.
.
.
.
.
.
Membuat Tanggapan

Melihat Tanggapan

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kembali
ke Daftar Isi

|
Riak Tangis di Nusa Damai
Pandangan-pandangan yang semula inklusif dan terbuka, pelan-pelan
berganti menjadi tertutup. Para pembantunya menciptakan peraturan perundangan
yang membuat sistem politik yang tertutup. Pemerintah menyerahkan kebijakan
ekonomi kepada para pelakunya, atau dipandang dari sisi lain, para pengusaha
mendikte pemerintah untuk mengambil kebijakan sesuai dengan kepentingan
pengusaha.
Presiden Republik Indonesia meresmikan kawasan
industri di pinggir kota Pakanbaru, Riau, pertengahan bulan Maret 2010,
dengan penjagaan yang sangat ketat, dan aturan protokoler yang kaku. Hal
ini dikarenakan sebulan yang lalu terjadi kerusuhan sosial di tengah kota
Pakanbaru. Menurut ahli ekonomi dan ahli sosiologi, kerusuhan itu disebabkan
oleh kecemburuan sosial, antara suku Jawa dengan suku Melayu. Jurang antara
kaya dan miskin sangat lebar.
Riau yang semula merupakan salah satu provinsi termiskin pada zaman rezim
Orde Baru, menjadi provinsi yang kaya raya, sejak otonomi daerah dan pembagian
keuangan daerah dengan pusat diberlakukan oleh Pemerintahan Gus Dur, tahun
2001. Provinsi kaya lainnya adalah Kalimantan Timur, Aceh, Sumatera Selatan,
dan Irian Jaya.
Para pejabat Riau menjadi orang-orang kaya yang luar biasa, gaya hidup
mereka bagaikan raja-raja minyak Timur Tengah. Dengan kekayaannya itu,
mereka bisa merekrut para ahli dari P. Jawa dengan mudahnya. Begitu melihat
'gula', tanpa disuruh banyak penduduk Jawa mencari nafkah di Riau. Mereka
adalah pekerja keras, ulet, dan taat pada atasan, dengan demikian mereka
disenangi oleh para pejabat Riau, yang kemudian membuat suku Jawa menjadi
kelas menengah yang kuat di Riau. Sementara itu masyarakat Riau yang merasa
kaya, kalah keras dan ulet dalam bekerja, sehingga mereka tertinggal oleh
suku Jawa. Keadaan inilah yang membuat kerusuhan di Pakanbaru.
Kerugian akibat kerusuhan itu sangat mahal, nyaris mencapai satu triliun
rupiah, dan yang sangat pahit adalah jumlah korban jiwa yang mencapai 15
orang tewas. Kerusuhan segera bisa diatasi oleh tindakan represif militer.
Para pemimpin dari kelompok yang bertikai ditangkap, dan pers membela tindakan
militer.
Kerusuhan-kerusuhan seperti ini sering sekali terjadi di seluruh pelosok
Nusantara, dengan berbagai macam alasan, antara lain karena jurang kaya-miskin,
konflik antaragama seperti di Ambon dan sekitarnya yang belum reda, walaupun
telah lebih dari 10 tahun, maupun konflik antar suku dan golongan. Penyebab
utama kerusuhan itu pada umumnya karena setiap kelompok merasa benar sendiri.
Namun kerusuhan itu tidak berlangsung terlalu lama, karena segera ditindas
oleh kekuatan militer.
Mengurangi kemerdekaan pers
Kekuatan militer kembali berkuasa, karena para politisi pada saat pemerintahan
Gus Dur berkesimpulan bahwa keterbukaan yang diberikan pemerintah hanya
membawa kebisingan yang tidak produktif. Semua orang merasa ahli dan merasa
benar. Mereka memperjuangkan gagasannya, bukan hanya melalui polemik terbuka,
tapi lebih sering dengan mengerahkan kekuatan massa untuk demonstrasi.
Kemerdekaan pers pun digunakan secara liar. Memang ada koran-koran yang
profesional, tapi yang banyak adalah koran yang mencari sensasi. Koran-koran
sensasi ini dilengkapi dengan wartawan yang suka memelintir berita, sehingga
informasi yang beredar tidak akurat dan tidak lengkap. Yang merepotkan
adalah, informasi yang rendah mutunya itu terkadang dipakai landasan untuk
mengambil keputusan. Akibatnya keadaan menjadi tambah runyam.
Berkali-kali Gus Dur mengritik pers dan memintanya agar meningkatkan profesionalismenya.
Namun, Gus Dur tidak mengambil tindakan walau namanya dicemarkan, dengan
alasan pers sedang belajar, wajar kalau ada yang kurang benar dan kurang
baik. Tanpa kemerdekaan bukan hanya partisipasi rakyat tidak bisa dikembangkan,
tapi juga mengancam penegakkan hak asasi manusia.
