Halaman Empat

ALTERNATIF

Edisi IV/Minggu, 22 Februari  2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA INDEKS

REFLEKSI

REDAKSI

SALAM SASTRA

NOVEL

GALERI PUISI

CERPEN PILIHAN I

PUISI PILIHAN

CERPEN  PILIHAN II

PUISI PILIHAN

 

ISBEDY SETIAWAN ZS
Metamorfosa Malam

 

malam melepas dan

menutup kelambunya

lalu bagai bintang, embun

menghias pintunya

                                                           

lepas pakaianmu

biar kumasuki

untuk menguliti

rahasia mahakelammu

 

setelah itu tutup kembali

maka bintang-bintang

serupa kancing di pintumu

akan menulis kalimat

dari tahun yang tua

 

usah kenang mula matahari

tumbuh dan runtuh

setelah padang tercipta

dan sepasang kekasih melata

dari pengusiran pertama

 

masuk ke dalam kelambu

malam, embun makin

genapkan rahasia

mahakelammu

 

menumbuh surga dari

serpihan bintang

menulis kalimat-kalimat

dari tahun yang tua

 

kini di mana?

 

menyusuri padang

tertutup oleh rahasia

tahun-tahun bimbang

kini mau ke mana?

2002/2003

 

 

Menyapa Orang Melayu

 

aku orang melayu. lalu aku menyapamu

dan tangan yang dingin. berceritalah

tentang sejarah dan kehancuran

nenek moyang di tangan sang raja

 

tak ada jalan kembali, karena aku

sudah jauh tenggelam dalam kata-kata

sang raja, gumammu hati-hati

 

hari ini ada pesta ulang tahun. penuh

kemban api dan musik di langit semesta

cuma tak pernah menghidupi para wanita yang

melepas parfumnya dipagut petualang

 

lalu gelap dan sunyi

di hati orang-orang malam

yang jauh dari gemuruh istana!

 

narathiwat, thailand, 1 desember 1999

 

 

 

Sepanjang Jalan Kota Yala

 

aku ciumi bau hujan. sepanjang jalan kota yala

hidungku laku oleh parfum dan tawa

wanita di depan kafe. tak ada 

orang melayu di sini, katamu

sambil mengajakku masuk

 

tapi kakiku tak mampu menyeret, bagai

patung di bukit itu, aku pun sudah dulu

semadi. menumbuhkan cinta pada istri dan anak

di sepanjang kota ini!

 

tolong matikan virus yang dibawa hujan

di antara kekuatan dan kecurigaan

orang-orang aku pun melenggang

 

ah, yala kau yang pantas untuk

dikenang, lalu, seperti lampu-lampu

jalan itu yang akan mati juga

subuh meninggalkan malam

 

thailand selatan, 2 desember 1999

 

 
 
Jalan-jalan Membangun Tangga

 

 

seperti dalam mimpi: jalan-jalan membangun tangga ke langit

lalu orang-orang menaikinya hingga lupa di mana dasar

laut yang pernah menenggelamkan kehidupan

 

jalan-jalan menerbangkan orang-orang entah ke mana arah

 

seperti dalam mimpi: kusisir jalan-jalan yang tergantung

itu. tapi tak satu rumah pun melambaikan tangan

agar kusingahi

 

berkali-kali kuhitung kecelakaan di sini

meski tak satu rumah pun membuka jendela!

