.
.
.
.
.
.
Membuat Tanggapan

Melihat Tanggapan

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kembali
ke Daftar Isi

|
Kawah Bergolak
Perkembangan di luar cenderung merata dan kian kokoh menjalankan
sistem bernegara yang berdasarkan pada konsep "masyarakat terbuka"
dan pemuliaan hak asasi manusia, sehingga segala bentuk tindakan yang berdasarkan
militerisme tidak populer lagi. Kehidupan demokratis yang terbina membuat
pengambilan keputusan selalu lama, termasuk penanganan di bidang ekonomi,
padahal tuntutan untuk menolong orang miskin mendesak sekali. Untuk itu
pemerintah melakukan tindakan intervensi sebagai upaya pengadaan pangan
yang terjangkau rakyat, termasuk berbagai kepentingan umum. Intervensi
ini membuat potensi partisipasi melemah dan mendapat kecaman dunia.***
Ada sejumlah ranjau-ranjau masalah yang telah tertanam
jauh di lubuk kehidupan bangsa ini. Krisis moneter di pertengahan tahun
1997, yang kemudian berubah menjadi krisis ekonomi, berlanjut menjadi krisis
politik, puncaknya ditandai bangkitnya mahasiswa dengan dukungan masyarakat
yang secara serempak menyampaikan tuntutan reformasi dan berhasil merobohkan
pusat kekuasaan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998.
Kejadian yang berlangsung 12 tahun yang lalu, itu ternyata hanya merupakan
pucuk persoalan dari sebuah gunung es yang terbentuk selama 32 tahun kekuasaan
rezim Soeharto. Oleh karena itu, ketika pemerintahan di tangan Kiyai Abdurrahman
Wahid, menggantikan rezim Orde Baru, persoalan tidak serta-merta selesai.
Berbagai ranjau persoalan lama yang telah tertimbun malah bermunculan dalam
tempo yang demikian cepat. Sementara ranjau-ranjau persoalan baru bermunculan
tak kalah banyaknya. Dimensinya begitu beragam, mulai dari persoalan-persoalan
primordial hingga ke masalah merajalelanya perdagangan narkoba (narkotika
dan obat-obatan berbahaya).
Tuntutan referendum dari Gerakan Aceh Merdeka, misalnya, menjadi semacam
model yang bermunculan di sana-sini. Kisah di serambi Mekah itu menjadi
kisah lanjutan dari lepasnya Timor-Timor di masa pemerintahan peralihan
B.J. Habibie sekitar 11 tahun yang lalu, bersambung dengan gerakan masyarakat
Papua, Riau, Kalimantan Timur, hingga Sulawesi Selatan pun sempat santer
menyuarakan diri untuk lepas dari RI dan membentuk pemerintahan sendiri.
Tak kalah hangatnya adalah tuntutan percepatan dilaksanakannya kebijakan
baru otonomi daerah, tuntutan itu terdengar sejak dari Maluku hingga Banten.
Akan panjang pula jika didata ihwal konflik-konflik seperti yang terjadi
berkepanjangan di Ambon, hingga konflik di Losari yang berupa daerah perbatasan
antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Itu semua bertumpuk pula dengan sejumlah
kasus yang berkenaan dengan masalah pelanggaran hak asasi manusia.
Di sisi lain, persoalan ekonomi yang semula di zaman rezim Soeharto begitu
tertutup rapi oleh bingkai kekuasaan, belakangan semakin tampak kekotoran
dan keruwetannya. Tangan-tangan gurita sistem konglomerasi yang berjalan
seiring dengan kekuasaan, itu ternyata menjulur jauh hingga ke kantung-kantung
birokrasi desa. Tak heran jika mata rantai korupsi, kolusi, dan nepotis
itu berjalin demikian kuat mulai dari pucuk kekuasaan terkuat hingga di
akar rumput. Karena demikian ruwetnya, maka pelaksanaan peradilan kejahatan
ekonomi ataupun kejahatan politik, berlangsung begitu lambat penyelesaiannya
bahkan tak juga selesai setelah melewati satu dekade waktu.
