![]() Ringkasan buku |
Bagian 1 | 2 | 3 | 4 |Perang Minyak TerakhirTengah malam baru saja berlalu. Ratusan tentara Irak bergerak menuju perbatasan Kuwait. Tak menghadapi banyak perlawanan, tank-tank Irak segera meluncur di jalan raya berjalur enam menuju ibukota Kuwait. Krisis pertama pasca-Perang Dingin pun pecah: Invasi Irak ke Kuwait, 2 Agustus 1990. Inti krisis ini, lagi-lagi, adalah minyak. Saddam Husein berambisi menguasai Kuwait, tempat tersimpannya 10 persen cadangan minyak dunia. Jika berhasil, dia akan menjadi kekuatan dominan di Teluk Persia, bahkan dunia. Dia akan menguasai 20 persen produksi OPEC dan 20 persen cadangan minyak dunia. Sejak jatuhnya komunisme, hanya ada satu negara adidaya -- Amerika Serikat. Penggabungan Kuwait dengan Irak akan membukakan jalan bagi Saddam Husein untuk membuat sebuah negara adidaya baru. Krisis Terparah. Invasi ini melemparkan OPEC ke dalam krisis terparahnya. Kini bukan hanya harga minyak yang dipertaruhkan, tetapi juga kedaulatan sebuah negara. Empat juta barrel minyak hilang dari pasaran akibat berhentinya suplai dari Irak dan Kuwait. Ketika pada akhir September 1990, Hussein mengancam akan menghancurkan sistem persediaan minyak Saudi, harga melonjak hingga $40 barrel berhari, naik lebih dua kali lipat dari harga sebelum krisis. Negara-negara OPEC menaikkan tingkat produksinya. Pada awal Desember 1990, jumlah produksi yang hilang telah ditutupi oleh minyak yang diproduksi sumber-sumber lain. Pasar berangsur normal, tetapi krisis tetap berlanjut karena ancaman konflik militer di Teluk belum pudar. Pada 29 November, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 678, memberi waktu kepada Irak hingga 15 Januari 1991 untuk mundur dari Kuwait. Pemerintah AS, yang membentuk koalisi tiga puluh tiga negara, siap menggunakan "cara apa saja" jika Resolusi ini tidak dipatuhi. Irak tak bergeming. Deadline 15 Januari lewat. Dini hari 17 Januari waktu Teluk, 700 pesawat koalisi melancarkan serangan udara hebat ke wilayah Irak. Krisis Teluk berubah menjadi sebuah perang yang tak imbang antara sekutu AS dengan tentara Irak. Serangan udara ini merupakan kunci bagi reaksi yang muncul di pasar minyak. Pertama-tama harga naik $10 per barrel, dari $30 menjadi $40. Beberapa jam kemudian, angka itu turun $20, kembali ke harga sebelum invasi. Situasi persediaan terus membaik. Neraca permintaan dan persediaan yang imbang membuat harga kembali normal. Sekutu menang mudah. Pasukan yang dipimpin oleh Norman Schwarzkopf menampilkan puncak kekuatan militer abad ini. Tentara Irak dipukul mundur dari Kuwait. Mereka keluar dengan meninggalkan 600 sumur minyak Kuwait menyala seperti neraka, menyemburkan campuran api dan kegelapan akibat debu hitam yang merusak lingkungan. Enam juta barrel minyak terbakar habis dalam sehari. Keterbatasan Kekuatan. Saddam Hussein telah menampakkan pada seluruh dunia betapa dia bisa menghunuskan kembali senjata minyak. Tetapi kini senjata itu secara ironis diserangkan balik ke arahnya lewat keputusan PBB untuk mengembargo ekspor minyak dari Kuwait dan Irak. Timbul pertanyaan, siapakah yang dapat secara efektif menggunakan kekuatan minyak di masa depan: perusahaan minyak, negara produsen, pemerintah negara konsumen, atau konsumen itu sendiri? Di masa jayanya sebelum dan setelah Perang Dunia II, perusahaan minyak multinasional memiliki atribut nyaris seperti sebuah negara: mereka punya aturan dagang sendiri, punya sejumlah "warga" yang setia, timbunan harta yang kadang melebihi milik banyak negara, kebijakan luar negeri sendiri, bahkan punya tanker-tanker sendiri. Kekuatan itu surut sekitar 1950-an ketika negara-negara produsen mulai menasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Mosadegh di Iran pada 1953. Pada awal 1990-an, kekuatan politik perusahaan-perusahaan minyak besar sudah sangat berkurang. Lewat Krisis Teluk, negara-negara produsen minyak pun mendapat pelajaran baru, kekuatan minyak harus mengakui keterbatasannya di hadapan jenis kekuatan lain: sang adidaya dan PBB-nya.[] Bagian 1 | 2 | 3 | 4 |Bandung, Juli 1997. Pernah dipublikasikan di Majalah berita mingguan UMMAT Kembali ke Halaman Depan |