Halaman Tiga

ALTERNATIF

Edisi IV/Minggu, 22 Februari  2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA INDEKS

REFLEKSI

REDAKSI

SALAM SASTRA

NOVEL

GALERI PUISI

CERPEN PILIHAN I

PUISI PILIHAN

CERPEN  PILIHAN II

GALERI PUISI

 

Wiratmadinata

KEPADA ANGIN LHOK PAWOH

Mengenang Hasyim KS

 

Aku ingin kau tahu
gerimis yang mengiris
sayat yang tak tergambarkan
saat senja itu menjemputmu
menuju malam yang panjang
dan kita tak sempat saling menatap

Air mataku yang angkuh itu
luruh perlahan
gelisah dan terluka
teriris kenangan
yang tak sederhana
di antara kita

Apakah yang bisa melukiskan
duka yang tiba-tiba berkarat
di dasar kalbu?

Aku ingin kau tahu
luka yang tak tergambarkan
perih yang tak berlabuh
menatapmu dalam bayang
dan engkau menghilang
tanpa lambaian tangan

Aku ingin kau tahu
Ada air mata untukmu
juga sekeping duka nestapa
yang mungkin bisa menggambarkan cinta
pada tahun-tahun yang kita lalui bersama.

Aku ingin kau tahu,
engkau telah memberi arti
bagi sepotong darah dan sajakku.

Jakarta, 14 Januari 2003.

 

Arwinto Syamsunu Aji
BAYANG-BAYANG KEKALAHAN

di urat-urat jantungku kau sebarkan kerikil
dan kau tanam benihmu jadi bunga api tersembunyi
juga pekat kecemasan. bagaimana mungkin aku
mengibarkanmu sebagai bendera-bendera senyuman?

kelebat sayap kabutmu menggugurkan harum kenanga
menjadi huruf-huruf tak tereja, adukan warna-warna
kusam sebuah dunia. nafasmu tak benar-benar terputus
oleh sekian canda, atau percakapan riangku dengan usia

siapa kau sebenarnya? ada dengus rahasia, lukisan-
lukisan tak sempurna, hingga kunyalakan dzikir
segenap aorta, menawar gerusuh dan lolongan asing
jalan raya, yang mendenyutkan riuh mimpi mempesona

lalu, kukenang lagi rahim ibu. kutatap lagi matahari
kelahiranku. dari situ, kucongkel angka-angka tanggalan
yang membosankan, kutiupkan ruh baru bagi detik jam
yang ingin mengalir, mengalir saja sampai entah kapan

kau dan aku memang hanya sesekali dan kebetulan
berjumpa, tak ada tetes darah cinta, tak ada!

2003


NEGERI MIMPI

inikah negeri mimpi itu? burung-burung
terus berhamburan dari bibirmu. dan telingaku
harus menjadi dahan-dahan tempat mereka bertengger
menyiulkan good governance, atau kapitalisasi manusiawi

sesudahnya, setelah paku ingatan menancap di otakku
burung-burung itu bergegas pergi. tak pernah kembali.
tak pernah kembali. hingga di sini, bisaku cuma menanti
dalam kesabaran yang retak-retak bagai tanah kemarau

ya, bagai tanah kemarau, bukan karpet parsi! seluruh
sendi-sendiku koyak diparut matahari. dadaku dihuni
tanaman-tanaman berduri. cuma angin yang masih mengalir,
hanya waktu yang belum mati. inikah negeri mimpi?

cinta seperti dongengan yang ditunggu sepanjang hari
hujan seperti pangeran yang dinanti penduduk negeri
rumput-rumput tak tumbuh, dibingkai jadi sejuta lukisan
sepi, padahal dinding itu tak punya nurani lagi

antara jatuh tertidur sampai saatnya bangun pagi, aku
sering tersesat di dalamnya, akhir-akhir ini

2003

 

