|gerbang|pembuka|jawa barat|sumedang|darmaraja|jatibungur|jatigede|tukang web|peta situs|
| cibungur-jatibungur | sejarah | artikel | prestasi | foto satu | foto dua |

Sejarah Cibungur/ Desa Jatibungur


Desa Jatibungur merupakan pecahan dari Desa Sukaratu yang di kembangkan pada tahun 1984-an. Desa Jatibungur terdiri dari dua Dusun yaitu Dusun Cibungur dan Dusun Jatisari{dulu Jatiroke}. Cibungur berasal dari kata Cai dan bungur. Cai berarti air dan bungur adalah ungu, sebuah warna nan cantik dan indah Konon kabarnya warna bungur ini berasal dari sekelompok pohon yang berada di Cibungur landeuh {asal muasal daerah Cibungur=cibungur bawah}. Pohon-pohon itu berada pada satu mata air yang setiap tahunnya selalu mengeluarkan air bersih dan bening. Pohon itu selalu berdaun dan berbunga lebat berwarna ungu laksana sebuah pohon peneduh bagi masyarakat.
Sampai sekarang pohon itu masih berbunga, dan bertambah besar dan tua. Tetapi tak hanya satu yang tumbuh jika yang lainnya mati maka tumbuh lagi pohon yang lainnya. Ketika masa kecil dahulu apalagi pada bulan puasa, kami selalu menuju ke sana hanya untuk ngabuburit. Di bawah pohon-pohon itulah kami dan teman-teman bermain pada batang-batang akar pohon yang menyerupai ayunan, tangga dan lain-lain. Akar-akar pohon yang berasal dari dahan-dahan, tergerai menuju tanah. Batangnya dua kali lebih besar dari tanganku sewaktu berusia lebih dari tujuh tahun. Kami paling menyenangi satu batang akar yang menyerupai ayunan. Diantara kami, selalu berebutan siapa yang paling cepat datang ke tempat itu. Batang akar yang lain berupa tangga yang terus menuju dahan yang tinggi, tetapi kami tidak pernah sampai ke dahannya karena tinggi dan sulit di capai. Sedangkan yang lainnya adalah akar-akar pohon yang memenuhi sekitar pohon-pohon.
Dibawahnya tanah yang dinaungi pohon-pohon tersebut berwarna hijau di tumbuhi lumut. Bagaikan sebuah tikar alam yang dihampar dengan sengaja untuk kami bermain. Bahkan tak jarang oarang dewasa pun ikutan nimbrung bersama kami. Sangat indah dan memori yang tak terlupakan.
Sebagai penampungan mata air, ada sebuah kolam yang cukup besar. Airnya jernih dan dalam. Ditumbuhi bunga teratai yang indah ditengahnya bahkan banyak tumbuhan air memenuhi kolam itu. Ikan-ikan pun berenang kian kemari. Masih dalam ingatan, kami selalu memancing ikan-ikan kecil di pinggir-pinggir kolam itu. Ikan-ikan itu dinamakan tampele.
Pada sisi lain ke arah pembuangan air dibuatkan tempat pemadian umum yang terbuat dari bambu(sekarang di tembok). Selain dijadikan tempat pemandian juga sering dipakai tempat mencuci pakaian, mencuci beras, alat-alat dapur dan segala macam kegiatan masyarakat dalam hal cuci mencuci.

Pembayaran Desa Jatibungur
Kejadian ini berkisar pada tahun 1985, ketika itu aku masih ingusan(olo leho) dan masih duduk di Sekolah Dasar. Saya mencoba mengingatnya.....
Proyek Jatigede yang akan dibangun adalah sebuah proyek miliaran rupiah (1985) sebagai bendungan yang akan menenggelamkan 3 kecamatan. Kecamatan tersebut adalah Wado, Darmaraja dan Cadasngampar. Desa kami terletak di Kecamatan Darmaraja yaitu Desa Sukaratu kemudian dikembangkan menjadi dua desa, desa lain adalah Jatibungur dan kami adalah warganya.
Pembayaran itu akhirnya terjadi juga, bayangkan harga tanah bagaikan harga kacang goreng yang cepat laku di pasaran. Padahal bagi kami tanah yang subur itu adalah tanah pengharapan dan nyawa hidup kami untuk melanjutkan hidup di bumi ini.
Tetapi sampai kini proyek itu tak ada reaslisasinya terkatung-katung hingga masyarakat bosan mendengarnya. Kampung kami pun menjadi negeri yang sulit untuk berkembang karena menjadi tanah yang tak jelas statusnya.

