Home | The Novel | The Story | The Concept | The Publisher

THE AUTHOR

 

 

General QA | Contextual QA | Personal QA | Back

 

 

 

 

 

 

 

Miscellaneous QA

1. Menurut Anda, bagaimana perkembangan dunia perfilman saat ini?

Saya senang dengan perkembangan perfilman kita akhir-akhir ini yang semakin meningkat kualitasnya, baik dari segi cerita maupun dari segi sinematografi-nya. Mungkin karena semakin meningkatnya jumlah penulis dan sineas muda kreatif yang terjun di dunia perfilman. Para aktornya pun semakin bermutu. Dan yang bikin saya lebih senang lagi, kini masyarakat kita semakin apresiatif terhadap film-film produk anak bangsa sendiri. Kayaknya masa depan dunia perfilman kita bakalan tambah cerah deh. Insya Allah.

2. Apa pendapat Anda tentang RUU pornografi dan pornoaksi?

‘Porno' itu adanya di benak kita masing-masing. Konon ‘pornografi' artinya: suatu karya cipta yang secara sengaja dibuat untuk membangkitkan erotisme dan gairah seksual. Dan ini tentunya bersifat subjektif karena masing-masing individu memiliki standar ‘porno' dan erotisme yang berbeda-beda tergantung dari pengalaman, pemahaman, dan standar moralitasnya. Yang menurut si A porno, belum tentu porno menurut si B, dst.

Saya belum begitu paham tentang RUU ini, dan belum tahu persis tentang apa tujuannya. Apakah untuk mencegah maraknya kekerasan seksual di masyarakat atau untuk menurunkan peringkat predikat porno bangsa kita yang konon kini mendapat predikat baru sebagai negara terporno kedua di dunia setelah Rusia, selain sebagai negara finalis dalam bidang korupsi. he..he..

Yang pasti RUU ini bukan dibuat untuk meningkatkan moral bangsa kita, karena hal ini tidak mungkin dilakukan melalui UU. Moralitas hanya bisa diajarkan dan dicontohkan melalui pendidikan moral, baik di dalam lingkungan keluarga maupun di lingkungan pendidikan formal dan non formal. Yang saya maksudkan dengan pendidikan moral di sini bukan seperti pelajaran PMP zaman ‘baheula' yang cuma teori doang tanpa keteladanan dan contoh konkrit. Moralitas manusia tidak bisa dipaksakan tapi harus tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri.

Kalau bertujuan untuk mencegah terjadi kekerasan seksual, kan sudah ada KUHP?

Apakah setelah menikmati produk pornografi kita lantas berubah menjadi seorang pemerkosa dan peleceh seksual?

Setahu saya, seseorang bisa jadi seorang pemerkosa jika dia memang sudah lama memiliki penyakit kejiwaan ini yang bersumber dari berbagai hal. Misalnya: kurangnya pendidikan moral dan agama, lingkungan pergaulan, tekanan ekonomi dan sosial, narkoba, dan tentunya situasi yang memungkinan untuk terjadinya pemerkosaan. Apakah UU ini dapat mencegah tindak kekerasan seksual? I doubt it karena memang nggak nyambung.

Yang bikin saya heran adalah kenapa soal ‘porno' atau ‘piktor' alias ‘pikiran kotor' saja perlu dibikin UU-nya segala? Saya yakin masih banyak masalah lain yang lebih penting dari ini untuk dibikinin UU-nya. Misalnya: UU tentang Hak Privacy, UU tentang Cyber Crime, dsb.

Kalau pornografi dianggap suatu kejahatan, siapa yang menjadi korban dan siapa yang dirugikan dari kejahatan ini? Karena setiap tindak kejahatan selalu merugikan orang lain, kan?

Soal majalah, tabloid, dan VCD porno atau a-porno ilegal yang merugikan pemerintah karena nggak bayar pajak sudah bisa dijerat oleh KUHP yang ada. Ini mah tinggal masalah serajin dan seserius apa para aparat melaksanakan tugasnya dalam memberantas produk-produk ilegal ini.

Dan perlu diingat, suatu UU bagai pedang bermata dua. Selain bisa menjerat para pelanggarnya, UU juga dapat melindungi siapa pun yang pandai 'bermain' di dalamnya.

