Ringkasan buku
Jesus and The Dead Sea Scrolls -- The Truth Under Lock and Key?,
karya Klaus Berger (1993)

Bagian 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |



Benih-benih Keraguan Seputar Penelitian Qumran


Pelekatan istilah "skandal" dalam kasus Naskah Laut Mati bukanlah sesuatu yang berlebihan. Prof. Richard Haskin, dosen Perjanjian Baru Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, membenarkan hal ini dalam orasinya pada Dies Natalis ke-62 sekolah itu tanggal 27 September 1996. Prof. Haskin mencatat bahwa istilah yang sama juga pernah digunakan oleh Klaus Berger, guru besar Perjanjian baru di Heidelberg University Jerman, dalam bukunya Jesus and The Dead Sea Scrolls -- The Truth Under Lock and Key? (1993).

Klaus Berger menyebut tiga alasan untuk ini. Salah satunya menyangkut kenyataan bahwa sampai tahun 1992, empat puluh lima tahun sesudah penemuan pertama di Qumran pada 1947, sekitar 20% bahan Qumran masih belum disediakan untuk masyarakat umum.

Tim internasional di Yerusalem Timur sebenarnya cukup sadar akan ketidakpuasan publik atas prestasi kerja mereka. Salah seorang anggota tim, Frank Cross, dalam wawancara dengan New York Times 26 Juni 1989 memberikan dua penjelasan untuk hal ini. "Sebagian besar anggota tim," katanya, "adalah para pengajar full-time yang hanya mungkin datang ke Yerusalem di masa-masa liburan musim panas. Lagi pula naskah-naskah yang belum diterbitkan itu terdiri dari potongan-potongan yang sangat sulit untuk diidentifikasi, apalagi diterjemahkan." Seperti sebuah puzzle raksasa yang membingungkan, tegasnya. Selain itu dalam perjalanannya, tim ini mengalami pergantian anggota, pengunduran diri, dan ada pula yang meninggal.

Michael Baigent dan Robert Leigh dalam Dead Sea Scrolls Deception (1993) memperbandingkan kinerja tim ini dengan kasus naskah Nag Hammadi. Dua tahun sebelum penemuan Qumran, ditemukan naskah-naskah yang disebut "Gospel-gospel Gnostik" di Nag Hammadi, Mesir. Pada tahun 1948, semua naskah telah dibeli oleh Museum Koptik Kairo. Penelitian atas naskah-naskah ini ditangani oleh sebuah tim yang dibentuk pada tahun 1966. Ketua tim adalah Prof. James Robinson dari Claremont Graduate School California. Tim ini bekerja sangat cepat. Dalam waktu sebelas tahun, seluruh naskah telah diterbitkan, baik dalam edisi faksimili maupun edisi-edisi populer. Seluruhnya berjumlah empat puluh enam buku beserta sejumlah fragmen-fragmen yang tak teridentifikasi.

Tetapi perbandingan ini tidak adil. Naskah Qumran jauh lebih banyak dan menyuguhkan persoalan yang jauh lebih kompleks dibanding yang dihadapi tim Nag Hammadi. Prof. Haskin menyebutkan bahwa sisa bahan Qumran yang belum diterbitkan hampir 100% terdiri dari penggalan-penggalan kecil yang jumlahnya mungkin sampai 15.000 fragmen. Diperkirakan fragmen-fragmen ini berasal dari kurang lebih 584 tulisan!

Namun demikian bagi kelompok yang tidak puas, ada alasan lain bagi tuduhan skandal ini. Mereka mendasarkannya pada kenyataan bahwa tim itu telah menolak permohonan beberapa sarjana biblika dan arkeolog berkualifikasi untuk mengakses naskah tersebut demi keperluan penelitian mereka.

Penolakan ini pernah dialami oleh Norman Golb dari University of Chicago. Disertasi Prof. Golb adalah tentang Qumran dan bahan terkait dengan Qumran yang ditemukan di Kairo. Ketika melakukan proyek penelitian tentang penentuan umur naskah-naskah itu secara palaeografis (lihat box), Golb merasa perlu melihat teks-teks asli. Pada tahun 1970, dia pergi ke Yerusalem dan menulis surat permohonan kepada de Vaux untuk dapat memeriksa bagian tertentu dari teks naskah. Permohonan Golb ditolak, penelitiannya pun batal. Penolakan ini membuatnya curiga ada sesuatu yang disembunyikan oleh tim de Vaux.