Gus Dur yang kampiun demokrasi sebelum menjadi presiden masih bersikap
toleran, tetapi sebagian menteri dan pengusaha swasta tidak sabar. Oleh
karena merasa kesal mereka akhirnya menuntut pers ke pengadilan dengan
menggunakan pasal-pasal KUHP. Satu persatu penerbit diajukan ke pengadilan
dengan ancaman hukuman kurungan, dan denda ganti rugi yang besar sekali.
Beberapa penerbit mulai jera, sebagian lagi menuntut KUHP dicabut dan diganti,
sedangkan para pejabat selalu menggunakan KUHP sebagai perisainya. Lama
kelamaan para penerbit mengendalikan wartawannya untuk lebih berhati-hati.
Akibatnya suara kritis tidak terdengar terlalu keras, para editor diminta
oleh penerbitnya untuk memilih kata-kata yang pantas dalam melakukan kritik.
Bahasa media semakin halus, eufimisme kembali menjadi mode.
Tindakan ini digunakan para pengusaha dan pejabat untuk menekan pers lebih
jauh, sambil memperlambat proses penggantian KUHP. Beberapa koran bangkrut,
demikian pula radio dan station televisi swasta, karena dituntut ganti
rugi akibat pencemaran nama baik, dan dipailitkan. Ada juga yang dituduh
melanggar kesusilaan karena memuat cerita atau gambar yang dianggap pornografi.
Pengusaha dan birokrat mendorong kekuatan agama di kampus-kampus untuk
melakukan demonstrasi, dan menuntut majalah atau koran yang dianggap menyebarkan
pornografi.
Kestabilan untuk Pertumbuhan
Hasil pengadilan yang menyudutkan pers, digunakan para pengusaha dan
pejabat untuk lebih menekan kemerdekaan pers. Alasan klise muncul lagi,
yaitu budaya Indonesia tidak sama atau belum sama dengan budaya negara-negara
Barat, sehingga pelaksanaan kemerdekaan pers membuat ketidakstabilan. Jika
hal itu dilanjutkan terus, maka proses pembangunan ekonomi tidak bisa berjalan
dengan baik, padahal masyarakat miskin memerlukan perbaikan ekonomi sesegera
mungkin.
Kalangan pengusaha dan birokrat menawarkan trade off, yaitu meminta pemerintah
untuk mengurangi intervensi di bidang ekonomi, agar pertumbuhan bisa dipacu
lebih cepat. Dan agar pembangunan ekonomi tidak terganggu, maka kemerdekaan
pers dikurangi, agar tidak menimbulkan ketidakstabilan.
Dunia media massa makin kecut, ada satu dua media yang berusaha mempertahankan
idealismenya, tapi dengan mudah dipatahkan oleh negosiasi pengusaha pemasang
iklan dengan penerbit. Ujungnya UU no 40/1999 tentang Pers direvisi, dengan
memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk "sedikit" membina profesionalismenya.
Begitu pers bisa dijinakkan, maka kritik dan kecaman kepada pemerintah
makin jarang terdengar, dan sebagai gantinya adalah puji-pujian kepada
Presiden. Gus Dur dikultuskan sebagai juru selamat bangsa. Ia adalah orang
suci, wali, yang jauh dari kesalahan. Semua menteri mulai mencium tangannya
bila bersalaman, bahkan yang mengejutkan Ketua MPR Prof. Dr. Amien Rais
pun mencium tangan Gus Dur.
Ekonomi makin membaik
Puja-puji kepada Gus Dur semakin memuncak, dan tahun 2004 ia maju menjadi
Presiden, dan terpilih. Pandangan-pandangannya yang inklusif dan terbuka,
pelan-pelan berganti menjadi tertutup. Para pembantunya menciptakan peraturan
perundangan yang membuat sistem politik yang tertutup. Pemerintah menyerahkan
kebijakan ekonomi kepada para pelakunya, atau dipandang dari sisi lain,
para pengusaha mendikte pemerintah untuk mengambil kebijakan sesuai dengan
kepentingan pengusaha.
Di sisi lain, ekonomi Indonesia makin membaik. Pertumbuhan antara tahun
2000-2003 mencapai 5%, dengan tingkat inflasi 4%. Nilai dolar AS relatif
stabil, yaitu Rp6.000,-. Indek Harga Saham Gabungan mencapai 1100. Investasi
langsung berdatangan. Pendapatan per kapita melonjak sampai US$1500. Indonesia
dianggap sebagai mukjizat ekonomi dunia.
