lagi, kecuali terus

Menari sampai telanjang di dalam sunyi?

 

Fikar W.Eda 

BIARKAN KAMI
(untuk Aceh dan suku lainnya di negeri ini)

biarkan kami tegak di sini
menahan gigil angin
yang meniupkan aroma maksiat

biarkan kami tegak di sini
menahan dingin hujan
sambil menghitung hari-hari lewat

biarkan kami tegak di sini
memaku tanah merah, tanah moyang kami
lalu menggalinya agar tetap selamat

biarkan kami tegak di sini
berdoa bagi kelangsungan hidup kami
mengharap ampunan dan taubat

biarkan kami di sini
bersama anak dan istri
memandangi rembulan pucat

biarkan kami di sini
menunggu kezaliman berlalu

jangan paksa kami minum anggur
yang memabukkan ruh dan raga kami
jangan paksa kami membangun tenda
di tepi-tepi jurang menganga
yang siap menelan kami lumat

kami bukan batu keramat
kami bukan lumut laknat
kami bukan bau busuk khianat
kami bukan ranting rapuh
yang lekat pada beringin angkuh
kami bukan apa-apa
karena itu biarkan kami
menghirup aroma tanah
tanpa syak wasangka
menjadi tangkai sekaligus bunga
memintal kasih sayang dan cinta

Jakarta, April 1998

AA Manggeng

DINIHARI DI TAMAN KAMBOJA

Bunga kamboja berguguran di sebuah pedalaman
padahal angin sangat bersahabat malam itu
di jalan-jalan mencekam
isyarat kedukaan tanpa terduga

Bunga kamboja berguguran di sebuah pedalaman
aromanya ditiup angin ke seluruh penjuru
siapa yang sanggup menutup rahasia duka
atas kebiadaban manusia

Pohon kamboja yang tumbuh di taman kita
penghias kebun-kebun negeri
adalah dia yang lahir dari sejarah
lalu gugur bunganya
luruh daunnya
tercabut akarnya
tumbang batangnya

Kamboja, bunga kamboja
seorang ibu mencari anaknya
yang terkapar di bawah rontokan bunga
dalam gelimangan darah bersama orang-orang
yang tak tahu apa-apa.

(ACEH, 3 Pebruari 1999)

Wiratmadinata

BiOGRAFI MERDEKA

Kembang taman yang kita semai bersama
tak akan tumbuh tanpa diberi ruang
dan udara bebas yang merdeka.

Nyanyian-nyanyian kita juga,
hanya akan tinggal nada
tanpa diberi kepastian menjadi suara.

Impian-impian kita pun,
menuntut ruangnya sendiri,
untuk membungai setiap tidur kita.

Aku senantiasa ingin memastikan,
detak nafas dan jantung kita,
adalah hidup yang menemui hakikatnya.

Kembang setaman,
impian-impian,
dan juga nafas kita,
hanyalah catatan beku dan tua,
karena lama sudah ia terpenjara.

Wahai langit dan angkasa yang terbuka,
berikan aku satu semangat saja,
menantang sang Garuda.

Aceh, 1999.

Budi Arianto

PAMPLET DI HARIAN PAGI II

 

menyimak berita pagi

negeri ini

adalah air mata

banjiri ladang-ladang kering

hanyutkan mimpi mengusir burung-burung pipit

dan kuncup kembang berserak di hempas angin

 

Banda Aceh 1993

 

Din Saja

KEPADA SAUDARAKU ORANG MELARAT

 

Sekarang katakan pada mereka,

kami penguasa, pemegang amanah kita

katakan bahwa kita, orang-orang pemilik kekuasaan,

memang sedang dimelaratkan oleh sesuap nasi

memang sedang diperdayakan dalam bersikap,

tapi kini, katakan segera kepada mereka,

kami penguasa, pemeras hidup kita,

katakan segera bahwa kita, pemilik kekuasaan,

kami akan menolak setiap pemberian

yang menjatuhkan martabat kemanusiaan

kami nyatakan.

 

Banda Aceh, 31 Oktober 2002

 

TENTANG PENYAIR

Maskirbi, AA Manggeng, Fikar W Eda, Wiratmadinata, Budi Arianto, dan Din Saja, adalah para penyair Aceh. Karya-karya mereka tersebar di sejumlah media massa dan dalam sejumlah buku kumpulan antologi bersama. 

CERPEN 

 

Pipit Tak Selamanya Luka
IRWAN KELANA

 

Akhirnya apa yang selama ini ditakuti Selly terjadi. ''Selly, maukah kamu menjadi menantu ibuku?'' tanya Abdul Halim seusai mereka melatih anak-anak Taman Pendidikan Alquran (TPA) yang diadakan di masjid kampus.

Meskipun sudah berbulan-bulan Selly bersiap-siap jika suatu hari Abdul Halim bicara soal cinta, tak urung dia tergagap juga. ''Apa?'' tanyanya.

Dada Selly mendadak berguncang keras. Angin Bogor yang nakal membuat wajahnya yang pias menjadi pucat pasi. Sekuntum bunga kaliandara jatuh di jilbab putihnya.

''Aku ingin memperistrimu, jika kamu memang masih belum punya calon,'' kata Abdul Halim tegas.

Senja baru saja menggelar sayapnya di ufuk barat. Rona merah membias langit.

''Dul, aku aku belum pernah memikirkan hal itu,'' sahutnya terbata-bata.

''Kalau begitu, pikirkanlah. Masih ada waktu. Saat wisuda bulan depan, aku berharap sudah ada kepastian.''

"Kenapa?''

''Karena Nyak dan Babeku udah enggak sabar minta dicarikan menantu yang cantik dan solehah.''

Pertanyaan Abdul Halim mengusik ketenangan batin Selly. Membuatnya tak bisa tidur walau sedetik. Malam terasa panjang. Hanya suara jengkerik membelah sepi. Jerit burung malam seakan mengerti perasaan seorang anak manusia yang sedang dirundung kegalauan.

Mereka mulai akrab sejak setahun lalu, ketika sama-sama terlibat dalam kegiatan dakwah di masjid. Abdul Halim anak Perikanan, sedangkan Selly, Teknologi Pertanian.

Selly mengenal Abdul Halim sebagai lelaki yang sopan dan sederhana. Putra Betawi yang lebih senang dipanggil Bang Dul oleh adik kelasnya itu selalu bicara apa adanya, dan penuh ketulusan. Namun, hal itulah yang kini justru mengetuk batinnya. ''Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku tak boleh menerima cinta seorang lelaki. Tidak juga Dul,'' desahnya dalam hati.

''Kulihat sejak kemarin kamu melamun terus. Ada apa, Sel?'' tanya Nadia, teman kostnya.

Selly menggeleng. ''Ah, enggak ada apa-apa. Aku mungkin cuma lelah saja. Skripsi dan ujian akhir itu betul-betul menguras energiku.''

''Tapi kulihat kamu terus murung? Ada masalah yang mengganjal?''
Selly agak tergagap. ''Entahlah, Nadia. Aku harap semuanya baik-baik saja.''

Nadia menatap wajah sahabatnya agak lama. ''Selly, kita sudah empat tahun bersahabat. Kita selalu berbagi suka dan duka. Ketika hubunganku dengan Mas Ari hampir retak tahun lalu, kamulah orang yang telah berjasa menyatukan kembali cinta kami. Kini, biarlah aku membantumu sekali saja. Coba aku tebak, apakah... apakah ini masalah cinta?''

Selly tidak menyahut. Hanya sorot matanya menyatakan 'ya'.

''Dul?''

Lagi-lagi Selly hanya diam.

"Belumkah tiba waktunya bagi sang Kembang Kampus untuk membuka pintu hatinya bagi seorang lelaki?''

Kali ini Selly menggeleng. ''Tidak,'' katanya parau.

''Kamu masih tetap trauma dengan perkawinan orang tuamu?''

Selly mengangguk perlahan. ''Aku takut,'' suaranya samar, lebih mirip bisikan.

Lima tahun silam, Selly adalah seorang gadis periang. Ayah Selly, Kosasih, adalah seorang direktur di sebuah BUMN di Bandung. Sementara ibunya, Devi, lebih banyak mencurahkan waktu untuk keluarga di rumah.

Hingga suatu hari, tanpa sengaja Devi memergoki Kosasih bersama seorang wanita muda dan seorang bocah kecil berusia sekitar dua tahun di sebuah restoran. Ketika suaminya pulang, Devi segera memberondongnya dengan segala macam pertanyaan. Kosasih mengakui, wanita bernama Yana itu adalah istri muda yang dinikahinya diam-diam tiga tahun silam.

Devi shock. Dia terkena serangan jantung. Sebulan kemudian meninggal. Selly yang ketika itu sudah berusia 17 tahun amat terguncang. Sedangkan kakaknya, Taufik, lebih bisa menerima kenyataan itu.

Sebagai anak perempuan, apalagi anak bungsu, Selly sangat mengidolakan ayahnya. Namun, sejak kejadian yang menyakitkan itu, dia tak mau lagi tinggal di rumah orangtuanya. Dia lebih memilih ikut neneknya di Lembang, meski harus pindah SMU.

Dan ketika akhirnya dia diterima kuliah di Institut Pertanian Bogor, dia telah bertekad menutup pintu hatinya bagi semua lelaki. Sebagai kompensasinya, dia menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar, dan aktif dalam organisasi kampus maupun kegiatan di masjid kampus.

''Selly, kamu tak bisa selamanya menjadi pipit yang luka. Kamu harus bangkit. Bukankah kamu yang selalu mengingatkanku bahwa hidup mengarah ke masa depan? Masa lalu telah selesai, betapapun indah ataupun menyakitkan, dia telah pergi bersama waktu.''
''Apa yang harus aku lakukan?''

''Realistislah. Jika cinta itu memang sudah datang di hatimu, kenapa kamu harus menolaknya?''

''Aku... aku belum siap, Nadia. Sungguh.''

