Halaman Tiga |
ALTERNATIF |
Edisi
Perdana/Minggu, 1 Februari 2004 |
HALAMAN TIGA |
GALERI PUISI Mustafa
Ismail Cita-Cita Paling Kekal kitalah yang
dengan lantang berteriak di garis depan: cita-cita paling kekal
adalah makan yang cukup dan beribadah dengan tenang proklamasi
telah kita lahirkan, dan di sini, kita kembali menjadi seorang pribumi tersungkur
di kaki pribumi yang lain tetapi
hidup adalah roda pedati, entah kata siapa, ada saatnya
kita menjadi roda, pada saat lain kita menjadi pedati itu sendiri dan kita pun
berteriak lagi: cita-cita paling kekal adalah hidup yang abadi Jakarta, 10
September 2000 Zoelfikar
Sawang Embun Pagi diNegeri Ini
embun pagi
di negeri ini adalah air
mata dan percikan
darah dari sukma yang luka embun pagi
di negeri ini adalah gigil
ketakutan anak bangsa pada ibunya terombang-ambing
dalam samudra kecemasan diterjang
badai utara dan selatan embun pagi
di negeri ini menetas di ujung sembilu yang merobek
cinta (di antara
halilintar melesat tajam menusuk
uluhati menembus
jantung memercikkan
amarah melukiskan
dendam pada pucuk-pucuk rumput) embun pagi
di negeri ini menyemai
resah menabur
gundah Banda Aceh,
2001 Mustiar
Abdul Rafar Malam
Merindu Malam
merindu menyayat hati pilu
mengoyak langitku langit Aceh langit
Indonesia Raya tumpah darah
air mata ibu Ya Allah Engkau Yang
Maha Kuasa damaikan
hati saudaraku yang kini bertikai tunjuki
mereka kejalan yang kau rindhoi Amin Ya
Rabba Al’alamin Nanggroe
Aceh Darusalam 17/8/02 J.
Kamal Farza Aku Rindu Kau Tak Perlihatkan Wajahmu Aku adukan
padaMu Kekasih tentang
darah yang tumpah mengingatkanMu
kekawatiran para malaikat: manusia
perusak bumi Engkau diam
Kekasih aku salah
tingkah aku
menangis, Engkau tertawakan aku aku gelisah,
Kau Tegur aku: “itu bukan
urusanmu!” kukeluhkan
semesta lautan, Kekasih kucari
bayangan Mu Engkau
mencibirku “Hai anak
malang, apakah kau kira aku diam, lalu membiarkan
mereka merobek kehormatan istrimu, memperkosa
ibumu, dan mengisap
darah dan airmatamu?”
|
CERPEN:
Surat untuk Suami NURDIN SUPI
Yudistira suamiku! Aku tahu
saat ini kau telah memiliki berbagai kemewahan. Kau sedang berpesta di
atas kepongahan dunia hingga kau lupa aku adalah isteri pertamamu dari hasil cinta yang
dipaksakan orangtua kita. Kau khianati segala janji yang pernah kau
ucapkan dan segala sumpah yang kau ikrarkan. Aku masih ingat saat kau minta
uang ratusan juta untuk membeli pesawat yang menjadi cikal bakal
perusahaan dirgantaramu. Masih juga jelas ingatanku saat kau menangis
sambil menyembah lututku agar aku tidak mengajukan cerai denganmu. Dan
saat itu kau berikan janji yang sangat istimewa bagiku. Kau lupa padaku padahal akulah
yang membebaskanmu dari penyadaraan penodong saat jaman belum menentu.
Saat itu aku kabarkan pada dunia melalui radio tua yang kumiliki tetang
keberadaan dirimu agar masyarakat dunia membantumu. Selanjutnya
negara-negara di dunia membebaskanmu dari penyederaan. Yudistira suamiku! Bukan aku
mengungkit-ungkit apa yang telah kuberikan padamu, tapi asal kau tahu
aku sedang dizalimi oleh kekuasaanmu. Aku tertindas, teraniaya dan
kehormatanku sebagai wanita telah dipermainkan. Padahal setiap makhluk
dipermukaan bumi memiliki hak yang sama dihadapan Tuhan. Yudistira Suamiku! anak dari
isterimu yang lain kini datang padaku. Mereka merampas segala kekayaan
orang tuaku. Mereka kuasai lima perusahaan besar yang kami miliki. Kini
uang itu dihambur-hamburkan di meja judi dan membuat keonaran di bumi
Tuhan. Tentu kau masih ingat dengan
anak kita Gajali. Gajali telah tumbuh menjadi anak yang cerdas dan
beberapa tahun yang lalu telah menikah dengan anak Pak Dulah tetanggaku.
Kini kita telah memiliki cucu yang manis-manis dan lucu. Sejenak aku
bahagia disisi mereka, tapi hatiku tetap perih menyaksikan kebiadaban
yang dilakukan anak-anakmu yang lain. Saat ini tidurku semakin
gelisah jika mengingat Gajali. Aku selalu dihantui oleh perasaan yang
tak menentu. Kini Gajali berada di hutan dengan beberapa pasukannya
untuk melawan kepongahan saudaranya yang lain ibu itu. Dia ingin
menegakkan kebenaran, melawan kebatilan dan meluruskan kemungkaran.
