Halaman Tiga

ALTERNATIF

Edisi Perdana/Minggu, 1 Februari  2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA FOKUS

SOSOK

SALAM SASTRA 

ESAI

SURAT SASTRA

GALERI PUISI 

GALERI CERPEN

APRESIASI

PUISI PILIHAN

CERPEN PILIHAN

BUKU SASTRA

PUISI PILIHAN

 

HASBI BURMAN

Selamat Tinggal Cinta

 

Teluk semakin tertutup buat kapal kapal

termangu tanpa ada yang membelai

kecuali ombak laut dan beris beris kenangan

yang lama tersimpan dalam buku catatan harian

rindu sudah terpenggal

yang ia idamkan sepanjang hari hari sebelum ini

ketika Lhok Buya mengirimkan isyarat

tentang rimbunnya pohon pohon karet di Prapen

Nuriah adikku, ucap seorang pengembara

aku kehilangan sesuatu

 

teluk semakin tertutup buat kapal kapal

yang pernah singgah di dermaga kecil

antara lembah dua perbukitan yang menyambung

tempat anak negeri mengadu untung

dan membeli

lalu terkandas

selamat tinggal cinta

 

Lhok Geulumpang

 

Kapal asing itu melirik

mencium bau teluk yang wangi

Hok Canton melabuhkan rasa lewat tali jangkar

merambah sampai ke Rigah

tinggal dalam lembar sejarah

 

seterus itu memandang

Teuku Umar dalam semak belukar

dan hari setelah itu

ramainya menggali kembali umbi sejarah

sebagai penerus garis pahlawan bangsa

 

malam yang basah

“piasan raya” membuka tabir sejarah

kita labuh kebudayaan

antara hari-harinya yang tinggal

era masa lalu

kita jadikan Lhok Geulumpang

desa budaya

dan merakitkan dari seni ke seni

 

Pelangi

---- Buat Penyair

 

angin senja

setia kali kita menatapnya

ada suatu bahasa yang menentukan

lewat garis-garis suasana

menjulang pelangi

 

wajah senja

jatuh di pinggir laut

saat kita merambah

sesuatu yang belum tentu dalam kurun waktu

 

adalah sesuatu yang sudah begitu merasuk

dalam pandangan

siang terik yang kita tampik

karena suburnya senja

sehingga kita puas memetik pelanggi

 

MAGHFUR SAAN
Nuh

Tiba-tiba muncul sebuah perahu, berlayar di mataku
Ribuan gelombang bergantian membentuk gulungan-gulungan besar,
mengiringi nyanyian camar.
Inikah cerita yang pernah kautawarkan lewat mimpi malam purnama bulan kedua belas?
Aku ingat bagaimana tanganku yang gagap menjala kabut
dan memasukkannya ke dalam lempengan dinding perahu
sambil memanggang nyanyian camar yang kian redup.

Inilah lagu laut! katamu dengan tak henti-hentinya menjaga layar
Dan sekarang, dengan mataku yang jernih, aku ingin menghitung waktu
dalam lingkaran kosong dekat jendela nakhoda
Aku sengaja menunggu permainanmu hingga tanganmu selesai menggulung layar itu.

Seperti Nuh, aku telah memasukkan keledai dungu dalam geladak yang rapuh
Sambil menahan hujan dari langit yang legam, daun-daun di hatiku
selalu membujuk keledai-keledai itu mengawasi isarat badai.
Barangkali cuma keinginanku yang amat sederhana, yang ingin kukatakan
kepada tebing-tebing. Aku hanya ingin kembali mendiami rumah siput
yang terlindungi dua karang.
Aku ingin belajar dari kekalahan-kekalahan kepada dinding-dinding karang
yang dengan setia telah menungguku berguru.
Siapapun boleh menangkapnya pada saat matahari tersenyum.
Biarlah kau tahu bahwa aku tak akan pernah berkhianat kepada hidup.

