Akar Permasalahan


Pepatah bilang, hal yang berlawanan menimbulkan ketertarikan.

Pepatah itu, dalam istilah yang sangat sederhana, menjelaskan sekali tentang kondisi homoseksual kami dahulu dan bagaimana kami dapat mengungkapkan masalah mendasar yang menciptakannya.

Selama kita merasa bahwa pria adalah berlawanan dari kita, sementara kita mengidentifikasi wanita sebagai saudara kita, kita tetap tertarik kepada lawan kita yang misterius, maskulin yang tidak kita kenal. Bagi kita, sering merasa bahwa pria adalah lawan jenis kita, sehingga tertarik secara seksual kepada mereka terasa alamiah. Awalnya, paling tidak, kita tidak merasa terlalu homoseksual, tetapi yang terasa adalah kehilangan identitas gender dan, ketiadaan sifat kelelakian yang mencukupi dalam diri kita, tertarik kepada apa yang membuat kita merasa lebih maskulin dan utuh.

Kami menemukan jalur pemulihan setelah kami mengetahui bahwa perasaan homoseksual kami bukanlah pokok masalahnya tetapi itu sebenarnya adalah gejala-gejala dari masalah yang lebih mendasar dan luka yang telah lama dikubur yang seringkali hanya sedikit terkait atau malah tidak sama sekali dengan hasrat erotis. Masalah itu lebih terkait dengan identifikasi terhadap diri, penghargaan terhadap diri sendiri (terutama penghargaan terhadap gender kita), pergaulan, dan kehidupan spiritual. Ketika kami menemukannya dan menyembuhkan luka yang mendasarinya, gejala-gejala homoseksual teratasi dengan sendirinya.

Sebuah kata tentang “Heterophobia”

Tetapi bagaimana dengan yang dikenal sebagai “homophobia yang telah tertanam” (internalized homophobia), kata yang dianggap menjelaskan rasa bersalah akan homoseksualitas dan mengapa orang seperti kami memilih untuk berubah? Internalized homophobia adalah penjelasan terbaik yang dipaksakan. Sebaliknya, kami sama sekali tidak merasa takut atas homoseksualitas: kami merasakan suatu rasa ketertarikan yang kuat yang menyeret kami kepadanya. Hal yang tidak bisa digambarkan sebagai suatu phobia.

Pada penelaahan yang lebih dekat, kami menemukan dimana ketakutan kami yang sebenarnya berada. Bukanlah homoseksual dan homoseksualitas yang kami takutkan, tapi yang berlawanan. Kami takut terhadap pria heteroseksual, maskulinitas heteroseksual, figur wibawa pria dan kekuatan pria. Kami sebenarnya “heterophobia”, bukan homophobia.

Tanpa diketahui, tanpa niatan, kami telah membangun jurang psikologis antara kami dan dunia pria hetero. Tetapi, sebagai pria, kami merasa butuh untuk menjadi bagian dari dunia pria. Untuk belajar dari mereka. Untuk diakui oleh pria lain. Untuk mencintai dan dicintai oleh mereka. Meskipun kami takut kepada pria, kami mengharapkan penerimaan mereka. Kami iri akan rasa percaya diri dan maskulinitas yang tampak mereka dapat dengan sangat mudah. Dan ketika kami tumbuh, rasa iri itu berubah menjadi nafsu. Melihat pria dari kejauhan, ingin menjadi seperti mereka, ingin menjadi bagian mereka, mereka menjadi obyek dari hasrat kita.

Dari sisi terjauh dari jurang yang telah kami bangun, kami tidak pernah bisa keluar dari homoseksualitas. Aktivis gay dan ahli terapi yang mendukung gay akan mengatakan kepada kami bahwa tempat kami yang tepat adalah pada sisi ini dari jurang tersebut, bahwa itu adalah tempat yang baik. Jika itu benar bagi yang lain, hal itu sudah pasti bukan untuk kami. Kami tidak mau diakui sebagai gay. Kami ingin diakui sebagai laki-laki. Kami tidak ingin membunuh nurani kami. Kami ingin memulihkan masalah tersembunyi yang suara hati kami memanggil kami untuk menyembuhkannya.

 

Akar Permasalahan yang Umum

Maka tujuan pencarian kami menjadi untuk menemukan dan menguak luka yang mendasari gejala-gejala tersebut. Umumnya, kami mengenalinya dari dalam diri kami sendiri hal-hal yang kami telah lama menghindarinya. Tidak semua dari kami mengalami semua ini, tetapi yang mengejutkan banyak dari kami yang mengalami cukup banyak dari daftar ini:

Luka yang tidak terobati pada masa kanak-kanak dan remaja

Ketika kami mulai “perjalanan ke dalam” untuk pemulihan, kami sering menemukan bahwa kami membawa luka emosi yang dalam dari masa kanak-kanak atau remaja – meskipun banyak dari kami cukup mampu melupakannya, lari darinya atau menutupinya. (Apakah masalah yang menimbulkan luka masa kecil itu nyata atau sekedar persepsi adalah tidak relevan; persepsi kami adalah kenyataan kami)

Biasanya, luka tersebut terkait dengan perasaan tidak dicintai atau tidak diinginkan – atau paling tidak, tidak cukup dicintai atau diinginkan. Luka tersebut sering meliputi “kerinduan akan ayah”, “perangkap ibu”, penolakan oleh teman sebaya, kurangnya penghargaan akan gender, dan dalam frekuensi yang tidak proporsional (dibandingkan seluruh populasi) pelecehan seksual pada masa kanak-kanak atau pengenalan yang terlalu dini terhadap pengalaman seksual. Ketika ini terjadi, yang tidak dapat dihindarkan di tangan pria lain, menyebabkan kebingungan yang tidak terkatakan antara cinta dan pelecehan, pria dan wanita.

Waktu saja tidak dapat benar-benar menyembuhkan luka dalam dari jenis ini tanpa mau melihat kembali untuk menghadapinya, mengakuinya, menangisinya, melepaskan kemarahan kami atasnya, mengambil langkah untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada diri kami (semampu kami), dan akhirnya, memaafkan dan melanjutkan hidup kami.

Perasaan Kekurangan Maskulinitas

Entah bagaimana, bahkan sebagai anak kecil atau remaja pria, kami merasa kami tidak “cukup laki-laki”. Kami merasa kami tidak tumbuh menjadi maskulin yang ideal. Kami melihat diri kami terlalu gemuk, atau terlalu kurus, terlalu pendek atau terlalu canggung, tidak cukup atletis atau kekar atau kuat atau tampan – atau kualitas apapun yang lain yang kami kagumi dari pria lain tapi terasa kurang pada diri kami. Ini lebih dari penghargaan diri yang rendah, ini adalah penghargaan atas gender diri yang rendah – suatu kekurangan dalam pengertian kami atas gender dimana citra diri kami yang utuh dibentuk. Pria lain tampak secara alamiah maskulin, tapi maskulinitas tidak pernah datang secara alamiah kepada kami. Kami menginginkannya tapi kami bingung bagaimana mendapatkannya. Diantara pria lain, kami merasa berbeda dan sendirian.

Mengidolakan Lelaki lain dan Kelelakian

Merasa kurang sebagai pria, kami berharap bisa diterima dan diakui oleh yang lain, terutama mereka yang maskulinitasnya paling kami kagumi. Kami mulai mengidolakan kualitas-kualitas dari pria lain yang kami anggap kami kurang memilikinya. Mengidolakannya memperlebar jurang yang kita bayangkan antara kami dan “pria sejati” dewa Adonis dalam khayalan kita. Dalam mengidolakan mereka, kami malah meningkatkan perasaan kekurangan akan maskulinitas kami sendiri. Ini juga menjadikan pria yang kita idolakan sebagai dewa, memuja mereka dan membuat mereka tak terjangkau.

Takut akan Laki-laki

Pada saat yang sama kami mengidolakan sifat pria tertentu atau kelelakian secara umum, banyak dari kami menjadi takut terhadap pria lain. Dilahirkan dengan sifat lembut dan sensitif yang tidak biasa, kami menemukan bahwa mudah bagi kebanyakan kami untuk merasa berbeda dari dan ditolak oleh teman sebaya yang lebih kasar. Kami takut akan ejekan mereka dan merasa seperti kami tidak akan pernah menjadi bagian dari mereka. Banyak dari kami takut akan lapangan olahraga dan merasa seperti kami tidak akan mampu bersaing. Banyak dari kami merasa ditolak oleh ayah kami dan takut bahwa kami tidak akan pernah mampu memenuhi keinginannya atau tidak akan pernah cukup berarti bagi ayah kami.

