T a b l o i t    S a s t r a    D i g i t a l

 ALTERNATIF

 Edisi Lalu

Terbit Sekali Seminggu

Edisi Perdana/Minggu, 1 Februari  2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA FOKUS

SOSOK

SALAM SASTRA 

ESAI

SURAT SASTRA

GALERI PUISI 

GALERI CERPEN

APRESIASI

PUISI PILIHAN

CERPEN PILIHAN

BUKU SASTRA

REDAKSI

E-MAIL

KOMENTAR

DARI REDAKSI

 

Mungkin penerbitan tabloit sastra digital ini sebuah kejutan. Begitu juga bagi kami, pengelola. Ide itu melintas begitu saja. Begitu ide muncul, pengelola langsung  merealisasinya dengan membikin situs ini. Mumpung lagi hangat, supaya tak lupa. Sebab bukankah selalu kebiasaan kita: kita begitu mudah melupakan sesuatu.

Maka situs ini pun segera dibangun, hanya dalam waktu kurang dari 24 jam, setelah ide itu muncul. Pengelola bekerja cepat. Membikin desain, lalu menyiapkan tulisan, sampai menempatkannya di jaringan maya internet.

Bahan-bahan pun, boleh dikata, dikerjakan secara gerilya dan gerak cepat. Sebagian dikutip dari sana-sini, sebagian lagi ditulis sendiri. Penyiapan Fokus --- bahasan utama terhadap isyu-isyu penting--- juga dikerjakan sesuai bahan yang ada. Kebetulan, redaksi punya banyak bahan tentang Aceh. Juga mumpung Aceh lagi hangat. 

Situs ini dibangun dengan semangat, boleh dikatakan tanpa modal apa pun. Hanya bermodalkan sebuah komputer     pribadi di rumah -- yang biasa kami gunakan untuk menulis atau mengerjakan pekerja kantor kalau kebetulan harus dibawa ke rumah ---- dan sedikit keterampilan untuk merancang web. Jadi mohon maklum, kalau desain atau bangunan situs ini pun kurang seperti diharapkan. Harapannya, pelan-pelan, segala kekurangan bisa diperbaiki.  

Tentu, masukan dan kritik membangun sangat membantu untuk itu. Kritik dalam hal apa saja, apakah desainnya, jenis dan ukuran huruf dan, atau isi yang ditampilkan situs ini. Silakan layangkan kritik itu lewat surat elektronik, bisa juga lewat form komentar yang kami sediakan. Kami tidak akan putus-putusnya untuk terus menyempurnakan segala kekurangan.  

Tabloid sederhana ini, tidak berpretensi muluk-muluk. Cuma ingin memberikan ruang lain dari beragam ruang yang tersedia untuk menyajikan karya-karya sastra ke tengah publik. Katakanlah semacam ruang alternatif, sebagaimana namanya tabloit sastra digital ALTERNATIF. Tempat menampung karya siapa pun. Silakan kirim karya Anda lewat e-mail

Namun, untuk sementara perlu dipermaklumkan pula bagi pengirim karya, karena tabloit ini dibangun dengan modal semangat, untuk sementara pengelola belum dapat memberikan honor atau pengganti ongkos kirim bagi karya dimuat. Pengelola akan berusaha untuk mencari sponsor, untuk paling tidak, sesekali memberi sauvenir --- entah berupa buku atau apalah --- kepada para pengirim karya, terutama yang termasuk karya-karya pilihan. 

Atau di antara Anda ada yang tertarik menjadi sponsor? Tentu, itu menggembirakan sekali.  Tetapi, kita tidak perlu berharap banyak. Ada sponsor atau tidak, ada dana atau tidak, kreativitas tidak boleh berhenti. Kita harus tetap berkarya. Dan Insya Allah, tabloit ini akan terus mengunjungi Anda.

Selamat menikmati. (Redaksi)

 

FOKUS

Perginya Sang Sastrawan Romantik

 

KITA selalu terlambat untuk menghargai orang --- kata-kata itu meluncur dari penyair Fikar W Eda suatu sore di Jakarta. Ketika itu, tiga pekerja seni asal Aceh sedang sedang membicarakan: apa yang bisa kita buat untuk mengenang Hasyim KS, seorang tokoh yang memberi kontribusi besar bagi perkembangan sastra di Aceh.

Mengapa tidak sejak dulu orang-orang menghargainya. Salah satu penghargaan barangkali, adalah membukukan karya-karyanya yang tercecer di mana-mana. Tetapi, hingga akhir hayatnya, tak satu pun karyanya yang dibukukan secara khusus. Ini seolah bertolak belakang dengan keberadaannya dalam dunia kesusastraan. 

Hasyim seorang yang romantik, nostalgik, dan terkadang karikaturis. Puisi-puisinya yang bernuansa lirik dan romantik itu sangat kuat. Tampak ia menghitung betul kehadiran setiap kata dalam sajak-sajaknyanya. Nuansa lirik-romantik itu, yang kadang dibalut dengan pesan-pesan sosial, kerap pula menghiasai cerpen-cerpennya. Sebut saja, cerpen "Lewat Meulaboh", misalnya, yang mengisahkan betapa terisolasinya daerah pantai barat pada suatu masa.

Selain mengisahkan cinta lokasi dua anak manusia dalam bus, juga mengetengahkan situasi pantai barat ketika belum ada jalan mulus. Untuk sampai menempuh Meulaboh misalnya, orang harus melewati sejumlah rakit. Jalan buruk itu pula yang telah menyebabkan bus, yang ditumpangi sang gadis yang dikenal si tokoh laki-laki di bus itu, masuk jurang. 

Cerpen lain yang menyuguhkan potret sosial, dan sangat karikaturis, itu misalnya "Nguyen Pola" dan "Paul John", yang pernah dia bacakan sendiri dalam satu even sastra Aceh di Teater Utan Kayu, Jakarta, 2002 lalu. Cerpen Paul John mengisahkan seorang asing, Paul John, yang terheran-heran karena begitu mudahnya mendapatkan minuman keras di Tanah Serambi Mekkah itu.

Atau cerpen di Mulut Lorong yang mengisahkan masalah perselingkuhan. Pada 2001, ia menulis sebuah cerpen berjudul "Bingung", yang merespon problem mutakhir di Aceh. Ini menceritakan tentang kebingungan malaikat mengurus banyaknya orang mati. Dan mereka yang mati itu tidak sesuai jadwal yang ditentukan untuk mati.

Dengarkan kata-kata Malaikat dalam dialog dengan para orang mati yang menunggu tempat di alam sana. "Ya. Mereka yang mati di bumi dan disediakan tempat di alam barzah tersebut adalah mereka yang mati menurut jadwal. Dalam buku ini telah ada nomor urutnya. Yang kacau dan membingungkan kita adalah nomor ini tidak berurutan lagi. Mereka datang berbondong-bondong," kata Malaikat dalam cerpen itu.

"Ternyata mereka-mereka di bumi yang bernama Indonesia itu ada yang tak beres. Siapa tahu, mereka potong kompas melaksanakan kematian-kematian di luar jadwal. Itu artinya telah melangkahi wewenang kita," sambung Malaikat. Tentu itu sebuah ungkapan yang sangat kritis untuk merespon apa yang terjadi di Aceh khususnya, juga daerah-daerah lain yang dilanda konflik. 

Novelnya, "Bertarung di Batas Langit", pernah dimuat bersambung di Serambi Indonesia. Cerita bersambung itu menyuguhkan potret sosial lewat pengembaraan seorang tokohnya bernama Daud Beurawang. Dalam novel bersetting, kalau tidak salah tahun 1970-an itu, Daud mengembara sampai ke Malaysia. Cerbung itu disambut sangat baik oleh pembaca. Bahkan ada di antara mereka yang mengusulkan untuk diterbitkan, tetapi sampai akhir hayatnya belum ada penerbit yang melirik novel itu.

