|
:: Info Sekilas
::
|
|
Ingin
tahu hanya dengan membaca SMS Anda dapat Uang? Silakan
Tekan Logo disamping ini. |
|
|
|
:: Hot News
::
|
BIRRUL WALIDAIN
Bandung, Sepeninggal Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah
ketujuh Bani Umayyah, rakyat membaiat Umar bin Abdul Aziz
menjadi penerus dinasti yang dibangun oleh Mua'wiyah bin
Abu Sufyan. Sebelum menjadi khalifah, Umar pernah menjabat
Gubernur Madinah. Beliau mempunyai beberapa orang anak,
di antaranya Abdul Malik bin Umar. Dia masih muda tetapi
ketaqwaan dan kezuhudannya selalu menghiasi lembaran hidupnya.
Alkisah, ketika Umar sampai di rumah, sepulang mengurusi
jenazah Sulaiman, datanglah Abdul Malik menghampirinya.
Ia bertanya, "Wahai amirul mukminin, gerangan apakah yang
membaringkan Anda di siang bolong ini?" Umar bin Abdul
Aziz sempat kaget, tatkala putranya memanggilnya dengan
Amirul Mukminin, bukan dengan panggilan ayah. Ini mengisyaratkan
putranya ingin mempertanyakan tanggung jawab ayahnya sebagai
pemimpin negara, bukan tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
"Aku letih dan butuh istirahat", jawab sang ayah.
"Pantaskah Anda beristirahat padahal banyak rakyat yang
tertindas?"
"Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti,
setelah shalat Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang
yang teraniaya."
"Wahai amirul mukminin, siapakah yang menjamin Anda hidup
sampai Zhuhur, jika Allah mentaqdirkanmu mati sekarang?"
Mendengar ucapan sang anak, Umar tambah terperanjat. Beliau
memerintahkan anaknya mendekat, maka diciumlah pemuda
itu sambil berkata : "Segala puji bagi Allah yang telah
memberiku seorang anak yang telah membantuku menegakkan
agama".
Selanjutnya beliau perintah juru bicaranya mengumumkan
kepada seluruh rakyat. "Barang siapa yang merasa dianiaya,
hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah".
Itulah salah satu cuplikan kehidupan Abdul Malik, seorang
pemuda yang shaleh dan bertanggung jawab. Meskipun Allah
memberinya usia relatif singkat, kurang dari dua puluh
tahun, namun hidupnya diwarnai oleh ketaqwaan, ibadah
dan amar ma'ruf nahi mungkar. Dia tidak segan menegur
ayahnya saat dilihatnya lalai dalam menjalankan amanah.
Dia tidak sungkan menasihati ayahnya agar selalu teguh
pada hukum Allah dalam setiap gerak serta langkahnya.
Dia tahu semua itu adalah kewajiban yang harus disampaikan
dan bentuk implementasi birul walidain (bakti kepada ibu
bapak).
Birul walidain adalah hak setiap orang tua.
"Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua
orang ibu bapaknya".(QS 29:8).
Ia tidak hanya berupa taat, patuh atau turut kepada kehendak
orang tua, sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Namun
ia lebih dari itu. Birul walidain adalah nasihat anak
kepada orang tua manakala mereka sedang meniti jalan dosa.
Allah bercerita tentang nabi-Nya Ibrahim AS yang menasihati
ayahnya ketika sang ayah menyembah berhala,
"Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syetan. Sesungguhnya
syetan itu durhaka kepada Allah Yang Maha Pemurah. Wahai
ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa
azab dari Allah,maka kamu menjadi kawan bagi syetan".
(QS. 19:144-145)
Mungkin masih banyak diantara kita yang orang tuanya masih
terperangkap dalam dosa. Sayangnya banyak pula diantara
orang-orang muda yang bergelut dalam da'wah membiarkan
orang tuanya tersesat. Padahal mereka lebih berhak dida'wahkan
ketimbang orang lain. Birul walidain juga menuntut mu'asyarah
bil ma'ruf (bergaul dengan baik) kepada orang tua. Allah
berpesan :
"Dan bergaullah kepada kedua nya di dunia dengan baik".(QS
31:15).
