![]() Ringkasan buku |
Bagian 1 | 2 | 3 | 4 | Monarki AmerikaNama sandi untuk Gedung Putih di kalangan Agen Rahasia adalah Crown, Mahkota. Aroma imperial memang tercium cukup kuat di sini. "Kehidupan di Gedung Putih adalah kehidupan sebuah istana," kata George Reedy, sekretaris pers Presiden Johnson. "Presiden diperlakukan dengan pengagungan layaknya seorang raja. Tak seorang pun berani mengusik presiden dalam kontemplasinya dengan alasan apa pun, kecuali mungkin kalau ada malapetaka besar terjadi di suatu tempat di muka bumi. Tak seorang pun mendahului dia berbicara. Tak seorang pun berani menolak permintaannya, bahkan ketika itu dirasa tidak masuk akal dan remeh," demikian tulis Reedy dalam bukunya The Twilight of the Presidency. Padahal Bapak-bapak Pendiri Amerika dengan tegas menolak nuansa kerajaan seperti itu. Perre L'Enfant, yang dipilih George Washington untuk merancang Gedung Putih, pernah menawarkan model "istana presiden" yang lima kali lebih luas dari bangunan yang sekarang. Kongres menolak model itu. Thomas Jefferson, pejabat sekretaris negara saat itu, memberhentikan L'Enfant. Namun bahkan model Gedung Putih yang dibangun kemudian pun masih mendapat kritikan. Anggota Kongres dari Pennsylvania, Charles Ogle, pada 1840 menyebut Gedung Putih "sebuah kerajaan yang dimapankan atas pengorbanan rakyat." "Itu Urusan Saya." Lyndon Johnson adalah presiden yang paling terpengaruh godaan monarki ini. Psikiater Bertram Brown menyebut Johnson seorang megalomania. "Dia begitu narsistik, dia merasa mampu melakukan apa saja yang dia inginkan. Dia ingin mengontrol segalanya," kata Brown. Salah satu cara Johnson menegaskan kekuasaannya adalah dengan selalu telat. Robert MacMillan, pramugara pesawat presiden, Air Force One, berkisah, "Johnson pernah telat satu jam dan berharap para kru pesawat dapat sampai tepat waktu di tujuan. Ketika pesawat mendarat, dia bertanya, 'Mengapa penerbangan komersial bisa sampai ke sini dalam satu jam, tapi kita dua jam?' Kami bilang, 'Tuan Presiden, itu karena Anda terlambat satu jam.' Dan dia menjawab 'Itu urusan saya.'" Keengganan mengakui kekeliruan keputusan pun menandakan dampak aura Gedung Putih. Perang Vietnam menjadi berkelanjutan karena ego Johnson terlibat di dalamnya. "Sekali presiden membuat sebuah keputusan, keputusan itu akan terus berjalan dan berjalan meskipun bodoh," kata George Reedy. Sikap para staf pun memperlakukan presiden seperti raja. Sering kali informasi yang sampai ke presiden diselewengkan karena ajudan memberi tahu apa yang ingin dia dengar saja. Tak Cakap Datang terlambat juga menjadi ciri Bill Clinton. "Clinton selalu telat," kata James Saddler, pramugara Air Force One yang lain. "Itu bervariasi antara satu hingga dua jam. Kalau dia sudah berjabat tangan dengan orang lain, dia suka lupa waktu." Tapi keterlambatan Clinton dalam setiap acara dipandang para kritikusnya sebagai bukti ketidakmampuan Clinton mengatur diri sendiri -- apalagi mengatur negara. Clinton dan stafnya sering disebut sebagai pemerintahan yang paling tidak cakap sepanjang sejarah Amerika. David Shaw, seorang kritikus media di Los Angeles Times dengan kesal menyatakan, "Gedung Putih tak pernah tepat waktu." Dalam Washington Monthly dia menulis, "Clinton selalu terlambat. Dia bisa mencatatkan rekor untuk kelambanan dalam Guinness Book of World Records." Pada 16 Juli 1993, Shaw menghadiri pertemuan pers yang dijadwalkan berlangsung pada 11.30, tapi acara itu ternyata baru dimulai pukul 13.30. Sore harinya Shaw ikut briefing yang akan diberikan direktur komunikasi Gedung Putih, George Stephanopoulos, dan penasihat Clinton di bidang pers, David Gergen. Acara yang dijadwalkan mulai 15.00 itu mundul hingga pukul 17.07. "Saya diberi tahu kalau ini sudah biasa," tulis