Syahfida

SAAT OMBAK BERCERITA
saat ombak bercerita pada samudera
tentang birunya langit di ujung sana
aku terpasung dipelukan bumi
dihiasi pijaran mentari pagi

saat ombak bercerita pada dermaga tua
tentang kokohnya karang di tepi pantai
aku tak jua melangkah pergi
berharap waktu kan berhenti menyapa

saat ombak bercerita pada pepohonan kelapa
tentang ikan kecil yang tertangkap jala
aku pun masih berpijak di sini
menunggu perahumu yang mau kembali

Bandung, 21 Juli 2002

 

Deddy Koral
AKU INGIN MELUKIS SENAPAN

Aku ingin melukis senapan di atas lain kafan
Lubang pelurunya disumbat setangkai kembang
Memohon cita dan kasih sayang
Tumbuh berkembang di ladang hati setiap insan
Meredam dendam masa silam
Memang riang di mangkuk harapan
Menyambut datangnya zaman yag segar
Mengharap dunia sepi dari pesta kekejaman

2003.

AKU DAN SEEKOR ANJING

Seekor anjing menyalak
Menghadangku di tengah jalan
Matanya tajam menatapku curiga
"Aku bukan maling
Tapi seorang penyair
Yang belum bisa hidup
dari puisi-puisinya!"
Anjing itu menghentikan salaknya
Seperti mengerti bahasa hati seorang penyair
Yang kadang berkunjung ke rumah seorang kawan
Hanya untuk ngobrol, numpang tidur, mandi, dan makan
Kemudian anjing itu
membiarkan aku berjalan dipeluk udara malam
Meninggalkan kamar sewaan
Yang belum mampu aku bayar

2003

TENTANG PENYAIR:

 

Wiratmadinata, penyair kelahiran Aceh Tengah, 29 Juli 1969 ini dikenal pula sebagai seorang deklamator, antara lain menjuarai Lomba Baca 

Puisi HB Jassin (1993) di Jakarta. Ia lebih senang membaca sendiri puisi-puisinya lewat panggung-panggung, dan kurang intens mempublikasikan 

ke media cetak. Kini bekerja pada Majalah Mingguan GATRA. 

 

Arwinto Syamsunu Aji lahir 3 Maret 1965. Kuliah di Fakom IISIP Jakarta, lolos 

tahun 1993. Puisinya tersebar di sejumlah media cetak. Kini, sedang mempersiapkan buku kumpulan puisinya yang pertama. Puisinya yang tampil di sini dikutip dari Republika edisi 31 Agustus 2003.

 
Novy Noorhayati Syahfida atau lebih dikenal dengan nama Syahfida dilahirkan
di Jakarta, 12 November 1976. puisi-puisinya dipublikasikan di beberapa media 
massa dan bisa pula dinikmati di situs pribadinya 
http://www.syahfida.blogspot.com 
dan http://www.aku_ini_senja.blogspot.com
 
Deddy Koral, penyair Bandung yang juga dikenal sebagai aktor sekaligus 
penulis naskah teater. Penyair yang nama aslinya Deddy M. Santika ini lahir 
pada 8 September 1962 di Ganda Mekar, Garut. puisi ini dikutip dari 
Pikiran rakyat.

CERPEN PILIHAN I

 

Negeri Tanpa Kerudung 

BUDI P HATEES

 

 

SALIHATI memandang Nyonya Pasque dengan sorot mata seseorang yang tidak ingin dikasihani. Sejak ia datang ke kota ini dari sebuah kota kecil di sebelah barat Indonesia sekitar setahun lalu, gadis yang menutup seluruh auratnya dengan kerudung itu tidak pernah ingin dikasihani oleh siapa pun. Bibirnya membentuk sebuah senyuman yang terlihat sangat dipaksakan. Ada beberapa menit dia cuma diam, mengamati gerakan jemari Nyonya Pasque yang sedang merajut kaus kaki mungil untuk calon bayinya. 

