Skenario 4

..

.

.

.

.

.

Membuat Tanggapan
terus.gif
Melihat Tanggapan

terus.gif

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kembali
ke Daftar Isi

Fajar Menyingsing, Kabut Mulai Tersibak

Fajar menyingsing teman
malam gelap yang menakutkan telah lewat

Fajar tersenyum manis
berucap salam penuh kehangatan
"Selamat pagi Indonesia''

Seluruh tubuh terasa segar
udara begitu bersih,
langkah kaki pun terasa ringan
menapaki jalanan lebar
dihiasi bunga-bunga berwarna warni di sisinya
menebarkan semilir wewangian

Tahun 2010, bangsa Indonesia tersenyum bahagia menikmati hari-hari yang makin membaik. Semua tatanan dan wacana kehidupan berbangsa dan bernegara makin mantap. Kesejahteraan kian merata dan pertumbuhan ekonomi menggembirakan.
Fenomena itu terus digulirkan oleh masyarakat yang sangat menyadari betapa penting andil mereka dalam proses pembangunan, yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Semua proses tersebut berjalan secara transparan, sehingga tercipta akuntabilitas, yang pada gilirannya merangsang masyarakat untuk makin berpartisipasi.
Keterbukaan sangat dirasakan masyarakat di berbagai segmen kehidupan. Mekanisme perekonomian diserahkan kepada masyarakat, yang meningkatkan antusiasme masyarakat untuk ambil bagian dalam proses pembangunan. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi profesi maupun organsasi lain merebak di mana-mana, dan melakukan interaksi secara positif dalam masyarakat yang menghormati kebhinekaan.
Realita tersebut menunjukkan hubungan antar komponen masyarakat yang sangat egaliter, karena kemerdekaan berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi dijamin konstitusi. Negara memposisikan masyarakat sebagai komponen penting dan utama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan campur tangan pemerintah yang semakin kecil.
Fungsi masyarakat dalam membangun tatanan masyarakat terbuka semakin jelas. Sebagai konsekuensi logis dari realita tersebut, lahir tuntutan masyarakat adanya hukum dan peraturan perundangan yang mendukung terbentuknya masyarakat terbuka. Bahkan tidak jarang, masyarakat sendiri yang berinisiatif mendorong munculnya peraturan perundangan itu.
Dorongan masyarakat yang sangat besar dalam menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, membuat pengambilan keputusan untuk public policy sangat lambat, termasuk dalam pembuatan peraturan perundangan. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang menyampaikan keinginan dan kepentingannya, dan masyarakat maupun pemerintah mencoba mengakomodasikannya.
Tahun 2010 landasan supremasi hukum berhasil ditanam. Hak asasi manusia diterapkan dalam berbagai bidang, diantaranya bidang ekonomi, budaya, ketenagakerjaan, berkarya, buruh, dll. Masyarakat bisa berusaha dan berkompetisi dengan leluasa, dinamis, dan persaingan sehat, yang meningkatkan profesionalitas.
Lembaga-lembaga keuangan yang merupakan darah perekonomian mampu bekerja secara efektif dan efisien, dan BI sebagai otoritas moneter telah berada pada fungsi utamanya yang independen.