Di kampusnya, Selly adalah kembang yang tidak hanya diincar oleh para mahasiswa, melainkan juga dosen-dosen muda. Dia memiliki hampir semua syarat seorang wanita untuk dinikahi. Wajah seputih kabut dengan sorot mata sendu, agak tersembunyi di balik bulu mata lentiknya. Bibir tipis dan lesung pipi kirinya menambah indah bila tersenyum. Selarik rambut tipis di atas bibirnya makin mempertegas kecantikannya.

Apalagi dengan tahi lalat di dagu kanannya yang gampang mencuri perhatian lelaki manapun yang berada di dekatnya. Baju gamis dipadu kerudung putih lebar menutupi dadanya menumbuhkan aura kewibawaan. Betapapun tertutupnya gamis itu, namun tak mampu menyembunyikan postur tubuhnya yang jenjang.

Namun, Selly tak pernah memberikan sinyal untuk bicara soal cinta. Dia sangat menutup diri untuk bicara hal yang satu ini. Dia pun tak pernah membiarkan orang bertanya tentang pribadi dan latar belakang keluarganya. Hanya kepada Nadia, dia mau berbagi tentang riwayat hidupnya.

''Kesiapan itu terletak di hati kita. Selama pintu hatimu masih tertutup, kamu bagaikan malam yang tak berani menghadapi datangnya matahari. Selly, mengapa kamu tidak menjadikan dirimu sebagai fajar yang merekah dan begitu gembira menyambut datangnya pagi hari?''
''Karena aku bukan fajar. Aku adalah malam.''

Selly berusaha menghindari pertemuan dengan Abdul Halim. Dia hampir tidak pernah ke kampus, kecuali kalau ada hal yang perlu sekali. Dia sengaja tidak memberitahukan ayahnya mengenai acara wisuda itu. Dia ingin sendiri. Biarlah teman-temannya gegap gempita bersama keluarganya masing-masing.

Namun, suatu pagi dia tak bisa lari dari Abdul Halim. Lelaki itu menunggunya di depan pintu perpustakaan, tepat ketika Selly baru saja mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya.
''Selly, kalau kamu menolak, ya sudah. Tapi tak perlu menghindar dariku, 'kan?

Selain itu, aku ingin tahu alasanmu.''

''Aku tidak mau bicara cinta dulu, Dul.''

''Aku tidak bicara soal cinta. Aku mengajakmu menikah. Seperti kata Nabi, cara terbaik menerima cinta seorang lelaki adalah dalam sebuah pernikahan.''

''Sudahlah, Dul.'' Selly segera berlalu. Dia melangkah cepat. Abdul Halim hendak mengejar, namun kemudian mengurungkan niatnya.
Hari wisuda, suasana aula IPB terlihat sangat semarak. Hampir semua sarjana baru didampingi oleh keluarganya. Kecuali Selly, yang hari itu diumumkan sebagai lulusan terbaik dengan predikat Summa Cumlaude.

Selesai acara wisuda, dia segera berjalan meninggalkan aula. Namun, betapa terkejutnya dia, saat tiba di depan pintu. Neneknya, ayahnya, Taufik, ibu tiri dan adik tirinya berdiri menyambutnya. Di samping mereka, ada sepasang keluarga bersama Abdul Halim.

''Selamat ya, Nak. Apakah kamu masih marah sama Ayah?'' ujar Kosasih bergetar.

Selly menatap mereka bergantian. Matanya menyapu. wajah Abdul Halim.

''Maafkan aku, Selly. Aku yang memberi tahu mereka untuk datang,'' kata Abdul Halim.

''Cucuku, apakah lima tahun belum cukup untuk menghukum ayahmu?'' ujar neneknya perlahan.

Selly menggigit bibirnya. Air matanya tiba-tiba menderas. Dia menghambur ke pelukan ayahnya. ''Ayah, maafkan Selly,'' katanya terbata-bata.

''Sudahlah, Nak. Ayah rasanya tak kuasa menahan rindu padamu.''
Satu per satu mereka berpelukan. Sampai akhirnya terdengar suara seorang perempuan, ''Ini calon istrimu, Dul? Botoh banget. Nyak setuju. Ya 'kan, Be?''

Yang dipanggil Babe mengangguk. ''Kagak salah pilihan Lu, Dul.''
Kosasih membelai kepala putrinya. ''Dul sudah menceritakan semuanya. Maukah kamu menjadi istrinya?''
Selly tercenung. Abdul Halim menahan napas. Semua yang hadir terdiam.

Tiba-tiba Selly tersenyum. ''Baiklah.''

''Alhamdulillaah,'' terdengar seperti suara koor.

''Ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu telepon keluargaku?'' bisik Selly kepada Abdul Halim.

''Aku yang memberi tahu,'' tiba-tiba Nadia sudah berada di dekatnya.
Selly mencubit lengan sahabatnya. ''Awas kau, ya!''

Depok-Jakarta, Juli-Agustus 2003

* Botoh banget = cantik sekali

 

*) Cerpen ini dikutip dari Republika, edisi Minggu, 31 Agustus 2003

 

Irwan Kelana, seorang wartawan, banyak menulis cerpen-cerpen Islami serta menjadi editor sejumlah buku kumpulan cerpen Islami. 

 

HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis.

web design by: musismail