Batang, 2003

Elegi 

aku melihatmu dari seberang muara,
bersembunyi di antara sepasukan perdu dan berbekal daun seadanya
hujan dari warna-warni kehidupan telah menyatu dalam air mataku
suatu saat aku berharap menjadi gelombang laut yang bisa dilihat oleh awan jingga

tak ada suara apa pun dari mulutmu
tapi aku dapat menangkap isarat lewat getaran yang kau pancarkan pelan-pelan
kubaca raut wajahmu bergelombang, dan rambutmu terurai oleh angin yang nakal
aku tahu, kau dapat menyisir sendiri rambutmu dengan ranting-ranting zaman.

tak ada embun yang melekat pada pipimu
tapi aku dapat merasakan kesejukan lewat angin yang kaukirimkan diam-diam
kubaca lekak-lekuk tubuhmu menyimpan telaga yang membeku di rahimmu
aku tahu kau dapat memberi nama bayimu kelak dengan nama-nama merdu

ya, aku melihatmu dari seberang muara
bertahun-tahun aku telah mencoba menerjemahkan cinta dari aroma
yang tak henti-hentinya kau kirimkan lewat cahaya matahari perak
aku tahu kau sendiri selalu merasakan betapa manis nutfah yang kupancarkan diam-diam
bukanlah jendela waktu dan kau akan terkapar menikmatinya.

Batang, 2003

Perahu di Mataku

 

Tiba-tiba muncul sebuah perahu, berlayar di mataku

ribuan gelombang bergulung-gulung mengiringi nyanyian camar

inikah cerita yang kau tawarkan lewat mimpi

malam purnama bulan kedua belas?

aku ingat bagaimana tanganku gagap menjala kabut

dan memasukkannya ke dalam lempengan dinding perahu

sembil memanggang lenguh waktu

 

inilah lagu laut!

katamu dengan tak henti-hentinya menjaga layar

dan sekarang, dengan mataku yang jernih

aku ingin menghitung hutang-hutangku

dalam lingkaran kosong dekat jendela nakoda

aku sengaja menunggu permainanmu selesai menggulung layar itu

 

seperti Nuh aku telah memasukkan keledai dungu dalam geladak yang rapuh

sambils menahan hujan dari langit yang legam

daun-daun di hatiku membujuk keledai-keledai itu mengawasi isyarat badai

 

ingin kukatakan kepada tebing-tebing

bahwa keinginanku sangat sederhana

aku ingin kembali ke rumah siput yang terlindung dua karang

aku ingin belajar dari segala kekalahan

siapa pun boleh menangkapnya saat matahari tersenyum

biar kau tahu: aku tak akan berkhianat kepada hidup!

 

TENTANG PENYAIR

 

HASBI BURMAN --- seorang penyair senior dari Aceh. Sebuah media besar Jakarta pernah menjulukinya sebagai "Presiden Rex", karena keberadaannya sebagai tukang parkir di kawasan Rex, Peunayong, Banda Aceh. Ia lahir di Lhok Buya. Calang, Aceh Barat 1944. 

 

MAGHFUR SAAN --- selain menulis puisi, penyair ini juga banyak menulis cerpen dan cerita anak. Karyanya tersebar di sejumlah buku antologi dan media cetak pusat daerah dan luar negeri, seperti majalah sastra "Bahana" Brunai Darussalam. Ia seorang guru bagi penulis muda di Batang, Jawa Tengah.

CERPEN PILIHAN:

Perempuan di King’s Cheviot

NANI HS  

 

Perempuan itu kaget, seketika ia pingsan. Tubuhnya yang tetap kelihatan ramping itu jatuh dalam pelukan. Laki-laki itu mendekapnya sejenak, lalu membawanya ke keteduhan di sekitar tanah perkebunan King’s Cheviot itu. Kemilau dahi perempuan disekanya. Dia menunggu beberapa saat. Lalu raga yang jatuh pingsan itu bergerak. Bulu keningnya naik turun, napasnya, juga.

Perempuan itu berkedip-kedip bagai membenarkan penglihatannya. “Kau?!” sergahnya.

“Apa kabar?” balas laki-laki itu. Pandanganya menikam. Perempuan itu dibiarkan dipangkuannya. Tak juga dihapusnya mata yang membasah itu, seperti sengaja membiarkan lepas penyesalan lampau yang mengekang.

Kecuali dua pasang mata yang melibat-libat, tak ada yang mulai bersuara lagi, membuat bicata dalam diam itu kian perih saja. Juga tak seorangpun mengerti mengapa mereka bertemu kembali . Benar, kadang hal yang mengejutkan tak pernah terduga datangnya. Taqdir adalah spesifik sifatnya. Mereka boleh percaya, pertemuan inipun taqdir namanya.

Pemandangan di Anasteys Inggris tiba-tiba menggoda,  seperti memanggil-manggil kembali gambar-gambar kabur yang pernah menjelajahi tahun-tahun belakang. Barangkali hanya dua saja kemungkinannya. Yang indah, atau cuma pernik-perniknya saja.

Masa perpeloncoan itulah sebenarnya penyebabnya. Perempuan itu sampai menangis membacakan surat cintanya di hadapan cama-cami fakultasnya. Demi Tuhan dia benci sekali dengan salah satu seniornya. Kala itu diupamakannya sebagai badut keling lagi kerempeng. Tapi tidak disangka kalau akhirnya dia lupa diri pula dibuatnya. Batas benci tak sengaja telah dilewatinya. Terlalu benci sukalah jadinya. Seperti semerbak bunga levender di King’s Cheviot, begitulah perasaannya.

Laki-laki dan perempuan itu mulai bergandeng tangan juga. Jalan-jalan yang membilah kampus Unsyiah adlah juga bekas lintas sebuah asmara. Diingat-ingat masih segar rasnya sang kejadian. Setidak-tidaknya Bellina menjadi perantara terakhir dari perjalanan yang penuh warna itu. Perempuan itu mula-mula tidak percaya, namun adakah seorang yang dapat menolak kenyataan, dan kenyataan itu jugalah yang menenggelamkan dia akhirnya. Sosok Belliana ternyata lebih menang dan menonjol dari segi titik pandang, lebih menghantarkan cuaca hangat yang semarak. Ya, bisa saja yang sederhana tidak  kelihatan pesonanya kan?

Asmaradana itupun benar-benar selesai jadinya. Sederhana saja. Seperti kisah klise lainnya, perempuan yang teduh itupun lantas kalah dan mengalah. Karena pengecut? Bukan. Tidak ada kepengecutan dalam cinta sebenarnya. Yang lazim cuma wajah ganda cinta, itu saja. Juga perempuan itu tidak menyesal.

Tapi laki-laki itu betapa pahit kesalnya. Semua kesalahan yang amat meluputkan perasaan tertumpuk di dadanya. terlambat sekali untuk membuka mata bahwa perempuan yang bukan Bellina itu sebenarnya tak dapat dilupakannya. Perempuan yang rasanya pantas jadi ladangnya, yang mampu memuat segala derita bahagiannya. Saat-saat yang paling malang dan sunyi ketika undangan warna gading itu sampai di tangannya. Dia ingin sekali mengatakan tak mungkin, tapi itulah yang harus dipercayainya.

Diakuinya kalau perempuan itu bukanlah wanita yang pantas meraung-raung yang mungkin saja tak mampu berdiri sekalipun lantaran putus cinta.

Namun entah oleh latar belakang apa, laki-laki itu malah bererat-erat dengan perempuan-perempuan. Bulan bintang bahkan tampak lebih kilau. Andai perempuan boleh diserupakan dengan uang, karenaya kira-kria hijaulah mata lelaki itu. Barangkali benar, dia tak dapat bergerak tanpa perempuan. Perempuan yang tidak pernah sama dengan perempuannya. Ironis, manakala sadar ia merasa tak pernah berdosa. Tapi ketika kerinduan terhadap kekasihnya membuncah, dia tak bisa berkelik. Tak sebentar dia dapat mengibaskan segala sesuatu tentang perempuan itu.