Era Globalitas

Dengan kesiapan pranata hukum, politik, ekonomi, dan kemasyarakatan, bangsa Indonesia memasuki era globalisasi. Masyarakat Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia masuk ke dalam kancah perekonomian regional maupun internasional, yang ditandai dengan era perdagangan AFTA dan NAFTA.
Salah satu ciri era globalitas adalah ketersediaan informasi yang melimpah. Semua orang mudah mengakses informasi dan menjadikannya sebagai referensi demi memberikan nilai tambah dirinya, sehingga mendukung peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau menciptakan manusia profesional. Kemerdekaan arus informasi ini mendorong interaksi antar-anggota masyarakat, yang menambah suasana saling pengertian, yang pada gilirannya muncullah kreasi-kreasi baru di segala bidang.
Inovasi yang dihasilkan menumbuhkan entreupreneurship. Masyarakat lebih mandiri dalam menentukan pilihan usahanya. Mereka berlomba melahirkan karya baru yang memiliki nilai ekonomi tinggi yang bisa menghasilkan pendapatan baru. Karya atau produk baru itu diinformasikan kepada masyarakat yang kemudian mentransformasikannya ke dalam inovasi-inovasi lainnya.
Keadaan ini makin mengembangkan usaha perekonomian yang ditandai dengan diversifikasi usaha ekonomi yang makin terspesialisasi, terutama dalam pemanfaatan sektor kelautan, pariwisata, dan agrobisnis. Muncullah perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai sub kontraktor dari pengusaha kecil dan menengah. Hal itu dimungkinkan, karena dengan profesionalisme atas spesialisasinya akan membentuk kerja sama yang saling menguntungkan. Pengusaha besar, pengusaha menengah dan kecil mempunyai peran masing-masing dan membangun perekonomian nasional.
Adapun industrialisasi yang dikembangkan mempunyai dua tujuan utama, yaitu yang berorientasi ekspor dan yang berorientasi import substitusi. Kegiatan import substitusi ini merupakan upaya membangun jembatan yang menghubungkan industri hulu dan industri hilir (manufaktur) yang telah terbangun pada saat rezim Orde Baru. Kegiatan import substitusi ini pada tahap awal adalah untuk menghemat devisa yang digunakan membeli bahan setengah jadi bagi industri hilir, dan tahap berikutnya adalah untuk meningkatkan competitive and comparative advantage bagi produk Indonesia untuk kepentingan ekspor. Yang paling menonjol adalah menurunnya import jasa, karena peningkatkan keahlian SDM dalam negeri.
Pertumbuhan ekonomi mencapai 5%, lapangan kerja yang tercipta makin luas dan pendidikan makin berkembang sehingga pengangguran menurun. Seluruh aktivitas ekonomi masyarakat tetap mengoptimalkan informasi yang didapat dengan berbagai cara dari berbagai media, yang menjadi bahan pengambilan keputusan usahanya. Kalangan pengusaha berlomba menguasai teknologi tinggi dan mendapatkan SDM yang berkualitas. Para pelajar dan mahasiswa dirangsang untuk berprestasi tinggi sehingga bisa bekerja dengan baik.
Indonesia tidak ragu-ragu lagi membangun industri padat modal dan teknologi tinggi, karena SDM dan sumber daya lainnya telah tersedia. Investor asing tidak ragu-ragu menanamkan modal di Indonesia, karena Indonesia menjadi negara yang paling menarik ditinjau dari ketersediaan sumber daya, besarnya, maupun kebijakan politik dan ekonomi Indonesia.

Memuliakan kemanusiaan

Perkembangan ekonomi yang baik tersebut didukung oleh sikap terbuka masyarakat, yang makin mempererat kesetiakawanan bangsa Indonesia. Dengan penuh kesadaran dan semangat tinggi masyarakat membangun kebersamaan di tengah-tengah keragaman, agama, wilayah, suku, budaya, dan aliran. Sikap saling memahami perbedaan itu mendorong masyarakat untuk tidak mempertentangkannya, jurstru merangkaikannya dalam sebuah harmoni yang saling memperkaya.
Masyarakat dan pemerintahan yang terbuka dan demokratis menekankan kebijakan yang memuliakan kemanusiaan, menjaga kedaulatan, harkat dan martabat bangsa. Kebijakan itu tertuang dalam konstitusi baru yang berasal dari amandemen UUD 1945, yang di dalamnya mengatur kehidupan demokrasi, menegakkan supremasi hukum, dan menghargai HAM. Semua peraturan perundangan yang diturunkan dari konstitusi selalu bertujuan untuk kepentingan publik, di antaranya adalah larangan monopoli, dan aturan yang menjamin persaingan bebas dan sehat. Permasalahan tersebut merupakan faktor penting untuk menanamkan kepercayaan masyarakat internasional dalam melakukan kontak ekonominya.
Dengan demikian perekonomian Indonesia yang sebelumnya tergantung pada bantuan luar negeri cukup tinggi telah menjelma sebagai negara yang mapan dan mampu berkompetisi dengan negara-negara lainnya, dan mengantarkan masyarakat ke dalam kehidupan yang sejahtera. Salah satu kebijakan ekonomi Indonesia adalah membayar utang luar negeri, sehingga kewajiban membayar bunga bisa diperkecil. Kemajuan itu didukung oleh pemerintah yang membatasi dirinya untuk tidak banyak ikut campur dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sebaliknya memperbesar peran dan tanggung jawab masyarakat. Upaya ini dimulai dari Pemerintahan Abdurrahman Wahid yang membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dan menggantinya dengan lembaga yang lebih sederhana, dan wewenang selebihnya diserahkan kepada masyarakat.
Pada saat yang bersamaan, kemerdekaan pers dihormati dan dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat. Pers menjadikan dirinya sebagai pilar ke empat dalam kehidupan bernegara, yang selalu mengawasi tindak tanduk pemerintah, legislatif, pengadilan, bahkan kehidupan masyarakat sendiri. Sebaliknya, masyarakat dan pilar-pilar negara juga mengamati dengan cermat sepak terjang pers, apakah sudah profesional atau tidak.
Kontrol tersebut sangat penting untuk menjaga tatanan kehidupan yang kondusif mendukung kemajuan masyarakat. Dengan demikian kompetisi para pelaku ekonomi yang ditunjang pangsa pasar yang begitu luas, sumber daya alam yang berlimpah-limpah akan dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat tanpa meninggalkan wawasan lingkungan.
Sejauh mata memandang dari ufuk timur ke ufuk barat, dari Sabang sampai Merauke terhampar indah jajaran pulau-pulau Indonesia yang terbaring menakjubkan, bagai untaian zamrud di katulistiwa. Kekayaan pantai, budaya, danau, dan berbagai kesenian merayu wisatawan mancanegara untuk berkujung. Hotel, biro jasa dan perdagangan tumbuh subur dan menyediakan lowongan kerja, serta memacu industri rakyat dan popularitas Indonesia.