 

 

1996

 

 

Sunyi Membawamu


baiknya rapikan sprei
dan lipat selimut
sebelum matahari
dari jendela itu
membawamu pergi
ke ranjang lain

sampaikan salam
sekali lagi. setelah itu
masukkan kelamin
ke malam-malam
dan sunyi kemudian
membawamu sebagai
pengembara,
petualang
yang melupakan rumah
menyusuri pasir-pasir ini
mencari cangkang
merindukan lokan
membangun istana
berhadapan dengan badai

kelamin ini sudah
terlalu letih
menombak langit
maka sunyi akan
membawamu pergi
ke ranjang lain

Lampung-Padang, 2003

 

 

Daun Itu Jadi Perahu

 

 

maka daun itu jadi perahu bagimu menyeberangi

lautan kata-kata ini. seribu bendera yang kautancapkan

di sepanjang jalan sampai balai kerjamu seperti

mercu suar di tengah lautan. aku berdiri di sini

mengacungkan tangan untuk daratan, "inilah podium

yang sudah kehilangan kakinya itu. aku terbata-bata 

di depanmu sambil ingin menguraikan nuraniku," kata

bendera yang melambaikan gambarnya untuk angin

 

Lampung-Jakarta, 1997

 

ISBEDY STIAWAN ZS, lahir dan menetap di Tanjungkarang, Lampung.  Tiga bukunya terbit pada 2003: kumpulan puisi Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gama Media Yogyakarta, Januari 2003), kumpulan cerpen Ziarah Ayah (Syaamil Bandung, Mei 2003), dan Menampar Angin (Bentang Budaya Yogyakarta, Oktober 2003). Beberapa karya dalam puisi pilihan kali ini juga dikutip dari media cetak dan dua buku kumpulan bersama, plus satu puisi yang dikutip dari kiriman langsung penyair. 

CERPEN PILIHAN II

Tongkat Musa
KURNIA EFFENDI

Pulang dari kantor, dia temukan sebatang tongkat di dekat lemari jam. Dia memang biasa menggantungkan jas dan dasi di kapstock sebelah lemari jam. Dengan demikian, wajarlah jika keberadaan tongkat itu langsung diketahuinya. Terbuat dari galih kayu, tampak kuat sosoknya. Ujung melengkung seperti layaknya tongkat penyangga tubuh tua seorang kakek. Bukan tongkat baru, karena tak tampak lagi bekas serutan.

Segera dia memanggil isterinya. Adzan maghrib baru saja mengalun dari surau sebelah rumah, tentu isterinya sedang shalat. Tapi dia mendengar suara kericik air dari dalam kamar-mandi. Mungkin isterinya sedang mengambil air wudlu. Sambil menunggu, dia melepas sepatu, mencari sarung, dan mencuci tangan di washtafel.

Kakinya diselonjorkan di sofa, seraya meraih koran yang baru sebagian dibaca pagi tadi. Namun, rasa kantuk menyergap. Kemacetan jalan raya membuat tubuhnya letih. Itulah yang acap terjadi, jalan tersendat-sendat sejak keluar dari gedung kantornya sampai ke kompleks perumahan. Apalagi ini hari Jumat. Hampir semua orang berebut pulang tepat waktu untuk sebuah week-end.

Tiba-tiba ia merasa dibangunkan oleh Asyiah, isterinya. "Mandilah supaya segar. Sehabis shalat kita makan malam. Ada anggur kesukaan ayah sebagai pencuci mulut."

"Oh, kenapa aku tertidur di sini?" Dia seperti menyadari sebuah kesalahan. Matanya memperhatikan sekitar, lampu-lampu telah menyala terang, berkilat dipantulkan dinding marmer. "Apakah ada yang tahu aku tertidur?"

"Tak seorang pun melihat. Bukankah rumah kita memiliki dinding berlapis-lapis?" ujar Asyiah menenangkan. "Apakah perlu kujerang air untuk berendam?"

Dia mengangguk dan bangkit dari sofa berlapis kulit bulu domba. Berjalan ke arah kamar mandi yang dipenuhi bau rempah. Kesegaran mulai bangkit dengan menghirup aroma yang sedap. "Uh, betapa melelahkan menjadi penguasa. Apa lagi yang harus kutitahkan besok kepada orang banyak?" bisiknya perlahan. Dia menatap cermin di kamar mandi. Memandang wajah keras dengan torehan kewibawaan. Tapi dia juga tahu, di balik sepasang mata yang garang itu tersembunyi ketakutan.