kritikus media Los Angeles Times tersebut. Sejak awal mengambil alih Gedung Putih, staf Clinton sudah terlihat tidak sigap. Mereka tidak mempelajari aturan perparkiran di lingkungan Gedung Putih, mereka tidak mengorganisasi pembalasan surat-surat dan penerimaan telepon. Lucille Price, manager Administrasi Layanan Umum, bagian yang menangani kepindahan setiap presiden baru, berkomentar, "Orang-orang Clinton ini sangat tak terorganisasi. Terlalu muda, dan terlalu kasar." Di balik ketidakcakapan ini menurutnya adalah arogansi, kekacauan berpikir, dan kurangnya kepekaan, sejak di tingkat presiden dan hingga ke seluruh staf. "Baca Gerak Bibirku." Berbeda dengan Johnson dan Clinton, George Bush justru sangat ingin menghindari sikap pengagungan terhadap presiden. Bush --nama sandinya Timber Wolf-- berulang kali mempersoalkan tingkat perlindungan pengamanan yang diterimanya. Dia ingin meminimalkan jumlah orang yang ikut bepergian bersamanya. Menurut asisten Presiden Bush, Bonnie Newman, Bush tidak ingin menciptakan kesan imperial. "Terlihat jelas bahwa mereka tidak ingin orang beranggapan bahwa mereka adalah 'orang keraton', dalam pengertian apa pun," ujar Newman. "Saya pikir dia berusaha untuk merendah sembari tetap mempertahankan kewibawaan yang harus mewarnai kepresidenan itu sendiri." Dalam tingkat personal, Bush mungkin tidak terpengaruh, tapi dalam tingkat kebijakan dia tidak berbeda. Seperti presiden-presiden sebelumnya, Bush tidak merasa bersalah jika harus melanggar janji-janji kampanyenya. "Baca bibirku: Tak ada pajak baru," serunya berulang kali. Tapi kemudian dia melanggar kata-katanya sendiri dengan menaikkan pajak penghasilan dan pajak atas bahan bakar, rokok, bir, dan beberapa barang lain. Seperti presiden-presiden sebelumnya, Bush juga tidak merasa bersalah jika harus berbohong kalau itu memberinya keuntungan secara politis. Dalam pencalonan masa kepresidenan kedua, Bust bersikukuh dia tidak 'di luar lingkaran' ketika kejadian-kejadian yang menggiring ke skandal Iran-Kontra dibicarakan. Namun laporan seorang penasihat independen, Lawrence Walsh, menyatakan Bush "selalu ikut rapat bersama presiden tentang penjualan senjata ke Iran, dia berpartisipasi dalam diskusi-diskusi untuk memenangkan dukungan negara-ketiga terhadap pihak kontra." Reagan termasuk presiden yang tidak terpengaruh aura Gedung Putih. Reagan ramah dalam bertegur sapa dengan orang-orang di sekitarnya. Pramugara Air Force One, James Sadler berkisah, "Reagan mampu mengingat nama banyak orang dengan cepat. Sebentar dia lihat daftar nama orang-orang yang hadir dalam suatu pertemuan. Satu menit kemudian dia akan keluar dan menyapa, 'Hallo Sally, Dick, Joe.' Sangat mengesankan." Figur Ayah Publik Amerika mungkin berharap terlalu besar kepada presiden dan keluarganya. Karena tidak pernah punya raja atau ratu, rakyat Amerika mencari figur ayah yang bisa mereka "pertuhankan" di Gedung Putih. Sebagaimana dalam sebuah monarki, serangan terhadap integritas kepala negara dipandang nyaris sebagai serangan terhadap bangsa. Suasana monarki inilah yang menimbulkan skandal-skandal yang terus melibatkan presiden-presiden Amerika. Kegagalan Kennedy menimbang kecerobohan invasi Bay of Pigs, penolakan keras kepala Johnson untuk tunduk pada tuntutan rakyat agar menghentikan Perang Vietnam, upaya Nixon menutup-nutupi skandal Watergate, dukungan Reagan terhadap peristiwa-peristiwa yang akhirnya mengarah pada skandal Iran-Contra, dan pernyataan Bush bahwa dia tidak tahu-menahu tentang skandal Iran-Contra, semuanya dapat dinisbahkan pada arogansi kekuasaan yang ditumbuhkan oleh kehidupan di dalam Gedung Putih.[] Bagian 1 | 2 | 3 | 4 | Bandung, September 1997. Pernah dipublikasikan di Majalah berita mingguan UMMAT Kembali ke Halaman Depan |