Aku bangga padamu IndonesiaKu.

Masa-masa prihatin

Untuk sampai kepada fajar menyingsing, Indonesia melewati masa gelap yang panjang, masa-masa prihatin selama 10 tahun. Kiai Abdurrahman Wahid dengan sengaja mengurangi kekuasaan negara, dan terus mendorong masyarakat untuk memperkuat dirinya dan mengambil peranan lebih besar. Pemerintahan Gus Dur berupaya menegakkan supremasi hukum, yaitu dengan tidak melakukan intervensi ke dalam proses peradilan. Ia juga menerapkan budaya transparansi dengan memberi kemerdekaan pers seluas-luasnya. Padahal banyak sekali pers yang suka memelintir berita, atau menyiarkan kabar bohong yang sangat mengganggu, dan banyak di antaranya yang sudah melanggar KUHP. Namun, tidak ada satu pun pers yang diajukan ke pengadilan, hanya berkali-kali Presiden menyindir profesionalisme pers. Inilah isyarat Gus Dur, yang penting bebas dulu, profesionalisme dibangun sambil berjalan.
Banyak orang yang salah mengerti langkah-langkah Gus Dur dan kemudian mengecamnya. Di antaranya adalah kasus pembubaran Departemen Penerangan (Deppen). Kalangan DPR menganggap Deppen masih diperlukan, tapi Gus Dur beranggapan bahwa informasi lebih baik diurus masyarakat sendiri. Jika pemerintah mengurus informasi, maka akan tergoda untuk mengontrolnya, selangkah lagi memonopoli informasi, dan kemudian menjadikannya sebagai sarana propaganda. Dan jika itu terjadi, maka pemerintah akan menjadi totaliter.
Yang paling unik adalah cara penyelesaian terhadap ancaman disintegrasi bangsa, termasuk perbedaan pandangan antara negara kesatuan atau negara federal. Di Ambon, Gus Dur menyatakan bahwa perdamaian di Ambon hanya bisa diselesaikan oleh masyarakat Ambon yang bertikai sendiri, pemerintah hanya memfasilitasi. Pernyataan ini mendapat kecaman pedas dari beberapa aktivis LSM maupun anggota DPR, yang menuduh pemerintah membiarkan terjadinya pertumpahan darah di Ambon. Gus Dur dituduh lepas tangan. Seharusnya pemerintah mengambil prakarsa, menurunkan polisi untuk melerai, dan menangkap para pelakunya.
Segala macam konflik dan tuntutan masyarakat, mendorong masyarakat bertanya kembali, mengapa Indonesia yang mempunyai wilayah seluas Eropa bisa menjadi satu negara yang utuh? Mungkin Indonesia bersatu karena mempunyai musuh bersama yaitu penjajah, Belanda. Oleh karena itu wilayah Indonesia adalah daerah bekas jajahan Belanda. Lalu, setelah Belanda pergi, musuh bersama tidak ada, apa yang mendorong masyarakat dari Sabang sampai Merauke tetap bersatu? Apakah karena kesaktian Pancasila? Masa Orde Baru mengajarkan seperti itu, dan Pancasila dijadikan ideologi negara, yang dipakai oleh penguasa untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya. Begitu Orde Baru jatuh, nama Pancasila tidak harum lagi.