Para pengusaha dan pejabat berkolusi dengan baik, dan tidak didengar rakyat,
karena media tak menyiarkannya. Segala kritik diterbangkan angin lalu.
Jika produk yang dihasilkan kurang bisa bersaing, maka untuk mendongkraknya
diciptakan peraturan yang menguras sumber daya alam, dan kontrol terhadap
teknologi yang tidak ramah lingkungan dikendorkan. Akibatnya pencemaran
lingkungan terjadi di mana-mana. Untuk meningkatkan keunggulan komparatif,
maka pengusaha dibantu pejabat mempromosikan tenaga kerja murah, sehingga
produk Indonesia bisa dijual lebih murah daripada pesaingnya di pasar internasional.
Inilah efisiensi yang paling mudah dilaksanakan.
Kritik luar negeri terhadap pelanggaran hak asasi manusia dengan menggaji
buruh secara murah, dengan mudah dibantah, bahwa gaji itu sesuai dengan
living cost di Indonesia. Barang dan jasa di Indonesia relatif murah. Oleh
karena kebijakan media massa tertutup, maka perizinan wartawan asing ke
Indonesia dipersulit, sehingga kenyataan di Indonesia sulit terdengar di
luar negeri.
Ketimpangan dan ketertutupan
Secara nasional ekonomi Indonesia sangat bagus, tapi begitu banyak rakyat
miskin di perkotaan dan perdesaan. Rakyat miskin ini tak memperoleh informasi
yang memadai, maka hampir setiap keputusan hidup yang diambilnya mengalami
kesalahan, dan makin mempermiskin kehidupannya. Dalam keadaan itu maka
partisipasi mereka dalam kehidupan ekonomi dan terutama dalam bidang politik
semakin kecil.
Kekurangan informasi ini juga membuat mereka menggantungkan kepada para
pemimpinnya. Apa yang dikatakan pemimpin tidak pernah diuji kebenarannya,
karena tidak ada sarana untuk itu, dan langsung ditaati. Akibatnya muncullah
aliran-aliran primordial yang seringkali bertentangan satu dengan lainnya,
bahkan tidak jarang terjadi bentrok berdarah. Dan setiap konflik horisontal
terjadi, militer selalu menumpasnya dengan tegas, dan sebagai hadiahnya,
kekuasaan militer semakin kuat.
Ketidakpuasan rakyat akibat kecemburuan ekonomi sering memicu letupan-letupan
sosial, baik berupa kerusuhan etnis antara keturunan Cina dengan pribumi,
atau antaretnik pribumi. Bahkan beberapa politisi daerah yang tersingkir
dari percaturan daerah mengobarkan kebencian, dan mendorong rakyat untuk
memisahkan diri dari Indonesia. Semua tindakan ini tanpa ragu-ragu ditindas
oleh kekuatan militer. Berapa banyak orang yang tewas tidak diketahui dengan
pasti. Korban-korban lain pun tidak diketahui. Media massa tidak ada satu
pun yang memuatnya, kecuali berita resmi yang dikeluarkan pihak militer.
Gejolak-gejolak ini mendorong pemerintah mengeluarkan UU tentang Penanggulangan
Keadaan Bahaya yang memberi keleluasaan yang luar biasa bagi pihak militer,
termasuk mengontrol aliran informasi dan menangkap siapa pun yang dianggap
mengancam negara. Untuk menjaga negara, militer meminta tambahan anggaran
belanja untuk persenjataan dan personel. Kekuatan militer pada akhir rezim
Orde Baru hanya sekitar 500.000 orang, berkembang menjadi 1.500.000 juta
orang di tahun 2009.
Gus Dur Menjadi Presiden RI Ketiga Kali
Hubungan antara Presiden dengan militer makin dekat. Kekuatan oposisi
dipinggirkan. Penjara kembali dipenuhi tahanan politik, walaupun hukuman
yang dijatuhkan pengadilan adalah masalah kejahatan. DPR kembali berada
di bawah bayang-bayang eksekutif lagi, demikian lupa MPR. Peraturan perundangan
yang melanggengkan kekuasaan ditetapkan lagi, dan puncaknya adalah pencabutan
Ketetapan MPR yang membatasi masa jabatan Presiden hanya dua periode saja.
Ketetapan MPR yang baru memberi kesempatan bagi Presiden untuk memangku
jabatan lebih dari dua periode, dalam hal ini Gus Dur mempunyai peluang
untuk menjadi Presiden lagi.
Bisik-bisik kembali merebak, bahwa rezim Gus Dur itu sama dan sebangun
dengan rezim Suharto yang selalu melanggengkan kekuasaan. Korupsi bukan
hanya terjadi di Jakarta, tetapi menyebar ke tiap daerah tingkat dua seluruh
Indonesia. Namun tak satu pun media yang menyiarkannya, karena media juga
dikontrol dengan ketat.