Perlawananya adalah perlawananku juga terhadap kekuasaanmu. Yudistira! Banyak sekali
korban yang gugur di negeri ini. Baik dari pihak Gajali maupun dari
pihak saudaranya yang lain ibu itu. Pertempuran-pertempuran itu tak
ubahnya perang Vietnam dalam film-film yang sering ditonton anak muda
sekarang. Harta benda banyak yang punah. Penduduk banyak yang mengungsi
dalam terasa yang teramat takut. Kemerdekaan mereka sebagai
manusia telah hilang, apalagi kalau bicara hak-hak mereka sebagai
khalifah di muka bumi. Mereka tak lagi tenang untuk mencari nafkah dan
tak lagi dapat memberikan pendidikan pada anak-anaknya. Aku yakin
sekali! Bahwa suatu saat keturunanku aku tertinggal dalam pendidikan
bila hal ini terus berlanjut, atau memang ini yang kau inginkan untuk
menindas kami. Kepongahan anak-anakmu yang
kau kirim semakin menjadi-jadi. Dua bulan yang lalu mereka menculik
isteri Gajali dan hingga surat ini kutulis belum ada kabar beritanya.
Aku telah mengadu kemana-mana tapi kekuasaanmu mencengkeram setiap
langkah yang kumiliki. Anak Gajali yang notabene
adalah cucu kita tiga minggu yang lalu juga hilang saat menemui teman
lamanya. Aku tak tahu siapa yang menculiknya. Aku juga tak tahu apa
salahnya hingga nyawanya harus diincar. Apakah karena bapaknya seorang
gerilyawan atau karena dia yang sedang menuntut haknya sebagai manusia. Memang apa yang dilakukannya
sama persis dengan apa yang kulakukan saat membebaskanmu dari
penyaderaan penodong di masa lalu. Kalu dulu aku mengabarkan
keberadaanmu ke dunia internasional melalui radio, tapi kini cucu kita
itu membuat kelompok di luar negeri untuk meminta bantuan dunia
internasional. Usahanya itu banyak membuat hasil yang mengembirakan,
atau itukah yang membuat dia harus diculik. Saat ini Gajali dan saudaranya
yang lain ibu sedang melakukan jeda kemanusiaan untuk menghentikan
kekerasan. Mereka sepakat untuk tidak melakukan serangan satu sama lain,
tapi aku dengar banyak yang melanggar kesepahaman yang mereka buat itu.
Aku tak dapat memonitor mereka karena tubuhku yang semakin tua. Yudistira suamiku! Serambi
rumahku yang dulu terjaga dari angin jahat yang bisa merusak iman kami,
kini telah diobrak-abrik oleh penjajah kemudharatan. Mereka dengan
bangga mempertontonkan birahi dihadapan keturunanku yang notabene Islam.
tentu kamu juga tahu baha keturunanku sangat fanatik terhadap agama yang
dibawa Rasulullah ini. Aku tak tahu bagaimana caranya
mereka masuk ke negeri kami. Aku juga tak tahu kenapa anak-anakku tak
dapat membendung kehadiran para manusia yang tak sadar akan adanya
akherat itu. Untuk ini aku tidak menyalahkan kekuasaanmu, namun aku
sungguh menyesal atas sikapmu yang dingin atas rusaknya pranata sosial
ini. Tidakkah kamu khawatir bila keturunanku yang juga anak-anakmu akan
rusak oleh kondisi ini? Tidakkah kamu merasa rindu
pada seorang wanita yang pernah memberimu kehangatan untuk pertama kali
di dalam hidupmu. Masih ingatkah kamu saat kau ucapkan kata-kata manis
untukku. “Aku akan selalu menjaga
kehormatanmu,” sambil kau matikan lentera di dinding, kau peluk aku
dengan sejuta harapan.Yudistira! Satu hal lagi yang perlu kusampaikan
padamu, bahwa centeng dan anak dari isteri keduamu telah memperkosaku
dengan sungguh kejam. Mereka tak lagi menghargaiku sebagai wanita,
sebagai ibu yang punya rasa dan hati. Dia telah dirasuki nafsu syeitan
dan kemewahan dunia, padahal dunia bukanlah kekal selamanya. Yudistira suamiku! Aku tak
punya apa-apa lagi kecuali hati dan keteguhan imanku, maka untuk kedua
kali aku minta cerai denganmu. Jika kau juga tak merestui berikan
kebebasan pada Gajali dan keturunannya untuk memilih. Ayah atau ibunya. *
Cerpen ini dikutip dari
Buku Antologi Putroe Phang, DKA 2003
NURDIN SUPI, penyair kelahiran Aceh Tengah, menulis puisi dan cerpen. Tahun 1996 diundang Dewan Kesenian Jakarta mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. |
MAKLUMAT: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dengan menyebut sumber. Untuk kepentingan bisnis, seperti pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. Bagi pengirim tulisan, silakan sampaikan ke e-mail: sastraalternatif@yahoo.com |