Seandainya saya pemilik majalah 'Play Group' yang biasa menjual 'keindahan wanita'. Supaya usaha saya dilindungi UU pornografi, saya akan 'bermain' dan mencari kelemahan-kelemahan dalam UU itu. Misalnya, seandainya UU itu menginzinkan foto bugill untuk kepentingan pendidikan dan kedokteran, saya akan mengemas majalah saya sesuai tema pendidikan dan kedokteran. Selama isi majalah saya masih 'sesuai' dengan UU, saya akan dilindungi UU sehingga dapat menuntut balik siapa pun yang berani 'nyenggol' majalah saya.

Bukankah sekarang juga sudah banyak tayangan 'pornografi' dan 'kekerasan' di TV yang 'dikemas' sebagai infotainment atau pendidikan? Misalnya info tentang kebejatan moral dan tindak kejahatan di ibu kota, tips and tricks teknik fotografi, teknik seni melukis tubuh, dsb.

Selain itu UU bersifat memaksa, tidak pandang bulu, berlaku secara umum, dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat kaya atau miskin di mana pun mereka berada. Artinya, untuk saudara kita yang berada di pedalaman yang maaf sudah terbiasa 'pamer pantat' dan 'toket' sejak zaman baheula, so pasti mereka pun bakalan terjerat UU ini. Udah miskin, kena denda ratusan juta rupiah pula. Kacian amat.

Kalau UU ini untuk mencegah kejahatan terhadap kesusilaan, kan aturannya sudah ada juga di KUHP?

Menurut saya isi KUHP tentang ini sudah cukup jelas kok. Tapi soal pelaksanaannya saya kurang ngerti tuh.

Kalau dipikir-pikir, pornografi malah menguntungkan banyak orang. Selain menguntungkan para produsen pornografi dan para konsumennya, pemerintah pun kebagian juga dari pajak penjualan produk-produk tersebut, kan? Jadi ini bukan masalah kejahatan, namun masalah moralitas yang merupakan tanggung jawab kita bersama, khususnya tanggung jawab institusi-institusi pendidikan berikut para pendidiknya, termasuk para ulama dan pemuka agama. Selain sebagai gambaran moralitas bangsa, maraknya pornografi dewasa ini juga bisa dijadikan barometer performa mereka selama ini.

Apakah para ulama dan para pendidik merasa tidak mampu dan menjadi frustasi sehingga kini harus mengandalkan UU dan aparat hukum untuk mendidik moral bangsa?

Bisa jadi, kalo setiap urusan moral diserahkan pada UU dan aparat hukum, tidak lama lagi bakalan muncul RUU tentang pelaksanaan Rukun Islam. Kalo lupa shalat bakalan didenda Rp 500 juta atau dicambuk 100 kali. Serem, kan ? Insya Allah tidak sampai seperti ini.

3. Jadi menurut Anda mereka telah gagal dalam membina moral bangsa?

Bukan gagal, tapi ‘keteteran abis' karena memang nggak seimbang. Pekerjaan mereka terlalu ‘overwhelming' dan berat karena bertentangan dengan sistem yang ada. Bayangkan saja, selain harus berhadapan dengan sistem yang telah diciptakan dan dibina selama puluhan tahun oleh para koruptor dan para ‘munafikun' di dalam negeri, mereka harus berhadapan dengan sistem globalisasi dunia termasuk globalisasi moral. Selain itu, teknologi informasi pun sudah sedemikian canggih. Untuk mendapatkan materi pornografi gratisan, kita nggak perlu ‘culang-cileung' di kios-kios atau di gang-gang gelap, cukup mengklik mouse saja di rumah atau di warnet, atau bisa juga dengan menekan tombol mungil pada HP Anda ..walaaaa... instant pornography at your finger tips.

Apakah RUU ini akan menyentuh sistem global internet juga? Kayaknya nggak mungkin deh karena internet nggak mungkin bisa di-sensor. Kecuali kalo dihilangkan sama sekali dari sistem IT di negeri ini. Atau bisa juga ‘dikuasai' oleh pihak pemerintah seperti di Cina. Namun hal ini tidak mungkin dilakukan karena negara kita bukan negara yang totalitarian, tapi negara yang paling demokratis di dunia. Selain itu, so pasti bakalan merugikan banyak pihak, termasuk pihak pemerintah sendiri.