"Ayah, segeralah wudlu. Waktu maghrib hampir habis." Isterinya mengingatkan.

Shalat? Tubuhnya terasa gemetar. Rupanya inilah sumber ketakutan itu. Berulangkali sang isteri memintanya shalat, tapi dia selalu merasa orang lainlah yang harus menyembahnya. Ia paling berkuasa di negeri ini. Seluruh sabdanya menjadi hukum dan undang-undang. Apa pun yang dikehendaki tinggal menyebutkan. Semua tunduk di hadapannya, tak berani menatap matanya, kecuali ingin dihukum. Langkah kakinya membuat segenap orang di negeri ini berdebar dan was-was. Hanya satu yang ternyata tak sanggup dia taklukkan: isterinya yang jelita dan tiada banding di seluruh penjuru.

Setiap kali dia hendak menyentuh tubuh Asyiah di ambang ranjang, selalu muncul jarak tak terlampaui. Ia akan menatap nanar tubuh molek itu, bergetar sebelum sampai waktunya, dan lunglai tak berdaya di sisi ranjang. Ia akan senantiasa mengalami ejakulasi dini, dan akhirnya mengatakan: "Aku terlalu banyak minum anggur malam ini...."

Bertahun-tahun perkawinan itu dijalani dengan kesunyian sebuah kamar tidur. Wangi tubuh Asyiah memenuhi ruang, menggoda nafsunya, namun tak sampai ujung jarinya meremas lengan langsat itu, dia terkulai dengan igauan tak tentu arah. Ia meraung seperti singa, namun akhirnya rubuh di atas sprei yang kusut. Asyiah hanya tersenyum, dan dengan suara yang manja memintanya untuk shalat.

Airmatanya berlelehan. Ia melupakan dirinya sebagai laki-laki. Ia lihat wajahnya di cermin sebagai seorang pecundang yang tak berguna. Ia memiliki otot-otot keras dan kekuasaan, tapi di rumah ini hanya sanggup mencium bekas telapak kaki Asyiah. Ia akan merasakan orgasme tiada tara setiap tercecap di lidahnya jejak sandal Asyiah yang melangkah dengan gemulai di ubin kemilau.... Oh, betapa malangnya!

Ketukan di pintu kamar mandi membuatnya terjaga dari lamunan. Ia terkesiap, sekaligus terbangun dari tidur singkatnya di sofa dekat lemari jam. Dentang lagu dari lonceng yang menandai waktu setengah tujuh, membuat ia bebas dari mimpi buruknya.

"Oh, rupanya aku tertidur! Hari ini macet luar biasa," keluhnya sambil menegakkan badan. "Aku mau mandi dulu."

"Cepatlah, Mas. Sudah kusiapkan handuk di kamar mandi." Isterinya tersenyum. Sungguh, itu senyum yang menenteramkan. Apa pun problem di kantor, akan pupus begitu terpandang senyum isterinya. Tapi, senyum yang sama adalah semacam teror. "Mau makan dulu atau shalat dulu?"

Shalat? Ia tidak menjawab. Langsung masuk ke balik pintu kamar mandi, dan segera terdengar suara air mengguyur tubuhnya. Hampir satu jam dihabiskan waktu di bawah shower. Waktu shalat pun lewat.

Dengan tubuh wangi, dia duduk di meja makan. Isterinya menuang sayur ke atas piring nasinya. "Cukup?" Dia mengangguk.

Ketika melakukan suapan pertama, matanya tertumbuk pada tongkat di dekat lemari jam. Ah, dia telah melupakannya! "Itu tongkat dari mana?"

"Tongkat?" Isterinya menoleh ke arah mata suaminya memandang. "Oh, tadi seseorang bernama Musa yang mengantarkan. Katanya pesanan ayah?"

"Aku memesan tongkat?" Keningnya berkerut. "Mungkin dia salah alamat...."

"Sebentar aku lihat tanda-terimanya." Isterinya mengambil kertas dari rak buku. Diberikannya kepada suaminya. "Coba baca, di situ tertera nama ayah."

Ia membenarkan. Tapi buat apa memesan tongkat? Terlalu dini jika itu untuk memudahkannya melangkah saat renta nanti. "Namaku bisa saja sama dengan orang lain. Tapi alamatnya tak salah, ini alamat rumah kita. Mungkin hadiah dari seseorang. Siapa tadi yang mengantarkan?"

"Musa."

"Musa? Dia... sekadar kurir atau pembuat tongkat itu?"

Isterinya menggeleng. "Apakah betul-betul ayah tidak memesannya? Mungkin ayah ingin menghadiahkannya kepada seseorang, dan memesan kepada Musa."

Tampak dia mengingat-ingat, tapi tak sebersit pun ingatan yang berkaitan dengan tongkat. Apalagi tongkat Musa. Dan... Musa? Dadanya berdesir. Ia jadi gelisah.

"Kenapa, Mas? Teringat sesuatu mengenai tongkat itu?" isterinya bertanya.

"Tidak. Tidak apa-apa." Ia seperti ingin selekasnya menyelesaikan makan malamnya. "Aku akan menelepon seseorang. Mungkin ia tahu jawabnya."

Itu ucapan sekenanya. Pikirannya diperas, namun tak ada isyarat apa pun tentang tongkat itu. Hanya, saat maghrib tadi, ia bermimpi perihal dirinya sebagai pemimpin sebuah negeri. Pemimpin yang berkuasa penuh dan disembah rakyatnya. Apakah yang dimaksud adalah Fir'aun? Itu yang tadi membuatnya gemetar sesaat. Bagaimanapun, nama Musa terkait erat dengan raja angkuh itu.

Ia memang menelepon beberapa kawan, tapi berbicara hal-hal kantornya. Ia hanya ingin mengalihkan perhatian sang isteri. Di rumahnya tak ada seorang anak pun. Entah siapa yang mandul, namun pada kenyataannya: dari dua belas tahun perkawinan, tidak membuahkan keturunan. Itu pula yang menyebabkan hari-harinya sunyi, selain bercakap-cakap dengan isterinya. Dia sering diminta berdoa untuk mendapatkan anak, tapi untuk shalat pun begitu berat dilakukan. Dengan berbagai cara isterinya membujuk, tapi kekerasan hatinya membuat usaha sang isteri majal. Kini, melalui mimpi buruknya tadi, dia berperan sebagai Fir'aun. Pemimpin negara yang mengaku dirinya Tuhan.

Tengah malam yang ditunggu tiba. Dia pun bangkit dari tempat tidur diam-diam. Isterinya lelap dalam dengkur halus. Dia berjingkat menujuruang tengah, mendapatkan tongkat itu masih di tempatnya. Dihinggapi perasaan ragu, disentuhnya tongkat itu. Digenggam pada bagian yang lengkung. "Tongkat yang bagus!" pujinya dalam bisik. "Siapa yang telah sengaja mengirimnya kemari? Benarkah namanya Musa?"

Dengan penuh perhatian dia mengamati tongkat kayu yang kokoh itu. Pada penampang bulat di bagian bawah, yang senantiasa bertemu tanah jika digunakan untuk melangkah, tertera sebuah tarikh dengan huruf Mesir Kuno. Ia gemetar sekaligus tersenyum. Bisa saja pembuatnya sengaja menuliskan peristiwa ketika Nabi Musa melawan Fir'aun. Tapi seandainya benar, tongkat ini telah lolos dari lorong waktu. Menyeberangi abad demi abad, dan sampai di sini melalui seorang laki-laki yang (mengaku) bernama Musa.

