Cerpen
yang menyusul di bawah ini ialah cerpen pertama yang diambil
dan diterjemahkan dari karya mutakhir (1999) Guenter Grass
yang berjudul Mein Jahrhundert ("Abadku"); karya ini berupa
kumpulan 100 cerpen yang masing-masing berjudul angka tahun-mulai
dari "1900" sampai dengan "1999".
Günter
Grass adalah pemenang hadiah Nobel 1999 untuk Kesusastraan;
dalam situs yang sedang Anda kunjungi ini dapat dibaca pula
cuplikan dari pidato yang diucapkannya ketika menerima penghargaan
Nobel itu (lihat/link: teks non-fiktif, Günter Grass).
1
9 0 0
Aku, ditukar dengan diriku sendiri,
tahun demi tahun telah mengalami semua itu. Tidak selalu di
garis depan - karena dalam perang orang seperti aku ini suka
mundur ke tempat pasukan biasa. Akan tetapi mula-mula, ketika
pecah perang melawan orang-orang Cina dan batalyon kami menggelar
pawai baris di Bremerhaven, aku berdiri paling depan di blok
tengah. Hampir semuanya tentara sukarela, tetapi aku satu-satunya
asal Straubing, meskipun baru bertunangan dengan Resi, Therese-ku.
Kami segera akan naik kapal,
sebab itu barisan kami membelakangi kantor Norddeutsche Lloyd
bagian Urusan Antar-Samudera dan menghadap matahari. Dari
atas podium tinggi di depan kami kaisar sedang berpidato dengan
nada cukup keras. Topi model baru berpinggiran lebar yang
dinamakan Südwester, melindungi kami terhadap matahari. Gagah
penampilan kami. Namun kaisar memakai helm khusus, berhiaskan
burung elang yang berkilauan atas dasar biru. Dia berbicara
tentang tugas-tugas besar, tentang musuh yang mengerikan.
Pidatonya membakar semangat. Katanya: "Kalau sudah tiba di
sana, camkan: tidak ada ampun. Tidak ada yang ditawan … "
Lalu dia bercerita tentang Atila, raja bangsa Hun*, dan gerombolan-gerombolannya.
Dia memuji orang-orang Hun, meskipun menurut catatan sejarah
mereka telah merajalela dengan cukup mengerikan. Inilah sebabnya,
mengapa di kemudian hari kaum sosialdemokrat telah menerbitkan
apa yang disebut "Hunnenbriefe"**, dan mengeritik habis-habisan
pidato kaisar yang mendapat julukan "Hunnenrede"***. Pada
akhir pidato itu kaisar memberi kami perintah untuk Cina:
"Ratakan jalan untuk peradaban, basmi semua perintang, sekali
tumpas untuk selamanya!" Kami bersorak tiga kali "Hura!"
Bagi aku yang berasal dari Bayern
Utara, berlayar melintas lautan terasa seperti neraka. Ketika
kami akhirnya tiba di Tientsin, semua sudah berkumpul di sana:
orang Inggris, Amerika, Rusia, bahkan orang-orang Jepang betulan,
dan beberapa pasukan dari negara-negara kecil. Tentara Inggris
yang dikirim ke sana sebenarnya orang-orang India. Kami orang
Jerman awalnya cuma berjumlah sedikit, tetapi untungnya membawa
meriam model baru, yaitu meriam tembak-cepat kaliber 5 senti
buatan Krupp. Sedangkan orang-orang Amerika menguji coba senapan
mesin "Maxim" mereka, benar-benar hebat senjata itu. Jadi,
Peking sudah cepat ditaklukkan. Sebab, ketika batalyon kami
masuk Cina, pertempuran rupanya sudah usai - sayang. Meskipun
begitu, masih ada segelintir orang Boxer yang tetap mengganggu
ketenangan. Mereka disebut begitu karena mereka adalah anggota
suatu paguyuban rahasia yang bernama "Tatauhuei", artinya
"orang yang bertarung dengan tinju". Sebab itu, pertama-tama
orang Inggris, lalu semua orang berbicara tentang pemberontakan
Boxer. Kaum Boxer membenci orang-orang asing karena mereka
senang menjual rupa-rupa barang, tetapi terutama orang-orang
Inggris sangat senang menjual candu kepada orang-orang Cina.
Maka, terjadilah apa yang sudah diperintahkan kaisar: tidak
ada yang ditawan.
Demi ketertiban pelaksanaannya,
orang-orang Boxer telah digiring ke lapangan dekat pintu Chienmen,
langsung di depan tembok yang memisahkan kota Mansyu dari
bagian yang umum dikenal sebagai kota Peking. Kepang rambut
mereka diikat menjadi satu; lucu kelihatannya. Kemudian kelompok
demi kelompok mereka ditembak mati atau satu per satu dipenggal
kepalanya. Namun, dalam surat kepada tunanganku sepatah kata
pun, bahkan tentang satu desah sekarat pun, tidak kuceriterakan
tentang kejadian-kejadian mengerikan itu; cuma tentang telur
seribu tahun dan bakpau. Orang-orang Inggris dan kami-orang
Jerman-lebih suka langsung menghabisi mereka dengan senapan,
sedangkan orang Jepang patuh pada tradisi kuno saat memenggali
kepala mereka. Akan tetapi, orang-orang Boxer lebih suka ditembak
mati, karena takut di neraka mereka harus jalan-jalan sambil
mengapit kepala sendiri di bawah ketiak. Selebihnya mereka
tidak takut. Aku pernah melihat sesorang melahap kue ketan
yang dicelup air gula sebelum ia ditembak mati.
Di lapangan Chienmen angin yang
berhembus datang dari padang gurun dan sewaktu-waktu gumpalan-gumpalan
debu kuning bertebar naik ke udara. Semua menjadi kuning,
juga kami. Aku menceriterakan kejadian itu kepada tunanganku
dan aku juga memasukkan sedikit pasir gurun ke dalam sampul
surat itu. Akan tetapi, supaya tebasan pedang para algojo
Jepang tepat sasaran, mereka terlebih dahulu memotong kepang
rambut orang-orang Boxer-mereka lelaki muda belia seperti
kami-maka di lapangan itu seringkali banyak kepang rambut
Cina teronggok dalam debu. Satu telah kuambil dan kukirim
ke rumah sebagai kenang-kenangan. Sekembali di tanah air,
aku memakainya waktu pesta karnaval; umumnya semua orang bersorak
sorai riang gembira melihat aku berdandan begitu - sampai
akhirnya tunanganku membakar oleh-oleh itu. "Barang 'gituan
nanti bawa hantu di rumah", kata Resi dua hari sebelum pernikahan
kami.
Akan tetapi, itu sudah cerita
lain lagi.
Catatan:
* Hun