ANAK YANG KEMATIAN AYAH
Masa saya masih berusia empat tahun, ayah saya telah
meninggal. Ia telah meninggalkan saya sebelum saya kenal
siapa dia dan betapa rupanya, hanya di dinding masih
saya dapati gambarnya, gambar semasa ia masih muda,
gagah dan manis.
Ia telah meninggalkan saya dan ibu di dalam keadaan yang
sangat melarat. Rumah tempat kami tinggal hanya sebuah
rumah kecil yang telah lama, yang lebih dikenal kalau
disebut gobok atau dangau. Kemiskinan kami telah
menjadikan ibu putus harapan memandang kehidupan dan
pergaulan dunia ini, kerana tali tempat bergantung sudah
putus dan tanah tempat berpijak sudah runtuh. Hanyalah
saya yang tinggal, jerat semata, tempat dia
menggantungkan pengharapan untuk zaman yang akan datang,
zaman yang masih gelap.
Meskipun pada masa itu ibu masih muda dan ada juga dua
tiga orang dari kalangan saudagar-saudagar atau
orang-orang berpangkat yang memintanya menjadi isteri,
tetapi semuanya telah ditolaknya dengan perasaan yang
sangat terharu. Hatinya belum lupa kepada almarhum ayah,
semangatnya boleh dikatakan telah mengikuti ke
kuburan.
Pada waktu malam, ketika akan tidur, kerap kali ibu
menceritakan kebaikan ayah semasa ia hidup; ia seorang
terpandang dalam pergaulan dan amat besar cita-citanya
jika saya besar, akan menyerahkan saya masuk sekolah
supaya saya menjadi orang yang terpelajar.
Masa itu daun sedang rimbun, bunga sedang kembang dan
buah sedang lebat, orang pun datanglah berduyun-duyun
menghampirkan diri, ini menghampirkan diri, ini
mengatakan mamak, itu mendakwa bersaudara, berkarib
famili, rumah-tangga sentiasa dapat kunjungan dari kiri
dan kanan. Tetapi setelah perniagaan jatuh dan
kemelaratan menjadi ganti segala kesenangan itu, tersisihlah kedua laki-isteri itu
dari pergaulan, tersisih dan renggang dari sedikit ke
sedikit. Oleh kerana malu, ayah pindah ke Kota Padang,
tinggal dalam rumah kecil yang kami diami itu, supaya
namanya hilang sama sekali dari kalangan kaum kerabat
itu.
Ibu pun menunjukkan kepada saya beberapa doa dan bacaan,
yang menjadi wirid daripada almarhum ayah semasa hidup,
menghamparkan penghargaan yang besar-besar kepada Tuhan
seru sekalian alam, memohonkan belas kasihanNya.
Kerana di dalam umur yang semuda itu ia telah di timpa
sengsara yang tiada keputusan, tidaklah sempat saya
meniru meneladani teman sama anak-anak. Waktu
teman-teman bersukaria bersenda gurau, melepaskan hati
yang masih merdeka, saya hanya duduk dalam rumah dekat
ibu, mengerjakan pekerjaan yang dapat saya tolong,
Kadang-kadang ada juga disuruh saya bermain-main, tetapi
hati saya tiada dapat bergembira seperti teman-teman
itu, tetapi kegembiraan bukanlah saduran dari luar,
tetapi terbawa oleh sebab-sebab yang boleh mendatangkan
gembira itu. Apa lagi kalau saya ingat, bagaimana ia
kerap kali menyembunyikan airmata dekat saya, sehingga
saya tak sanggup menjauhkan diri daripadanya.
Setelah badan saya agak besar, saya lihat banyak
anak-anak yang sebaya saya berjaja kuih; maka saya
mintalah kepadanya supaya dia sudi pula membuat
kuih-kuih itu, saya sanggup menjualkannya dari lorong ke
lorong, dari satu beranda rumah orang ke beranda yang
lain, mudah-mudahan dapat merengankan agak sedikit
tanggungan yang berat itu. Permintaan itu terpaksa
dikabulkannya, sehingga saya akhirnya telah menjadi
seorang anak penjual kuih yang terkenal.
Hatinya kelihatan duka memikirkan nasib saya; anak-anak
yang lain waktu pagi masuk bangku sekolah, saya sendiri
tidak. Untuk penjualan kuih-kuih itu hanya cukup untuk
makan sehari-hari, orang lain pun tak ada tempat meminta
bantu, sakit senang adalah tanggungan sendiri.
Umur saya telah masuk enam tahun, setahun lagi sudah
mesti menduduki bangku sekolah, walaupun sekolah yang
semurah-murahnya, sekolah desa, misalnya, tetapi yang
akan menolong dan membantu tak ada sama sekali, tetapi
ibu kelihatan tidak putus harapan, ia berjanji akan
berusaha. Supaya kelak saya menduduki bangku sekolah,
membayarkan cita-cita almarhum suaminya yang sangat
besar angan-angannya, supaya saya kelak menjadi orang
yang berguna dalam pergaulan hidup.
Masa setahun lagi ditunggu dengan sabar.
|