Nyonya Pasque sedang hamil delapan bulan, dan dia bersama suaminya, Tuan Pasque, sangat mendambakan punya seorang keturunan dalam pernikahan mereka yang sudah berjalan lima tahun. Kehadiran Salihati di antara mereka adalah berkah yang tidak terhingga, apalagi beberapa bulan kemudian Nyonya Pasque postif hamil.

Empat gulung benang wol warna merah, hijau, putih, dan ungu, dalam kaleng kecil bekas tempat biskuit di samping Nyonya Pasque, terlihat bergerak-gerak setiap kali jari-jemarinya memainkan dua batang pengait. Salihati memandangi gulungan-gulungan benang yang seperti berkejaran itu. Dia merasa tidak ada lagi yang harus dikatakannya karena setiap kali ia berbicara selalu ucapan terima kasih yang akan meluncur. 

Ya, semua kebaikan yang diberikan Keluarga Pasque, sangat luar biasa bagi Salihati. Sebagai pendatang, Salihati sangat bersyukur Keluarga Pasque mau menerimanya, apalagi dia tidak punya siapapun di kota ini kecuali Melani, orang Indonesia yang bekerja sebagai pembantu di rumah salah satu atase Indonesia di Perancis, yang ditemuinya di dalam pesawat Jakarta--Paris, saat transit di Malaysia.

Ucapan terima kasih itu berulang-ulang meluncur dari bibir Salihati sejak pagi, sejak Tuan Pasque berbicara saat mereka menikmati sarapan pagi, bahwa di Perancis tidak ada lagi tempat bagi Salihati. "Aku tak mungkin menganjurkanmu mengkhianati akidahmu, tetapi hidup memang harus memilih. Kini, semuanya menjadi kacau bagimu, sayang," kata Tuan Pasque--dia biasa memanggil Salihati dengan panggilan "sayang". Salihati diam, menunggu kalimat-kalimat lembut lainnya, sambil menikmati rotinya.

Sebetulnya, gadis itu mengerti ke arah mana Tuan Pasque berbicara, tetapi Tuan Pasque sangat khawatir Salihati akan tersinggung oleh ucapan-ucapannya. Tuan Pasque memang selalu khawatir perkataannya akan menyinggung perasaan siapa saja yang diajaknya berbicara. Makanya, setiap kali Tuan Pasque ingin mengutarakan sesuatu yang dikiranya akan menyinggung perasaan lawan bicaranya, dia akan menyembunyikan ke dalam diksi-diksi yang sangat lembut. 

Tuan Pasque memang tidak pernah bisa lepas dari dunianya sebagai salah seorang penyair, meskipun tidak terlalu banyak puisi yang ditulisnya. Tapi, kelembutannya, bukan cuma pada tutur katanya, betul-betul mencerminkan kelembutan dalam puisi-puisi yang pernah ia tulis. Salihati sendiri sangat menyukai karya-karya Tuan Pasque, dan memengaruhinya untuk mengambil jurusan sastra Perancis di kampus yang akan memberinya beasiswa belajar.

"Pidato Tuan Jacques Chirac itu," Tuan Pasque berhenti, lalu meraih gelas air putihnya, menegaknya. Setelah meletakkan gelas itu, wajahnya masih menampakkan kekhawatiran yang sama. "Baik, baik, saya akan bicara terus-terang. Tuan Jacques Chirac melarang kau dan orang muslim lain tinggal di Perancis jika tetap mengenakan atribut-atribut keagamaan seperti jilbab, hijab, dan jenggot...." 

Tuan Pasque meraih gelasnya, mencoba meredakan desir gelombang dalam darahnya. "Saya tak mengerti kenapa sebuah negara sekular seperti Perancis tidak lagi menghargai keanekaragaman."

Nyonya Pasque memandang Salihati. "Bicaralah apa adanya, sayang!" Nyonya Pasque mengingatkan suaminya. "Kau sudah mengenal Salihati seperti darah dagingmu sendiri."