Ada percik sensasi pada matanya, yang mendorongnya membawa tongkat itu ke kamar mandi. Dipandangnya air melimpah di bak mandi yang dia bayangkan sebagai lautan. Tongkat yang dipegangnya penuh konsentrasi itu diayun ke atas air. Dan, srrrt! Air dalam bak itu terbelah menjadi dua bagian, mirip agar-agar kenyal yang diiris oleh sebilah pisau dan disibakkan. Matanya memandang takjub. Setakjub-takjubnya. Ia merasa tak pernah belajar sihir, meskipun film favoritnya adalah serial Charmed.

Tangannya seperti ikut terpukau, kaku dengan tongkat yang kejang. Dia berusaha melihat secara detail bagian-bagian air yang saling memisahkan diri. Sampai tangannya lelah, dan akhirnya tongkat itu diangkat. Dia kembali takjub, ketika sepasang bagian air dalam bak itu menyatu dengan suara debur. Keringat dingin meleleh di leher. Jantungnya berdegup kencang. Dia ingin mengulangi mengayunkan tongkatnya, namun tak berani. Dia merasa ini sebuah cara Tuhan berbicara kepadanya.

Dia melangkah keluar kamar mandi. Ragu, antara menyimpan tongkat itu atau membangunkan isterinya untuk menunjukkan sebuah keajaiban. Akhirnya dia memilih menyimpan pengalaman itu untuk sementara. Dengan pipi penuh airmata, dia pun mengambil air wudlu. Sesuatu yang baru dilakukan sejak dia tinggalkan shalat belasan tahun lalu.

Isterinya terjaga ketika dia sedang bersujud. Lampu temaram memberikan siluet tubuh suaminya. Membungkuk, mencium sajadah, seperti sebongkah hajar aswad. Isterinya mengucap syukur, tanpa bermaksud mengganggu. Dia tetap berbaring dan memandang suaminya diam-diam.

***

Tiba di kantor, dia minta sekretarisnya untuk membuat undangan makan siang di Ancol. Acara ini terasa mendadak, tapi dia ingin seluruh karyawannya bisa hadir. Telah dipesannya tempat di belakang Putri Duyung Cottage, halaman berpasir menghadap laut.

Setelah makan siang, dia bermaksud menyampaikan berita tentang hidayah yang diterimanya semalam. Mungkin akan menjadi pelajaran bagi yang lain. Kesombongan tidak harus dilawan dengan kekerasan. Kesabaran isterinya telah mengirimkan tongkat Musa kepadanya. Tentu, hendak dia buktikan kemampuan tongkat itu membelah lautan.

Pidato singkatnya di depan semua karyawan, seusai makan siang, menerbitkan perasaan haru. Ada beberapa yang meneteskan airmata. Lalu dia mengajak semua karyawan berdiri di tepi pantai. Udara cerah membuat laut tampak kebiru-biruan. Dilolosnya kain putih yang membalut tongkat dari Musa. Sengaja dia tunjukkan tongkat yang diterima kemarin.

"Aku ingin, kita dihindarkan dari penyakit ketakaburan. Kita bukan tandingan Tuhan, jadi sudah kewajiban kita untuk menyembah-Nya. Aku hendak menunjukkan kepada kalian, bahwa iman seseorang akan membuat segalanya mungkin terjadi atas pertolongan Tuhan. Lihatlah apa yang sanggup dilakukan tongkat Musa ini."

Ia pun mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi, dan mengayunkan ke permukaan air pantai yang membasahi sebagian sepatunya.***

Jakarta, 24 Nopember 2002

Cerpen ini dikutip dari Republika  2 Februari 2003

 

 

KURNIA EFFENDI,   lahir di Tegal, 43 tahun lalu. Karya penyair sekaligus cerpenis ini banyak dimuat di berbagai media massa, di samping dalam sejumlah buku antologi bersama, selain buku kumpulan puisi pribadinya "Kartunama Putih".

HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis.

web design by: musismail