John Grisham mungkin boleh berbangga. Fiksi hukum The Firm mungkin jadi bacaan yang paling sering dibaca oleh para hamba hukum di Indonesia. Di belahan dunia Barat, fiksi hukum semacam ini menjadi makanan sehari-hari bahkan dibahas dalam kuliah-kuliah ilmu hukum. Namun, dunia akademik Indonesia tidaklah seprogresif itu.
Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mungkin termasuk generasi sarjana hukum yang beruntung. Dia berkisah bahwa ketika dia dulu mengambil mata kuliah kriminologi di Universitas Pajajaran, Bandung, tahun 1960-an, setiap mahasiswa diwajibkan membaca novel yang dipilih dosen. Bacaan itu menjadi bagian dari mata kuliah bersangkutan. "Pada saat mau maju ujian, selain text book mata kuliah, diharuskan juga membaca buku sastra," kata Bagir.
Bagir tak tahu apakah dalam perkembangannya hal itu masih dilakukan di fakultas-fakultas hukum di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Namun, saat ini Bagir masih membaca fiksi hukum, tapi lebih karena ketertarikan pribadi. "Perkembangan sastra dulu hebat. Tapi nggak tahu sekarang, mungkin lebih pop. Dulu kan serius," ujarnya.
Faktanya, setelah 1960-an, fiksi hukum lenyap dari referensi perkuliahan fakultas hukum. Pengacara senior M. Assegaf bercerita bahwa semasa ia kuliah sama sekali tidak ada fiksi hukum yang dibahas. "Yang ada semuanya tentang pelajaran hukum dan filsafat dan juga ekonomi, itu pun sedikit saja disinggung," kata alumni Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada tahun 1970 ini. Assegaf yakin setiap mahasiswa punya bakat dan latar belakang yang berlainan. Sehingga, selain kuliah hukum, mereka bisa saja membaca karya sastra sesaui ketertarikan individual.
Membaca sebuah fiksi yang berbau hukum ataupun bukan tentunya akan menambah wawasan dan wacana. Bagi seorang pengacara, hal ini akan terlihat pada saat membuat pertimbangan dalam menyusun pembelaan. Ada yang bahasanya kaku, tapi ada juga yang cair. "Ini memang bukan sesuatu yang dipelajari. Tapi ada ketertarikan tersendiri. Dunia seni dan sastra biasanya diperoleh di luar mata kuliah. Jiwa sastra dan seninya masuk, dan itu sering mewarnai pada saat menyusun pembelaan," ujar Assegaf.
Assegaf berargumen, fiksi hukum tidak perlu masuk mata kuliah ilmu hukum. Itu cukup dengan adanya mata kuliah filsafat yang jadi mata kuliah pokok di tiap fakultas. Karena, katanya, seluruh ilmu pengetahuan berawal dari filsafat.
Sekretaris Ketua MA, Sartono, pun mengakui pada waktu ia kuliah, tak ada fiksi hukum yang dibahas. Namun lulusan Universitas Airlangga tahun 1969 ini menilai fiksi hukum sangat penting dan perlu masuk fakultas hukum. "Ini untuk menggali kearifan dan sense (kepekaan) hati nurani tiap-tiap individu," katanya. Dengan banyak membaca karya-karya sastra, maka kepekaan itu akan semakin tajam dan semakin arif dalam menilai sesuatu.
Bila ada para praktisi hukum yang rajin membaca fiksi hukum, itu tampaknya lebih karena pertimbangan pragmatis. Desmayani Setianingsih, pengacara muda dari kantor pengacara Lontoh dan Kailimang, lebih menekankan kegunaannya dalam berbahasa. Alumni Universitas Indonesia tahun 1999 ini mengaku dengan banyak membaca fiksi hukum memudahkan dia ketika menyusun pembelaan. Bahkan tidak jarang ia mengutip pernyataan dari beberapa novel dalam pembelaannya. "Ini seringkali membuat pembelaan itu lebih hidup," katanya.
Hal senada diungkapkan Elsa Riyanti, pengacara muda dari kantor pengacara OC Kaligis. "Lebih ditekankan soal mata kuliah filsafat hukum," ujarnya. Meski ia tidak terlalu tertarik dengan dunia sastra, ia mengakui hal itu diperlukan pada saat menyusun pembelaan.
Rekannya, R. Andika dari kantor yang sama, berpendapat serupa. Novel-novel Grisham ia baca karena ketertarikan secara individu. Kata dia, sewaktu mengambil mata kuliah filsafat hukum, fiksi hukum itu sempat disinggung namun tidak dipaparkan lebih jauh. "Ada sih waktu itu diputar film Ponirah Terpidana. Tapi itu pun tidak dibahas dalam perkuliahan dan film itu diputar di luar jam perkuliahan," ujar lulusan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta ini. (Sukma)
Artikel Terkait: