|
KEADAAN YANG DIUTAMAKAN PADA ORANG YANG SEKARAT.
Ketahuilah bahwa raut wajah yang paling disukai dari orang yang sedang
sekarat adalah raut wajah yang mencerminkan ketentraman dan ketenangan.
Dan dari lidahnya terucap dua kalimah syahadat dan di hatinya terdapat prasangka
yang baik kepada Allah SWT. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,
"Perhatikanlah tiga tanda pada orang yang sekarat. Jika keningnya
berkeringat, matanya basah oleh air mata, dan bibirnya mengering, berarti
rahmat Allah SWT telah turun kepadanya. Akan tetapi, jika dia kelihatan
seperti orang yang dicekik-cekik, warna kulitnya memerah dan mulutnya
berbusa, maka itu adalah siksaan Tuhan yang ditimpakan atas dirinya."
(Al-Hakim Al-Tirmidzi, 125)
Sementara itu lidah (hati) yang mengucapkan dua kalimah syahadat adalah
pertanda yang baik. Abu Said Al-Khudri mengatakan, "Rasulullah SAW bersabda
'Bacakanlah kepada orang-orangmu yang sedang sekarat [kata-kata] 'Tidak ada
Tuhan selain Allah.' " Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Hudzaifah
[Nabi melanjutkan sabdanya] sebagai berikut 'Sebab kata-kata itu
menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.' (Muslim, Janaaiz, I)
Utsman mengatakan, "Ketika seseorang berada di ambang ajal, maka
bacakanlah kepadanya kalimat, 'Tidak ada tuhan selain Allah', sebab tak ada
seorangpun manusia yang menjelang ajalnya mengucapkan kalimah tersebut
kecuali hal itu akan menjadi bekal perjalanannya menuju surga."
Umar r.a berkata, "Hadirilah orang-orangmu yang akan meninggal dunia
dan ingatkanlah mereka melihat hal yang tidak kamu lihat, dan bantulah
mereka mengucapkan, 'Tidak ada tuhan selain Allah'."
Abu Hurairah mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Suatu
ketika Malaikat Maut mendatangi orang yang sedang sekarat. Setelah melihat
ke dalam hatinya dan tidak menemukan apapun di situ, Malaikat itu lalu
membuka janggut orang itu dan mendapati ujung lidahnya melekat pada
langit-langit mulutnya selagi dia mengucapkan 'Tidak ada tuhan selain
Allah'. Dosa-dosanya diampuni karena kalimat ikhlas yang telah
diucapkannya.' " (Thabrani, Al-Mu`jam Al-Kabir ; Zabiidii, X.275)
Seyogyanya orang yang memberikan bantuan itu tidak memaksa-maksa,
bahkan dia mesti menggunakan cara yang lemah lembut karena bisa jadi lidah
orang yang sekarat itu tak mampu mengucapkan kalimah syahadat. Sebaliknya,
rasa tertekan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan lidahnya itu akan membuat
dia merasakan dorongan tersebut sebagai beban berat dengan menimbulkan rasa
benci terhadap kalimah syahadat. Dikhawatirkan hal itu justru akan
mengakibatkan su'ul khatimah. Sesungguhnya maksud kalimat ini adalah untuk
memastikan bahwa seseorang yang akan meninggal dunia telah berhasil
mengosongkan hatinya dari segala sesuatu selain Tuhan. Dengan demikian, jika
tak ada lagi yang dituju selain Yang Esa, Al-Haqq, maka melalui kematian
kedatangannya menghadap Sang Kekasih akan merupakan kebahagiaan yang
tertinggi. Akan tetapi, bila hatinya masih diliputi perasaan cinta kepada
dunia, condong kepadanya, dan menyesali hilangnya kenikmatan duniawi, maka
meskipun kalimah syahadat itu berada di lidahnya, sedangkan hatinya TIDAK
memperkuat ucapan itu, tentulah nasib orang itu akan bergantung kepada
Kehendak Tuhan yang berisi segala kemungkinan. Ini terjadi karena gerak
lidah saja tidak banyak membawa faedah kecuali jika Allah SWT, melalui
Rahmat-Nya, berkenan menerimanya.
Adapaun berbaik sangka terhadap Allah, maka hal ini sangat dianjurkan
pada saat sakratul maut seperti ini. Kami telah menjelaskan hal itu dalam
kitab tentang Takut dan Harap (Ihya IV, kitab ke-3). Berikut sejumlah hadits
mengenai keutamaan berbaik sangka.