Apakah bisa perasaan senasib sepenanggungan dianggap sebagai perekan persatuan bangsa? Pertanyaan ini sungguh tidak relevan, bagaimana mungkin bisa muncul senasib sepenanggungan kalau pada saat rezim Orde Baru berkuasa terjadi ketimpangan pembagian hasil pembangunan antara pusat dan daerah. Justru tidak adanya keadilan inilah yang merangsang diskusi antara bentuk negara federal. Apakah negara federal lebih baik daripada negara kesatuan? Apakah pembentukan negara federal bukan merupakan stepping stone menuju disintegrasi bangsa, seperti halnya pisahnya Singapura dari Malaysia, atau seperti Uni Soviet, atau bahkan seperti Yugoslavia? Amerika Serikat bukanlah contoh yang tepat bagi federasi Indonesia, karena komposisi demografi dan budaya di tiap negara bagian di Amerika Serikat sangat berbeda dengan di Indonesia. Daerah-daerah di Indonesia mempunyai budaya lokal yang dominan, demikian pula untuk demografinya yang ditandai dengan adanya suku yang dominan. Tambahan lagi dengan latar belakang sejarah sebelum Belanda menjajah Indonesia, maka bentuk negara federal bukan hanya membawa disintegrasi Indonesia, tetapi juga kemungkinan perang antar daerah, misalnya perang antara Sriwijaya dengan Mataram, atau perang antara Majapahit dengan kerajaan/negara di daerah-daerah lain.
Wacana bentuk negara ini menjadi pembicaran publik selama pemerintahan Gus Dur, yang kemudian disimpulkan dengan kata-kata praktis, jika masyarkat Indonesia tidak mau bersatu, lalu apa mau pecah dan bertikai? Betapa pun lemahnya alasan untuk bersatu dalam satu negara, namun itu lebih baik daripada harus bertikai, bermusuhan, dan saling bunuh.
Akhir tahun 2000, Aceh mendapat otonomi luas. Pelaksanaan Undang-undang No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dilaksanakan awal tahun 2001. Dengan dana yang ada, Pemerintah Daerah Kalimantan Timur dan Riau menitikberatkan pada pengembangan SDM. Universitas di daerah itu dinomorsatukan, dengan jalan membangun laboratorium ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengundang dosen-dosen dari ITB, ITS, IPB, UGM dan UI dengan tunjangan gaji yang sangat besar. Perkembangan universitas itu mencegah braindrain pelajar-pelajar Riau dan Kaltim ke P. Jawa. Bahkan daerah itu menyedot pelajar-pelajar brilian di sekitarnya untuk masuk ke Universitas Lancang Kuning dan Universitas Mulawarman, bahkan kemudian bekerja di daerah itu pula. Pola Riau dan Kaltim ini segera ditiru oleh daerah-daerah lain. Dengan dana yang diperolehnya, daerah menjadikan universitas sebagai ujung tombak untuk memenuhi kebutuhan tenaga siap pakai.
Kekhawatiran terjadinya pemerataan korupsi di daerah-daerah akibat UU no. 25/1999 diperkecil dengan munculnya masyarakat dan pers yang kritis. Anggota-anggota DPRD tidak berani berkolusi dengan eksekutif, karena mereka dikontrol oleh para pemilihnya dan LSM, sehingga mereka selalu mengontrol tingkah laku eksekutif. Polisi, jaksa dan hakim juga tidak berani main-main. Tingkah laku yang tak pada tempatnya selalu disorot oleh masyarakat, melalui pers, LSM, ormas, orpol atau lewat demonstrasi.
Perkembangan daerah-daerah luar Jawa bagaikan gula yang menyedot penduduk P. Jawa mencari kerja di luar Jawa. Transmigrasi berjalan dengan sendirinya, pemerintah hanya memfasilitasi informasi tenaga yang dibutuhkan, dan pelatihan.
Pelaksanaan UU no 22 dan 25 ini sesungguhnya mengakomodasi seluruh aspirasi federasi tanpa membuat Indonesia menjadi negara federal.

