ALTERNATIF |
Edisi
IV/Minggu, 22 Februari 2004 |
BERITA | INDEKS |
REDAKSI |
SALAM SASTRA |
GALERI PUISI |
PENGELOLA
REDAKSI: Mustafa Ismail Para Kontributor
PENERBIT: Rumah Sastra Pamulang
E-MAIL:
KEPADA PENGIRIM KARYA Redaksi tidak mampu memberi pengganti ongkos kirim atau honor kepada karya yang dimuat. Karena itu, disarankan mengirim karya yang pernah dimuat di media lain atau terkumpul dalam buku antologi.
Percakapan
Kalau saja malam setenang embun dingin tak seperti kuku mencengkeram Gelap tak seperti taring
-- menghujam nadi mungkin malam tak memintalku dalam
fana Di luar -- kelelawar bercakap-cakap di
setiap desir darahku Malam hanya memberi
kita sepi, gelap, dan
pekat Aku
ingin istirah Sejenak melupakan penjara dalam
tubuhku Mencoba mengingat kembali nama dan alamat
sendiri. Depok, Maret 2003 Dianing Widya Yudhistira |
NOVEL SAIFUL BAHRI BAB I Malam kelam semakin hitam Zen terkantuk-kantuk dan tidur. Tertidur dia. Bermimpi. Zen tiba di telaga itu. Ditatapnya dengan mata terbeliak. Tak berapa lama mutlutnya pun komat-kamit. Entah membaca menatera atau menghafalkan sebuah lagu. Dari tengah telaga terpancar air busuk. Setinggi pohon kelapa tua. Disertai pula dengan raungan dan jeritan yang dahsyat. Sangat menyeramkan. “Hai keparat! Aku tak takut sedikit pun,” Zen berteriak lantang. “Beta tidak bermaksud menakutkan Tuan,” balas suara gaib dari dalam telaga. “Kalau tidak apa arti ini semua.” “Ini hanya acara pembukaan menyambut kedatangan.” “Kedatangan siapa?” “KedatanganTuan, tentu.” “Kehadiran sama dengan kedatangan?,” Zen membalik masalah. “Bisa sama, bisa juga tidak.” “Kurang ajar! Coba jelaskan persamaan dan ketidaksamaannya! Cepat!!” “Beta tak takut pada Tuan,” suara gaib memukul mental Zen. “Aku juga,” sahut Zen tak mau kalah. “Beta tak tampak Tuan,” dengung suara gaib. “Tuan tak tampak beta,” dengung Zen. “Lari! Pergi!” seru suara gaib. “Terima kasih banyak-banyak.” Kemudian Zen berlalu dari situ. Menuju kota. Jalannya. Ia berlari sambil menari. Menari sambil berlari. Tetapi tidak bernyanyi. Sunyi. Zen berhenti sebentar, ditatapnya arloji milik kakeknya yang sekarang melekat di tangan kirinya itu. Zen terkejut. Jarum jam berputar berlawanan dengan arah jarum jam. Sekali lagi ditatapnya dengan lebih dekat. Lebih dekat. Tapi jarum jam pusaka tersebut tetap berotasi ke arah kiri, bukan ke kanan. Jika begini berarti kiamat! Gumam Zen, sebabkiamat adalah realita yang terbalik. Misal ; wanita bertingkah laku seperti pria, begitu juga sebaliknya. Itu kiamat. Mentari dan rembulan keluar dan terbenamnya berlawanan dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta. Itu kiamat. Dan kini jam warisan kakek moyang pun berputar ke kiri. Ini kiamat? Zen mencopot jam itu. Sistelnya berkali-kali. Tetapi tetap berputar ke kiri. Digoyang-goyangkannya jam itu dengan perasaan muak. Tetap berputar ke arah kiri. Hatinya geram. Sakit hati, ingin mati. Dalam sekejap mata saja dibantingnya jam pusaka itu ke atas aspal yang sedang membara di tengah keramaian manusia liar itu. Pecahlah. Berantakanlah elemen waktu itu. Tetapi jarum jam itu tetap berputar ke kiri. Zen sangat marah. Merah-biru mukanya. Tak lama kemudian ia berlari lagi sambil berteriak-teriak histeris. Dihampirinya seorang pengemis yang sedang tertatih-tatih di pinggir jalan itu. Didekatinya telinga pengemis itu. Kemudian diteriakinya kekras-keras. “Kiamat!” “Apa,” teriak Pengemis terperanjat. “Kiamat,” ulang Zen. “Di mana?” “Di situ,” Zen menunjukkan ke arah dibantingnya jam tadi. “Di mana?” tanya Pengemis lagi. “Di situ.” “Tidak tampak.” “Buta kau.” “Ya, buta. Aku pengemis. Pengemis buta. Tahu!” “Pura-pura kau.” “Eh, dari mana kau tahu?” “Kira-kira saja.” “Tapi benar. Pasti anda orang aneh,” ujar Pengemis. “Aneh?” Zen berpikir sebentar. “Ya, memang aneh. Tapi kini sedang kiamat “Sudah dipublikasikan?” tanya Pengemis. “Belu,” jawab Zen singkat. “Kenapa?.” “Baru saja terjadi.” “Cepat! Di sana ada wartawan.” “Mana?,” tanya Zen. “Itu!” “Panggil!” “Tidak mau,” elak Pengemis. “Apa?” “Tidak mau!” tandas Pengemis sekali lagi. “Sebab?” tuntut Zen. “Tolol, aku kan Pengemis. Sekali lagi tolol!” “Terima kasih banyak-banya,” ucap Zen asal cuap. “Cepat sana, nanti keburu pergi,” desak Pengemis. “Siapa?” tanya Zen dengan polos. “Wartawan, lagi-lagi tolol.” “Lho, tadi kau bilang aku ini aneh.” “Tentu… tentu, tapi bukan dalam hal ini.” “Lalu?,” tanya Zen kebingungan. “Ah! Tidak tahu. Malu saja kalau mau tahu,” jawab Pengemis asal saja. Zen terkejut. Melongo ia sejenak. Matanya berkedip-kedip. Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. “Kau penipu!” seru Zen pada Pengemis. “Apa?” tanya Pengemis dengan mata terbelalak. “Penipu,’ ulang Zen sekali lagi. “Bukti, buktinya! Cepat jawab!” bentak Pengemis. “Jangan coba-coba mengelak. Mengaku saja, kau wartawan.” “Apa?” “Kau wartawan,” ujar Zen ketus. “Lho… dari mana kau tahu?” Pengemis semakin linglung.
Bersambung edisi depan, Minggu 29 Februari 2004
Saiful
Bahri Lahir 33 tahun lalu di Banda Aceh.
Alumnus Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta, Jurusan Poitik Pemerintahan
(1998) Ini kini sebagi pegawai kecil pada Bagian Humas Pemda Kota Banda
Aceh. Pengurus Dewan Kesenian Banda Aceh ini menulis cerpen dan novel
serta tulisan budaya lainnya di media lokal dan nasional. Sebuah
novelnya diterbitkan Balai Pustaka Terbuai Mimpi (1991).
Cerpen-cerpennya termuat dalam Titian Laut I dan II, Antologi Sastra
Seluwah, Antologi Cerpen Remuk.
|
HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF. Untuk kepentingan bisnis, seperti pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. |