![]() Ringkasan buku |
Bagian 1 | 2 | 3 | 4 |Senjata-Embargo Makan TuanMinyak menjadi isu utama di balik pecahnya Krisis Suez 1956. Semenjak pembangunannya dirampungkan pada 1869, Terusan Suez di Mesir telah berada di bawah kontrol Inggris. Di zaman imperialisme, Terusan itu menjadi jalan utama menuju "mutiara imperium" India. Di masa pascaperang, kanal yang dibangun Ferdinand de Lesseps itu mendapat peran baru sebagai lintasan minyak. Dua pertiga pelintas Terusan Suez adalah kapal-kapal tanker minyak. Seluruh pendapatan tol dari Terusan itu masuk ke kas pemerintahan Inggris. Mesir tidak mendapat bagian. Di mata Gamal Abdel Nasser, pemegang tampuk pimpinan Mesir sejak 1954, Terusan Suez adalah simbol kolonialisme abad kesembilan belas yang memuakkan. Nasser seorang nasionalis kental. Jangkauan pengaruhnya jauh melampaui batas-batas Mesir. Lewat stasiun radio "The Voice of the Arabs" yang dipancarkan ke seluruh Timur Tengah, dia rajin menyuarakan semangat pan-Arabisme, penciptaan dunia Arab baru, dan penghukuman apa yang disebutnya "kejahatan internasional terbesar" sepanjang sejarah: pembentukan negara Israel. Di mata Washington pun, perlakuan Inggris atas Terusan Suez dipandang sebagai remah-remah kolonialisme. Bagi AS, ini merupakan cacat terbesar dalam perjuangan Barat melawan pengaruh komunisme dan Uni Soviet. Nasser dipandang dengan agak toleran oleh AS. Tapi kecemasan meningkat di Washington maupun London pada 1955, ketika Nasser berpaling pada blok Soviet untuk mendapat persenjataan. Apakah ini berarti perluasan pengaruh Soviet? Akankah Terusan Suez ditutup bagi minyak Barat dan lalu lintas angkatan laut? Kata Sandi "De Lesseps" Pada tanggal 26 Juli 1956, Nasser berpidato di alun-alun kota Alexandria. Dia berulang-ulang menyebut nama de Lesseps. Ternyata "de Lesseps" adalah kata sandi militer Mesir untuk bergerak; pada saat pidato itu selesai, tentara Mesir sudah mengambil kontrol atas Zona Kanal. Terusan Suez telah diduduki. Menghadapi ini, London dan Paris termotivasi kuat untuk mengambil tindakan militer. Perancis melihat Nasser sebagai ancaman bagi posisi mereka di Afrika Utara. Sementara bagi Inggris, minyak adalah kata kuncinya. Saham-saham minyak Inggris di Timur Tengah berkontribusi sangat besar bagi devisanya. Kehilangan saham-saham ini akan sangat menghancurkan Inggris secara ekonomi. Presiden Amerika Dwight Eisenhower justru menentang intervensi militer. Dia menyebut pemikiran Inggris dan Perancis itu "ketinggalan zaman." Nasser, kata Ike, merupakan perwujudan tuntutan rakyat di wilayah itu untuk "mengalahkan orang kulit putih." Serangan militer atas Mesir jelas akan menjadikan Nasser pahlawan negara berkembang. Amerika tak ingin tampak sebagai pendukung kembalinya era penjajahan. Amerika justru hendak memanfaatkan situasi di Mesir untuk memenangkan dukungan negara-negara berkembang--meski itu harus berarti terasing dari sekutu lamanya, Inggris dan Perancis. Serangan Israel Eropa tak paham maksud Amerika. Pada 24 Oktober 1956, pejabat militer dan diplomatik senior Inggris dan Perancis beserta menteri luar negeri masing-masing, mengadakan pertemuan rahasia di sebuah villa di Sevres. Ikut hadir adalah delegasi Israel, David Ben-Gurion, Moshe Dayan dan Shimon Peres. Ketiga negara sepakat: untuk menanggapi ancaman dan tekanan militer Mesir, Israel akan melancarkan serangan militer sepanjang Tanjung Sinai ke arah Terusan Suez. Lima hari kemudian, Israel melaksanakan kesepakatan Sevres. London dan Paris mengeluarkan ultimatum dan mengumumkan niat mereka untuk menduduki Zona Kanal. Dua hari setelah itu, Inggris membom lapangan udara Mesir. Tentara Mesir buru-buru mundur dari Sinai. Pada 5 November 1956, Israel meraih kemenangan atas Jalur Gaza dan Sinai, serta merebut Selat Tiran. Pada hari yang sama, tentara Inggris dan Perancis melancarkan serangan udara atas Zona