Redefinisi peranan TNI

Masalah paling kritis di akhir Millenium 2 bagi Indonesia adalah masalah TNI. Semasa Orde Baru TNI atau ABRI adalah kelas istimewa bagi bangsa Indonesia. Kelas ini diberikan Presiden Suharto sebagai konsesi, karena ABRI dijadikan tukang pukulnya untuk membasmi lawan-lawan politik Orde Baru. Personel militer memperoleh jabatan dari Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Dirjen, Irjen, Dirut BUMN, sampai ke anggota MPR/DPR/DPRD. ABRI bukan saja memperoleh kursi gratis di DPR, tapi organisasi-organisasi yang bergandengan dengan ABRI juga mempunya jatah khusus, misalnya Perpabri, FKPPI, Panca Marga, Veteran, Darma Pertiwi.
Sebagai tukang pukul, ABRI mempunyai policy, sikap dan tindak tanduk yang menjadi sebab utama disintegrasi bangsa. Pembantaian di Santa Cruz Dili adalah awal dari terpisahnya Timor Timur dari Indonesia. Operasi militer yang dilakukan di Aceh mendorong keinginan sebagian masyarakat Aceh ingin memisahkan diri.
Jatuhnya Orde Baru, dihujatnya ABRI/TNI, mendorong sebagian perwira tinggi TNI melakukan mawas diri, dan melakukan redefinisi peranan TNI dalam negara. Proses ini sangat panas dan sensitif, karena banyak jenderal diadili karena pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Ini adalah jalan terbaik, daripada para jenderal itu diadili oleh Mahkamah Internasional (International Tribunal). Namun, beberapa peleton TNI tak tahan menerima kenyataan itu, dan dengan perasaan sakit hati melakukan kerusuhan di Jakarta, yang menimbulkan korban tewas puluhan orang di kalangan sipil. Mereka menuntut dihentikannya hujatan terhadap TNI, dan juga menuntut peningkatan kesejahteraan bagi prajurit.
Letupan ini berhasil diredam oleh kalangan TNI sendiri. Para perwira meminta maaf secara terbuka kepada seluruh masyarakat. Sedangkan kalangan pemimpin masyarakat menghimbau kepada pers dan para aktivis LSM untuk menghentikan caci maki terhadap TNI, serta memindahkan energi hujatan itu ke arah perbaikan doktrin TNI. Keseimbangan yang terjadi adalah dibubarkannya doktrin teritorial TNI. Komando Daerah Militer dilikuidasi, dan sebagai gantinya adalah pembentukan militer yang efisien tapi efektif dalam bergerak untuk menghadapi musuh negara. Kesejahteran TNI ditingkatkan sampai ke titik wajar.
Setelah tahun 2002 keadaan TNI mengalami keseimbangan. Para jenderal yang dijatuhi hukuman karena melanggar hak asasi manusia, setelah menjalani hukuman sebentar diampuni oleh Presiden.

Mendorong produktivitas masyarakat

Langkah yang paling menonjol adalah kebijakan ekonomi Pemerintahan Gus Dur. Seperti halnya di bidang sosial politik, Gus Dur juga menyerahkannya kepada dinamika masyarakat. Intervensi hanya dilakukan untuk beras, agar kepentingan petani tidak dirugikan, tapi masyarakat bisa menjangkau harga beras di pasar. Secara umum pemerintah hanya menjadi fasilitator. Jika dahulu ada istilah "jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah", maka istilah itu mulai berkurang. Hal ini karena gaji pegawai dinaikkan, sehingga dorongan ke arah meminta suap berkurang, apalagi kontrol dari pers sangat tajam dan efektif.
Profesionalisme sangat dihargai. BUMN diswastakan dan masuk ke pasar modal, sehingga masyarakat bisa langsung mengontrolnya. Swasta diberi keleluasaan. Koperasi didorong untuk memperkuat industri kecil dan menengah.
Pada awalnya, kebijakan Gus Dur tak mampu memancing pertumbuhan ekonomi yang berarti, bahkan masih lebih kecil daripada tingkat inflasi. Namun di akhir masa jabatannya, inflasi hanya 3% per tahun, dan tingkat pertumbuhan mencapai 5%.
Gus Dur memutuskan untuk tidak maju lagi dalam pemilihan presiden tahun 2004, dan menarik diri untuk menjadi Guru Bangsa yang diidam-idamkannya sejak muda, dan kembali ke Ciganjur. "Alhamdulillah saya masih kuat menjadi Presiden sampai akhir jabatan, di tengah-tengah kesehatan saya yang makin menurun. Insya Allah, bila peran serta masyarakat tetap dijamin oleh sistem politik kita, dan pemerintah mengurangi kekuasaannya dan peranannya, maka rakyat akan kuat dan Indonesia akan selamat," kata Kiai Ciganjur itu.***

Halaman Berikutnya
Silakan KLIK pada judul-judul di bawah ini

Sekapur Sirih | Pandangan dari Jawa Barat : Skenario Indonesia 2010
Skenario 1 : Zamrud Berserakan | Skenario 2 : Riak Tangis di Nusa Damai | Skenario 3 : Kawah Bergolak | Skenario 4 : Fajar Menyingsing, Kabut Mulai Tersibak
| Daftar Peserta "Pertemuan Puncak" | Organizing Committee | Kembali ke Daftar Isi

mundur.gif