"Itu yang membuat saya sakit. Saya yakin Salihati tidak akan mengorbankan akidahnya. Saya malu punya seorang Presiden seperti Jacques Chirac yang tidak bisa tidak bisa lepas dari bayang-bayang Presiden Francois Mitterand. Negara ini telah mereka rusak karena pikiran-pikiran paranoid yang ditularkan George W. Bush ke dalam jaringan otak mereka." Tuan Pasque kembali menegak air putih. "Saya tak mengerti."

"Ya." Nyonya Pasque mengangguk. "Bagaimana denganmu, sayang." Nyonya Pasque beralih ke Salihati. "Biar bagaimana pun semua ini terserah kepadamu. Tapi, kalau kau ingin saran, sebaiknya tak usah kau kenakan jilbabmu."

"Sayang!" Tuan Pasque berteriak. "Aku tidak ingin sikap seperti itu kau miliki. Ini negara sekuler dan setiap orang bebas mengekspresikan dirinya."

"Persoalannya...." Nyonya Pasque tidak jadi melanjutkan kalimatnya ketika melihat Salihati ingin bicara. "Bicaralah, sayang!"

"Saya tak akan mengorbankan akidah. Jilbab ini tetap saya kenakan, dan kesimpulan ini bukan lantaran saya tak sayang kepada keluarga ini." Salihati menunduk. "Kalau bisa memilih, saya tetap bersama keluarga ini. Saya mengenali semua anggota keluarga ini seperti kepada darah sendiri."

"Oooh, sayang." Nyonya Pasque terharu. "Berarti kau akan meninggalkan semuanya. Kau akan kehilangan kesempatan ini."

"Dalam agama saya diajarkan, tidak pernah ada kegagalan dalam hidup. Yang ada adalah Allah Swt mempunyai rencana lain untuk saya kalau saya tidak bisa di sini, dan itu selalu akan lebih bagus."

"Tapi, sayang...." Tuan Pasque bangkit. "Ini tidak adil. Negara ini...."

"Papi!" Salihati memang memanggil Tuan Pasque dengan "papi". "Jangan menghukum dirimu atas semua ini."

Tuan Pasque diam. Menatap Salihati sekilas, kemudian mengalihkan matanya ke Nyonya Pasque. Mendadak pula dia bangkit meninggalkan meja makan. "Aku keluar dulu."

Salihati dan Nyonya Pasque sama-sama diam. Mereka menebak Tuan Pasque pasti sangat kecewa, tetapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Salihati menatap ke luar lewat jendela. Musim semi di luar telah membuat bunga-bunga bermekaran. Angin bertiup semilir membawa harum rumput-rumput di halaman.

"Kira-kira Papi ke mana ya?" Salihati membuka mulut. "Saya mengkhawatirkannya."

Nyonya Pasque menghentikan gerakan tangannya. "Tidak usah khawatir, dia pasti di kafe itu bersama teman-temannya."

"Aku akan menjenguknya, bolehkah?" 

*** 

MAISON de la Poesie, sebuah gedung yang tak terlalu mentereng, tetapi tidak pernah sepi. Di dalam gedung yang terletak di 157, Passage Moliere, 7514 Paris, ini Tuan Pasque membakar darah rekan-rekannya dalam diskusi-diskusi yang panas menyangkut kebijakan Tuan Jacques Chirac yang baru diumumkan lewat media.

Sebagai orang yang menyukai puisi, Tuan Pasque tidak ingin disebut penyair, meskipun beberapa karyanya yang dimuat di Poesie, Aujourd'hui Poeme, dan Poesie en Action telah membuatnya diterima dalam pergaulan para penyair di kota itu. Tapi, Tuan Pasque selalu merasa bahwa karya-karyanya belum apa-apa, dan ia lebih sering memposisikan diri sebagai pendengar dalam diskusi-diskusi tentang puisi yang dilakukan di Maison de la Poesie. Tetapi hari ini, tiba-tiba saja Tuan Pasque mengobarkan semangat untuk menentang kebijakan Tuan Jacques Chirac. "Negara ini dibangun di atas semangat dan darah sekular, dan siapa saja bisa ambil bagian di dalamnya, serta boleh mengekspresikan dirinya...."

