Creon: Dan kau benar-benar berani melawan hukum.
Antigone: Ya, aku berani. Itu bukan fatwa Zeus. Yang merupakan Keadilan terakhir. Yang mengatur dunia di bawah sini tak membuat hukum semacam itu. Maklumatmu, Raja, kuat, tapi semua kekuatan itu tak berdaya melawan hukum Tuhan yang abadi dan tak tercatat.
Kutipan dialog antara Raja Thebes, Creon, dan Antigone dalam Antigone karya Sophocles (lk. 496-406 SM) ini adalah satu dari kutipan paling populer dalam literatur hukum. Kisahnya berpusat pada sosok Antigone, putri Raja Oedipus. Ketika dua saudaranya, Eteocles dan Polynices, terbunuh dalam perang untuk merebut tahta Thebes, Creon memaklumatkan bahwa Polynices dilarang dikubur sesuai hukum Thebes. Namun, Antigone menentangnya dan mengubur sendiri saudaranya.
Naskah Sophocles ini memang memikat, terutama karena gagasan tentang pembangkangan atas hukum dianggap sebagai kritik atas hukum formal yang hingga kini pun masih menjadi isu populer di dunia hukum. Namun, dalam Antigone tidak ada sebuah drama pengadilan. Antigone tak pernah disidang untuk menentukan apakah langkahnya salah atau benar. Inilah yang membedakannya dari novel-novel hukum modern yang kini dikenal lewat tangan-tangan kreatif pengarang Amerika semacam John Grisham dan Scott Turow.
Amerika memang tak bisa dilepaskan dari novel hukum. Negeri itu berkali-kali dipimpin sejumlah pengacara sebagai presidennya, seperti Bill Clinton, Martin van Buren, Millard Fillmore, William McKinley, James Knox Polk, dan William Howard Taft. Setiap generasi tumbuh bersama sekurangnya seorang novelis yang mendongengkan drama-drama pengadilan.
Dalam dunia sastra, ada beragam istilah untuk menyebut jenis novel Grisham. Ada yang menyebutnya novel misteri, thriller hukum, novel hukum, dan misteri hukum. Redaksi Mysteryguide.com memilih misteri hukum dan merumuskannya sebagai buku-buku yang menampilkan seorang pengacara sebagai sosok protagonis. Istilah lain yang mereka sebutkan adalah drama pengadilan dan thriller hukum. Yang pertama mengacu pada novel hukum yang memaparkan sebuah pengadilan (biasanya kriminal). Sedangkan yang kedua merupakan istilah longgar untuk novel hukum yang lebih banyak aksinya ketimbang penyelidikan. Untuk keperluan artikel ini, saya akan menggunakan istilah fiksi hukum agar lebih lentur dalam pengelompokannya.
Fiksi Menyambangi Hukum
Fiksi hukum relatif baru berkembang di awal abad ke-20. Masa-masa sebelumnya, para pengarang memang telah menyentuh tema hukum dan drama persidangan di berbagai sastra kanon, misalkan Apologia Plato, The Merchant of Venice Shakespeare, Scarlet Letter Nathaniel Hawthorne, dan Der Prozess Kafka. Namun, para pengacara, hakim, jaksa, dan hukum sendiri cuma jadi lingkungan, bukan di posisi utama.
Beberapa sastrawan, seperti Goethe, Flaubert, Moliere, Jules Verne, Balzac, Alexander Dumas, Gaston Leroux, Henry Fielding, Sir Thomas More, John Galsworthy, Charles Dickens, Walter Scott, Henry James, dan Leo Tolstoy bahkan pernah menempuh studi hukum, namun karya-karya mereka tak sampai mengangkat dunia hukum ke karya fiksinya.
Pengecualian perlu diberikan untuk beberapa naskah kuno seperti Dee Goong An karya pengarang Cina abad ke-18 yang tak diketahui namanya. Naskah inilah yang ditemukan diplomat Belanda, Robert van Gulik, saat bertugas di Jepang. Gulik lantas menerjemahkannya menjadi Celebrated Cases of Judge Dee (1949). Inilah buku yang mengungkap kisah legenda Judge Dee--di Indonesia dikenal sebagai Judge Bao lewat serial televisi--selama masa Dinasti Tang di abad ke-7.