Suatu ketika, Watsilah bin Al-Asqa mengunjungi seseorang yang sedang
sakit dan bertanya kepadanya, "Katakanlah kepadaku, bagaimana persangkaanmu
terhadap Allah?" "Aku telah bergelimang dalam dosa-dosa," kata orang itu,
"dan berada di pinggir jurang kebinasaan. Namun, aku tetap mengharapkan
Rahmat Tuhanku." Mendengar ucapan itu, Watsilah berseru, "Allahu Akbar!" dan
orang seisi rumah pun mengikuti seruannya itu, "Allahu Akbar!" Kata
Watsilah, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'bahwa Allah SWT
telah berfirman 'Aku adalah sebagaimana persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku,
karena itu terserah kepadanya bagaimana persangkaannya terhadap-Ku.' " (Ibn
Hanbal, Musnad, II.251 ; Dariimi, Raqa'iq, 22)
Suatu ketika Rasulullah SAW mengunjungi seorang pemuda yang sedang
berada di ambang ajal. "Bagaimana keadaanmu?" Beliau bertanya. Orang itu
menjawab, "Saya telah menetapkan harapan saya kepada Allah, dan takut
terhadap dosa-dosa saya." Beliau SAW bersabda, "Tidaklah kedua hal ini
bersatu dalam hati seorang hamba dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah
akan menganugerahkan yang diharapkannya dan menyelamatkannya dari hal yang
ditakutinya." (Tirmidzi, Janaa'iz, II ; Ibn Majah, Zuhd, 31)
Tsabit Al-Bunani berkata, "Pada suatu ketika ada seorang anak muda yang
bergelimang dalam perbuatan lacur. Ibunya sering mencelanya dengan berkata,
'Anakku, waktumu akan datang, maka ingatlah itu.' Dan ketika datang takdir
Allah atas diri anak muda itu, ibunya membungkuk ke arahnya dan berkata,
'Wahai anakku! Aku telah mengingatkanmu akan takdir ini, dan telah kukatakan
kepadamu bahwa waktumu akan datang.' Anak muda itu menjawab, 'Wahai Ibu! Aku
punya Tuhan yang sangat baik, dan aku berharap bahwa sedikit saja dari
Kebaikan-Nya tidak akan melewatiku begitu saja pada hari ini.' " Tsabit
berkata, "Maka Allah pun mengasihi anak muda itu dikarenakan baik sangkanya
kepada Tuhannya."
Jabir bin Wada`ah berkata, "Suatu ketika ada seorang pemuda yang
terjerumus ke dalam kebodohan. Ketika ia mendekati ajalnya, ibunya berkata
kepadanya, 'Wahai anakku! Apakah engkau mempunyai permintaan terakhir?'
'Ya', katanya. 'Jangan ambil cincinku sebab padanya terdapat nama Allah SWT,
mudah-mudahan dia akan mengasihiku.' Setelah pemuda itu dikuburkan, dia
terlihat di dalam mimpi dan mengatakan, 'Katakan kepada ibuku bahwa kalimah
syahadat telah bermanfaat bagiku, dan bahwa Allah telah mengampuniku.' "
Suatu ketika seorang Badui jatuh sakit dan ketika dikatakan kepadanya
dia akan mati, orang Badui itu bertanya, "Kemanakah aku akan dibawa?"
"Kepada Allah," demikian jawaban yang diterimanya. "Aku tidak bisa
membencinya, karena aku akan dibawa kepada DIA yang menjadi sumber segala
kebaikan."
Al-Mu`tamir bin Sulaiman berkata, "Ketika ayahku mendekati ajal, dia
berkata, 'Wahai Mu`tamir! Berbicaralah kepadaku tentang
keringanan-keringanan (rukhshah) agar aku bisa menemui Allah SWT dengan
membawa prasangka baik terhadap-Nya.' "
Mereka (kaum Muslim generasi pertama) lebih menganjurkan agar amal-amal
baik seorang hamba disebutkan kepadanya saat dirinya sedang sakratul maut
agar dia berprasangka baik terhadap Tuhannya (lisan ah-hal : bukti yang
ditunjukkan oleh keadaan lahiriah seseorang yang mencerminkan kondisi
emosional batinnya).
|