Tak ayal "Krisis Kepercayaan Jilid 2" pun mulai berbayang menjadi
awan hitam yang menggayuti bumi nusantara. Kegelisahan dan gejolak pun
kian marak bermunculan di sana-sini. Di satu sisi berbentuk pernyataan-pernyataan
politis, di sisi lain berupa suara-suara tuntutan keadilan, di tempat-tempat
lain adalah suara-suara "lapar" karena tingkat kemiskinan yang
kian menukik ke tingkat paling parah, serta tak kalah tajamnya grafik tindak
kriminilitas yang terjadi tak hanya di kota-kota melainkan juga merasuk
ke perdesaan. Seiring dengan itu penjahat-penjahat penjual narkoba kian
marak dan kian berani, pasarnya pun meluas bahkan sampai menjangkau anak-anak
sekolah dasar. Keriuhan akrobat politik, ketidak jelasan arah perkembangan
perekonomian, hingga tak pernah tuntasnya penyelesaian masalah hukum; sungguh
membuat frustasi dan membuat hilangnya harapan rakyat. Pemerintah yang
berkuasa kian hari cenderung seperti improvisasi dalam menangani ataupun
mengeluarkan kebijakan, malah salah dalam memahami kondisi dan mengesankan
tindakan-tindakan pemerintahan yang panik.
Sesungguhnya ada kehendak dan niat rakyat untuk saling menahan diri, tapi
di sisi lain tingkat frustasi dan hilangnya harapan hidup secara wajar
begitu mendesak sama kuatnya. Gejolak pun memuncak. Sifat terbuka dan kehendak
keterbukaan dari masyarakat sesungguhnya mendapatkan dukungan dari presiden
dan sebagian dari kabinetnya, lebih besar lagi dukungan itu datangnya dari
pers. Tapi cengkeraman gurita persoalan-persoalan lama ataupun tokoh-tokoh
baru dengan gaya keserakahan lama, itu ternyata jauh lebih kuat mengakar
ke dasar-dasar kehidupan yang paling bawah. Gairah keterbukaan menjadi
berhadapan langsung dengan keadaan yang paling sulit. Kekuatan sekaligus
mentalitas statusquo yang masih bercokol pada sejumlah orang, masih ambil
peranan dan malah memanfaatkan situasi kacau demi mengambil keuntungan
yang sebesar-besarnya.
Malah terdapat berbagai indikasi yang menunjukan bahwa kekacauan itu memang
muncul dari sebuah desain status quo untuk mempersilakan kembali model
kekuasaan terpusat. Buktinya TNI sebagai lembaga yang dilandasi kesadaran
bertugas untuk mengamankan negara dan berbekalkan UU No. 70/2005 yang mulai
diberlakukan sejak 5 tahun yang lalu dan dikenal dengan sebutan UU Penanggulangan
Keadaan Bahaya, mengambil inisiatif melakukan berbagai upaya tindakan represif.
Tak terhindarkan lagi, kontak senjata dan berbagai bentrokan pun terjadi
di mana-mana. Di tengah-tengah itu semua, jalan ke arah pertimbangan dan
diplomasi politis menjadi kian terseret oleh pilihan jalan militer. Diplomasi
politik bisa dikatakan telah mengalami "dead lock." Situasi yang
pergolakannya kian memuncak itu pun seperti mempersilakan bagi hadirnya
kembali pucuk pemerintahan di tangan militer.
Polarisasi antara pemerintah dengan masyarakat
Kenyataan itu dan bahkan ditambah dengan kenyataan sebelumnya, seharusnya
bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga. Sebuah tanda zaman yang seharusnya
bisa dibaca dengan cepat. Telah terjadi perubahan masyarakat di tengah-tengah
keterbukaan yang secara langsung mempercepat pertumbuhan masyarakat itu
sendiri. Keterbukaan dan kian bebasnya pers di tengah-tengah masyarakat,
ini mendukung rakyat untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang bertujuan
untuk merestrukturisasi bentuk-bentuk hubungan kemasyarakatan. Kegiatan-kegiatan
masyarakat itu semakin mengarah pada upaya-upaya agar masyarakat bisa mandiri,
berbagai langkah untuk menghidupkan kembali ekonomi lokal bermunculan di
berbagai daerah. Dari sudut ini terlihat sekali adanya kesadaran untuk
melakukan proses perbaikan masyarakat sipil menuju keadaan yang sehat.
Di berbagai wilayah terjadi suatu kelahiran kembali organisasi-organisasi
rakyat.
Namun sayang, perkembangan rakyat terbuka yang demikian pesat itu tak sebanding
dengan sikap pemerintah yang tidak dengan segera melakukan penurunan intervensi
pemerintah di bidang ekonomi. Begitu tinggi tingkat intervensi ini sehingga
tidak memberikan ruang bagi perkembangan ekonomi rakyat. Pemerintah berkilah,
bahwa ia harus melakukan intervensi untuk menolong masyarakat yang tidak
berdaya. Tanpa intervensi pemerintah maka harga berbagai kebutuhan dasar
tak terjangkau oleh daya beli rakyat.
Polarisasi antara rakyat dan pemerintah pun akhirnya tak terhindarkan lagi.
Lagi-lagi akhirnya hanya menimbulkan benturan-benturan yang tidak harmonis
antara rakyat dengan rezim penguasa. Ketegangan lama pun bermunculan kembali.
Gerakan-gerakan demonstrasi rakyat yang turun ke jalan ataupun di kantor-kantor
pusat kekuasaan, kembali marak dan nyaris tiap hari terjadi.
Dalam situasi seperti itu kekuasaan rezim kian bertumpu pada TNI dan kekuatan
mobilisasi. Berhadapan dengan persoalan lama yang belum juga terselesaikan
serta ditambah dengan persoalan-persoalan yang baru muncul, pemerintahan
malah mengambil inisiatif dengan cara terpusat. Harapannya tak lain agar
bisa mengontrol dan menetralisir kembali seluruh keadaan. Namun kecenderungan
rezim penguasa itu dilawan secara terbuka oleh partai politik, organisasi
kemasyarakatan, pers, dan LSM, sehingga ketegangan politik yang tak kunjung
reda. Kawah politik Indonesia selalu bergolak.
Menghadapi kian banyaknya penduduk miskin dan tingkat pengangguran yang
tak tertahankan lagi, ditempuh berbagai upaya untuk melaksanakan industri
padat karya. Langkah lainnya ditempuh pula upaya untuk tetap mempertahankan
sumber-sumber ekonomi yang ada di daerah melalui model-model birokrasi
terpusat. Langkah ini dirasionalisasikan sebagai usaha mulia untuk menolong
mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Untuk memobilisasi perekonomian
terpusat, itu membutuhkan sejumlah modal yang sangat besar; pemerintah
memperolehnya dengan jalan pintas berupa berbagai pinjaman luar negeri.
Tumpukan utang pun kian jauh melewati kepala, hingga ketergantungan pada
negara-negara donor pun kian parah. Tapi pemerintah seperti meyakini langkah
ini akan bisa menyelesaikan masalah, sehingga mengabaikan berbagai tuntutan
desentralisasi dan kehendak rakyat untuk mandiri. Rakyat pun menjadi sangat
kecewa. Penumpukan utang negara yang kian tak masuk akal, lebih tampak
sebagai langkah gali lobang-tutup lobang. Selebihnya adalah dana untuk
"tutup muka" dosa-dosa para pengusaha serakah yang pada periode
sebelumnya demikian rakus menyedot utang yang kemudian menjadi beban seluruh
rakyat itu. Di tengah kekecewaan itu pula rakyat yang kian cerdas melihat
perkembangan tapi papa dalam raihan ekonomi, itu bangkit mencoba untuk
mengubah nasib.
Menuju desintegrasi
Konflik demi konflik terus berangkai. Konflik kepentingan kian menajam.
Berbagai partai politik berlomba mencari pengaruh, media massa mencari
gantungan pada parpol-parpol tertentu. Perang opini pun menggencar tapi
tak mampu mempengaruhi pemerintah yang mendapat dukungan milisi dari TNI,
yang selalu mempunyai dalih.
Beberapa kali pemerintah berusaha mengekang kemerdekaan pers, dan mengontrol
hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, meskipun dengan cara sedikit
tersamar. Dengan kata lain pemerintah melancarkan propaganda. Padahal sebenarnya
masyarakat secara bebas bisa mendapatkan informasi dari media lain, baik
melalui internet ataupun media-media yang dikelola oleh mereka sendiri.
Suhu ketidakpastian menjadi tinggi, karena berita yang tersiar di tengah-tengah
masyarakat menjadi simpang-siur.
Supremasi hukum memang ditegakkan, tapi proses peradilan begitu lama, sehingga
masyarakat tidak sabar. Saluran-saluran penampungan aspirasi rakyat di
DPR/DPRD serta media massa sudah dimanfaatkan semaksimal mungkin, tapi
masalah masyarakat akibat tekanan ekonomi dan tuntutan keadilan begitu
banyaknya, hingga meluap ke jalanan, baik sebagai parlemen jalanan atau
pengadilan rakyat.
Dalam keadaan itu, konflik horisontal di antara masyarakat pun muncul.
Sementara itu, tingkat emosional masyarakat yang tinggi yang merasa terabaikan
tuntutannya, cenderung terus menggumpal. Ihwalnya karena tuntutan yang
muncul ternyata tak terfasilitasi, dan berbagai kerisauan terus menyubur
di bawah pengawasan mata-mata kekuasaan yang gamang. Ketidakpuasan itu
pula yang kemudian menjelma menjadi tindak-tanduk agresif, radikal, dan
mendorong terjadinya anarki. Segala sesuatu yang berkenaan dengan kemasyarakatan,
maka banyak sekali yang ditempuh dan diputuskan dengan "jalan rakyat."
Pembakaran rumah-rumah hiburan malam, penghancuran kompleks pelacuran,
penyerbuan tempat-tempat perjudian, bahkan membunuh pengedar narkoba secara
ramai-ramai; nyaris menjadi berita sehari-hari. Tak jelas lagi batas antara
itikad perjuangan moral, penegakan hukum, atau justru penindasan hak asasi
manusia. Situasi malah sangat khaos, tumpang-tindih berbagai kepentingan,
dan mendekati kehidupan hukum rimba. Masyarakat cenderung sama sekali mengabaikan
apapun yang disuarakan oleh pemerintah, intinya karena tingkat ketidakpercayaan
rakyat sudah mencapai tingkat yang paling pekat. TNI dan kemudian Polri,
terus berupaya "mengamankan" dan mempertahankan kekuasan pemerintah.
Sementara itu perkembangan di luar cenderung merata dan kian kokoh menjalankan
sistem bernegara yang berdasarkan pada konsep "masyarakat terbuka"
dan pemuliaan hak asasi manusia, sehingga segala bentuk tindakan yang berdasarkan
militerisme tidak populer lagi. Kehidupan demokratis yang terbina membuat
pengambilan keputusan selalu lama, termasuk penanganan di bidang ekonomi,
padahal tuntutan untuk menolong orang miskin mendesak sekali. Untuk itu
pemerintah melakukan tindakan intervensi sebagai upaya pengadaan pangan
yang terjangkau rakyat, termasuk berbagai kepentingan umum. Intervensi
ini membuat potensi partisipasi melemah dan mendapat kecaman dunia.
Padahal berbagai tuntutan masyarakat yang muncul, sebenarnya merupakan
wujud lain dari keinginan melibatkan diri dalam proses berbangsa secara
partisipatif. Muncul dan kian suburnya LSM yang terus-menerus memberdayakan
masyarakat, mendorong percepatan menguatnya pemahaman masyarakat terhadap
hak-haknya.
Ibu-ibu penjual kue serabi pun akhirnya mempunyai kesadaran baru terhadap
hak yang layak bagi usaha mereka. Kesadaran mereka tak sekadar untuk bisa
bertahan dalam berusaha, tapi juga mencoba untuk memperbaiki hidup mereka.
Lihatlah para perajin yang giat memproduksi barang kerajinan. Demikian
halnya pekerja pembuat bata merah, penggali pasir bahan bangunan, pekerja
pertambangan, nelayan, dan sektor-sektor perekonomian rakyat lainnya; kian
menjadari bahwa mereka bukanlah budak bagi masyarakat perkotaan. Mereka
menyadari bahwa keahlian dan tenaganya tak patut lagi diperah oleh kepentingan
perkotaan dengan menerima imbalan yang semurah-murahnya. Mereka kian menyadari
bahwa secara struktural keahliannya memiliki fungsi sejajar dengan keahlian-keahlian
lain. Dengan kesadaran itu, mereka sesungguhnya mulai menumbuhkan semangat
kewirausahaan dalam diri dan kehidupannya.
Tapi lagi-lagi sayang sekali, pemerintah masih jauh dari siap atau mungkin
pula enggan untuk siap. Kebangkitan kesadaran serta ekonomi rakyat, itu
malah menjadi sulit untuk menembus pasar karena tertutupnya jalur distribusi.
Lebih parahnya lagi karena perhatian pemerintah hampir tak berpaling ke
arah sana. Di tengah kepanikannya pemerintah cenderung lebih berkonsentrasi
pada ekonomi terpusat, baik dalam bentuk BUMN ataupun BUMD. Pilihan ini
diperkirakan oleh pemerintah akan mampu memobilisir kehidupan perekonomian.
Pemerintah menjadi lembaga yang demikian sibuk sebagai administrator sekaligus
pelaku ekonomi. Demi pemusatan dan kontrol seluruh jaringan ekonomi, maka
sejumlah bank "kuat" yang beredar, pun praktis di bawah kendali
dan kekuasaan pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, tentu saja tak bisa
diharapkan bagi munculnya produk-produk unggulan, akibat lanjutnya tak
ada pilihan lain bagi pemerintah selain melakukan politik ekonomi yang
sangat protektif ketika berhadapan dengan produk luar. Simpati dunia dari
sisi ekonomi pun menjadi tidak bisa lagi diharapkan. Padahal dunia jauh-jauh
hari telah menyelenggarakan sistem pasar bebas yang lebih mengedepankan
persaingan terbuka dan sangat mementingkan kualitas. Pengucilan dan keterkucilan
di tengah pergaulan dunia pun sampai di titik ekstrem yang paling menyakitkan.
Dari kondisi politik dan kemudian kenyataan penanganan masalah ekonomi
yang seperti itu, tak ayal pergolakan pun kian memanas dan di sisi lain
tingkat kemiskinan kian terpuruk ke batas yang paling sulit dibayangkan.
Indonesia yang dahulu kala dikenal sebagai negeri subur makmur, perkotaannya
kian dipenuhi oleh gelandangan dan peminta-minta. Kenyataan seperti ini
ternyata menjadi pemandangan yang umum pula di pedesaan.
Beberapa masyarakat di pulau-pulau di luar pulau Jawa yang relatif masih
menyisakan harapan dari sumber daya alamnya, semakin tak punya harapan
lagi jika terus bergabung dengan pusat pemerintahan di Jakarta. Riau yang
tanahnya memiliki kandungan minyak bumi segera mengibarkan bendera, dan
menyatakan sebagai negara yang terpisah dari Indonesia. Pengalaman ini
menjadi contoh yang menawan bagi pulau dan kepulauan-kepulauan nusantara
lainnya. Mereka pun bangkit menyuarakan keinginannya yang sama. Kawah pun
bergolak.
Belum tahu ketegangan berakhir
Inti permasalahan menjadi terkutub. Pihak pemerintah selalu mengungkapkan
bahwa pergolakan politik membuat keadaan tidak aman, yang pada gilirannya
membuat pembangunan ekonomi tidak lancar, akibatnya problem kemiskinan
tidak bisa teratasi. Dan untuk itu pemerintah terpaksa melakukan intervensi
di bidang ekonomi yang luas. Pemerintah berkali-kali mencoba untuk mengubah
sistem politik dan mengontrol arus informasi, sehingga gejolak politik
bisa dikurangi, sehingga rasa aman untuk mengembangkan ekonomi bisa lancar.
Di pihak lain, kekuatan masyarakat terbuka menolak setiap gagasan yang
mencoba membuat masyarakat tertutup. Masyarakat berpendapat, justru intervensi
pemerintah yang berlebihan dalam bidang ekonomi yang memacetkan perkembangan
masyarakat. Jika pemerintah mengurangi intervensi, dan mengundang partisipasi
rakyat, maka pertumbuhan ekonomi bisa menjadi kenyataan, dan problem kemiskinan
bisa teratasi. Masyarakat yakin, bahwa keterbukaan sistem politik, tumbuhnya
partisipasi rakyat, dan berkurangnya intervensi pemerintah di bidang ekonomi
akan membuat Indonesia lebih baik.
Ketegangan dari kedua kecenderungan ini belum diketahui kapan berakhirnya.
Belum bisa diketaui keseimbangan yang terbentuk dari pergolakan kawah Indonesia***
|