A

Sekretariat:
Jl. Papanggungan VII/60B
RT 02/09 Bandung 40284
Telp. [022] 7317529
E-mail: flp_bandung@yahoo.com

Aku mencintaimu-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu adalah menyingkap tabir hingga Engkau kulihat
(Rabi'ah Al Adawiyah)

A
Berbakti - Berkarya - Berarti                                                                                Berbakti - Berkarya - Berarti
A

[KEPENGURUSAN 2003-2005]

Ketua Umum:
M. Irfan Hidayatullah
Sekretaris Umum:
Agus Wibowo
Bendahara Umum:
Intan Riyani
Dana Usaha:
Riki Cahya
Sie PSDM:
Yus R. Ismail
Taufik Cahyadi
Tita Martiana
Sie Humas:
Hanum Sujana
Sie Workshop:
Topik Mulyana
Divisi Fiksi:
Yudhi Nugraha, Fauzan,
Mirah Arumsari, Muh. Asyrofi,
Suryati, Luthvi Irma Ulfia
Divisi Non Fiksi:
Rizqie Fajriyani, Ruspiadi,
Yuti Ariyani, Eti Setiati,
Neny Ratnawati
Divisi Puisi:
Lail Khair El-Rasyid,
Rini Ritawati, Adies Saputra,
Teny Indah Susanti
Divisi Folklor:
Aminudin
Sie Pustaka:
Ihsan, Adrian Ramdani
Sie Penerbitan Media:
Wardana, Rina Rahmawati,
Nita, Yuli Inrayani

 


