.
.
.
.
.
.
Membuat Tanggapan

Melihat Tanggapan

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kembali
ke Daftar Isi

|
Zambrud Berserekan
Indonesia yang dahulu dikenal sebagai "Untaian zamrud di Katulistiwa",
kini berserakan. Negara Kesatuan Republik Indonesia tercerai berai, bagaikan
Uni Soviet, bahkan ada kemungkinan seperti Yugoslavia.
Ibukota Riau bisa dipertahankan, walaupun lebih
satu batalyon TNI tewas dalam pertempuran penumpasan gerakan separatis
Riau Merdeka di Pakanbaru, 3 Februari 2010. Korban di pihak Riau Merdeka
lebih dari 2 batalyon pasukan bersenjata, sedangkan korban di kalangan
sipil belum sempat dihitung, namun semua rumah sakit dipenuhi oleh korban
pertempuran, sampai di lorong-lorongnya.
Upaya mempertahankan Riau adalah masalah yang sangat kritis bagi Indonesia,
setelah Provinsi Irian Jaya berhasil memerdekakan diri pada tahun 2008.
Dari laporan resmi Departemen Pertahanan, Gerakan Papua Merdeka mendapat
dukungan dana dari Freeport, untuk membeli senjata dan logistik. Sedangkan
Provinsi Aceh telah memisahkan diri tahun 2005, setelah konflik bersenjata
yang menelan puluhan ribu anggota militer maupun penduduk sipil.
Riau dan Kalimantan Timur adalah ladang minyak, sumber dana Indonesia untuk
mempertahankan roda pemerintahan di Jakarta, melalui penjualan di pasar
gelap. Indonesia mengalami kesulitan menjual minyaknya, karena hampir semua
negara maju melakukan pemboikotan, akibat pemerintah di Jakarta tidak bisa
mengendalikan pelanggaran hak asasi manusia di mana-mana. Jika Riau sampai
berhasil memisahkan diri, maka Kalimantan Timur juga akan jatuh pula. Ketegangan
politik Kalimantan Timur sudah mencapai titik kritis.
Indonesia yang dahulu dikenal sebagai "Untaian zamrud di Katulistiwa",
kini berserakan. Negara Kesatuan Republik Indonesia tercerai berai, bagaikan
Uni Soviet, bahkan ada kemungkinan seperti Yugoslavia.
Beralih menjadi tertutup
Indonesia kini menjadi negara paling labil dan miskin di dunia, dan
nomor satu dalam korupsi, yang pemerintahnya menerapkan kebijakan politik
yang tertutup. UU Pers 40/1999 dicabut dan diganti dengan UU Pers baru
yang menutup kemerdekaan pers. Semua pers yang masih terbit di bawah kontrol
yang ketat oleh pemerintah, bahkan para aparat pemerintah tidak segan-segan
melakukan sensor langsung di kantor-kantor koran di Indonesia. Radio dan
televisi, baik milik pemerintah maupun swasta, hanya menjadi media propaganda
pemerintah. Bahkan Internet Service Provider dikontrol pula, sehingga arus
informasi via internet pun bisa dideteksi oleh pemerintah.
Indonesia menjadi negara tertutup, setelah terjadinya kudeta berdarah yang
dilakukan oleh pihak militer tujuh tahun lalu. Presiden Abdurrahman Wahib
ditembak saat melakukan shalat Iedul Fitri, oleh aktivis Muslim fundamentalis,
yang disusul kekacauan dan mendorong militer melakukan kudeta. Kejadian
ini mengingatkan peristiwa gugurnya Mahatma Gandhi di India yang gugur
dibunuh oleh pengikut Hindu yang ekstrem. Gabungan kekuatan militer dan
Muslim fundamentalis ini melakukan operasi sapu bersih terhadap lawan-lawan
politiknya, dan belasan ribu ulama di kalangan NU dibunuh, bahkan banyak
orang yang memperkirakan korban dari kalangan NU mencapai puluhan ribu
orang. Pembantaian para ulama seperti ini pernah dilakukan Amangkurat I,
pada masa Kerajaan Mataram.
Alasan resmi yang diungkapkan rezim militer adalah Indonesia perlu diselamatkan
dari disintegrasi, karena Presiden Abdurrahman Wahid terlalu membuka kebebasan
masyarakat. Tiada hari tanpa demonstrasi di seluruh kota besar di Indonesia,
di antaranya adalah makin menggejalanya tuntutan untuk memisahkan diri.
Kelompok-kelompok ini terkadang dilengkapi oleh kekuatan bersenjata, dan
di antaranya dianggap mengganggu keamanan penduduk. Seringkali terjadi
kerusuhan yang sudah tidak bisa diatasi oleh polisi, sehingga militer perlu
diturunkan. Hal ini mengakibatkan kalangan militer jengkel, karena mereka
merasa dianggap sebagai pemadam kebakaran saja. Kejengkelan militer ini
pernah terjadi pada akhir tahun 1950-an, sehingga Jenderal Nasution memperkenalkan
konsep dwi fungsi ABRI.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid memang mengalami kesulitan di dalam memperbaiki
ekonomi Indonesia, karena keadaan ekonomi peninggalan Orde Baru sudah sedemikian
parahnya. Jumlah orang miskin "baru" akibat PHK, membuat kelompok
masyarakat yang resah, dan secara sporadis menimbulkan kekacauan yang makin
memperparah ekonomi masyarakat.
