![]() Ringkasan buku |
Kontroversi Penafsiran Naskah QumranNaskah Qumran dibagi atas dua kelompok. Pertama adalah salinan teks-teks biblikal, disebut "bahan-bahan biblikal". Yang lainnya adalah dokumen-dokumen non-biblikal, disebut "bahan-bahan sektarian". "Bahan-bahan biblikal" terdiri atas salinan kitab Perjanjian Lama dengan sedikit perbedaan di sana sini. Sedangkan "bahan-bahan sektarian" memuat teks-teks penting yang dapat memberi informasi tentang "sekte" yang menulis naskah tersebut beserta ajaran-ajaran mereka. Kajian atas naskah Qumran memperlihatkan bahwa komunitas penulis naskah tersebut memiliki banyak kesamaan dengan para pengikut awal Yesus Kristus. Para sarjana biblikal sepakat atas sekitar lima hal yang menampakkan kesamaan antara penulis naskah Qumran dan pengikut Kristen awal. Pertama, keduanya adalah orang-orang Yahudi yang hidup di Palestina ketika wilayah itu sedang diduduki oleh kerajaan Syria dan kekaisaran Roma. Kedua, mereka sama-sama menganut pandangan messianistik, kepercayaan bahwa dunia sedang berada dalam tahap terakhir dari sejarahnya dan sedang menunggu seorang penyelamat. Ketiga, kedua kelompok menekankan kebutuhan manusia akan pengampunan dosa serta tindakan Allah untuk mengampuni. Keempat, mereka sama-sama berpegang pada Peraturan Persekutuan yang sangat menitikberatkan peranan komunitas dalam perkembangan spiritualitas pribadi dan kekuatan untuk mewujudkan kehendak Allah di dunia. Kelima, kedua komunitas menjalankan semacam pemilikan bersama atas harta benda. Kesamaan yang paling menarik adalah dalam hal struktur organisasi: kaum sektarian Qumran terbagi atas dua belas suku yang dipimpin oleh dua belas ketua. Ini persis dengan struktur Gereja awal yang terdiri dari dua belas rasul. Rasul-rasul ini, menurut Yesus, akan duduk di dua belas singgasana untuk mengadili dua belas suku Bani Israel. Seorang kritikus awal atas penelitian Naskah Laut Mati, Andre Dupont-Sommer, Profesor Bahasa-bahasa dan Kebudayaan Semit di Sorbonne University, melihat banyak kesejajaran antara Guru Kebenaran yang disinggung-singgung dalam naskah itu dengan Yesus. Keduanya mengalami permusuhan dan hukuman mati dari penguasa-penguasa agama setempat, dan keduanya mendirikan "gereja" yang anggotanya mengharapkan kedatangan kembali sang guru. Kesamaan-kesamaan inilah yang menimbulkan berbagai klaim sensasional yang muncul sejak tahun-tahun pertama penemuan naskah ini. Ini pula yang memunculkan dilema bagi pokok-pokok ajaran Kristen. Jika kesamaan-kesamaan ini diterima, berarti ajaran yang dibawa Yesus tidak unik. Ajaran Yesus berarti merupakan hasil perkembangan atau penyimpangan dari agama Yahudi. Bahwa orang-orang sezaman dengan Yesus tidak menganggapnya sebagai tuhan. Inilah pernyataan yang paling mengusik pikiran dan perasaan orang-orang Kristen sehubungan dengan kontroversi naskah Qumran. Tetapi tentu saja penafsiran seperti ini sangat bergantung pada tahun penulisan naskah itu. Oleh karena itu penentuan umur Naskah Laut Mati menjadi salah satu pokok perselisihan hebat di antara para penafsir naskah tersebut. Perselisihan lain adalah menyangkut siapa penulisnya dan bagaimana sifat komunitas yang hidup di Qumran. Dominasi Katolik dalam tim yang dipercaya menangani naskah membuat orang curiga akan adanya upaya untuk menjauhkan Naskah Laut Mati dari hubungan apa pun dengan Kristen awal. Ini dilakukan untuk menjaga keunikan dan orisinalitas ajaran yang dibawa Yesus. Berdasarkan