Para peneliti independen dengan kredibilitas akademis di bidang kajian biblikal mengasumsikan penemuan arkeologi yang menyangkut bidang mereka dapat diakses oleh siapa saja yang ingin menelitinya. Tapi ternyata harapan ini tak terpenuhi dalam kasus naskah Laut Mati. Menurut para oposan, tim internasional hanya memberi kesempatan kepada orang-orang yang "segaris" dengan mereka, terutama yang berasal dari lingkungan Ecole Biblique.

Fenomena pembatasan akses ini mengingatkan pada kisah yang digambarkan Umberto Eco dalam The Name of the Rose, tentang monopoli gereja abad pertengahan atas pengajaran dan penyebaran informasi. Tim internasional dengan demikian dituduh telah memegang monopoli secara sepihak atas naskah-naskah Qumran yang dipercayakan publik kepada mereka!

Kecurigaan ini semakin menjadi-jadi ketika disinyalir ada keterkaitan erat antara lembaga induk tim ini, Ecole Biblique, dengan Komisi Biblika Kepausan di Vatikan. Menurut Baigent dan Leigh, Ecole Biblique adalah instrumen Komisi untuk menyebarluaskan doktrin Katolik melalui riset-riset historis dan arkeologis. Setiap direktur Ecole Biblique adalah juga anggota Komisi ini. Komisi inilah yang menentukan penempatan setiap lulusan Ecole sebagai profesor di seminari-seminari dan lembaga-lembaga Katolik lain.

Komisi Biblika Kepausan sendiri dibentuk oleh Paus Leo XIII pada tahun 1902 untuk menyelia dan memantau kemajuan pengajaran kitab suci Katolik. Ketua Komisi ini juga memimpin Kongregasi untuk Doktrin Iman, sebuah departemen yang dulu disebut Holy Inquisition. Sebelum 1971 kedua lembaga ini menyatu, tetapi kemudian Paus Paulus VI menggabungkannya dengan tetap mempertahankan perbedaan nama.

Baigent dan Leigh mencatat adanya pakar-pakar Katolik tertentu yang "diberangus dan dipecat dari jabatannya" oleh Kongregasi ini. Contoh kasus yang diambil adalah pakar biblika Edward Schillebeeckx dan teolog Hans Kung. Ada pula catatan bahwa sesudah katekismus baru untuk Gereja Katolik dikeluarkan pada tahun 1990, ada dokumen yang dikeluarkan juga oleh Kongregasi yang menegaskan bahwa "teolog-teolog Katolik tidak berhak untuk berbeda pendapat dengan pengajaran gereja yang sudah disahkan."

Menurut Baigent dan Leigh, ini berarti pakar dan lembaga Katolik seperti Ecole Biblique "harus mempertanggungjawabkan diri kepada Komisi Biblika Kepausan dan Kongregasi untuk Doktrin Iman." Karena itu apa saja yang hendak dikemukakan oleh pakar atau lembaga itu mengenai bahan Qumran bisa saja terkena sistem penyensoran kedua lembaga tadi. Jadi wajar jika orang bertanya apakah pada para pakar dan lembaga Katolik ada sikap bertanggung jawab terhadap "keobjektifan ilmiah"? Kemudian lagi, apa yang akan dilakukan oleh seorang pakar atau lembaga Katolik jika dalam bahan Qumran ada sesuatu yang bertentangan dengan doktrin Gereja Katolik?

Gambaran ini bagi orang-orang seperti Robert Eisenman, John Allegro, Norman Golb, dan Geza Vermes --beberapa nama oposan tim internasional-- menjadi landasan kuat kecurigaan mereka. Namun menurut Prof. Haskin, tidak benar ada keterkaitan semacam itu. Tidak ada departemen di Vatikan yang mencampuri pekerjaan pakar-pakar Katolik sehubungan dengan penelitian dan penerbitan bahan-bahan Qumran. Vatikan terlibat hanya sejauh menyangkut penyediaan dana untuk membeli naskah-naskah tersebut. Keterlambatan publikasi semata-mata disebabkan oleh masalah-masalah teknis, bukan karena pengaruh agama, atau lembaga keagamaan. Namun benih keraguan sudah ditanam, dan pada suatu saat akan membuahkan hasil.[]

Bagian 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |

Bandung, Desember 1996. Pernah dipublikasikan di Majalah berita mingguan UMMAT

Kembali ke Halaman Depan