Sastra Jawa pernah pula menjelajahi fiksi hukum ini, setidaknya lewat Serat Cabolek yang disebut-sebut sebagai karya Yasadipura I (1729-1803). Buku ini merekam fragmen pengadilan ulama atas Syekh Ahmad Al-Mutamakkin, ulama Jawa Tengah yang konon hidup pada 1645-1740, yang dituduh sesat karena mengajarkan ilmu hakikat kepada orang ramai dan menghina dua pejabat agama dengan menamai anjingnya seperti nama mereka. Dalam Cabolek, Mutammakkin berperan sebagai terdakwa sekaligus pembela.
Naskah kuno lain adalah Apologia (lk. 399 SM) karya Plato (427-347 SM) yang mengungkap sidang pengadilan filsuf Athena, Socrates, karena dia menolak mengakui dewa-dewa dan mempengaruhi kaum muda. Buku yang lebih muda usianya adalah Bleak House (1853) karya Charles Dickens (1812-1870) yang dianggap salah satu karya klasik dalam fiksi hukum. Di novel ini, Dickens menyinggung masalah hak atas anak haram dan misteri pembunuhan seorang pengacara.
Narayan R., pengacara di Thiruvananthapuram, India, dan penggemar berat novel-novel Turrow dan Grisham, menyebut Wilkie Collins (1824-1889) sebagai pengarang pertama yang mengkombinasikan hukum dan fiksi dalam sebuah novel panjang. Collins adalah barrister (istilah di Inggris untuk jaksa yang mempresentasikan sebuah kasus di sidang) di London pada penghujung abad ke-19. Novel-novel pertamanya muncul di jurnal mingguan All the Year Round milik sahabatnya, Charles Dickens. Collins mengupas masalah hukum, seperti No Name (1862) tentang hak anak haram, Armadale (1866) tentang pelacuran dan aborsi, dan Evil Genius (1886) tentang perceraian dan hak pemeliharaan anak.
Namun, Melville Davisson Post-lah yang dianggap sebagai pengarang pertama yang menulis fiksi hukum dalam pengertian modern lewat kumpulan cerpen The Strange Schemes of Randolph Mason (1896). Post adalah pengacara di West Virginia, AS, yang memanfaatkan pengetahuan hukumnya untuk membangun plot cerita. Yang paling terkenal adalah kisah Corpus Delicti di mana Randolph Mason, tokoh protagonisnya, memberi nasihat kepada kliennya untuk melakukan pembunuhan dan berhasil membelanya di pengadilan berdasarkan alasan bahwa mayat korban tak bisa ditemukan dan jaksa hanya mengajukan bukti-bukti tak langsung.
Tapi, baru pada awal abad ke-20 drama pengadilan dan sosok hamba hukum mengemuka. Dalam sebuah esai pendamping serial televisi Mistery! di PBS, kolumnis Ron Miller menyebut nama pengacara dan novelis Amerika, Arthur Train, sebagai salah satu pelopor genre ini. Train menciptakan sosok Aphraim Tutt, pengacara di era pergantian abad, yang muncul di berbagai cerita pendeknya sekitar 1920-1945.
Yang paling terkenal di antara para pionir ini adalah Erle Stanley Gardner, pengacara Amerika yang praktik hukum selama dua dekade. Gardner mulanya menulis novel The Case of the Velvet Claws (1933). Namun, namanya jadi cemerlang setelah dia memperkenalkan tokoh fiktif Perry Mason, pengacara jenius yang melakukan penyelidikan sendiri atas kasus-kasusnya. Karakter semacam Mason ini begitu populer dan mendorong lahirnya beberapa film bertema serupa pada 1930-an, serial radio, serial televisi, dan bahkan komik.
Pada era 1950-1960-an, secara umum terjadi penurunan jumlah karya fiksi. Namun, di masa inilah terbit fiksi hukum yang memberi gambaran realistik tentang sistem pengadilan Amerika, Anatomy of A Murder (1958), karya Robert Traver--nama pena John D. Voelker, pengacara yang pernah menjabat sebagai Jaksa Distrik Marquette County, Michigan. Buku ini mengisahkan bagaimana pengacara kota kecil Paul Biegler membela seorang letnan yang dituduh memperkosa dan membunuh istrinya yang cantik.
Namun novel Traver tak sampai menjadi tren. Marlyn Robinson mencatat dalam artikelnya, Collins to Grisham: A Brief History of the Legal Thriller, bahwa para pengacara terlalu sibuk berpraktik dan menghimpun uang di era 1950-an. Masa ini merupakan saat menggairahkan bagi kerja para jaksa dan pengacara yang kebanjiran order.