Mahasiswa tidak turun ke jalan lagi. Orang-orang tua mengendalikan anak-anaknya
agar tidak turun ke jalan, unjuk rasa. "Benar, masyarakat kita tertutup,
partisipasi rakyat menurun dan diganti dengan mobilisasi politik, kebebasan
individu sangat berkurang, tapi sebagai gantinya keadaan ekonomi nasional
sangat membaik. Oleh karena itu cepatlah lulus, dan mendapat pekerjaan
yang baik, sehingga tidak terjerumus ke jurang kemiskinan yang mengerikan,"
kata orang tua kepada anaknya yang menjadi mahasiswa. "Jangan engkau
keluhkan tidak adanya kemerdekaan, karena ekonomi kita baik. Engkau boleh
menyindir bahwa kita bagaikan Garuda yang sedang menangis di dalam sangkar,
tapi ingat sangkar kita terbuat dari emas. Kita memang menangis, tapi keadaan
relatif makmur dan damai. Ini adalah pilihan kita, karena sulit sekali
untuk meraih keadaan yang ideal," tambah orang tua itu.
Orang tua itu menambahkan, anda boleh memperjuangkan kemerdekaan, membangun
masyarakat terbuka, dan meningkatkan partisipasi rakyat, asal jangan sampai
menggoncangkan keadaan ekonomi yang demikian baiknya. Krisis moneter tahun
1997-1998 adalah pelajaran pahit, dan jangan diulangi lagi. Apapun boleh
anda lakukan asal jangan mengganggu kesejahteraan yang kita miliki, agar
kita jauh dari kemiskinan.
Lalu, bagaimana cara menjelaskan nasib orang miskin yang jumlahnya sangat
banyak. Oh, mereka adalah orang yang sedang mendapat ujian Tuhan dengan
diberi nasib sebagai orang miskin. Tuhan memang menciptakan segala sesuatu
berpasang-pasangan. Ada malam, ada siang. Ada pria, ada wanita. Ada kaya,
ada miskin. Bagaimana dengan kemiskinan struktural? Boleh jadi memang ada,
dan silahkan anda diskusikan, sebagai intellectual exercises.
Boikot internasional
Salah satu penunjang ekonomi Indonesia pada dekade pertama abad 21 adalah
maraknya industri pariwisata. Kunjungan wisatawan manca negara membanjir,
sehingga memasukkan devisa yang besar. Dari jutaan wisatawan itu menyusup
satu-dua wartawan untuk melakukan peliputan secara terselubung. Cara seperti
ini terpaksa dilakukan, karena izin wartawan asing dipersulit untuk masuk
ke Indonesia.
Sejak awal tahun 2009, laporan buruk tentang Indonesia merebak di seluruh
dunia. Isu yang menyebar di luar negeri adalah pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) kepada buruh di Indonesia. Mereka digaji rendah agar produk Indonesia
dijual murah di pasar dunia. Hak rakyat untuk tahu yang merupakan bagian
dari HAM juga dihambat. Itu adalah ujung gunung es dari pelanggaran HAM,
yang akarnya sulit diungkap, antara lain penangkapan dan penculikan para
aktivis. Lebih sulit lagi mengungkap penyiksaan dan pembunuhan terhadap
warga negara. Isu lain adalah pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh
industri dan eksploitasi sumber daya alam semena-mena.
Pertengahan tahun 2009, aktivis HAM dan lingkungan di dunia melancarkan
aksi boikot terhadap produk-produk Indonesia. Mereka juga menuntut agar
para investor menarik modalnya dari Indonesia. Kampanye lain yang tak kalah
pedasnya adalah menghimbau wisatawan untuk tidak berkunjung ke Indonesia.
Dampak kampanye itu mulai terasa bulan September. Indeks harga saham gabungan
merosot sampai ke titik rendah, yaitu 650. Ini berarti sama dengan angka
tahun 1999. Nilai dolar merangkak sampai Rp9.000,- per dolar. Masyarakat
risau sekali, bayang-bayang krisis ekonomi 1997 muncul kembali. Para aktivis
mulai menggalang kekuatannya untuk demonstrasi dan menuntut Presiden turun.
Tanda-tanda sukses usaha merobohkan pemerintah masih belum tampak, tapi
keresahan mulai menggelundung bagai snow balling di seluruh Indonesia.
Investor asing mulai menghentikan penanaman modalnya di Indonesia akhir
tahun 2009. Oleh karena itu masih belum diketahui, perusahaan mana yang
bakal dibangun di kawasan industri baru di pinggir kota Pakanbaru yang
diresmikan Presiden bulan Maret itu.***
|