Dalam beberapa cara, kami bahkan takut akan kelelakian kami sendiri, kebingungan akan pesan yang campur aduk dari model pria (nyata atau khayalan), wanita, teman sebaya tentang apa artinya menjadi seorang pria, atau bahkan apakah kelelakian itu baik atau jahat. Kami takut untuk membuka hati kami ke laki-laki lain, untuk terlihat dengan jelas, untuk meminta pertolongan. Kami takut mempercayai laki-laki, takut bahwa mereka akan menolak atau mencemooh kami, tidak akan menjaga rahasia, tidak akan menjaga janjinya, atau tidak akan benar-benar peduli. Sebagian dari kami merasa cemas atau bahkan panik hanya karena berada di tengah pria, berada di dekat lapangan bola dengan mereka, atau mencoba berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Karena takut akan mereka, kami lari dari mereka.

Terasing dari Laki-laki dan Terputus dari Kelelakian

Ketakutan dan luka kami akan perasaan ditolak dari dunia laki-laki sering kali mengarahkan kami untuk memutuskan hubungan kami dari maskulinitas – hal yang sangat kami inginkan. Perasaan ini juga mengarahkan kami kepada prasangka sebagaimana sebagian dari kami secara sadar atau tidak mulai mencemooh pria sebagai terbelakang, primitif, kurang berkembang. Sering kali kami terkena fenomena psikologi umum yakni menjadi sangat kritis terhadap apa yang kami sangat iri. Atau sangat takut.

Sebagian dari kami mulai menjaga jarak dari pria lain, kesenangan pria dan maskulinitas dengan cara secara sadar atau tidak mengambil sifat-sifat, kesenangan, dan perilaku feminin.

Tetapi dimana akhirnya kami berada, sebagai pria? Kami berada di negeri antah-berantah atas kebingungan gender, tidak cukup maskulin tapi tidak juga benar-benar feminin. Kami telah memutuskan hubungan tidak saja dari individu pria yang kami takutkan akan menyakiti kami, tapi juga dari keseluruhan dunia pria heteroseksual. Sebagian dari kami bahkan melepaskan diri dari maskulinitas menganggapnya sebagai sesuatu yang memalukan dan terbelakang.

Over-identifikasi dengan Feminin

Merasa terasing dari dunia pria, kami sering menemukan kenyamanan dalam lingkungan wanita, terutama saat kecil dan remaja. Sebagian dari kami menganggap wanita dan feminitas lebih superior dibanding pria dan maskulinitas karena kami menganggap wanita sebagai lebih sensitif, menerima dan mencintai. Mereka terasa “lebih aman” untuk kami berada ditengahnya dan untuk mengungkapkan perasaan kami. Mereka bukannya menertawakan sensitivitas alamiah kami, tapi malah menghargainya. Mereka tidak mengharapkan kami untuk membuktikan bahwa kami “cukup laki-laki”, bahkan ketika kami masih anak-anak. Banyak dari kami belajar menganggap wanita sebagai saudara, teman akrab, dan bahkan role model kami. Perasaan kami bahwa wanita adalah “sejenis” dan pria adalah “lawan jenis” semakin menguat.

Terlalu Sensitif

Hampir semua dari kami memiliki sensitivitas bawaan dan intensitas emosional yang telah kami ketahui dapat menjadi berkah sekaligus kutukan (Sejauh apapun aspek biologi kemungkinan menyumbang pada timbulnya homoseksualitas, ini mungkin dimana aspek biologi paling dipengaruhi oleh perjuangan homoseksual)

Di lain pihak, sensitivitas kami menyebabkan kami menjadi lebih mampu mencintai, lembut, baik hati dan sering kali lebih spiritual dari rata-rata. Di lain pihak, hal tersebut adalah sifat-sifat yang menyebabkan wanita menyambut kami dalam pergaulan mereka. Ibu memeluk kami lebih protektif, Ayah menjauh dari kami, dan teman sebaya menolak kami. Mungkin bahkan lebih problematis, hal itu menimbulkan kerentanan untuk merasa sakit hati dan ditolak, dengan demikian memperbesar serangan dan penolakan yang sebenarnya kita terima. Persepsi kami menjadi kenyataan kami.