Hal ini tak terjadi pada 1970-1980-an di Amerika ketika para pengacara meninggalkan kursi empuk kepengacaraannya dan mulai menulis fiksi hukum. Tampaknya, boom bisnis hukum yang terjadi hingga akhir 1980-an telah menciptakan iklim yang tak nyaman bagi para pengacara. Tekanan pada jam-jam kerja dan kompetisi yang melelahkan telah mendorong sejumlah pegacara untuk memikirkan kembali karirnya.
Maka datanglah Scott Turow, asisten jaksa distrik Chicago di AS, dengan novel Presumed Innocent (1987). Karyanya meledak. John Grisham, dulu jaksa di Mississippi, AS, menyusul dengan menulis novel A Time to Kill (1988). Grisham sukses pula, demikian pula dengan novel-novel bertema serupa yang diterbitkannya kemudian.
Hingga akhir 1997, total buku-buku Grisham yang beredar mencapai 20 juta eksemplar hardcovers dan 67 juta buku saku. Buku-buku Grisham juga diangkat ke film dan telah diterjemahkan dalam 31 bahasa yang menghasilkan beberapa miliar dolar. Formulanya, "Kau masukkan seorang yang tak bersalah ke dalam sana, biarkan dia terjebak dalam konspirasi, lalu kau kau selamatkan," kata Grisham kepada Entertainment Weekly, April 1994.
Yang paling gres dari generasi ini adalah Stephen L. Carter, profesor hukum di Universitas Yale, AS. Pada akhir Desember 2001, novel pertamanya, The Emperor of Ocean Park, dipinang penerbit Alfred A. Knopf and Jonathan Cape seharga US$ 4 juta, nilai tertinggi yang pernah dibayarkan untuk sebuah novel perdana.
Hukum Menyambangi Fiksi
Kehadiran fiksi hukum ini punya posisi penting dalam ilmu hukum. Studi kontemporer di dunia hukum kini telah mengintroduksi sastra sebagai bagian dari studinya. Gerakan "sastra dan hukum" ini terutama mengemuka lewat gerakan sejumlah sarjana hukum lewat Critical Legal Studies (CLS).
CLS adalah semacam teori yang menantang dan membalik norma-norma dan standar yang selama ini berlaku dalam teori hukum. Pendukung teori ini percaya bahwa logika dan struktur hukum tumbuh dari relasi-relasi kekuasaan di masyarakat. Hukum ada untuk mendukung kepentingan kelompok atau kelas tertentu yang membentuknya. Hukum, bagi mereka, tak lebih dari seperangkat kepercayaan dan prasangka yang melegitimasi ketidakadilan di masyarakat.
Gerakan CLS diproklamasikan pada 1977 pada sebuah konferensi ahli hukum di University of Wisconsin, Madison, AS. Namun, akarnya tertambat di tahun 1960 ketika anggota-anggota CLS terlibat dalam aktivitas sosial seputar gerakan Hak-hak Sipil dan Perang Vietnam. Banyak anggota CLS di masa itu yang memasuki sekolah hukum dan mulai menerapkan gagasan, teori dan filsafat posmodernisme pada studi hukum.
Mereka memungut banyak teori dari ilmu-ilmu lain untuk memajukan teori hukum, termasuk teori-teori pascamodernisme dan teori sastra. Gerakan modern "hukum dan sastra" dibangun di atas pandangan James Boyd White, profesor hukum, bahasa Inggris, dan studi klasik di University of Michigan, dalam White, Law and Literature: No Manifesto (1988), bahwa "sastra dan hukum keduanya tentang akal dan emosi, politik dan estetika.. tertarik pada apa pun yang orang tulis atau katakan."
Selain White, para pemikir CLS adalah Roberto Mangabeira Unger, profesor Hukum di Harvard University, AS, Robert W. Gordon, Morton J. Horwitz, Duncun Kenney, dan Katharine A. MacKinnon. Meskipun berkembang pesat di Amerika, CLS banyak menggali kearifan para pemikir Eropa, dari Karl Marx hingga Jacques Derrida.
Mereka dengan intensif menggali semua jenis karya budaya, termasuk budaya pop seperti televisi dan film, untuk membaca kembali teori hukum. Bagi mereka, para pengacara dan hamba hukum lainnya harus terus menerus dikritik. Mungkin mereka percaya pada apa yang ditulis Mario Puzo dalam The Godfather bahwa "Seorang pengacara dengan sebuah tas dapat mencuri lebih banyak uang daripada seratus orang bersenjata." (kurniawan)
Artikel Terkait: