Halaman Dua

ALTERNATIF

Edisi Perdana/Minggu, 1 Februari  2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA FOKUS

SOSOK

SALAM SASTRA 

ESAI

SURAT SASTRA

GALERI PUISI 

GALERI CERPEN

APRESIASI

PUISI PILIHAN

CERPEN PILIHAN

BUKU SASTRA

PENGELOLA

 

REDAKSI:

Mustafa Ismail

Dianing Widya Yudhistira

Para Kontributor

PENERBIT:

Rumah Sastra Pamulang

E-MAIL:

sastraalternatif@yahoo.com

 

SALAM SASTRA

 

ACEH

 

Apa yang tergambar di kepala kita ketika mendengar kata Aceh. Mungkin, kita segera membayangkan sebuah daerah berdarah, di mana hidup begitu mencekam, dan orang-orang menyimpan rasa sakit dalam kecemasan. Aceh memang sebuah daerah perang.

Mungkin pula, kita membayangkan ladang ganja yang siap dipanen dan siap diangkut ke luar pulau, lalu sampai di sana mereka tertangkap polisi yang bertugas. Kita tidak perlu bertanya mengapa bisa ganja itu ke luar dari Aceh, daerah yang begitu ketat mempelototi siapa yang datang dan pergi.

Tetapi Aceh, kita tidak banyak tahu, menyimpan banyak sastrawan, dari yang muda sampai berumur tua. Mereka melahirkan banyak karya. Tanpa kita tahu pula, mereka telah melahirkan sejumlah buku, baik kumpulan pribadi maupun antologi bersama. Mereka juga kerap mempublikasikan karyanya di media massa.

Tetapi dari jauh ini, katakanlah dari Jakarta, kita tidak banyak tahu tentang sastrawan-sastrawan Aceh. Padahal mereka ada dan mencipta. Tetapi itulah problemnya, mereka mencipta bukan untuk kita baca --- kita yang berada di luar Aceh. Mereka mencipta untuk mereka sendiri.

Kita jarang membaca karya-karya para sastrawan Aceh yang muncul di media-media luar Aceh, sebutlah Jakarta misalnya. Mengapa Jakarta? Di sinilah koran-koran beroplah besar dengan jaringan distribusi luas, yang bisa menjangkau segala lapisan peminat sastra. Lewat itulah kita bisa bersosialisasi, berteman dan sambil bertarung merebut perhatian --- redaktur koran maupun pengamat sastra ---  dengan karya-karya bagus dan mencengangkan.

Buat apa karya bagus kalau cuma kita sendiri yang membacanya? Begitu pula buku-buku sastra yang terbit di Aceh, sangat sulit kita jumpai, katakanlah di toko-toko buku lain di luar Aceh. Mengapa? Jawabnya: banyak persoalan mesti kita tuntaskan berkait dengan bagaimana karya kita perlakukan setelah tercipta.

Tugas kita, sastrawan, bukan cuma mencipta. Tetapi bagaimana menghidangkan karya itu ke tengah pembaca. Kita harus berjuang merebut ruang untuk menampilkan karya-karya kita di publik lebih luas. Bukan cuma di Aceh, bukan cuma di Jakarta, juga ke seantero dunia.

Itulah tantangan penting yang harus kita pecahkan. Kita harus keluar dari keterpencilan. Mari kita bersaing dengan orang lain, dari daerah dan negeri lain. Kita bukan butuh terkenal, tapi kita perlu pergaulan.

Mari kita mulai. 

 

ESAI

     

Histeria Olah Raga

 

Mungkin sulit merumuskan sikap budaya masyarakat Indonesia dalam melihat kebudayaan. Bagaimana mereka menanggapi dan menyikapi sebuah kebudayaan. Untuk menjelaskan ini, kita dapat bertanya begini sederhana: Sejauh mana masyarakat Indonesia paham kesenian khas Indonesia? Sejauh mana sikap responsif mereka terhadap kesenian Betawi, misalnya, atau kesenian Aceh, dan lain sebagainya? Atau untuk lebih “mendunia” kita pun dapat bertanya, sejauh mana mereka menikmati dan menghayati karya sastra, seperti puisi, cerita pendek, novel?

Masih ada sejuta pertanyaan lain yang jawabannya tidak menentu. Tapi kita dengan mudah dapat merumuskan sikap olah raga masyarakat Indonesia. Kita tidak perlu banyak bertanya apalagi membuat sebuah penelitian untuk itu. Cukup datangi saja sebuah pertandingan sepakbola. Atau dengar saja tanggapan para pejabat  atau juga tanggapan orang-orang “berduit” di negeri ini tentang olah raga.

Kenapa mayarakat Indonesia begitu histeris terhadap olah raga? Tentu sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan kenyataan politik di Indonesia yang memang memberi nilai plus terhadap olah raga. Penyair Taufik Ismail suatu kali pernah mencatat, jumlah kata olah raga dalam GBHN sangat jauh lebih banyak dibandingkan kata kesenian, khususnya sastra.

Bila dibandingkan perhatian pemerintah terhadap olah raga dengan sastra, menurut Taufik, sama seperti langit dengan bumi. Taufik Benar. Seorang olah ragawan dengan gampang disebut “pahlawan” saat ia berhasil meraih satu gelar, atau berhasil menang dalam sebuah pertandingan tertentu dengan kesebelasan luar negeri misalnya.

Seorang olah ragawan yang memenangkan suatu pertandingan, selalu disanjung-sanjung, diberi bonus dan berbagai fasilitas, serta penghargaan-penghargaan lainnya, dari pemerintah, pihak swasta maupun individu tertentu.

Bukan sebuah hal yang aneh bila sebuah pertandingan sepak bola misalnya, seseorang pejabat atau seorang pengusaha tertentu menghadiahkan sekian juta atau sekian puluh juta rupiah, untuk satu gol yang berhasil diciptakan oleh kesebelasannya. Sehingga semangat pemain pun terpacu untuk itu.

Tentu itu berbeda dengan apa yang terjadi di sektor kesenian. Langka sekali seorang pejabat menjanjikan sekian juta rupiah saat seorang peserta lomba yang mewakili daerah tertentu “bertanding” di forum festival kesenian. Malah sebaliknya, peserta lomba kesenian kerap harus menguras keringat sendiri untuk mengikuti lomba-lomba kesenian tingkat nasional, maupun internasional.

Jarang sekali pejabat atau bahkan instansi terkait bermurah hati untuk “memuliakan” kesenian, atau paling tidak untuk mewujudkan kegairahan berkesenian, kegairahan menciptakan karya-karya kesenian. 

Barangkali pemerintah tidak bisa disalahkan dalam hal ini. Pemerintah merasa berkewajiban menggalakkan olah raga, karena olah raga mengandung spirit kalah-menang. Karena, jiwa manusia selalu disemangati oleh faktor kalah-menang tersebut. Kemenangan adalah segala-galanya. Pihak yang menang selalu diberi applus, sorak-sorai, pujian, sanjungan, dan sebagainya.

Dan tentu pula itu memberikan kegairahan, kegembiraan, dan kebanggaan. Hal itu dialami oleh siapa saja, termasuk pemerintah tentunya. Maka tidak heran kalau dulu ada program “Memasyarakatkan olah raga dan mengolah ragakan masyarakat”.

Sehingga olah raga bukan lagi sekedar dalam konteks kesehatan atau untuk menyehatkan badan, tetapi kalah menang. Masyarakat Indonesia akan merasa sangat bergengsi dan bermartabat kalau berhasil menang dalam sebuah pertandingan olah raga. Hal wajar memang. Suatu hal yang tidak ditemukan dalam kesenian. Karena kebudayaan atau kesenian tidak bersifat kalah-menang, tapi spritualitas.

