[Foto Tragedi]  [Clipping]  [Data Survey]  [Terbaru]  [Guest Book]


Sabtu, 27 Mei 2000

PRESSURES, PROVOKASI DAN KEMUNAFIKAN 

Massa Sanginora yang dipimpin oleh Guntur S. Tarinje, mendatangi kantor kecamatan Poso-pesisir dan dihadiri oleh pemuka-pemuka masyarakat islam setempat. Dalam pertemuan tersebut dibuat suatu memorandum of understanding yang memuat ikatan-ikatan perjanjian sebagai berikut : 

1. Pihak Kristen tidak akan saling menyerang dengan pihak muslim diseluruh Poso-pesisir. Adapun perseteruan yang terjadi dalam kerusuhan Poso cukup menjadi persoalan di Poso-kota saja, tidak perlu merambat sampai ke Poso-pesisir.

2. Semua rintangan-rintangan di jalan raya yang menghambat kelancaran lalu lintas dan mobilitas umum agar disingkirkan serta dibersihkan sebagaimana keadaan dan kondisi sebelumnya (sebelum diberi rintangan).

3. Pasukan kelompok-merah yang tidak bermusuhan dengan warga muslim Poso-pesisir tidak boleh saling mengganggu.

Kepatuhan dan kebodohan warga muslim yang terlibat dalam perjanjian itu telah hanyut dalam provokasi aparat kecamatan untuk mematuhi perjanjian tersebut. Pembersihan jalan raya-pun segera dilaksanakan yang dimulai dari desa Tabalu, Ratolene, Bega, Patiro-bajo, Mapane, Toini, Tolana, Landangan, Tompa. Dan bahkan sampai ke Kelurahan Maengko dan Kayamanya.

Jalan-jalan raya itu kini telah bersih dari cross-point yang sengaja dibuat masyarakat sebagai check-point untuk menghentikan dan memeriksa kendaraan-kendaraan yang lalu-lalang dengan tujuan keamanan dan pengamanan guna memperkecil ekses kerusuhan sosial yang terjadi di kota Poso. 

Dalam kasus ini nampak bahwa masyarakat islam kurang mendapat pembinaan akidah. Mereka telah membersihkan dan melicinkan jalan-jalan yang akan dilalui oleh pasukan-pasukan yang akan menghajar saudara-saudara-islam mereka yang berada di Poso-kota. Krisis serupa dikarenakan tidak adanya komando ummat untuk disikapi oleh warga muslim disekitarnya. Dan yang lebih parah adalah persepsi umat yang menterjemahkan keislaman yang mereka miliki hanya sekedar ikatan wilayah dan bukan ikatan akidah.

Dan disisi lain aparat keamanan dan pemerintah daerah nampak telah kewalahan menyikapi kondisi yang berkembang. Kredibilitas aparat dan pemerintah mulai mengalami abrasi sejak terjadinya fajar berdarah pada awal kerusuhan, yang ditandai dengan datangnya serangan pasukan ninja, yang kemudian lolos dengan begitu saja.

Pk. 15.00. Mujahid-mujahid Ampana yang dikala itu bergabung dengan masyarakat muslim Lawanga berhadapan dengan kelompok merah (kristen) yang merupakan gabungan dari desa Sepe, Silanca, Tagolu, Toyado dan Lage. Jumlah mujahid muslim dikala itu tidak mencapai 100 (seratus) personil, sementara dari pihak penyerang berjumlah ribuan personil. Penanganan pihak aparat yang kurang sigap dan tanggap dalam memahami situasi yang berkembang, mengakibatkan gugurnya 3 orang mujahid sebagai syuhada dan 24 orang menderita luka berat.


Back   Next

[Foto Tragedi]  [Clipping]  [Data Survey]  [Terbaru]  [Guest Book]

[Home]