4. Seandainya Anda menjadi salah satu perancang RUU di DPR, apa yang akan Anda lakukan?

Seandainya saya jadi tukang bikin UU, mungkin yang paling dulu saya rancang adalah UU tentang pendidikan, khususnya pendidikan moral. Setiap guru yang tidak memberikan contoh moralitas yang baik pada para siswanya langsung dihukum scotch jump atau push up 100 kali, atau setiap dai yang males berdakwah keliling perkampungan kumuh dan hanya mau berdakwah di hotel-hotel berbintang, di perusahaan-perusahaan gede, atau di event-event akbar, bakalan dihukum lari keliling masjid Agung 100 keliling. Setelah itu mungkin saya akan menambahkan satu pasal tambahan dalam RUU pornografi yaitu setiap orang yang terlibat dalam pembuatan RUU pornografi yang tertangkap ‘basah' sedang menonton acara TV yang ‘syur', buka-buka website porno, membaca tabloid ‘esek-esek', atau sedang clubbing sambil teler atau nonton tarian ‘panas' harus dihukum ‘cabut kulit'. Dan pasal ini berlaku juga untuk seluruh sanak keluarga mereka yang tertangkap ‘basah'. Nah, loh!

Apakah UU produk ‘piktor' dapat mencegah orang dari ‘piktor'? Kalo seseorang sudah punya ‘piktor' dari sononya, sendal jepit pun bisa saja dijadikan media pembangkit gairah seksualnya. Pokoknya produk pornografi dan pornoaksi tidak akan dapat dicegah selama masih ada demand tinggi akan produk-produk ini di masyarakat kita. Kalau ada yang ‘beli' pasti ada yang ‘jual'. Kalau menjual secara legal nggak bisa, mereka akan menjualnya secara ilegal. Jadi sama aja bo'ong. Tapi kalau produk mereka nggak laku karena moral masyarakat kita sudah OKBGT, maka lambat-laun mereka akan beralih ke produk-produk lain yang ‘a-porno'.

Contohnya. Saya salut dengan ajakan untuk ‘mematikan TV Anda' karena TV memang salah satu media yang paling efektif untuk memengaruhi banyak orang. Jadi kalo nggak suka tayangan tindak kekerasan, mistisisme, dan pornografi... ya.. matikan saja TV-nya... kalau suka ya.. tonton saja sampe ‘pusing sendiri'... tapi jangan teriak-teriak anti-pornografi di jalan-jalan, sementara di rumah adem-ayem ‘nonton' sendirian sambil ‘kucap-kiceup'. Ini namanya munafikun! Saya yakin bahwa mereka yang berteriak anti-pornografi pernah juga ‘menikmati' produk-produk pornografi. Kalo nggak, dari mana mereka tahu bahwa produk-produk itu ‘porno'? he..he...

Nah, kalau kita semua berhenti menonton TV karena tayangannya tidak sesuai dengan standar moral kita, saya yakin pihak pertelevisian akan mengganti isi tayangan mereka sesuai demand kita karena didesak oleh mereka yang ‘pasang' iklan di situ. Kalo nggak ada yang nonton, percuma saja pasang iklan, kan? Rugi atuh? Namun saat ini, ‘rating' tayangan tindak kekerasan, mistisisme, dan pornografi berbicara lain.

Saya yakin niat para perancang UU itu baik, bahkan mulia, tapi sayang kurang tepat sasaran karena tidak menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya yaitu lemahnya moral dan pendidikan moral bangsa.

Mungkin dalam urutan urgency masalah moralitas bangsa, budaya porno masuk ke urutan terbawah karena masih banyak masalah moralitas yang lebih parah dan jelas-jelas merugikan serta menyengsarakan rakyat, misalnya budaya KKN, budaya munafikun, budaya pamer, budaya ‘merasa paling benar', budaya ‘merasa paling suci', budaya ‘ingin menang sendiri', budaya anarkis, dan lain-lainnya.