Tetapi apakah maknanya kalau sekarang dia dipertemukan lagi dengan perempuan itu, keadaan dimana sudah berselang tahun dan kejadian? Ah, laki-laki itu tiba-tiba sadar. Perempuan di sampingnya itu tak lain dari istri laki-laki lain sekarang. Sangat memalukan dan dia bukan mahasiswa lagi.

“Lis...” katanya gugup.

“Kau takut?” Lis bahkan dengan mudah membaca laki-laki itu. Ada yang berubah dari Lis. Masih lembut, namun lebih berani sekarang. Mungkin saja, sebab perempuan kadang lebih terbuka kala dia sudah menikah. Laki-laki itu berpikir sejenak. “Ya, ini saat tepat, “ batinnya. Bahkan ia akan menyesal kalau tak bicara. Apa yang bertahun mengganjal di dadanya mesti segera disampaikan pada Lis.

“Lis aku tak sempat hadir di pesta pernikahanmu. Aku di Medan waktu itu. Kembali ke Banda Aceh, aku tiba-tiba rindu kau, dan kangenku kulepas di kantin kampus kita dulu. Ya, pak man penunggu kantin kita itu, yakin kalau suatu saat aku akan menemuinya. Itu sebabnya dia tetap menyimpan undanganmu itu Lis. Apa boleh buat nyatanya aku baru datang dua tahun kemudian, sejak hari pernikahanmu. Memang sayang sekali. Aku terlambat bahkan hanya untuk membacanya.”

“Ya, dalam beberapa hal kita memang sering terlambt,” suara Lis samar-samar.

“Kabar juga untuk kau Lis. Kabar yang seharusnya tidak terlambat. Ini foto istriku. Suatu saat dia pernah ingin sekali mengenalmu. Apa boleh buat, juga terlambat rupanya.”

“Maksudmu?”

“Dia meninggal.” Laki-laki itu terdiam sebentar. Bagaimanapun ditahannya, matanya membening juga.

“Oh ya Lis, mana anak dan suamimu?”

“tidak ada.” ucap Lis kemudian tanpa tanda-tanda iba iapun mengulas senyumnya, lalu pelan berubah menjadi kekeh-kekeh panjang. Air mukanya aneh. Laki-laki itu mengguncang bahu Lis.

“Apa maksudmu Lis, kau tidak sedang menertawakan aku kan?”

“Kenapa tidak? Aku menertawakan semuanya, termasuk diriku sendiri. Ketahuilah aku tidak pernah jadi kawin,” suara Lis naik turun sekaligus dengan tawanya yang sampai menggoyangkan ikal mayangnya.

“Lis jangan main-main kau!”

“Hei, siapa ygn suka main-main dengan perasaan? Dari dulu aku tak pernah main-main bukan?” Suara Lis keras terkacau dengan tawa yang keluar dari kerongkongannya yang menyekat. Entah rasa apa yang menyelinap, membuat dia tersedu. Getir sekali kedengaran bagi laki-laki itu. Lis mengalami dan memiliki nasib tak seelok yang dibayangkan. Kekeliruan siapakah? Apakah cukup dengan hanya merindukan perempuan itu saja? Kasihan Lis.

“Lis...” itu saja yang terdengar dari mulut laki-laki itu. Lantas kedua sosok saling erat, mendaratkan kuluman, berputar-putar dengan merdeka. Apatah lagi laki-laki itu. Lis yang disangkanya hanya sebuah kenangan, ternyata sedikit saja lagi barangkali bisa dijangkau. Sekali ini dia seakan mendapatkan cinta yang romantis, yang matang.

Mata hari tinggal setengah lagi dari batas langit. Sedan buatan 1828 itu membelok ke hotel ritzt, dimana laki-laki itu menginap. Lis lebih gembira sekarang, malah sejak meninggalkan ladang King’s Cheviot. Keseluruhan kecantikannya tak reda-reda mengundang minat laki-laki itu terus berdua-dua. Pelan sekali disentuhanya perempuan itu.