Kanal. Serangan ini mengejutkan Amerika. Washington tidak menghendaki aksi militer. Eisenhower meminta Inggris dan Perancis untuk melakukan gencatan senjata di tempat, bahkan mundur dari sepanjang kanal. Kepada para penasihatnya Eisenhower berkata, jangan sekali-kali "membuat Arab marah pada kita," karena mereka bisa mengembargo pengapalan minyak dari seluruh Timur Tengah. Eropa dilanda krisis energi. Rute normal tiga perempat minyak Eropa Barat kini terganggu oleh tiadanya transit melalui kanal dan pipa-pipa Timur Tengah. Selain itu, Arab Saudi melakukan embargo terhadap Inggris dan Perancis. Inggris memohon bantuan Amerika untuk menjalankan program penyediaan minyak darurat melalui Komite Darurat Timur Tengah. Eisenhower bersedia asalkan Inggris dan Perancis mundur dari Suez. Pada pertengahan November, pasukan "penjaga keamanan" PBB tiba di Mesir. Tentara Perancis dan Inggris ditarik keluar Suez. Nasser menang. Pada Maret 1957, Terusan Suez dinasionalisasi dan resmi menjadi milik Mesir. Krisis Suez berakhir. Perang Enam Hari Sepuluh tahun kemudian, Suez kembali bergolak. Israel menyerang perbatasan Syria pada tanggal 5 Juni, mengawali Konflik Arab-Israel Ketiga yang dikenal sebagai Perang Enam-Hari. Pada saat itu kekuatan militer Syria, Mesir, Irak dan Yordania bersatu di bawah komando Mesir. Tapi angkatan bersenjata Israel berhasil menjatuhkan perlawanan tentara Arab. Pada 8 Juni, tentara Israel telah sepenuhnya menguasai Sinai dan mencapai tepi timur Terusan Suez. Beberapa hari kemudian, terjadi gencatan senjata. Wilayah Sinai, Yerusalem, Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan jatuh ke tangan Israel. Pada 6 Juni, menteri-menteri perminyakan Arab secara resmi menyerukan embargo minyak terhadap negara-negara sahabat Israel. Arab Saudi, Kuwait, Irak, Libya, dan Aljazair menghentikan pengapalan minyak ke AS, Inggris dan Jerman Barat. "Sesuai keputusan Dewan Menteri yang bertemu kemarin malam," kata Ahmed Zaki Yamani, menteri perminyakan Arab Saudi, kepada pejabat Aramco, "Anda diminta untuk tidak mengapalkan minyak ke AS atau Inggris. Perusahaan Anda harus bertanggung jawab jika ada setetes minyak kami tiba di kedua negara yang disebut tadi." Dua hari kemudian, aliran minyak Arab berkurang hingga 60 persen. Arab Saudi dan Libya telah ditutup sama sekali. Penyulingan minyak Iran yang besar di Abadan juga ditutup. Jumlah total penurunan produksi minyak Timur Tengah mencapai enam juta barrel per hari. Bagaikan mimpi buruk yang berulang, krisis energi kembali melanda. Krisis Kelebihan Suplai Sebagaimana pada Krisis 1956, kekurangan minyak Eropa diatasi dengan mengatur alokasi sumber-sumber minyak non-Arab di bawah koordinasi AS. Tingkat produksi dinaikkan. Produksi AS naik hampir satu juta barrel per hari. Venezuela lebih dari 400.000 barrel. Indonesia juga meningkatkan produksinya. Satu bulan setelah Perang Enam Hari, negara-negara Arab sadar bahwa "senjata minyak" dan "embargo selektif" itu gagal. Yang paling dirugikan oleh aksi embargo justru para pelaksananya sendiri. Mereka kehilangan sumber penghasilan besar tanpa efek politis yang berarti. Kebutuhan minyak disuplai oleh sumber-sumber lain yang menggenjot habis-habisan tingkat produksinya. Pada awal September 1957, embargo terhadap AS, Inggris dan Jerman Barat dicabut. Pada akhir 1967, jumlah persediaan jauh melampaui permintaan sebagai akibat peningkatan produksi di seluruh dunia menyusul Perang Enam Hari. Jurnal Oil and Gas memperingatkan tentang sebuah kriris baru: kelebihan persediaan. Krisis baru ini mempengaruhi harga minyak dan kuota impor. Minyak ternyata sumber energi yang sangat rentan. OPEC yang berdiri pada September 1960, dibentuk juga dengan pertimbangan kerentanan ini.[] Bagian 1 | 2 | 3 | 4 |Bandung, Juli 1997. Pernah dipublikasikan di Majalah berita mingguan UMMAT Kembali ke Halaman Depan |