|
[KEPENGURUSAN 2003-2005]
Ketua
Umum:
M. Irfan Hidayatullah
Sekretaris Umum:
Agus Wibowo
Bendahara Umum:
Intan Riyani
Dana Usaha:
Riki Cahya
Sie PSDM:
Yus R. Ismail
Taufik Cahyadi
Tita Martiana
Sie Humas:
Hanum Sujana
Sie Workshop:
Topik Mulyana
Divisi Fiksi:
Yudhi Nugraha, Fauzan,
Mirah Arumsari, Muh. Asyrofi,
Suryati,
Luthvi Irma Ulfia
Divisi Non Fiksi:
Rizqie Fajriyani, Ruspiadi,
Yuti Ariyani, Eti Setiati,
Neny Ratnawati
Divisi Puisi:
Lail Khair El-Rasyid,
Rini Ritawati, Adies Saputra,
Teny Indah Susanti
Divisi Folklor:
Aminudin
Sie Pustaka:
Ihsan, Adrian Ramdani
Sie Penerbitan Media:
Wardana, Rina Rahmawati,
Nita,
Yuli Inrayani
|
|
|
Munculnya Genre Sastra Jurnalistik dan Sastra Sejarah
:: KETIKA FIKSI MENYIKAPI FAKTA
Abu Izzati
Fiksi atau cerita rekaan adalah salah satu jenis karya sastra yang menekankan kekuatan kesastraannya pada daya papar penceritaan. Hal tersebut bertolak belakang dengan puisi yang lebih menekankan pada pemadatan peristiwa. Hakikat fiksi tersebut menjadikan fiksi lebih dekat pada realitas sosial budaya. Bahkan fiksi lebih bisa akrab dengan pembaca karena fiksi lebih mampu memunculkan fakta.
Wacana kehidupan nyata pada fiksi sering diperdebatkan dalam hal validitasnya. Bahkan karena kefiksiannya fakta menjadi sebuah unsur yang dianggap hasil sebuah imajinasi. Sifat umum karya sastra sebagai struktur kreatif mengalienasikan unsur kenyataan sosial yang hadir atau dihadirkan oleh pengarangnya, sehingga fakta menjadi tidak faktual pada wilayah resepsi pembaca. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya telah terjadi kerjasama antar keduanya. Fiksi telah dijadikan sarana bagi pengungkapan fakta yang seringkali dijungkirbalikkan pada wacana media masyarakat. Kenyataan sosial lebih eufimistis pada wilayah media informasi non kreatif dibandingkan dengan pada wilayah media kreatif. Bahkan tak jarang dunia jurnalistik dikebiri untuk mengalienasikan fakta sebenarnya. Oleh karena itu, seorang pengarang ternama, Seno Gumira Ajidarma, mengungkapkan kredonya, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Pada kalimat tersebut terdapat kata harus. Sebuah kata yang menggugat. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa karya sastra telah dijadikan, bahkan harus, dijadikan alternatif bagi pengungkapan fakta yang telah tidak punya tempat.
Perpaduan dua sisi media (sastra dan jurnalisme) telah menjadikan sebuah revitalisasi sumber cerita. Seolah-olah fakta yang memang menjadi sumber imajinasi dikukuhkan pada posisi yang lebih jelas. Hal tersebut, menjadikan sebuah fenomena jenis fiksi muncul kembali, yaitu fiksi jurnalistik dan fiksi sejarah. Keberadaan jenis fiksi tersebut tak lepas dari wacana sosial-budaya-politik masyarakat Indonesia yang beranjak merdeka. Keberanjakmerdekaan itulah yang dijadikan wacana transisi yang cenderung menuntut kreativitas. Pada momen tersebut sebuah fakta tak dianggap dan tak berpengaruh pada pembentukan memori masyarakat ketika fakta tersebut disampaikan lewat sebuah media konvensional (jurnalistik) yang serius dan up to date. Misalnya, ketika wilayah kemanusiaan Timor-Timur bermasalah maka media jurnalistik terbatasi oleh sebuah konvensi antikreatif yang kemudian disebut rezim. Untuk menghadapi hal tersebut Seno kemudian memasuki wilayah kreatif (sastra). Seno membebaskan dirinya lewat sebuah cerita pendek yang telah mendapatkan pencitraan sebagai sebuah dongeng. Pencitraan yang begitu ringan tersebut tak lepas dari hakikat karya sastra yang seni (kreatif). Sebagai sebuah seni, fiksi berfungsi untuk mengisi ruang-ruang sisa pada kehidupan sehari-hari) sehingga fiksi menjadi semacam hiburan. Beranjak dari sanalah kemudian Seno membuat Saksi Mata yang terkesan sebagai cerita absurd. Keabsuradannya mungkin saja disengaja untuk meloloskan diri dari perhatian rezim terhadap keberadaan realita pada sebuah wacana alternatif (sastra). Hal tersebut memang diungkapkan secara jujur oleh Seno (Ajidarma: 83, 97):
"Saya ingin orang tahu pasti bahwa konteks tulisan saya adalah insiden Dili atau situasi Timor Timur. Namun bersama dengan itu saya juga harus menyembunyikan fakta tersebut, supaya cerpen saya lolos dari self Censorship para redaktur media massa, kemanapun saya kirimkan cerpen itu. Maka, saya hanya bisa menyisipkan sejumlah kunci untuk pembaca. Pertama, terdapat konteks pembantaian orang-orang tidak bersenjata. Kedua, terdapat nama-nama yang diwariskan penjajahan Portugal. Pembantaian menunjuk Insiden Dili, sedang nama-nama Portugis menunjuk lokasi Timor Timur. Ketiga, jika mungkin saya beri sinkronisasi
waktu." Pledoi Seno tersebut memang wajar terjadi pada sisi kehidupan kesastraan di negara yang beranjak merdeka, seperti Indonesia. Kebebasan berucap pada setiap jenis pengucapan acapkali berusaha terus menerus dihalangi, termasuk sastra. Oleh karena itulah maka pada saat seperti itu fakta seakan menjadi sesuatu yang sulit untuk diungkapkan. Walaupun fakta berhasil diungkapkan, semua orang akan mencurigainya sebagai sebuah realitas manipulatif. Untuk hal itu sekali lagi Seno berucap,
"...bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti
kenyataan."