Salah satu penyebab kelemahan pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah karena
perhatiannya terpecah akibat retaknya partai-partai poros tengah yang pernah
mendukungnya, sehingga sebagian konsentrasinya dipakai untuk mengkonsolidasikan
kekuatan pendukungnya, terhadap ancaman mosi tidak percaya dari sebagian
anggota DPR, walaupun ancaman itu belum resmi suara partai-partai anggota
DPR tersebut, dan belum sampai ke tingkat MPR.
Kudeta kontra kudeta
Kudeta yang terjadi tahun 2003 itu ternyata mengundang kudeta lainnya
pada tahun 2007, sehingga pemerintahan Jakarta tidak bisa berbuat apa-apa
ketika Gerakan Papua Merdeka memproklamasikan Irian Jaya menjadi Papua
Merdeka tahun 2008. Perhatian pemerintahan Jakarta terpusat pada memenangkan
pertempuran di kota-kota besar lainnya, untuk menumpas rezim militer lama.
Sejak tahun 2007, pemerintah Jakarta melakukan kebijakan yang tertutup
dan represif. Hampir tiap hari pengadilan mengadili para aktivis dari kampus
dan lembaga swadaya masyarakat, dan mereka biasanya dijatuhi hukuman penjara
yang lama. Secara terang-terangan pemerintah melakukan intervensi kepada
pengadilan, dan menekan pers untuk memburuk-burukkan nama para aktivis
tersebut. Banyak LSM bubar, sebagian karena pemimpinnya masuk penjara,
dan sebagian lainnya karena ketakutan. LBH memang tidak dilarang, tapi
tak satupun kasus yang dibelanya bisa dimenangkan. LBH dipertahankan hanya
sebagai etalase bagi orang luar negeri, bahwa di Indonesia masih ada supremasi
hukum.
Kebijakan politik pemerintah yang represif ini mematikan partisipasi rakyat.
Masyarakat berada dalam ketakutan dan apatis. Gairah masyarakat untuk melakukan
inisiatif dalam bidang apa pun nyaris tidak ada, karena jika inisiatif
itu membuat rezim militer tidak berkenan, maka nasib buruk akan menimpa
para inisiatornya. Masyarakat menunggu tuntunan pemerintah. Aparat di bawah
menunggu perintah atasannya, demikian seterusnya.
Tingkat pelanggaran terhadap hak asasi manusia baik yang berat maupun ringan
sudah tidak terhitung lagi, tapi tidak bisa diketahui umum. Tak satupun
media yang berani menyiarkan. Sejak 2003, setelah kudeta berdarah penggulingan
pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah 500 media cetak dilarang terbit, dan
lebih dari seratus orang wartawan meninggal setelah dianiaya, dan 200 wartawan
masih berada dalam penjara.
Kemiskinan merajalela
Dampak kebijakan politik represif ini membuat Indonesia dikucilkan dari
pergaulan dunia. Nyaris tak satupun investor masuk ke Indonesia, kecuali
investor yang hanya mau menghisap kekayaan alam Indonesia untuk kemakmuran
dirinya. Jakarta Stock Exchange tinggal cerita. Pabrik yang bangkrut tak
terhitung lagi. Kemiskinan merajalela di seluruh pelosok Indonesia. Yang
menyedihkan Indonesia tidak bisa utang lagi, selain tidak dipercaya karena
tidak mampu mencicil, juga karena pelanggaran HAM di Indonesia. Industri
turisme lumpuh total, banyak hotel-hotel mewah berubah menjadi "rumah
hantu".
Untuk mengatasi kemiskinan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan
beras murah. Pemerintah mewajibkan para petani menanam padi, walaupun sesungguhnya
tanaman palawija atau tanaman lain lebih menguntungkan. Suplai beras yang
dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan dengan sangat drastis, mendorong
Departemen Pertanian mewajibkan kepada setiap petani yang memiliki tanah
di atas 0,5 hektar untuk menanam padi dengan varietas yang ditentukan oleh
pemerintah. Kebijakan ini menimbulkan protes petani Sulawesi Selatan karena
mereka tidak dapat menanam komoditas sawit yang merupakan unggulan Sulawesi
Selatan. Akan tetapi, protes ini kemudian berhasil dipatahkan oleh kehadiran
satu kompi pasukan anti huru hara yang didatangkan dari Makassar.
Kebijakan ini diambil untuk memenuhi kebutuhan pangan. Oleh karena produksi
beras dalam negeri tidak mencukupi, pemerintah mendatangkan beras dari
luar negeri, dan menukarnya dengan minyak dan gas bumi, dan menjualnya
dengan harga murah, separoh dari harga beras di pasar internasional. Petani
tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menjual berasnya sesuai dengan harga
yang ditentukan pemerintah. Mereka tidak bisa mengekspor berasnya, karena
dituduh sebagai orang yang tidak cinta tanah air.
