Sopan Santun di Medan Jihad
“Puncak segala urusan adalah Islam.
Barangsiapa berserah diri (masuk Islam) maka ia selamat. Tiangnya Islam
adalah sholat, sedangkan atapnya adalah jihad, yang hanya bisa dicapai
oleh orang yang paling utama di antara mereka.” (HR
Thabrani)
Bagi ajaran Islam, jihad adalah ruhnya.
Menghilangkan jihad dari ajaran Islam berarti mematikan ruh Islam itu
sendiri. Selama ajaran jihad masih ada dan terpelihara pada diri ummat
Islam, berarti Islam masih hidup. Sebaliknya, jika semangat jihad sudah
lenyap, maka itu pertanda bahwa Islam hanya tinggal kulit tanpa isi.
Islam hanya tinggal nama, tanpa arti.
Musuh-musuh Islam tahu persis bahwa kekuatan
Islam terletak pada ajaran jihad ini. Oleh karena itu mereka berusaha
sekuat tenaga untuk menjauhkan ummat Islam darinya. Dengan menggunakan
segala cara mereka mencoba menyebarkan fitnah seolah-olah jihad itu
identik dengan tindakan barbar yang tak kenal perikemanusiaan. Jihad
digambarkan sebagai kebengisan manusia atas manusia lain dengan mantel
agama.
Jihad dalam Islam merupakan merupakan ajaran yang
amat suci. Ia bersih dari berbagai tendensi kejahatan, balas dendam,
atau berbagai tindak kebengisan. Jihad adalah satu cara yang
diperkenalkan oleh Islam kepada ummatnya untuk membela diri,
mempertahankan keyakinannya, dan hidup secara layak sebagai makhluk yang
bermartabat di muka bumi. Tidak ada satupun perintah dalam Al-Qur'an
yang mengajak ummat Islam memerangi manusia yang berbeda paham,
ideologi, maupun agama. Sebaliknya, ummat Islam diimbau dan diajak untuk
selalu mengedepankan kebersamaan, hidup berdampingan dengan semua
manusia, baik yang berbeda ras, suku, bangsa, maupun ideologi dan agama.
Bahkan dalam banyak ayat disebutkan bahwa asal-usul manusia itu satu,
diciptakan dutan mereka itu tertuang dalam al-Qur'an:
“Dan orang-orang kufur itu berkata (di hari
kiamat), `Hai Tuhan kami, tunjukkanlah kepada kami dua golongan yang
telah menyesatkan kami, baik dari golongan jin maupun manusia, supaya
kami jadikan mereka di bawah telapak-telapak kaki kami agar mereka jadi
orang-orang yang rendah.” (QS Fush-shilat: 29)
Iblis dan syetan tentu saja tidak serta-merta
mengaku bersalah. Bagi Iblis,erselisihan, apalagi hal-hal yang mendasar,
menyangkut ideologi, paham, aliran politik, ras, suku, bangsa, dan
agama. Bahkan untuk yang terakhir ini orang tak segan-segan berkuah
darah, mengorbankan apa saja, termasuk melupakan ikatan ras, suku,
bangsa, juga saudara kandung sekalipun.
Ketika sebuah konflik bersinggungan dengan
masalah agama, maka nilainya menjadi sangat subjektif. Orang-orang Barat
yang dikenal sangat objektif dalam memandang sebuah peristiwa, misalnya,
ternyata akan terjebak dalam subjektivitasnya bila menyangkut masalah
agama. Karenanya, dalam pemecahan masalah agama, mereka selalu saja
berat sebelah.
Contoh yang paling konkret adalah peristiwa yang
terjadi akhir-akhir ini. Ketika korban kekerasan, baik yang dilakukan
oleh militer atau sipil bersenjata menimpa warga Timor Timur yang
notabene beragama Katolik, maka reaksi keras dari negara-negara Barat
—juga PBB— cepat sekali. Lain halnya jika yang menjadi korban adalah
ummat Islam, seperti halnya yang terjadi di Ambon dan Halmahera, apalagi
perusuh dan pembantainya justru dari kelompok agama mereka sendiri, maka
reaksinya nyaris tak terdengar.
Ketika ribuan kaum Muslimin di Halmahera
dibantai, koran-koran nasional tak banyak memberitakan. Tetapi ketika
saudara-saudaranya seaqidah di Mataram melakukan reaksi dengan membakar
beberapa gereja saja, beritanya dibesar-besarkan. Seolah-olah peristiwa
di Mataram itu jauh lebih besar daripada tragedi Halmahera, dan
seolah-olah korbannya jauh lebih besar.
Satu lagi bahwa tindakan tegas aparat keamanan
seringkali ditujukan kepada ummat Islam saja. Sementara jika ummat
Kristen melakukan serangkaian pembunuhan dan pembantaian, dibiarkan, tak
diapa-apakan. Di Mataram, pihak keamanan bisa melakukan tindakan tegas,
yang karenanya berbagai kerusuhan tidak sampai menjalar ke mana-mana.