:: PERSAKSIAN (SEBUAH) SAHABAT
Aswi

     "Guoblok! Lu kerja apa maen hah, sampe nggak dapet satu sen pun!"
     Rahman hanya menunduk menahan rasa takut. Tundukan yang sangat dalam.
     Tangan bang Torik tiba-tiba saja sudah mengangkat dagu Rahman, "Naha lu cicing wae! Lu nggak denger apa yang gue omongin!"
     "Ampuun, Bang!" teriak Rahman ketika pegangan bang Torik di dagunya mulai mengeras. Ya Allah! Sebenarnya memang bukan salah Rahman, tetapi aku tidak bisa menjelaskan kepada bang Torik. Andai saja bang Torik tahu apa yang menimpa Rahman selama ini, pasti akan dimaafkan. Tapi, mana peduli dan mana mau bang Torik menerima alasan yang bertele-tele. Aku pun paham dan hanya bisa mengunci mulut. Maafkan aku, Man! Memang kita sudah bersahabat cukup lama, tetapi sebagai seorang kawan karibmu, aku juga mempunyai keterbatasan yang kamu sendiri memakluminya. Aku hanya bisa berdoa agar kamu mau bersabar lagi. Innallaha ma'as shaabiriin. Dan aku tahu sudah berapa lama kamu terus dan terus lagi untuk mencoba bersabar.
     "Plak!"
     Aku jatuh terjerembab di tanah yang becek ketika tamparan bang Torik mengenai mukaku. Tubuhku yang tadinya sedikit bersih, langsung saja bermantelkan lumpur bercampur sampah organik. Memang, aku hampir selalu mendapatkan getahnya ketika Rahman tidak menyetor kepada bang Torik atau kurang dari yang sudah ditargetkan. Mungkin inilah bantuan yang bisa aku berikan kepada Rahman. Aku meringis. Pipiku pasti merah sekali mendapatkan tamparan sekeras itu, dan bauku mungkin juga sudah santer mengundang lalat-lalat untuk berdatangan.
     Dengan muka pias, Rahman hanya bisa memandangku sedih tanpa bisa berbuat apa-apa untuk berusaha membantuku berdiri. Tatapannya meluncur ke dalam sanubariku dan kami pun berbicara dengan kata hati. Tersenyum dalam hati aku pun mengangguk. Aku merintih lagi dan berusaha untuk bangkit, namun rupanya tenagaku sudah tidak ada lagi. Maafkan aku, Man! Aku memang belum bisa menolongmu kali ini. Huh! Aku menolehkan pandangan ke arah bang Torik. Amarahku menggelegak di dalam kawah hawa nafsu. Aku benci sekali kepada bang Torik dan kalau saja aku….
     "Aduuuh…! Ampuun, Bang!" teriak Rahman tiba-tiba. Tangan bang Torik sudah menggenggam rambutnya yang sedikit kucel dan mempermainkan kepalanya ke kanan dan kiri. Rahman hanya meringis kesakitan dan tangannya berusaha membantu sambil mencoba melemaskan otot lehernya merelakan kepalanya dipermainkan bang Torik.
     "Seharusnya kamu tidak usah mengikuti sosok itu, Man!" seruku sendiri dalam hati. Ya, kejadian ini berawal dari peristiwa tadi pagi. Aku dan Rahman mendapatkan daerah basah di simpang Ahmad Yani - Laswi. Saat asyik-asyiknya mengecrek tutup botol bekas yang sudah dilempengkan, entah kenapa sudut matamu beralih ke tempat lain. Sampai lampu lalu-lintas sudah berwarna hijau, pandanganmu tidak lepas dari sosok berbalut putih hijau yang sedang berjalan menuju kawasan jalan Riau. Tiba-tiba saja kamu sudah menggandengku untuk mengekor sosok tersebut. Entah apa yang membuat sosok tersebut begitu menarik bagi dirimu. Aku pun juga merasa bersalah tidak menghentikanmu. Aku selalu diam.
     "Tingali tah si Panjul ama si Dogel, bisa dapet enem ribu!" tegas bang Torik lagi.
     "Ampun, Bang! Saya memang bersalah dan saya janji…," Rahman terbata-bata mencoba menjelaskan. "Saya janji nggak akan ngulangin lagi." Rahman mengiba kepada bang Torik. Kepalanya terlihat berdenyut sakit sekali, matanya kabur tidak mampu melihat jelas keadaan sekelilingnya. Anak-anak lain yang seprofesi dengannya hanya diam tanpa nyali melihat Bos mereka ngamuk. Pandangan mereka hanya sebatas tanah, tetapi pendengarannya disetel tajam-tajam. Aku sendiri hanya bisa memandangnya sedih dari kubangan ini.
     "Alaaaahh, tong boong lu! Ini sudah yang berapa kali lu mbelot perintah gue…" bang Torik mengelak dan meninggi. Dan tiba-tiba saja…
     "BRUKKK!"
     Rahman jatuh tersungkur tepat di depanku yang kebetulan tidak tergenang air. Tanpa diduga bang Torik melepaskan genggamannya dan melempar tubuh kecil itu ke sebahagian permukaan bumi-Nya. Rahman memegangi kepalanya yang sedikit pening. Matanya bertubrukan denganku dan terlihat jelas kristal-kristal kecil mulai bermunculan di sudut matanya. Hatiku pun berdesakan.