Masih banyak hal lagi yang diteriakkan Tuan Pasque dan ia baru berhenti ketika Jacques de Maulne, pemimpin di Maison de la Poesie, memberi isyarat agar tidak terlalu menggebu-gebu. "Aku mencium paranoia Osama bin Laden dalam kebijakan ini," kata de Maulne.

Semua hadirin terdiam. Belakangan, sejak dua gedung pencakar langit di New York ambruk dihantam dua ekor lalat mabuk, hidup seperti dikepung ribuan lalat mabuk serupa yang menabrak dua gedung itu. Dan, semua orang, membangun streotipe yang sama dalam kepalanya, bahwa lalat mabuk itu digerakkan sebuah semangat sinting bernama jihad. Sebuah tenaga yang tidak terkendali, yang tidak terdeteksi oleh teknologi apapun, yang membuat manusia biasa menjadi super power, dan tidak punya rasa takut untuk menggadaikan kematiannya. Ketika semua orang di dalam Maison de la Poesie terhenyak memikirkan hal serupa, Salihati muncul di pintu bersama langkah kaki yang teramat lembut, "Assalamu'alaikum!"

"Osama...." Beberapa orang berteriak.

Tuan Pasque bangkit. "Dia anakku. Ke mari Salihati, sayang!"

Orang-orang melotot: "Anak!?"

Tuan Pasque menghampiri Salihati, dan tersentak melihat kelopak mata sebelah kiri gadis itu yang melegam. "Ada apa sayang?"

"Tidak apa-apa, Papi." Salihati mencoba menutupi kelopak matanya. "Seorang perempuan melemparku dengan batu saat melangkah ke gedung ini. Dia menuduh saya yang telah menyebabkan anak dan kemenakannya mati bersama runtuhnya dua gedung pencakar langit di New York."

"Kurang ajar. Saya akan buat perhitungan...."

"Sudahlah, Papi, jangan menghukum diri sendiri." Salihati memagang jemari Tuan Pasque. "Kita pulang saja, kasihan Mami di rumah sendirian. Dalam keadaan hamil tua seperti sekarang, Mami sangat membutuhkan Papi berada di sampingnya."

Tuan Pasque mengangguk. Sebelum pergi, dia memberi salam kepada teman-temannya. Pada cara teman-temannya menatap, ada sesuatu yang tidak dapat dijelaskan.  

*** 

"TAK usah mengantar saya, Papi, Mami." Salihati memberi isyarat. "Saya akan meninggal negara ini tanpa air mata." Gadis itu mencoba tersenyum, lalu cepat berbalik.

"Sayang!" Tuan Pasque memanggil. "Kalau anakku lahir habis musim semi ini, saya namai dia dengan namamu: Salihati." Tuan Pasque meremas jemari istirinya sebelah kiri, sedang jemari istrinya yang sebelah kanan mengelus perut buncitnya sendiri.

Salihati tidak menyahut, terus melangkah. Tuan Pasque berbisik kepada istrinya, "Kita tidak punya lagi seseorang yang selalu rutim meberikan mawar." Tuan Pasque mencoba mengenang kebiasaan Salihati yang selalu saja membawa sekuntum mawar setiap kali habis keluar dari rumah. Nyonya Pasque terisak, Tuan Pasque membiarkan istrinya menangis.

Di halaman, sebuah taxi yang dipesan Tuan Pasque telah menunggu. Sopirnya, seorang laki-laki berkulit hitam, buru-buru menyongsong Salihati. Dia membawakan koper gadis itu. "Kau seorang muslim?" tanyanya, sebelum Salihati masuk ke taxinya. Salihati melihatnya sekilas, tetapi diam saja. Setelah berada di dalam taxi, sopir itu mengajukan pertanyaan serupa.

