Suara Hidayatullah : Februari 2000/Syawal-Dzulqa'dah 1420  

Sopan Santun di Medan Jihad

“Puncak segala urusan adalah Islam. Barangsiapa berserah diri (masuk Islam) maka ia selamat. Tiangnya Islam adalah sholat, sedangkan atapnya adalah jihad, yang hanya bisa dicapai oleh orang yang paling utama di antara mereka.” (HR Thabrani)

Bagi ajaran Islam, jihad adalah ruhnya. Menghilangkan jihad dari ajaran Islam berarti mematikan ruh Islam itu sendiri. Selama ajaran jihad masih ada dan terpelihara pada diri ummat Islam, berarti Islam masih hidup. Sebaliknya, jika semangat jihad sudah lenyap, maka itu pertanda bahwa Islam hanya tinggal kulit tanpa isi. Islam hanya tinggal nama, tanpa arti.

Musuh-musuh Islam tahu persis bahwa kekuatan Islam terletak pada ajaran jihad ini. Oleh karena itu mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan ummat Islam darinya. Dengan menggunakan segala cara mereka mencoba menyebarkan fitnah seolah-olah jihad itu identik dengan tindakan barbar yang tak kenal perikemanusiaan. Jihad digambarkan sebagai kebengisan manusia atas manusia lain dengan mantel agama.

Jihad dalam Islam merupakan merupakan ajaran yang amat suci. Ia bersih dari berbagai tendensi kejahatan, balas dendam, atau berbagai tindak kebengisan. Jihad adalah satu cara yang diperkenalkan oleh Islam kepada ummatnya untuk membela diri, mempertahankan keyakinannya, dan hidup secara layak sebagai makhluk yang bermartabat di muka bumi. Tidak ada satupun perintah dalam Al-Qur'an yang mengajak ummat Islam memerangi manusia yang berbeda paham, ideologi, maupun agama. Sebaliknya, ummat Islam diimbau dan diajak untuk selalu mengedepankan kebersamaan, hidup berdampingan dengan semua manusia, baik yang berbeda ras, suku, bangsa, maupun ideologi dan agama. Bahkan dalam banyak ayat disebutkan bahwa asal-usul manusia itu satu, diciptakan dutan mereka itu tertuang dalam al-Qur'an:

“Dan orang-orang kufur itu berkata (di hari kiamat), `Hai Tuhan kami, tunjukkanlah kepada kami dua golongan yang telah menyesatkan kami, baik dari golongan jin maupun manusia, supaya kami jadikan mereka di bawah telapak-telapak kaki kami agar mereka jadi orang-orang yang rendah.” (QS Fush-shilat: 29)

Iblis dan syetan tentu saja tidak serta-merta mengaku bersalah. Bagi Iblis,erselisihan, apalagi hal-hal yang mendasar, menyangkut ideologi, paham, aliran politik, ras, suku, bangsa, dan agama. Bahkan untuk yang terakhir ini orang tak segan-segan berkuah darah, mengorbankan apa saja, termasuk melupakan ikatan ras, suku, bangsa, juga saudara kandung sekalipun.

Ketika sebuah konflik bersinggungan dengan masalah agama, maka nilainya menjadi sangat subjektif. Orang-orang Barat yang dikenal sangat objektif dalam memandang sebuah peristiwa, misalnya, ternyata akan terjebak dalam subjektivitasnya bila menyangkut masalah agama. Karenanya, dalam pemecahan masalah agama, mereka selalu saja berat sebelah.

Contoh yang paling konkret adalah peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Ketika korban kekerasan, baik yang dilakukan oleh militer atau sipil bersenjata menimpa warga Timor Timur yang notabene beragama Katolik, maka reaksi keras dari negara-negara Barat —juga PBB— cepat sekali. Lain halnya jika yang menjadi korban adalah ummat Islam, seperti halnya yang terjadi di Ambon dan Halmahera, apalagi perusuh dan pembantainya justru dari kelompok agama mereka sendiri, maka reaksinya nyaris tak terdengar.

Ketika ribuan kaum Muslimin di Halmahera dibantai, koran-koran nasional tak banyak memberitakan. Tetapi ketika saudara-saudaranya seaqidah di Mataram melakukan reaksi dengan membakar beberapa gereja saja, beritanya dibesar-besarkan. Seolah-olah peristiwa di Mataram itu jauh lebih besar daripada tragedi Halmahera, dan seolah-olah korbannya jauh lebih besar.

Satu lagi bahwa tindakan tegas aparat keamanan seringkali ditujukan kepada ummat Islam saja. Sementara jika ummat Kristen melakukan serangkaian pembunuhan dan pembantaian, dibiarkan, tak diapa-apakan. Di Mataram, pihak keamanan bisa melakukan tindakan tegas, yang karenanya berbagai kerusuhan tidak sampai menjalar ke mana-mana. Sedangkan di Ambon dan Halmahera, tak sedikitpun tindakan tegas diberlakukan. Aparat keamanan cenderung membiarkan saja berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh musuh-musuh Islam.

Tentang peristiwa Mataram, ada beberapa tindakan yang perlu dicurigai. Pertama, bahwa sebelum apel akbar selesai, pembakaran gereja dan berbagai perusakan lainnya sudah berlangsung. Artinya, antara tabligh akbar dan peristiwa pembakaran itu sesungguhnya terpisah. Ada orang-orang yang sengaja melakukan pembakaran, sementara ummat Islam sedang melakukan apel akbar.

Kedua, sebelum kerusuhan terjadi, daftar nama tokoh dan aktivis Islam sudah terdata secara detail dan rapi, sehingga tak lama setelah peristiwa pembakaran terjadi, nama-nama itu langsung menjadi daftar orang yang dicurigai. Selanjutnya mereka ditangkap dan diproses. Dari data ini terlihat bahwa sesungguhnya ada skenario besar yang ingin memojokkan ummat Islam.

Hal yang sama telah dilakukan oleh rezim sebelumnya. Mereka membuat berbagai desain besar unadi korban dari golongan Kristen, biarpun korbannya sangat sedikit, akan dibela mati-matian. Tindakan diskriminatif ini terlihat lebih kental lagi setelah orang-orang yang duduk di dalamnya didominasi oleh golongan Kristen.

Kompetisi dan persaingan antaragama itu sesungguhnya akan terjadi sepanjang kehidupan. Hanya saja kompetisi itu kadang berjalan secara sehat, tapi yang lebih sering, kompetisi itu menjurus pada konflik agama. Kadang berskala kecil, tapi tak jarang meluap menjadi bara api yang sangat besar. Untuk itu, ummat Islam diharuskan selalu waspada. Sedikit saja lengah dalam urusan ini, maka akibatnya akan jauh sekali. Jika sekiranya ummat Islam sudah bersiap menghadapi serangan musuh di Ambon, misalnya, tentu korban dari pihak Islam tidak sebesar sekarang ini. Karena kaum Muslimin lengah, maka korbannya mencapai ribuan bahkan puluhan ribu. Belum lagi yang harus rela menjadi pengungsi.

Pentingnya persiapan perang itu pada mulanya ditujukan untuk pencegahan. Pada prinsipnya ummat Islam harus terlihat kuat dan kompak. Jika mereka terlihat loyo dan bercerai-berai, maka lawan Islam akan segera masuk, melakukan provokasi, dan selanjutnya memorakporandakannya. Pada situasi-situasi tertentu show of force (unjuk kekuatan) diperlukan untuk menggertak musuh Islam. Dengan cara itu, maka musuh yang hendak main-main menjadi gentar, selanjutnya mengurungkan niatnya untuk melakukan penyerangan. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surah Al-Anfal: 60

“Dan persiapkan untuk menghadapi mereka dari segala kemampuan kalian berupa kekuatan dan strategi untuk menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian maupun golongan lain yang tidak kalian ketahui tetapi Allah mengetahuinya.”

Bila dengan usaha ini musuh-musuh Islam masih juga melakukan penyerangan, maka tidak ada jalan lagi selain mempertahankan diri. Jihad adalah jawaban yang paling tepat untuk menyambut penyerangan mereka. Karena itulah jihad telah disyariatkan secara abadi. Artinya syariat mengenai jihad ini berlaku kapan saja, di mana saja, dan bagi siapapun juga.

Dalam hal ini, jika saudara-saudara Muslim itu dianiaya, diserang, dan dibantai ummat lain, maka wajib bagi kaum Muslimin untuk mengibarkan bendera jihad. Apalagi jika berkali-kali perdamaian yang telah dicapai selalu dikhianati. Tidak ada kata mundur atau lari untuk mempertahankan diri. Jika mereka tidak mampu atau kurang kuat pertahanannya, maka wajib bagi saudara sesama Muslim yang terdekat untuk membantu, sampai seluruh ummat Islam terlibat di dalamnya. Sebagai panduan berjihad di medan juang, berikut ini disajikan Syariat Jihad lengkap dengan anjuran dan larangannya. Semoga bermanfaat.

 

Simak juga:
  • Sopan Santun di Medan Jihad
  • Perang I
  • Perang II
  • Perang III
  • Perang IV