Ringkasan buku
The Black Gold

Bagian 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |



Pelajaran dari Dua Perang Dunia


Usai Perang Dunia Pertama pada 1918, kait-mengait antara minyak dengan kepentingan politik semakin nyata. Perang besar itu telah menjelaskan pada dunia bahwa minyak bumi adalah unsur penting dalam strategi militer. Kapal-kapal perang, pesawat, tanker, semuanya telah meninggalkan sumber energi lamanya: batubara. Minyak menjadi komoditas strategis terpenting dalam perang, dan kini terjalin erat dengan politik pascaperang.

Ketika merayakan kemenangan sekutu atas Jerman di Lancaster House London, Senator Henry G. Berenger, direktur Comite General du Petrole Perancis, berkomentar, "Minyak adalah darah bagi peperangan, juga darah bagi perdamaian. Kini penduduk sipil, industri, perdagangan, dan pertanian kita makin membutuhkan minyak, semakin banyak minyak."

Mata dunia kini terfokus ke Timur Tengah. Inggris bertekad untuk memantapkan pengaruh di sana. Demikian pula Perancis dan Amerika Serikat. Akhir Perang Dunia Pertama justru menjadi awal sebuah perang baru: perang memperebutkan sumber-sumber minyak di Timur Tengah dan tempat-tempat lain di seluruh dunia.

Pembagian Konsesi.

Pada 28 Juni 1914, konsesi minyak di Timur Tengah pernah dianugerahkan kepada Turkish Petrleum Company (TPC), sebuah perusahaan patungan antara Deutsche Bank dan Royal Dutch/Shell --yang masing-masing memegang seperempat saham-- serta Turkish National Bank, yang menguasai sisanya. Sayang, tanggal itu persis bertepatan dengan terbunuhnya Pangeran Austria Franz Ferdinand di Sarajevo, yang memicu pecahnya Perang Dunia Pertama. Konsesi itu terbengkalai.

Sebagai pemenang perang, Inggris dan Perancis merasa menjadi pihak yang berhak mengembangkan industri minyak Timur Tengah. Lewat perjanjian San Rema yang ditandatangani oleh Inggris dan Perancis pada bulan April 1920, saham-saham Jerman dalam TCP diambil alih oleh Perancis, dan Inggris mendapat mandat atas seluruh wilayah Mesopotamia dari Liga Bangsa-Bangsa.

Perjanjian San Remo mencengangkan Washington. Amerika khawatir aliansi Inggris-Perancis akan menutup semua pasar dan produksi. Washington nyaris tak melihat peluang untuk masuk ke Timur Tengah. Tapi lewat beberapa negosiasi, AS akhirnya memenangkan konsesi atas minyak di Arab Saudi. Pintu masuk ke percaturan "politik-minyak" di Timur Tengah pun terbuka bagi Amerika Serikat.

Pengembangan industri minyak Arab Saudi dilaksanakan oleh Aramco (Arabian-American Oil Company), yang merupakan gabungan beberapa perusahaan minyak AS. Ibn Saud tidak peduli perusahaan mana yang mengembangkan cadangan minyak di negaranya, sepanjang semuanya Amerika.

Konflik Arab-Israel.

Pada 1946, untuk mengimbangi besarnya biaya investasi dan tuntutan Kerajaan Ibn Saud, Aramco tak punya pilihan lain kecuali menggenjot tingkat produksi. Pemasarannya diarahkan ke Eropa yang merupakan pasar paling potensial. Akses ke Eropa dilakukan dengan membangun saluran Tapline (Trans-Arabian Pipeline), melintasi gurun dari Teluk Persia ke Laut Tengah. Ini menimbulkan masalah. Selain masalah biaya, juga masalah politik yang berkaitan dengan izin melintas di negara-negara Teluk yang sensitif.

Kemunculan negara Yahudi, beserta dukungan dan pengakuan Amerika atasnya, mengancam bukan hanya hak transit atas pipa yang menyalurkan minyak Arab Saudi ke Laut Tengah, tapi juga konsesi itu sendiri. Ibn Saud tak kurang kerasnya dibanding para pemimpin Arab lain dalam menentang Zionis dan Israel.

"Yahudi adalah musuh Arab sejak abad ketujuh. Jika sebuah negara Yahudi Lahir," katanya, "Arab akan mengucilkan dan mengepungnya hingga negara itu mati kelaparan." Dukungan Amerika atas sebuah negara Yahudi, jelasnya pada Presiden AS Harry Truman, akan menjadi pukulan keras terhadap kepentingan Amerika di dunia Arab: Dia bisa menghukum AS dengan membatalkan konsesi Aramco.

Tapi toh pendirian negara Israel mendapat momentum juga. Pada 1947, Komite Khusus PBB tentang Palestina merekomendasikan pembagian Palestina. Keputusan ini diterima bulat Majelis Umum PBB dan Agen Yahudi, tapi ditolak oleh negara-negara Arab. "Tentara Pembebasan" Arab mengepung Galilee dan menyerang pemukiman Yahudi di Yerusalem. Kekerasan melanda Palestina.

Pada 1948, Inggris melepaskan mandatnya atas Palestina dan menarik mundur pemerintahan dan pasukannya dari sana. Bulan Mei tahun itu juga, Dewan Nasional Israel memproklamirkan negara Israel. Pengakuan segera datang dari Uni Soviet, diikuti oleh Amerika Serikat. Liga Arab melancarkan serangan berskala penuh. Perang Arab-Israel pertama pun pecah.

Beberapa hari setelah berdirinya Israel, James Terry Duce dari Aramco menyampaikan kepada Menteri Luar Negeri Marshall bahwa Ibn Saud jauh hari telah memperingatkan bahwa "dalam situasi tertentu, dia bisa saja terdesak untuk menerapkan sanksi atas konsesi minyak Amerika... bukan karena kehendaknya sendiri tetapi karena tekanan opini publik Arab." []

Bagian 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |



Bandung, Juli 1997. Pernah dipublikasikan di Majalah berita mingguan UMMAT

Kembali ke Halaman Depan