Sedangkan di Ambon dan Halmahera, tak sedikitpun tindakan tegas
diberlakukan. Aparat keamanan cenderung membiarkan saja berbagai tindak
kekerasan dilakukan oleh musuh-musuh Islam.
Tentang peristiwa Mataram, ada beberapa tindakan
yang perlu dicurigai. Pertama, bahwa sebelum apel akbar
selesai, pembakaran gereja dan berbagai perusakan lainnya sudah
berlangsung. Artinya, antara tabligh akbar dan peristiwa pembakaran itu
sesungguhnya terpisah. Ada orang-orang yang sengaja melakukan
pembakaran, sementara ummat Islam sedang melakukan apel akbar.
Kedua, sebelum kerusuhan terjadi,
daftar nama tokoh dan aktivis Islam sudah terdata secara detail dan
rapi, sehingga tak lama setelah peristiwa pembakaran terjadi, nama-nama
itu langsung menjadi daftar orang yang dicurigai. Selanjutnya mereka
ditangkap dan diproses. Dari data ini terlihat bahwa sesungguhnya ada
skenario besar yang ingin memojokkan ummat Islam.
Hal yang sama telah dilakukan oleh rezim
sebelumnya. Mereka membuat berbagai desain besar unadi korban dari
golongan Kristen, biarpun korbannya sangat sedikit, akan dibela
mati-matian. Tindakan diskriminatif ini terlihat lebih kental lagi
setelah orang-orang yang duduk di dalamnya didominasi oleh golongan
Kristen.
Kompetisi dan persaingan antaragama itu
sesungguhnya akan terjadi sepanjang kehidupan. Hanya saja kompetisi itu
kadang berjalan secara sehat, tapi yang lebih sering, kompetisi itu
menjurus pada konflik agama. Kadang berskala kecil, tapi tak jarang
meluap menjadi bara api yang sangat besar. Untuk itu, ummat Islam
diharuskan selalu waspada. Sedikit saja lengah dalam urusan ini, maka
akibatnya akan jauh sekali. Jika sekiranya ummat Islam sudah bersiap
menghadapi serangan musuh di Ambon, misalnya, tentu korban dari pihak
Islam tidak sebesar sekarang ini. Karena kaum Muslimin lengah, maka
korbannya mencapai ribuan bahkan puluhan ribu. Belum lagi yang harus
rela menjadi pengungsi.
Pentingnya persiapan perang itu pada mulanya
ditujukan untuk pencegahan. Pada prinsipnya ummat Islam harus terlihat
kuat dan kompak. Jika mereka terlihat loyo dan bercerai-berai, maka
lawan Islam akan segera masuk, melakukan provokasi, dan selanjutnya
memorakporandakannya. Pada situasi-situasi tertentu show of
force (unjuk kekuatan) diperlukan untuk menggertak musuh Islam.
Dengan cara itu, maka musuh yang hendak main-main menjadi gentar,
selanjutnya mengurungkan niatnya untuk melakukan penyerangan. Dalam hal
ini Allah berfirman dalam surah Al-Anfal: 60
“Dan persiapkan untuk menghadapi mereka dari
segala kemampuan kalian berupa kekuatan dan strategi untuk menggentarkan
musuh Allah dan musuh kalian maupun golongan lain yang tidak kalian
ketahui tetapi Allah mengetahuinya.”
Bila dengan usaha ini musuh-musuh Islam masih
juga melakukan penyerangan, maka tidak ada jalan lagi selain
mempertahankan diri. Jihad adalah jawaban yang paling tepat untuk
menyambut penyerangan mereka. Karena itulah jihad telah disyariatkan
secara abadi. Artinya syariat mengenai jihad ini berlaku kapan saja, di
mana saja, dan bagi siapapun juga.
Dalam hal ini, jika saudara-saudara Muslim itu
dianiaya, diserang, dan dibantai ummat lain, maka wajib bagi kaum
Muslimin untuk mengibarkan bendera jihad. Apalagi jika berkali-kali
perdamaian yang telah dicapai selalu dikhianati. Tidak ada kata mundur
atau lari untuk mempertahankan diri. Jika mereka tidak mampu atau kurang
kuat pertahanannya, maka wajib bagi saudara sesama Muslim yang terdekat
untuk membantu, sampai seluruh ummat Islam terlibat di dalamnya. Sebagai
panduan berjihad di medan juang, berikut ini disajikan Syariat Jihad
lengkap dengan anjuran dan larangannya. Semoga bermanfaat.
Simak juga:
Sopan Santun di Medan Jihad
Perang
I
Perang
II
Perang
III
Perang
IV