PLN, PDAM dan Telkom mengalami kerugian yang luar biasa, karena harganya
dipatok sangat rendah. Untuk menghindari kerugian yang terlalu besar maka
PLN sering melakukan pemadaman listrik, dan PDAM dengan sengaja memacetkan
saluran air. Sebagai kompensasi, pemerintah diam-diam selalu mencetak uang
baru, sehingga uang yang beredar bertambah banyak, dan melambunglah inflasi.
Kehausan pemerintah akan devisa untuk membiayai belanja rutin dan penumpasan
pemberontakan, membuat pemerintah mengeksploitasi hutan secara habis-habisan.
Kekayaan hutan di beberapa pulau di Indonesia telah diserahkan pegelolaannya
kepada perusahaan negara untuk dieksploitasi. Hasilnya, dalam beberapa
tahun terakhir penerimaan negara dari eksploitasi tersebut mencapai milyaran
dollar AS. Kebijakan ini telah menimbulkan berbagai konflik antara perusahaan
negara pemegang HPH dengan penduduk lokal yang memang merasa bahwa sumber
daya hutan tersebut merupakan miliknya. Bahkan, di beberapa lokasi penebangan
hutan telah terjadi pembakaran beberapa bangunan tempat beroperasinya perusahaan
negara tersebut. Isu ini kemudian telah menyebarkan kebencian penduduk
lokal terhadap pemegang HPH yang didukung dan difasilitasi oleh pemerintah
pusat.
Di provinsi lain konflik terjadi akibat adanya penambangan secara besar-besaran
oleh beberapa perusahaan asing patungan dengan BUMN yang mengeksploitasi
tambang batubara di beberapa kepulauan kecil di sekitar Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur. Di Samarainda dikabarkan penduduk lokal telah melakukan
demonstrasi di kantor Gubernur yang menuntut pelarangan perusahaan yang
dikelola oleh pemilik perusahaan yang bukan putra daerah.
Kemiskinan ini disertai dengan kekurangan gizi bagi para anak-anak balita.
Jarang sekali koran memuat kematian anak-anak balita akibat kelaparan atau
kekurangan gizi, karena terlalu seringnya peristiwa itu sehingga dianggap
tidak layak muat. Dalam pada itu para pejabat pemerintah hidup dalam kemewahan
yang luar biasa, karena memperoleh dukungan dari para pemimpin proyek yang
memperoleh monopoli.
Suasana tidak aman
Kemiskinan yang demikian parah mengakibatkan kriminalitas makin meningkat.
Ibu-ibu di perdesaan hati-hati jika menanak nasi. Mereka menjaganya dengan
cermat, karena jika mereka lengah, ada kemungkinan nasi yang ditanaknya
diambil oleh tetangganya. Pencurian buah pisang, ketela pohon, ikan di
kolam, sudah tidak terhitung lagi.
Yang lebih mengerikan adalah di kota-kota besar. Tidak jarang belanjaan
ibu-ibu dirampas orang. Terkadang ibu-ibu itu menyerahkannya dengan rasa
takut. Terkadang ada yang berani melawan, dan orang itu malah memukulinya,
atau sebaliknya orang-orang di sekitarnya menangkap perampas belanjaan
itu dan kemudian membakar perampas itu hidup-hidup.
Kelompok pedagang keturunan Tionghoa selalu merogoh kantungnya untuk membayar
preman untuk menjaga keamanan toko dan diri keluarganya, tapi terkadang
mereka menjadi korban penjarahan. Kebencian terhadap pedagang Tionghoa
ini bukan hanya dipicu oleh kesenjangan kaya-miskin, tetapi sudah menjadi
kebencian ras.
Korban akibat primordialisme terjadi di mana-mana. Orang Madura di Sambas
nekat, walaupun mereka kalah dalam jumlah tapi tetap melawan, karena tidak
ada tempat untuk lari lagi. Ambon yang terobek oleh konflik agama pada
tahun 1998, masih terus berlanjut hingga kini. Program Keluarga Berencana
berhasil karena tingkat pertumbuhan turun menjadi 1,8% per tahun, karena
korban kerusuhan atau kelaparan.
Seminggu yang lalu, 27 Januari 2010, kakek Amat dari Losari bertekuk lutut
di kuburan cucunya yang tewas akibat tawuran antara Losari Jawa Tengah
dengan Losari Jawa Barat. Ia adalah orang tua yang masih mengingat dongeng
dari leluhurnya, bahwa Losari Jawa Tengah dan Jawa Barat dahulu berasal
dari satu kabuyutan. Tak terbayangkan olehnya, bahwa satu kabuyutan yang
dipisahkan oleh batas provinsi saling bunuh membunuh, hanya karena salah
seorang pemuda tidak dipinjami gitar.***
|