Kepak-kepak sayap kecilmu
Tidak mampu menerbangkan
Dirimu yang selalu kerdil

Sebuah jurang:
Terus menganga dan menanti
…dan aku tahu
Rembulan pun iba

     Aku mencoba tersenyum. Qalbuku mencoba bersyair agar dapat mengurangi kepedihan asamu. Lalu dengan perlahan, Rahman berusaha membalikkan badannya, tetapi…
     "Aaaaaahh…!" Rahman berteriak mengaduh.
     "Awas kalau sekali lagi lu ngelawan gue!" hardik bang Torik. Matanya yang merah melanglangbuana ke arah sekelilingnya. "Yang laen juga. Ini akibatnya kalau berani macem-macem ama gue!"
     Rahman meringis kesakitan memegang punggung tangannya yang memerah dan berdenyut, diinjak oleh bang Torik. Sel-sel darahnya menjadi terhambat mengalir di sekitar telapaknya dan mungkin juga menyebar ke tempat yang rusak. Syaraf-syaraf sensitifnya mengirimkan impuls rasa sakit ke hypothalamusnya. Lalu tanpa rasa menyesal bang Torik meninggalkan Rahman yang masih bermesraan dengan tanah. Langkah-langkahnya yang berat diikuti oleh anak-anak lainnya meninggalkan lapangan yang terisolir dari jalan utama. Meninggalkan kami yang tersisa menatap sepi bersama angin mengabarkan sebuah kata harapan. Rahman mencoba berdiri. Aku pun dirangkulnya untuk bisa berdiri lagi. "Engkaulah sahabat sejati," bisikku kepadanya. Senyumannya terkembang. Kami berjalan ke luar lapangan menghadapi (kembali) dunia nyata.

# # #

     Langkah kecil sosok itu ringan menapak jalan Riau, kemudian membelok ke jalan Soka. Aku dan Rahman langsung mempercepat langkah kaki kami, takut kalau sosok ceria itu hilang ditelan kelokan. Rasa gelisah melingkupi hati bersama galau yang tak bertepi. Namun rasa itu hilang berganti syukur dan kami masih bisa bernafas lega karena sosok tersebut masih terlihat di ujung jalan dan masuk ke dalam taman.
     Hei! Kami langsung menghentikan langkah ketika melihat sosok-sosok lain bermunculan di taman itu. Mereka memakai kostum yang sama dengan sosok pertama tadi. Dan kali ini sosok tersebut terlihat lebih ceria ketika sosok yang lain bermunculan menyambutnya. Kami pun mencoba menyembunyikan diri. Untuk beberapa saat kami diam terpaku menatap pemandangan yang sangat menggugah hati. Dan hati yang coba kami sembunyikan. Cahaya pelangi mencoba merembesi relung-relung hati yang kosong.
     "KRIIINGGG…!"
     Sosok-sosok berseragam putih hijau itu tiba-tiba berhamburan masuk ke dalam gedung yang berpadu dengan sebuah masjid. Sesaat suasana di daerah itu lengang. Kami baru tersadar saat suasana terlalu sunyi untuk sebuah kota Bandung, hanya bertemankan mobil-mobil yang berjejer rapi terparkir di sepanjang jalan depan gedung itu. Sepertinya sebuah gedung sekolah, pikir kami.
     "Al Azhar," seru Rahman lemah melihat tulisan di gedung itu.
     Aku pun mengangguk tanda mengerti. Aku memang tidak bisa membaca. Berbeda dengan Rahman yang pernah mengenyam pelajaran di sekolah walau hanya sampai di kelas dua SD. Kepintarannya menyerap pelajaran terhenti saat takdir mengatakan lain. Bapaknya tewas seketika saat angkot yang dijadikan sandaran hidup keluarganya mengalami kecelakaan di jalan Soekarno-Hatta. Sebulan kemudian, ibunya menyusul. Kerapuhan hati dan kelemahan jiwa tidak mampu menghadapi kerasnya hidup. Hidup di dunia yang jelas-jelas fana ini.
     Kulihat sudut mata Rahman mulai mengalirkan bulir-bulir bening yang akhirnya membentuk sungai melewati sisi hidungnya, kemudian terus meluncur ke bawah dan menggantung di dagunya yang berbelah. Setelah cukup lama bergelayutan, akhirnya bulir-bulir itu jatuh mengikuti gaya gravitasi bumi. Aku hanya bisa terpaku membiarkannya larut dalam kesedihan. Yang bisa kulakukan hanyalah berusaha memayungi kepalanya dari sengatan matahari yang mulai meninggi.
     Rahman pernah bercerita kepadaku bahwa ia mempunyai keinginan yang kuat untuk bersekolah lagi. Ia selalu bernostalgia denganku mengenang bapaknya yang terus menyediakan waktu mengajarinya mengaji. Ingin rasanya ia mengulang pelajaran a-ba-ta yang sekarang sudah dilupakannya. Ingin rasanya ia mendengar celotehan bapaknya tentang perjuangan Rasulullah saw dan para sahabatnya menyebarkan ajaran Islam. Ingin rasanya ia menyenandungkan syair-syair keindahan akan Islam. Ingin rasanya ia…