Tapi sekali lagi, semua cerpen itu masih tercerai berai. Belum satu pun dibukukan. Baru kini, Ketua Dewan Kesenian Aceh Helmi Hass berencana membukukan karya-karya Hasyim.  Baru kini. (mis)

OBITUARI

Sosok Sang Guru

 

Kabar itu datang lewat SMS: Sastrawan Hasyim KS meninggal dunia di Lhokpaoh, Aceh Selatan, Selasa 13 Januari. Sungguh menyentak. Beberapa hari sebelumnya, di sebuah mailing list beranggotakan seniman Aceh, Komunitas Sastra Alternatif, kawan yang punya kontak dengan keluarga Hasyim terus memberikan informasi mengenai kondisinya.

Ia meninggal akibat komplikasi penyakit lever, magh dan reumatik. Sebelumnya, ia berobat di Banda Aceh. Ia pulang kampung ke Lhokpaoh,  Aceh Selatan, sekitar 450 km ke arah selatan Banda Aceh, sekitar delapan bulan lalu. Ia ingin menjalani pengobatan cara kampung. Kondisinya makin memburuk dalam beberapa minggu terakhir.  

Hasyim seorang guru, orang tua, sekaligus sahabat bagi para seniman di Aceh. Musmarwan Abdullah, yang pernah menulis satu cerpen "Abu Lhok Paoh", untuk memotret sosok Hasyim, mengaku mendapat banyak masukan dari tokoh ini semasa hidupnya.

Ia suka mengomentari panjang lebar karya-karya penulis muda yang masuk ke ruang budaya yang diasuhnya. Ia konsisten pada standar perkembangan karya seseorang. Kalau karya seseorang sudah mencapai tingkatan tertentu, ia tidak akan memuat karya orang itu bila kualitasnya di bawah tingkat itu.

Hasyim juga dengan ringan hadir dalam acara-acara sastra yang diadakan kaum muda. Bahkan, ketika seniman muda Aceh, yang dipolopori Fikar W Eda, baca puisi secara gerilya, antara lain di panggung terbuka di Taman Sari, depan Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh, ia pun hadir.

Dengan kamera yang kerap dia bawa, ditaruh di bagasi Vespa Exlusive-nya, ia pun memotret acara itu. Kemudian, pada hari Minggu, foto itu pun keluar di rubrik yang di asuhnya.

Setiap pagi, sebelum ke kantor, ia mampir dulu di warung kopi Siang Malam di pusat kota Banda Aceh. Di sana beberapa seniman kerap ngopi. Itu menjadi tempat pertemuan tak resmi sejumlah seniman Aceh di pagi hari. Sedangkan sore hari, Hasyim juga suka nongkrong, ngopi sambil duduk lesehan di atas rumput di Kantin Seniman di Taman Budaya Aceh.  Di sana, tak jarang ia terlibat obrolan atau diskusi yang panjang dengan orang-orang muda.

 Ayah dua anak ini lahir di Lhokpaoh Tapaktuan 21 Juli 1940. Ia telah meniti karirnya sebagai sastrawan sejak umur 15 tahun, dengan menulis di majalah "Teruna" dan "Kunang-kunang" terbitan Balai Pustaka, Jakarta. Sebagai wartawan, suami Cut Ansariah ini pernah menjadi membantu Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo untuk liputan di Aceh, di samping beberapa koran lokal Aceh maupun Medan.

Terakhir, ia bekerja di Serambi Indonesia dan pensiun pada Juli 2002 lalu. Selain sastra modern, ia juga menguasai sastra tutur tradisi Aceh. Ia ahli foklor Aceh. 

Kepiawannya itu bisa dibaca tiap hari dalam kolom tetapnya "Apit Awe" di koran itu. Namun ketika Hasyim pensiun, "Apit Awe" pun ikut terhenti.

  Tulisan Hasyim, berupa puisi dan cerpen banyak tersebar di koran Aceh dan Medan, dan beberapa di antaranya di media Jakarta.  Namun sampai akhir hayatnya, karya-karya itu masih tercecer. (mis)

 MAKLUMAT: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dengan menyebut sumber.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. Bagi pengirim tulisan, silakan sampaikan ke e-mail:  sastraalternatif@yahoo.com

web design by: musismail