Tapi ada satu hal yang dilupakan, disamping gengsi dari semangat kalah menang itu, masyarakat juga butuh keseimbangan jiwa, pencerahan pikiran. Masyarakat butuh kesenian, sebagai bagian terpenting budaya bangsa. Akan sangat gersang sebuah bangsa tanpa kesenian. Kesenian adalah ibarat taman yang hijau, yang selalu memberi kecerahan dan semangat berkehidupan. Kehalusan budi suatu bangsa disemangati oleh kesenian.

Tapi baiklah, sementara kita lupakan saja kesenian, sampai kesenian mampu memberikan gengsi dan “martabat” seperti halnya yang diberikan olah raga. Karena kini, olah ragalah rajanya. “Hidup olah raga...”  (Putra Tripa)

 

SURAT SASTRA

Kepada Deny Pasla: Mana Puisi-puisimu Itu?

 

Kamu pasti tidak menyangka, tiba-tiba aku menelpon. Bertahun-tahun kita kehilangan kontak, meski sesekali kita masih saling membaca karya. Terakhir aku membaca tulisanmu, Deny, beberapa tahun lalu di Serambi Indonesia. Setelah itu, aku tidak pernah lagi lihat. 

Memang, aku tidak rutin membaca koran itu, tetapi kudengar dari kawan-kawan kau sudah jarang menulis. Sudah jarang muncul. Seorang kawan muda, Azhari, ketika menerbitkan sebuah antologi puisi, tidak berhasil mendapatkan kontakmu. Dan akhirnya puisimu tidak masuk di situ. 

Padahal, aku membaca sesuatu yang baru dalam puisi-puisimu. Setidaknya, membaca puisi-puisimu di tahun di awal sampai pertengahan 1990-an. Kau tidak mengikuti arus besar yang berkembang kala itu, yang cenderung kepada satu atau dua tokoh senior. 

Model puisimu sama sekali berbeda dengan mereka. Puisimu berbeda dengan Anhar Sabar,  J Kamal Farza, Win Gemade, Sulaiman Juned, Wiratmadinata, Fikar W Eda, Harun Al Rasyid, Din Saja, Maskirbi, Hasyim KS, Zab Bransah, Mohd Adid Hj Abdurrahman, bahkan dengan puisiku sendiri.

Seorang penyair lain waktu itu yang  "berani" berbeda  adalah  Mohd Adid. Gaya puisi kawan kita dari Malaysia yang kuliah di IAIN Ar-Raniry ini kontras sekali dengan gaya kepenyairan di Aceh waktu itu. 

 

Puisi-puisinya cenderung liris, mirip-mirip puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Yang berbeda, puisi-puisi Sapardi lebih jernih, sedangkan puisi-pusi Mohd Adid Hj Abdurrahman cenderung gelap. 

Tetapi itu tidak soal. Toh, itulah proses. Aku tidak tahu bagaimana ia menemukan bentuk begitu. Tidak jelas pula apakah itu dibawa dari Malaysia. Tetapi satu hal yang pasti, Mohd Adid telah berani berada di luar frame utama karya-karya sastra yang berkembang di Aceh, terutama yang dimuat di Serambi. 

Aku tidak tahu ke mana Mohd Adid sekarang. Mungkin ia sudah lulus kuliah dan pulang ke kampungnya di Malaysia. Entah pula di sana dia masih menulis puisi. Atau justru telah tenggelam dalam rutinitas pekerjaan. Entah pula ia pernah kangen sekali-kali pada Aceh. Atau mungkin ingat padaku yang pernah mempersoalkan cerpennya dulu sebagai karya saduran. 

Ah, mengapa aku jadi terlalu banyak bicara tentang Mohd Adid. Oke, aku ingin bertanya tentang kau sendiri, Deny: Mana puisi-puisimu itu? Aku ingin baca kembali. Sebetulnya aku menyimpan kliping beberapa puisi kawan, namun tertinggal di kampung. Tak mungkin diambil lagi.

Aku juga ingin membaca puisi-pusi barumu. Kau masih menulis puisi kan? Kutunggu karya-karyamu. 

Salam dari Jakarta: Mustafa Ismail (musismail@yahoo.com)

 

 

 

HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis.

web design by: musismail