Kehidupan yang mulai sepi di Jatibungur, masyarakat exodus ke tempat lain
Karena menjadi tanah yang tak jelas, maka banyak sekali warga yang menyangsikan akan kelangsungan hidup di daerah genangan. Ini berlaku bagi semua kampung yang berada di daerah genangan. Tak sedikit warga yang exodus ke tempat lain yang lebih berpengharapan. Tempat-tempat exodus yaitu di luar desa, luar kecamatan bahkan merantau ke daerah lain. Banyak pula yang Transmigrasi ke luar Pulau Jawa atas anjuran pemerintah.
Mereka yang memilih pindah ke tempat lain rata-rata keluarga yang mampu pindah dan dapat membeli tanah dan rumah di tempat lain. Sebaliknya keluarga yang kurang mampu tetap bertahan walaupun dengan berbagai macam perasaan karena was-was akan terreaslisasinya proyek Jatigede.
Hal ini menimbulkan kebuntuan ekonomi di kalangan kami sendiri yang nota bene adalah rakyat miskin. Kami bukan penggerak ekonomi, kami hanyalah pelaku ekonomi yang pasif. Kami juga tak tahu bagaimana seharusnya melakukan gerakan ekonomi yang lebih baik. Hal itu tak ada seumur hidup aku tingal di sana lebih dari 20 tahun.
Kalaupun ada hanyalah merangkak bagaikan bayi yang sakit, terbebani dengan kesakitannya itu.
Sebagai anak yang terlahir dari tanah sengketa rakyat dan pemerintah, hati saya menjerit tetapi itu tak akan menyelesaikan masalah. Kesakitan yang bertahun-tahun akibat dari kemunduran ekonomi di desa kami membuat kami lebih sakit dan menderita. Kami merasa dibodohi oleh pemerintah, kami tak dapat memajukan ekonomi sehingga kami tak dapat meraih pendidikan secukupnya.
Kami selalu kehilangan teman sepermainan, tak ada lagi hari-hari indah ketika kecil menghiasi karena setiap kali kami berteman maka mereka akan segera meninggalkan kampung ini.
Yang kami kerjakan setiap harinya adalah menghitung rumah kosong yang semakin bertambah. Atau menambah perasaan takut ketika lewat rumah-rumah kosong itu apalagi di malam hari.

Listrik tidak dapat masuk ke Jatibungur
Hidup dalam keterasingan membuat kampung kami menjadi bagaikan mati. Listrik yang sudah menyala di kecamatan kai sekitar tahun 1985, tidak dapat kami nikmati. Beruntung rumah saya adalah batas daerah genangan hingga sekitar rumah kami boleh memasang listrik. Tetapi itu pun hanya beberapa gelintir saja yang memasang listrik karena kami rakyat miskin yang tak mampu membayar uang muka dan abodement listrik,termasuk kelurga kami. Bila malam datang, diseberang desa nyala terang benderang sedangkan kampung kami bagaikan kuburan tua, gelap gulita.
Satun waktu terpaksa seorang warga Cibungur yang mempunyai Diesel menawarkan listrik Diesel ke tiap-tiap rumah. Maka dibuat instalasi ke rumah-rumah untuk pemasangan lsitrik. Setiap rumah dijatah hanya beberapa watt saja dengan iuran setiap bulannya. Nyala listrik itupun hanya sampai pada pukul 12 malam selanjutnya mati sampai pagi.
Sedangkan saya tiap malam hanya mengandalkan lampu minyak untuk belajar. Karena keasyikan kadang-kadang rambutku terbakar ujung lampu minyak(silalatu) hingga berbau gosong. Paginya ketika belajar tak sadar pula lubang hidung kami berwarna hitam bagaikan habis masuk cerobong asap.

 


Sahman© 2005