"Kenapa?" Salihati balik bertanya.

"Alhamdulillah!" Sopir itu memperkenalkan dirinya sebagai Tariq Abdullah, seorang imigran muslim asal Aljazair. Abdullah, yang berperawakan tinggi besar, mengisahkan pengalamannya sebagai imigram muslim. Dia bilang, segala sesuatu menjadi berubah sejak peristiwa runtuhnya dua gedung pencakar langit di New York, dan dia mendapat perlakuan sebagai warga kelas ke sekian dalam segala hal.

"Banyak kawan-kawan saya yang masuk agama lain untuk mendapat perlakuan khusus. Lalu mengenakan tanda-tanda agama lain di lehernya. Sengaja dibuat besar agar orang-orang bisa melihat. Bagi saya itulah tindakan paling bodoh dalam hidup, seolah-olah nasib manusia ditentukan oleh manusia. Dan kau...."

"Aku?!" Salihati tidak menyangka pertanyaan itu akan meluncur dari Abdullah.

"Ya. Mungkin lebih sulit bagimu karena jilbab yang kau kenakan. Tapi, sebagai orang yang beriman, tidak ada hal paling sulit jika dilakukan di jalan Allah Swt."

Salihati mengangguk. "Saya harus kehilangan segalanya. Cita-cita saya, dan ...."

"Tidak. Tidak ada yang hilang. Allah Swt punya rencana lain untukmu." Abdullah diam, melirik Salihati lewat kaca spion. "Ngomong-ngomong kita ke mana."

Salihati diam. Dia berpikir, apakah akan langsung ke bandara, atau menikmati hari-hari terakhirnya di Perancis. Dia sangat mencintai kota ini sejak pertama sekali menginjakkan kaki. Ah, tidak, sejak sebelum dia sampai di negara ini. Sejak dia masih seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Provinsi Lampung, dan dia sangat mendambakan bisa tinggal di negara ini, terutama di Paris. "Kita ke Musee de Louvre. Aku ingin menikmati Paris terakhir kali. Mau kau menemaniku?" katanya.

Tidak ada jawaban, tetapi taxi melesat ke arah Rue de Rivoli. Gedung Musee de Louvre ada di Rue de Rivoli, dan Salihati acap datang ke sana untuk mengagumi karya-karya Leonardo da Vinci, Picasso, van Gogh, Modigliani, van Klee, Degas, Botticelli, Michelangelo, dan Jean Goujon. Entah sudah berapa kali Salihati pergi ke sana, dan selalu saja dia punya kesan berbeda setiap kali keluar. Salihati tersenyum bila mengingat hal itu. Juga, ketika dia menghabiskan sehari penuh sambil membaca puisi-puisi para penyair mutakhir Perancis pada edisi terbaru ®MDRV¯Le Temps Modern®MDNM¯ di Jardin du Carrousel, kemudian jalan kaki menelusuri sepanjang Sungai Saine. Diam-diam Abdullah mengagumi senyuman itu dari kaca spion. Salihati tahu laki-laki itu mencuri pandang tetapi dia membiarkannya. Dia mencoba merangkai kenangan selama berada di Paris, menumpuknya dalam ingatan untuk dibuka lagi suatu saat bila dia merindukan suasana ini.

"Kau akan pulang?" tanya Abdullah.

"Tetapi tidak ada yang bisa saya lupakan dari negeri ini." *** 

 
Ditulis untuk kawan yang baru pulang dari Perancis. Ibadah bias dilakukan di mana saja. 

 

 

Budi P. Hatees, menulis cerpen, puisi, dan esai di sejumlah media cetak nasional. Cerpen terkumpul dalam lima antologi bersama. Kini bekerja sebagai wartawan di Harian Lampung Post.

 

HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis.

web design by: musismail