bukti arkeologis dan palaeografis, tim internasional menyimpulkan bahwa teks-teks Qumran ditulis jauh sebelum era Kristen. Penulisnya adalah sekte Esseni, sebuah komunitas yang terasing dari urusan sosial, politik dan pemikiran agama di zamannya. Komunitas ini ditegaskan sebagai kelompok sama sekali berbeda dari komunitas Kristen awal. Adalah Edmund Wilson yang pertama kali menghadirkan kecurigaan ini ke kesadaran publik lewat artikelnya di New Yorker pada tahun 1955. Tulisannya berjudul The Scrolls from the Dead Sea. Wilson mengatakan, "Jika kita melihat Yesus dari perspektif yang ditawarkan oleh naskah Qumran, akan tampak jejak kontinuitas, sebuah drama yang berpuncak pada Kristen... Mungkin tempat kelahiran Kristen justru adalah Qumran, bukan Bethlehem atau Nazareth..." Wilson bukan sarjana biblika, tapi seorang kritikus sastra. Kesimpulannya mungkin dapat diabaikan sebagai tafsiran seorang amatir. Cecil Roth, doktor sejarah Yahudi dari Merton College Oxford, menyerang penafsiran tim internasional dari sisi tahun penulisannya. Pada tahun 1958, Cecil Roth menerbitkan hasil penelitiannya yang berjudul The Historical Background of the Dead Sea Scrolls. Dia menyatakan bahwa latar belakang historis naskah Qumran bukanlah pra-Kristen, tetapi masa pergolakan di Yudea antara 66 dan 74 Masehi. Roth menekankan bahwa teks naskah itu sendiri merupakan pedoman yang jauh lebih akurat untuk menentukan tahun penulisan ketimbang bukti arkeologis dan palaeografis. Tak ada bukti terjadinya kecurangan dalam tim internasional. Kecuali berdasarkan prasangka wajar bahwa kepercayaan yang dipegang oleh para penelitinya berpengaruh besar pada keobjektifan penafsiran mereka. Selain itu juga sikap tertutup dan kelambanan kinerja tim. Bahan bukti dari naskah Qumran sendiri memungkinkan penafsiran yang berbeda-beda. Namun dukungan terhadap pandangan kelompok oposan dari tahun ke tahun semakin besar, baik dari kalangan sarjana biblika maupun para peneliti independen. Naskah Qumran kini telah tersedia secara luas. Dalam tahun-tahun mendatang, dapat diharapkan perkembangan-perkembangan baru dari setidaknya tiga sumber. Pertama, dari bahan-bahan Qumran yang telah ada. Karena para peneliti independen telah dapat mengakses bahan-bahan itu, kesimpulan berdasarkan bukti arkeologis dan palaeografis yang diajukan tim internasional kini terbuka untuk diuji kebenarannya. Kedua, dari ekspedisi arkeologis baru yang hingga kini masih terus dilakukan di Qumran. Robert Eisenman bersama tim arkeologisnya sejak tahun 1988 melakukan ekspedisi di gua-gua sekitar Qumran dan di pantai Laut Mati dengan menggunakan teknologi "Subsurface Interface Radar". Ketiga, dari pasar gelap naskah-naskah kuno yang mungkin masih menyimpan naskah-naskah penting. Akhirnya perlu ditekankan, arti penting naskah-naskah Qumran bukanlah pada potensinya untuk mempermalukan Gereja dan menggoyahkan dasar-dasar kekristenan. Tetapi pada perspektif baru yang mungkin ditawarkannya tentang tiga agama monoteis yang lahir di Timur Tengah, Yahudi, Kristen dan Islam. Pemahaman yang lebih baik tentang akar-akar ketiga agama ini barangkali akan semakin memperlihatkan bahwa ketiganya memiliki lebih banyak kesamaan ketimbang perbedaan. Penekanan terlalu besar pada perbedaan selama ini telah menjadikan ketiganya saling bermusuhan, atas nama agama.[]
Bandung, Desember 1996. Pernah dipublikasikan di Majalah berita mingguan UMMAT Kembali ke Halaman Depan |