Beranjak dari fenomena tersebut, fakta menjadi sangat terkukuhkan pada berbagai dimensi. Dimensi konvensional (jurnalisme) fakta terkukuhkan sebagai sesuatu yang diragukan kevalidannya, sedangkan pada dimensi kreatif (sastra) fakta dijadikan sebagai sumber tematik, sumber energi pengucapan. Pada dimensi sastra fakta telah berkolaborasi dengan aspek moral yang masih perawan, moral yang memang muncul dari mental pengarang (seniman) yang bertuankan kejujuran nurani. Fakta pada wilayah sastra bukanlah sekedar informasi yang mendompleng pada kepentingan arus perpolitikan. Fakta pada wilayah sastra adalah kreatifitas itu sendiri yang lebih memiliki energi emotif daripada kognitif. Fakta akan melebur pada sebuah muara yang begitu menyatu dengan realitas tempat fakta tersebut berasal. Goenawan Muhammad (xix, 2000) pernah mempertegas eksistensi fiksi dalam sebuah pertanyaan,
"Kenapa orang menulis cerita pendek? Kenapa tidak menulis artikel, editorial, surat pembaca, brosur – hal-hal yang juga penting, jika yang hendak disampaikan adalah informasi atau penjelasan, atau statemen
politik?"
Fiksi atau cerita rekaan atau karya sastra pada umumnya mempunyai pola tertentu dalam menyikapi fakta. Fiksi menempatkan fakta sebagai sumber ide yang kemudian diletakkan pada struktur tertentu yang dimilikinya. Fakta bisa ditemukan pada wilayah kecil sebuah fiksi karena fiksi selalu lebih mengutamakan imajinasi. Jadi, ketika fiksi menempatkan fakta pada wilayah yang begitu besar maka fiksi seakan telah berubah hakikat (seperti yang diungkapkan Goenawan di atas) dan ketika itulah fiksi menjadi terlihat sebagai perpanjangan tangan atau peralihan wacana dari wilayah jurnalistik (yang tak bebas). Dan itu adalah sebuah kegagalan. Fiksi tetap fiksi yang menyikapi fakta lewat hakikat kefiksiannya.
Banyak pengarang yang berhasil membawakan fakta pada sebuah cerita yang mereka-reka, bahkan pengarang tersebut melandaskan ceritanya pada wilayah konvensional, yaitu sejarah. Sejarah sebagai rekaman fakta terdahulu sering dijadikan wacana yang serius. Akan tetapi, para pengarang tersebut tetap menyadari apa yang mereka tulis. Karya mereka tetap merupakan karya fiksi yang imajinatif yang mendapat tempat berbeda di hati masyarakat dibanding sebuah berita harian. Bahkan karya-karya mereka cenderung mumpuni. Kemumpuniannya adalah terletak pada keberhasilan mereka mengasah mata pisau pada kedua sisinya. Ketika membaca karya mereka orang akan mendapatkan sebuah informasi sekaligus mendapatkan sebuah wacana kemanusiaan yang kental.