Dalam sejarah dakwah, banyak sekali kita temukan tokoh-tokoh
simpatik yang melegendakan karena baktinya kepada kedua
orang tua. Saad bin Abi Waqqas, sebagai contoh, meskipun
ibunya musyrik dan mengancam mogok makan jika anaknya
tidak mau kembali ke agama semula, beliau tetap menghormati
ibunya dan memperlakukannya dengan baik. Bukan sesuatu
yang terpuji, jika seseorang muslim, apalagi da'iyah,
yang tidak menghormati dan menghargai orang tuanya. Hanya
karena beda visi dalam memandang Islam, orang tua divonis
kafir atau musyrik.
Banyak sekali contoh kesenjangan yang sebetulnya tidak
akan terjadi jika anak mampu menempatkan permasalahan
secara wajar. Sebagai contoh kasus pernikahan atau walimah.
Banyak orang tua tidak setuju pemisahan antara undangan
pria dan wanita. Itu terjadi karena selama ini tradisi
yang ada membenarkan dicampurnya undangan laki-laki dan
wanita pada satu ruangan. Apatah lagi tradisi tersebut
dilegalisir oleh sebagian orang yang dianggap berilmu
dan shalih. Kalau saja hubungan sang anak dengan orang
tuanya baik, tentunya dia akan mendapatkan kemudahan dalam
menghidupkan salah satu sunah Rasulullah SAW, tanpa harus
timbul konflik berkepanjangan. Kita yakin semua orang
tua menginginkan anak yang shalih dan bakti seperti Abdul
Malik bin Umar.
Kita semua tidak pernah mendambakan anak durhaka. Namun
yang menjadi pertanyaan,"Apakah kita sudah berbakti
kepada orang tua sehingga mengharap keturunan yang baik?"
Bukankah ada pepatah, "Bagaimana mungkin bayangan akan
lurus jika tongkatnya bengkok?" Dan bagaimana mungkin
pula anak akan berbakti jika orang tuanya durhaka. Ingat
pesan Rasulullah saw :
"Berbaktilah kepada kedua orang tua kalian, niscaya
akan berbakti pula anak-anak kalian".(HR. Thabrani).
Sebagai orang yang sedang meniti jalan dakwah, kita dituntut
berlaku bijaksana dalam menghadapi berbagai keganjilan
yang ada pada orang tua. Jika mereka belum mau shalat,
menutup aurat, dan belum siap menghidupkan sunah Rasulullah
saw, kewajiban kita hanya mengingatkan mereka dan tidak
ada hak untuk memaksakan kehendak. Kalau saja Sa'ad bin
Abi Waqqas, Asma binti Abu Bakar diperintahkan untuk berbuat
baik kepada ibu mereka yang musyrik, apalagi kita yang
mempunyai orang tua yang muslim, tentu mereka lebih berhak
untuk dihormati dan dihargai. Kemungkaran dan kebatilan
yang dilegalisir sekarang ini, adalah hasil dari upaya
musuh-musuh Islam yang prosesnya sudah berjalan lama.
Dan untuk mengembalikannya kepada Al-Haq tentunya butuh
waktu lama. Itulah yang disampaikan Umar bin Abdul Aziz
kepada anaknya ketika sang anak bertanya kenapa kemungkaran
yang ada tidak dicegah secepatnya. Kata Umar, "Hai
anakku, umat telah melepaskan ikatan Islam sedikit demi
sedikit. Jika aku hapuskan dalam sehari saja, aku khawatir
umat akan memberontak dan darah tertumpah. Demi Allah
hancurnya dunia lebih ringan bagiku dari pada tertumpahnya
setitik darah karena diriku".
Cerita ini adalah dari http://www.tarbiyah.pk.or.id. |
|
|
|
|
:: Untuk Informasi Lebih Lanjut Hubungi
::
|
|
|
|
|