“Lis kita ke hotelku?”

“Terima kasih tapi tidak sekarang.”

“Kita hanya bercakap-cakap Lis.” Lis tidak menjawab, dia hanya mendekap laki-laki itu sekejap.

“Jangan aku, kau saja yang datang besok. Selamat tinggal,” desahnya. Laki-laki itu tiba-tiba saja berdebar. Ada yang turun menepi di hatinya, seperti tak sudi lagi dibayangkannya perpisahan itu.

Lewat pagi musim semi, diamatinya lagi kartu nama Lis. Wajahnya menjadi cerah, suara siulnya pecah diantara lorong gigi depannya yang patah. Berulang-ulang mengalunkan Autum Leaves. Laki-laki itu mencium lagi seikat leverder oleh-oleh dari Lis kemarin. Tapi dia begitu gugup. Mengapa menghadapi Lis ia begitu berkeringat? Dicobanya tetap gagah dan terus bersiul. Senandung itu baru berhenti persis di depan gerbang Chev_i_ot Place nomor tujuh. Sebuah rumah megah yang lebih menyerupai castil di daerah wstminster.

Jantung yang hanya sekepalan itu gemuruh lagi. Kepalanya terus digalau dirasa. Diciumnya sekali lagi kartu nama Lis. Pintu besar Cheviot Place terbuka. Hebat lagi sirap darahnya.

“Ya” sura perempuan itu.

“Saya doel.”

“Nyonya St Vincen,” balasnya.

“Lis ada,” tanya Doel dengan santun. Mendengar itu perempuan penunggu rumah tercenung sebentar. “Lis? Tunggu, apakah anda tuan Abdoel?”

“Betul”.

“Sebentar.” Nyonya St Viencen berlalu dan kembali dengan sesuatu di tangannya.

“Tuan, beliau hanya menitip ini. Katanya suatu saat tuan akan datang ke sini. Tentang ini harus diperlihatkan pada tuan.”

“Terimakasih, tapi Lis kemarin berjanji menunggu saya di tempat ini. Apakah Lis sudah keluar?” tuan Doel agak cemas. Sebaliknya perempuan itu berubah pucat. Dia tercenang sambil menutup mulutnya dengan tangan.

“Nyonya, dimana Lis,” Abdoel lebih cemas lagi sekarang.

“Oh My god, jadi... jadi tuan belum tahu?”

Tuan Abdoel menjadi tak sabar. Kliping yang diberikan nyonya bule itu dibukanya cepat-cepat. Pada lembar terakhir tertulis: Lord Listerdale, Kolonel Carfak Hamilton, Rupper Quentine, Samuel, Lowe, Lista Herwazeny, empat sosok berpengaruh di Inggris Ikut terjebak dan tewas akibat bencana alam di kawasan festival musim salju tahuni ini. 

Tuhan Abdoel terperangah dan menggigil. Lelaki berperawakan Hindustan itu tak dapat meneruskan berita edisi empat tahun silam itu. Tapi dia tak menyesal dengan pertemuan di tanah pertanian King’s Cheviot kemarin. (Banda Aceh, awal 1992)

*) Cerpen ini dikutip dari Antologi Putroe Phang, DKA 2003  

 

NANI HS, lahir di Banda Aceh 22 Maret 1959. Insiur pertanian lulusan Universitas Syiah Kuala ini mulai menulis cerpen sejak tahuan 1980-an. Karyanya tersebar di berbagai media. Ia seorang cerpenis yang kuat, yang memiliki ciri sendiri dalam khasanah sastra di Aceh. Tetapi belakangan, entah mengapa, ia menjadi kurang produktif. Kini bekerja sebagai redaktur minggu Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh.  

MAKLUMAT: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dengan menyebut sumber.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis. Bagi pengirim tulisan, silakan sampaikan ke e-mail:  sastraalternatif@yahoo.com

web design by: musismail