Logo Oneweb
Catatan Sastra

Novel Indonesia Masih Mengeja Kriminal

(Koran Tempo, Minggu, 7 Juli 2002)


Bila di Amerika dan Eropa novel-novel hukum menemukan momentum untuk tampil, tak demikian dengan Indonesia. Tampaknya tak ada satu pun sastrawan Indonesia yang menyentuh tema hukum secara serius. Bahkan sejumlah sastrawan besar yang pernah berurusan meja hijau seperti Stor Situmorang, Goenawan Mohamad, dan Pramoedya Ananta Toer pun tak sampai menghasilkan sebuah karya yang memotret ruang pengadilan dan segala tetek bengeknya. "Mungkin karena sidang-sidang di sini kurang dramatis. Tak ada juri dari kalangan awam dan tak ada pengacara yang tampil seperti para pengacara di sidang-sidang Amerika itu," komentar A.S. Laksana, sastrawan dan pengelola penerbitan Akubaca suatu kali.

Namun, kita bisa menyaksikan betapa banyak sidang-sidang yang sangat dramatis terjadi di republik ini. Kita masih ingat tentang tragedi Sum Kuning, gadis desa Godean, Yogyakarta, pada 1970. Gadis penjual telor itu diperkosa ramai-ramai oleh segerombolan pemuda, satu di antaranya anak pejabat tinggi kota tersebut. Sum mengadukan nasibnya ke pengadilan, tapi pengadilan malah berbalik mencampakkannya ke penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik. Kejujuran Sum disebut sang pejabat sebagai kebohongan dan dia mengkambinghitamkan seorang tukang bakso sebagai pelakunya. Kasusnya meledak menjadi isu nasional.

Tentu saja masih ada banyak kasus-kasus lain, seperti kasus Lingah-Pacah atau Sengkon-Karta. Dua kasus ini sama-sama menunjukkan bagaimana keputusan pengadilan bisa keliru tapi pengadilannya sendiri tak memberi balasan yang berarti bagi korbannya.

Tapi, bukan berarti para sastrawan Indonesia menutup mata terhadap masalah keadilan. Pramoedya Ananta Toer pernah menyinggungnya dalam Bumi Manusia dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ada pula Mayon Sutrisno dalam Nyai Wonokromo yang terbit sebagai novelet di majalah Sarinah pada 1980-an dan menyebabkan Mayon dipecat dari jabatannya sebagai redaktur di majalah itu.

Kalaupun ada yang tumbuh dalam sejarah sastra Indonesia, karya-karya itu lebih tergolong novel misteri atau detektif. Di sini saya meringkas dan sedikit menambahkan apa yang telah dipaparkan Jacob Sumarjo dalam bukunya, Novel Populer Indonesia (1985).

Jacob mencatat bahwa novel bahasa Melayu pertama ditulis wartawan Lie Kim Hok (1853-1912) dalam bahasa Melayu-Cina, Sobat Anak-anak (1854). Sumbangan Lie dalam fiksi hukum adalah lewat novel Graaf de Monte Christo yang disadur dari karya Alexander Dumas, Le Comte De Monte-Cristo (1845). Karya Dumas ini novel petualangan yang mengungkap penyalahgunaan kekuasaan kehakiman dan konspirasi hakim dan pengusaha.

Ketika koran-koran berbahasa Melayu dan Belanda terbit pada 1900-an, para pengarang banyak memungut bahan dari berita-beritanya untuk menulis kisah-kisah kriminal. Pada 1930-an novel-novel detektif bahasa Melayu cukup populer di Medan dengan para pengarang muda seperti Jusuf Souyb (serial Elang Emas) dan Matu Mona (Spionage-Dienst dan Pacar Merah)

Namun, keramaian penerbitan ini mandeg ketika Jepang menduduki Indonesia. Setelah kemerdekaan novel-novel pop hidup lagi dengan mencetak ulang karya-karya lama.

Apa yang dirintis Jusuf dan Matu Mona di Medan, kini beralih ke Surabaya yang dipelopori Grandy's cs pada 1950-an. Yang paling populer adalah serial Naga Mas karya Aryono dengan epigon-epigonnya seperti serial Garuda Putih, Cempaka Merah, dan Gagak Lodra. Dalam Naga Mas, tokoh utamanya adalah Dragono alias Naga Mas, pemuda yang bersahabat dengan polisi tapi sering bertindak di luar hukum dalam mengungkap misteri pembunuhan sehingga jadi buronan polisi.
"Justru tindakan di luar hukum itu yang menarik pembaca. Mungkin jalan hukum kelewat lamban dan formil," tulis Jacob.

Pada 1960-an Indonesia kebanjiran novel-novel saduran dan terjemahan Barat. Puncaknya terdapat pada seri Rocket Jakarta yang menerbitkan lebih dari 50 novel detektif dan spy Barat karya Earl Stanley Gardner, Agatha Christie, dan Ellery Queen, termasuk 16 novel Ian Fleming si pencipta James Bond.

Masa keemasan ini diteruskan oleh penerbit Gramedia pada 1970-an dengan menerbitkan novel-novel detektif seperti karya Agatha Christie dan Arthur Conan Doyle. Di masa ini pula majalah Intisari rutin menyisipkan cerita kriminal terjemahan dalam setiap edisinya.

Pada 1980-an penagrang produktif Arswendo Atmowiloto datang dengan menulis kisah-kisah detektif lewat serial Imung di majalah remaja Hai. Selain itu ada pula S. Mara Gd., penerjemah novel Agatha Christie, yang kemudian menulis novel sejenis. Novel pertamanya Misteri Dian Yang Padam terbit pada 1985. Tokoh utama ceritanya adalah kapten polisi bernama Kosasih dan sahabatnya Gozali dengan setting Surabaya. Novel-novelnya mirip Agatha Christie dan doyan membuat judul yang diawali kata "misteri", seperti Misteri Dian yang Padam, Misteri Gugurnya Sekuntum Dahlia, Misteri Gelas Kembar, Misteri Kolam yang Dangkal, Misteri Rahasia Seorang Suami, Misteri Gadis Tak Bernama. V. Lestari adalah penulis yang mengusung genre serupa. Ceritanya berpusat pada tokoh utamanya yang selalu perempuan, seperti dalam Misteri Dara dan Misteri Si Kembar.

Era 1990-an adalah pasang naik fiksi hukum terjemahan seperti karya Scott Turow dan John Grisham. Namun, tetap saja ruang sidang absen dari karya-karya sastra Indonesia. (Kurniawan)

Artikel Terkait:


Lihat siapa pengunjung situs ini.