5. Jadi Anda tidak setuju dengan RUU ini?

Hm.. this is a tricky question. Kalau saya bilang tidak setuju, bisa-bisa saya dicap sebagai orang ‘piktor'. Kalau setuju, nanti saya dicap sebagai orang munafikun oleh mereka yang tidak setuju. Maju kena, mundur kena. Inti permasalahannya bukan soal setuju atau tidak setuju, tapi berguna atau tidak bergunanya bagi kita semua.

Saya setuju banget bahwa moral bangsa memang harus dibenahi, tapi ya... dengan cara yang lebih elegan, kreatif, efektif, efisien, dan sistematis dong. Menghadapi globalisasi moral nggak bisa mengandalkan UU karena 'nggak nyambung'.

Kalau dalam istilah engko Ho Liang: ‘Haya! Jangan paksa olang!'

Bukankah para nabi dan rosul dulu pernah berhasil tanpa mengandalkan UU? Bukankah UU Tuhan lebih tegas, jelas, dan superior dari UU ciptaan manusia? Mengapa kita tidak mencontoh metode para nabi yang tidak memaksakan ajaran mereka, tapi justru menjadikan diri mereka sendiri sebagai contoh keteladanan?

6. Jadi menurut Anda RUU ini tidak berguna?

Mungkin Anda bisa menyimpulkan sendiri dari uraian panjang saya tadi. Tapi ini cuma pendapat saya aja, lho! Bisa saja saya salah tentang semua ini karena saya bukan pakar hukum atau pakar moral. jadi kalo ada yang kesinggung, maafin aja deh.

7. Apa komentar Anda tentang penerbitan kartun Nabi Muhammad?

Wah, itu sih pelecehan atas simbol agama, khususnya agama Islam. Artinya para penerbit kartun dan siapa pun yang melindungi/merestui penerbitan kartun itu tidak menghormati agama mana pun. Mungkin nggak lama lagi mereka akan menerbitkan karikatur Buddha atau Jesus. Saya curiga adanya isu politik di balik semua ini. Mungkin untuk memancing teroris Osama Bin Ladden, atau untuk mencari gara-gara agar umat Islam bertindak anarkis, sehingga 'mereka' yang berada di balik provokasi ini punya cukup alasan untuk merebut ladang minyak Iran. Entahlah. Saya bukan analis politik. Pokoknya saya harap umat Islam di dunia tidak sampai ada yang terpancing usaha 'jahat' mereka. Mereka juga pasti akan mendapatkan balasannya yang setimpal kok.

 

8. Satu hal lagi. Seandainya ada produsen film yang ingin mengadaptasi cerita Nar'Kobar ke layar lebar atau layar kaca, apakah Anda berminat?

Selama ceritanya tidak menyimpang dari cerita aslinya, saya sih oke-oke aja tuh. Tapi mungkin pengerjaannya bakalan lumayan sulit. Karena jika karakter Nar'Kobar diperankan oleh manusia sungguhan, pasti bakalan jadi ‘garing'. Kecuali jika pihak produser mampu mencari aktor yang berukuran dua jengkal dan ber-anatomi seperti si Nar'Kobar.

Idealnya sih karakter Nar'Kobar dibikin pake animasi 3D. Kendalanya, biayanya pasti mahal dan jika animator, modeler, dan teknologinya kurang OK, pasti hasilnya bakalan jadi ‘garing' juga. Tapi bagi para sineas dan animator yang suka akan tantangan, karakter Nar'Kobar bisa dijadikan sarana untuk unjuk gigi kebolehan mereka. Apakah ada animator kita yang mampu untuk menghidupkan karakter Nar'Kobar sampai sebagus dan sehidup karakter si Golum dalam film ‘Lord of The Ring'? Entahlah.

9. Mungkin Anda ingin menyampaikan sepatah dua patah kata untuk para pembaca?

Boleh. Untuk para pembaca yang berniat menjadi seorang penulis: Just do it! And leave the rest to God. Miracles do happen.

Untuk para pencinta novel yang berkenan membaca buku saya, Semoga Anda terhibur dan dapat menikmati buku saya tanpa harus kesurupan. He..he.. Hatur nuhun pisan!

10. OK, deh. Terima kasih atas kesediaannya, Kang. Semoga sukses.

Amiin. Sawangsulna.

 

   
 

Designed by: Andhika Pramajaya