HOME | EMAIL | LINK | ABOUT ME

 

 

 

 


 
:: SEJARAH NATAL ::

Pengantar
Dr. Imaduddin Abdurrahim


Menjadi seorang muslim yang baik, sekaligus menjadi warga negara dan anggota masyarakat yang baik, tidaklah terlalu mudah. Terlebih bila harus berinteraksi dengan penganut agama lain yang harus kita sikapi dengan "bijaksana dan benar". Sebagai konsekuensi dari aqidah kita, demikian juga perwujudan kerukunan umat beragama dalam masyarakat Bhinneka Tunggal Ika.

Jurus "bijaksana dan benar" tampak harus menjadi kata kunci dan pedoman utama. Bahkan keberadaannya harus digabungkan bersama-sama, tidak boleh salah satu ditinggalkan demi mengejar kepentingan yang lain. Bila penggabungan ini gagal, tidak mustahil interaksi hubungan antar umat beragama (khususnya Islam - Kristen) akan terjadi dalam format yang salah dan terdistorsi.

Pengalaman sejarah menunjukkan "ofisialisasi" perayaan Natal bagi bukan pemeluknya (Muslim - Hindu - Budha) telah menimbulkan polema yang cukup besar antara umat Islam yang diwakili MUI dengan pemerintah di satu sisi, dan antara umat Islam dengan umat Kristiani di sisi lain. Jelas bangsa Indonesia tidak menghendaki terulang tragedi yang tidak bijaksana dan tidak benar ini. Apatah lagi kalau harus mengorbankan putra terbaik seperti Buya HAMKA pada saat bangsa Indonesia membutuhkan satu kesatuan dan kepaduan dalam memasuki PJPT II dan menghadapi era globalisasi.

Menghadapi fenomena ini Saudari Irena Handono - melalui buku kecilnya ini, Perayaan Natal 25 Desember antara Dogma dan Toleransi - mencoba mengundang segenap pembaca untuk merenung sejenak menganalisa aspek kebenaran dalam memahami suatu ajaran atau informasi atau dogma demikian juga bijaksana dalam bertindak.

Melalu studi literatur dan catatan sejarah terus mencoba mengajak kita untuk menelusiri kondisi sosial dan spiritual kaum bani Israel yang kelak kemudian hari Isa Al Masih turun di tengahnya. Secara tajam Irena mengajukan suatu tesis bahwa Juru Selamat bukanlah hak monopoli dari Jesus Chrits saja karena hal tersebut merupakan suatu "amanah" yang juga disandang oleh tokoh-tokoh lain.

Dengan penuh objektivitas, Irena mencoba mempertanyakan, bahkan mendobrak tradisi-tradisi, apakah benar kelahiran Jesus Chrits itu terjadi pada 25 Desember tahun I. Apakah tidak ada unsur-unsur luar yang mempengaruhi penetapan 25 Desember tersebut seperti unsur politis, kepercayaan terhadap Dewa Matahari atau paganisme lainnya.

Buku kecil ini juga menguji keabsahan silsilah Jesus Chrits hingga Nabi Daud dengan peran sosok Yusuf sebagai bapak biologis. Secara umum buku kecil ini sangat menantang intelektualitas kita untuk mengkaji dan memperbaiki sesuatu yang sudah terlanjur kita anggap benar, padahal masih banyak yang harus "dibenarkan". Adalah jiwa besar dan objektivitas kita yang dibutuhkan untuk melihat suatu yang benar itu benar dengan menerimanya secara konsekuen serta bertanggung jawab.

Semoga Fatwa MUI yang disertakan dapat memberikan arah dan pedoman agar kita dapat berinteraksi dengan agama lain secara bijaksana tanpa mengorbankan nilai kebenaran. Atau dengan kata lain, mudah-mudahan setelah membaca buku kecil ini kita semua akan lebih objektif dalam menganalisa suatu informasi atau ajaran, serta bijaksana dalam berinteraksi dengan pemeluknya. Amin.

Jakarta , 12 Desember 1997


Sumber: Perayaan NATAL 25 Desember antara Dogma dan Toleransi . Oleh: Hj. Irena Handono