Kerinduan akan Ayah

Dalam pengalaman kami sendiri, dan dari pengalaman banyak pria gay yang kami kenal, tampaknya sangat jarang bagi pria yang menghadapi homoseksualitas yang merasa bahwa ia cukup dicintai, diakui dan dididik oleh ayahnya, atau bahwa ia mengidentifikasikan ayahnya sebagai role model. Nyatanya, seringkali hubungan bapak-anak ditandai dengan pengabaian, baik nyata atau hanya anggapan, ketidakhadiran yang lama, kekejaman atau ketidaktertarikan (suatu bentuk pengabaian)

Seperti semua pengalaman manusia, hal ini tidak universal, dan kadang hubungan bapak-anak tidak tampak sebagai suatu masalah. Hubungan dengan saudara laki-laki atau teman sebaya atau pria yang melecehkan dapat lebih menciptakan luka yang dalam. Dalam banyak kasus, adalah suatu pengalaman umum bagi banyak dari kami untuk merasakan kerinduan yang dalam untuk dipeluk, dicintai oleh sosok ayah, untuk dididik ke dalam dunia pria dan untuk diakui maskulinitas alamiah kami oleh pria lain. Di lain pihak, kami tidak pernah mendapati satu kasus dimana seorang pria yang menghadapi homoseksualitas yang tidak diinginkan yang tidak terasing secara emosional dari atau terluka dalam hubungannya dengan pria atau dunia pria.

Perangkap Ibu

Bahkan ketika kami menganggap ayah kami mengabaikan, tidak peduli atau berlaku kejam kepada kami, sangat umum jika kemudian kami over-identifikasi atau menjadi sangat tergantung kepada ibu. Seringkali, kami tidak pernah benar-benar memotong tali yang mengikat identitas kami terhadap dia. Ibu sering menjadi kepercayaan kami dan pendidik kami bukannya Ayah, tetapi Ibu tidak pernah dapat menunjukkan kepada kami bagaimana untuk bertindak dan berpikir seperti laki-laki. Sehingga menjadi umum bagi kami untuk melihat kelelakian dari pandangan wanita bukannya pria. Kami tanpa terasa mengambil cara pandang wanita akan dunia. Jurang antara kami dan dunia pria semakin lebar dan diperkuat.

Malu, Kerahasiaan dan Segan

Semua faktor tersebut menciptakan dalam diri kami perasaan malu dan segan yang dalam. Ini bukanlah yang disebut “internalized homophobia”; kebanyakan dari kami merasa malu jauh sebelum kami merasa homoseksual. Homoseksualitas tidak menciptakan malu; rasa malu yang menciptakan homoseksualitas – atau paling tidak sebagai penyebab penting. Hasrat homoseksual timbul sebagai respon atas rasa malu kita: “ Karena saya tidak dapat merasa cukup laki-laki atau cukup baik atau cukup dicintai di dalam diri saya, mungkin pria lain dapat mencintai kami, menginginkan kami dan membuat kami merasa lebih laki-laki”

Kadang kala menuruti hasrat homoseksual menghilangkan perasaaan malu, tapi sering kali cepat berlalu. Termakan oleh rasa malu, kami menyembunyikan rahasia kami, pasti jika yang lain “tahu kami yang sebenarnya”, mereka akan menolak kami dengan jiik dan hina. Kerahasiaan menyuburkan rasa malu, segan dan menyendiri.

Menyendiri dan Kesepian

Karena takut akan pria, merasa kami tidak akan pernah mampu, terlalu sensitif dan mudah sakit hati, kami membangun dinding mengelilingi kami sendiri untuk melindungi kami dari luka yang lebih jauh. “Mereka tidak dapat melukai saya jika saya menolak mereka lebih dahulu”, kami meyakinkan diri sendiri. Dan dengan melakukannya, kami secara tidak sadar menambah isolasi dan penarikan diri dari hubungan dan pemulihan yang sangat kami inginkan. Ahli terapi reparatif menyebut ini “defensive detachment” – bertahan melawan penolakan dan luka yang dapat timbul dengan menarik diri atau menjaga jarak lebih dahulu.

Hubungan yang Tidak Sehat

Dengan semua kerusakan yang kami gambarkan disini, tidaklah mengherankan bahwa banyak dari kami terbawa dalam hubungan yang tidak sehat, bahkan sejak dini pada masa kanak-kanak. Jika kami menemukan sesuatu yang terasa seperti cinta dan pengakuan, kami sering berpegang erat padanya, apapun konsekuensinya. Ini kadang bahkan melibatkan pria lain yang memanfaatkan kami sebagai obyek seksual, atau mereka yang kami merasa dekat secara seksual dan dicintai.

Kehilangan Sentuhan

Pesan tradisi sangat jelas: Pria sejati tidak menyentuh. Sayangnya, tabu ini sering terbawa hingga ke ayah dan anak, bahkan ketika si anak masih sangat kecil, dan juga dengan saudara laki-laki dan teman dekat. Pria dalam tradisi kita tampak takut dianggap sebagai homoseksual, atau bahkan “menjadikan” mereka atau orang lain homoseksual, dengan memeluk, memegang atau menyentuh mereka.

Tetapi hal yang sangat mereka takutkan adalah hal yang mereka ciptakan : sekumpulan anak laki-laki yang kehilangan sentuhan yang tumbuh merindukan untuk dipeluk oleh seorang pria. Jika kebutuhan untuk disentuh dan dipeluk ini tidak terpenuhi pada masa kecil, kebutuhan itu tidak akan pergi begitu saja ketika seorang anak tumbuh menjadi dewasa. Bagi kami, kebutuhan itu sangat utama, dan begitu lama diabaikan, bahwa sebagian dari kami mencari cinta dengan laki-laki pada saat yang sangat kami inginkan adalah dipeluk. Kami tidak tahu bagaimana lagi untuk mendapatkan sentuhan non-sexual yang sangat kami inginkan.

Kekosongan Spiritual

Tercakup di dalam setiap masalah ini, adalah kekosongan spiritual yang sangat dalam. Kadang kekosongan ini mewujudkan diri dalam pemberontakan melawan Tuhan, sehingga kami menolak untuk berpaling kepada Nya sesuai dengan aturan Nya. Kadang hal itu terlihat dalam doa-doa memohon penyelamatan yang tampaknya tidak didengar atau tidak dijawab. Kadang kami mendemonstrasikannya melalui usaha keras “penyelamatan diri” dengan mencoba menjadi sangat sempurna pada setiap aspek kehidupan yang lain sehingga masalah homoseksual kami akan lenyap dengan sendirinya atau Tuhan akan mengabaikannya.

Sering kali, hal ini merupakan siklus kombinasi dari semua itu. Tapi pada kasus manapun, kami tidak dapat benar-benar merasa utuh, secara spiritual dan secara emosional hancur, atau secara emosional utuh dan secara spiritual hancur. Pemulihan harus menyembuhkan keduanya.

Kemudian, seringkali masalah ini terkubur dibawah gejala permukaan atas homoseksualitas kami. Kebanyakan dari kami mengalami sebagian besar dari daftar tersebut, dalam satu atau beberapa derajat yang berbeda. Rumit, jalin-menjalin dan menyakitkan, yang menarik kami ke hubungan homoseksual dalam suatu usaha mencari pemulihan. Tapi kami temukan bahwa memperturutkan hasrat homoseksual sebenarnya akan memperburuk daripada mengurangi masalah yang mendasarinya. Homoseksualitas, bagi kami, bukanlah solusi, itu adalah pelarian dari pemecahan masalah sebenarnya yang menyebabkan gejala-gejala tersebut timbul.


Akar Permasalahan

Gejala Umum

Yang Tidak Akan Berhasil

Solusi: Yang Berhasil Bagi Kami


Diterjemahkan oleh mqzf dari
People Can Change

<< Sebelumnya | Indeks | Selanjutnya >>