T a b l o i t S a s t r a D i g i t a l |
ALTERNATIF
Edisi
Lalu |
Terbit
Sekali Seminggu |
Edisi
Perdana/Minggu, 1 Februari 2004 |
HALAMAN SATU |
BERITA | FOKUS |
SOSOK |
|
FOKUS Perginya
Sang Sastrawan Romantik
KITA
selalu terlambat untuk menghargai orang --- kata-kata itu meluncur dari
penyair Fikar W Eda suatu sore di Jakarta. Ketika itu, tiga pekerja seni
asal Aceh sedang sedang membicarakan: apa yang bisa kita buat untuk
mengenang Hasyim KS, seorang tokoh yang memberi kontribusi besar bagi
perkembangan sastra di Aceh. Mengapa
tidak sejak dulu orang-orang menghargainya. Salah satu penghargaan
barangkali, adalah membukukan karya-karyanya yang tercecer di mana-mana.
Tetapi, hingga akhir hayatnya, tak satu pun karyanya yang dibukukan
secara khusus. Ini seolah bertolak belakang dengan keberadaannya dalam
dunia kesusastraan. Hasyim
seorang yang romantik, nostalgik, dan terkadang karikaturis.
Puisi-puisinya yang bernuansa lirik dan romantik itu sangat kuat. Tampak
ia menghitung betul kehadiran setiap kata dalam sajak-sajaknyanya.
Nuansa lirik-romantik itu, yang kadang dibalut dengan pesan-pesan
sosial, kerap pula menghiasai cerpen-cerpennya. Sebut saja, cerpen
"Lewat Meulaboh", misalnya, yang mengisahkan betapa
terisolasinya daerah pantai barat pada suatu masa. Selain
mengisahkan cinta lokasi dua anak manusia dalam bus, juga mengetengahkan
situasi pantai barat ketika belum ada jalan mulus. Untuk sampai menempuh
Meulaboh misalnya, orang harus melewati sejumlah rakit. Jalan buruk itu
pula yang telah menyebabkan bus, yang ditumpangi sang gadis yang dikenal
si tokoh laki-laki di bus itu, masuk jurang. Cerpen
lain yang menyuguhkan potret sosial, dan sangat karikaturis, itu
misalnya "Nguyen Pola" dan "Paul John", yang pernah
dia bacakan sendiri dalam satu even sastra Aceh di Teater Utan Kayu,
Jakarta, 2002 lalu. Cerpen Paul John mengisahkan seorang asing, Paul
John, yang terheran-heran karena begitu mudahnya mendapatkan minuman
keras di Tanah Serambi Mekkah itu. Atau
cerpen di Mulut Lorong yang mengisahkan masalah perselingkuhan. Pada
2001, ia menulis sebuah cerpen berjudul "Bingung", yang
merespon problem mutakhir di Aceh. Ini menceritakan tentang kebingungan
malaikat mengurus banyaknya orang mati. Dan mereka yang mati itu tidak
sesuai jadwal yang ditentukan untuk mati. Dengarkan
kata-kata Malaikat dalam dialog dengan para orang mati yang menunggu
tempat di alam sana. "Ya. Mereka yang mati di bumi dan disediakan
tempat di alam barzah tersebut adalah mereka yang mati menurut jadwal.
Dalam buku ini telah ada nomor urutnya. Yang kacau dan membingungkan
kita adalah nomor ini tidak berurutan lagi. Mereka datang
berbondong-bondong," kata Malaikat dalam cerpen itu. "Ternyata
mereka-mereka di bumi yang bernama Indonesia itu ada yang tak beres.
Siapa tahu, mereka potong kompas melaksanakan kematian-kematian di luar
jadwal. Itu artinya telah melangkahi wewenang kita," sambung
Malaikat. Tentu itu sebuah ungkapan yang sangat kritis untuk merespon
apa yang terjadi di Aceh khususnya, juga daerah-daerah lain yang dilanda
konflik. Novelnya,
"Bertarung di Batas Langit", pernah dimuat bersambung di
Serambi Indonesia. Cerita bersambung itu menyuguhkan potret sosial lewat
pengembaraan seorang tokohnya bernama Daud Beurawang. Dalam novel
bersetting, kalau tidak salah tahun 1970-an itu, Daud mengembara sampai
ke Malaysia. Cerbung itu disambut sangat baik oleh pembaca. Bahkan ada
di antara mereka yang mengusulkan untuk diterbitkan, tetapi sampai akhir
hayatnya belum ada penerbit yang melirik novel itu. Tapi sekali lagi, semua cerpen itu masih tercerai berai. Belum satu pun dibukukan. Baru kini, Ketua Dewan Kesenian Aceh Helmi Hass berencana membukukan karya-karya Hasyim. Baru kini. (mis)
Sosok Sang Guru
|
MAKLUMAT: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dengan menyebut sumber. Untuk kepentingan bisnis, seperti pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. Bagi pengirim tulisan, silakan sampaikan ke e-mail: sastraalternatif@yahoo.com |