Di antara pengarang-pengarang tersebut terdapat nama-nama seperti Pramoedya Ananta Toer, YB. Mangunwijaya, dan Ajip Rosidi. Ketiga pengarang tersebut sering mengungkap fakta sejarah pada berbagai versi imajinasi mereka sendiri. Misalnya kisah Roro Mendut yang diceritakan secara berbeda (gaya) oleh Mangunwijaya (berbentuk trilogi) dan Ajip Rosidi atau kisah-kisah sejarah jawa lainnya yang diceritakan dengan gaya sastranya Pram (diantaranya) dalam Arok Dedes (novel) dan Mangir (drama). Menurut Schere (XV, 2000) gejala tersebut adalah sebuah kecenderungan yang menunjukkan adanya suatu obsesi di tengah masyarakat yang masih hadir mencekam dan belum terselesaikan. Masih hadir mencengkam dan belum terselesaikan dalm hal ini tentu saja adalah sebuah fakta sejarah yang terbukti ditulis berulang-ulang oleh para sastrawan sebagai tindak kreatif berdasarkan wacana fakta. Bahkan pada karya Pram yang berjudul Arok Dedes wacana sejarah jawa yang dijadikan ladang cerita (dipaksa) dihubungkan dengan sebuah kejadian sejarah modern. Hal tersebut bisa terlihat pada pengantar penerbit novel Arok Dedes:
"Kisah Arok Dedes adalah kisah kudeta pertama dalam sejarah kita. Kudeta unik a la jawa, penuh rekayasa kelicikan, lempar batu sembunyi tangan, yang punya rencana menjadi orang terhormat, yang tak terlibat malah menjadi korban yang ditumpas habis-habisan. Mengikuti kisah perebutan kekuasaan dengan kelihaian secanggih seperti itu, tanpa diundang asisiasi pembaca langsung beralih dari peristiwa di abad 13 ke abad 20 di tahun
65-an...." (Isak, viii, 2000).
Demikianlah karya sastra sejarah menyimpan berbagai macam amanat dari fakta yang sebelumnya (mungkin) telah ada pada benak masyarakat dalam bentuk informasi (tanpa keterlibatan emosi). Kekaryasastraanlah yang membuat sebuah fakta yang dingin menjadi hangat dan hidup.
Selain fakta tempo dulu yang dibidik oleh pengarang. Fakta kontemporer yang masih hangat (bahkan panas) sering dibidik oleh pengarang untuk dijadikan ground sebuah cerita. Selain Seno, yang diulas sebelumnya, terdapat nama lain yang mencoba berekspresi di atas sebuah fakta tragis yang (tentu saja) ditutup-tutupi. Diantaranya ada Motingge Busye, Joni Ariadinata, Ita Sembiring, dan Helvy Tiana Rosa (dan tentu saja masih banyak pengarang yang lain). Masing-masing pengarang mempunyai gaya penceritaan yang berbeda-beda.
Motingge Busye dalam cerpen Dua Tengkorak Kepala (cerpen terakhir yang ditulisnya sebelum beliau wafat) berusaha mengungkapkan fakta kemanusiaan di Aceh dengan menghadirkan sebuah perpaduan dua wilayah budaya, yaitu budaya setempat yang sangat akrab dengan kekejaman yang dekat sekali dengan kerinduan akan syahid dengan budaya berkesenian yang dihadirkan lewat memori tokoh utama. Fakta kemanusiaan Aceh (pada masa berlakunya DOM) terasa cair pada pengucapan Busye. Bahkan pembaca akan merasakan berada atau andai berada pada kejadian seperti itu. Selain Busye pengarang yang bermain dengan fakta kontemporer adalah Joni Ariadinata. Joni, pada dunia kepengarangannya erat sekali denga fakta yang selalu tersembunyi, yaitu rakyat kecil dengan tragedi kesehariannya. Hal tersebut tidak kalah tragedinya dibandingkan dengan Aceh, bahkan peristiwa yang diungkap justru lebih merenah. Contoh karyanya yang mencerminkan hal tersebut adalah cerpen-cerpen pada kumpulan cerpen Kali Mati.
Ada jenis lain yang mengungkapkan gambaran pola hubungan fakta-fiksi, yaitu apa yang ditulis oleh pengarang wanita muda, Ita Sembiring. Ita pada salah satu novelnya berjudul Jerit (suatu ketika di Lho’seumawe) mengambil fakta setting yang sangat pragmatis. Ia memunculkan fakta setting (yang tragedi) hanya sebagai pembentuk sebuah konflik tokoh-tokohnya tanpa pelibatan unsur kebudayaan yang berbobot. Berbeda halnya dengan Helvy Tiana Rosa yang karya-karyanya sangat jelas dan menohok pada akar permasalahan. Pada cerpennya (yang menjadi salah satu cerpen terbaik Horison) Jaring-Jaring Merah, Helvy mengungkapkan sebuah tragedi yang tercetak lewat seorang tokoh yang gila karena tekanan mental akibat kekejaman. Karya-karya Helvy ini berbanding terbalik cara pengucapannya dengan Seno. Helvy bahkan mencoba mengungkapkan visi dan misinya dalam menulis cerpen, yaitu untuk berdakwah. Keserbajelasannya tersebut mengangkat dia pada sebuah tempat yang melebar, tidak hanya tragedi di Indonesia melainkan tragedi di setiap adanya penindasan. Semacam reportase yang tak sempat dan bahkan tak diniatkan untuk ditulis dalam sebuah berita harian.

|
|
|