# # #

     Kami berjalan melewati perempatan yang selalu hiruk-pikuk dan terselaputi asap karbon monooksida yang sangat mematikan. Aku menegur dan mengingatkan Rahman untuk tidak terlalu memikirkan sosok itu. Namun apalah aku. Langkah-langkah kecilmu berlari di antara mesin-mesin yang memekakkan telinga. Sampai akhirnya langkahmu terhenti tiba-tiba. Pandanganmu terus menajam seperti peristiwa itu dan aku bisa menebak jalan penglihatanmu. Tatapanmu tidak lepas dari sosok putih hijau itu lagi. "Kita kenalan yuk," ajakmu kepadaku. Aku mengangguk. Dan kamu langsung berlari ke arahnya tanpa menyadari bahwa lampu sudah berubah warnanya menjadi hijau. Aku pun turut berlari dan telat memberitahu.
     Aku baru tersadar ketika orang-orang mulai banyak berdatangan. Hampir semua kendaraan menghentikan laju rodanya. Sebagian pengemudi membunyikan klakson kendaraannya, sementara yang lain melongok keluar untuk mencari tahu. Akhirnya orang-orang berdesakan mengelilingi kami yang terkapar di jalan. Hanya menonton.
     Sungai merah mengalir melewatiku. Satu meter di hadapanku, Rahman tergeletak tak berkutik bermandikan darah. Hampir semua lubang di kepalanya mengeluarkan cairan merah yang menganak sungai. Aku gemetar, lidahku kelu, tubuhku kaku, dan nafasku hampir terputus. "Rahmaan!" aku berteriak. Teriakan yang tak bersuara. Tubuhku bergetar namun tak bergerak. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meraihnya. Namun, sekali lagi aku tak mampu.
     Ingin sekali aku berteriak memanggil namamu. Ingin rasanya aku menghampirimu dan memapah tubuhmu yang terbaring kaku. Ingin rasanya aku bercerita kepada semua orang tentang cita-citamu. Sahabatku. Niatmu untuk berkenalan pupus sudah. Andai saja aku bisa dan mampu. Andai saja aku dapat melakukannya sendiri, walau 'tuk sekedar menyentuh rambutmu yang kucel itu. Andai saja aku seorang manusia. Ya, andai saja aku hidup. Tetapi aku hanyalah sebuah topi kesayanganmu.***

Cisitu Lama, 25 Jumadil Awal 1422 H

 

:: Artikel
Menitipkan pesan pada cerkan - Abu Izzati

Ketika fiksi menyikapi fakta
- Abu Izzati
Cerpen faktual? Oye!!! - Tammi Tinami F.

:: Cerpen
Serenade malam - Vani Diana Puspasari
Langgam dari tanaku
- Intan Riyani
Tawaran yang tak bisa aku tolak - D. Utami

:: Wacana
Minat baca di kalangan pemuda - Agus S.
Baca... Baca... Baca... - H.S. Ibnu Sabil

 

 
:: Puisi

Sketsa jalan (Nurleilla Hsoleh), Rumah kardus (Lina Herlina), Kerinduan semu (Ipah Latifah), Dagelan hati (Aswi), Do'a (Aswi), dan Menjadi tuhan, Tuhan (M. Irfan Hidayatullah)

:: Info

Karya anggota, yaitu kumpulan berita tentang anggota FLP Bandung yang karyanya berhasil dibukukan, baik tergabung dalam antologi bersama, atau pun merupakan kumpulan cerpen sendiri, termasuk novel.
A A  

A
muka | latar belakang | kontak

copyright by FLP Bandung 2003