about me kontak saya links buku karya saya artikel my diary permainan humor renungan kuliner

 

artikel

 

Jurnalisme yang Membawa Damai

“Berbahagialah orang yang membawa damai di antara manusia; Allah akan mengaku mereka sebagai anak-anak-Nya

Dalam ilmu junalistik, unsur konflik merupakan salah satu kriteria suatu peristiwa layak diberitakan.  Setiap hari kita disuguhi berita-berita yang mengandung konflik seperti peperangan, pertikaian kelompok, kerusuhan, saling hujat, penganiayaan dan sebaginya.  Memang dalam menyajikannya, para jurnalis sedapat mungkin mengikuti kaidah jurnalistik seperti keberimbangan, obyektifitas, akurasi, faktual, dan sebagainya.  Akan tetapi ternyata peliputan konflik dengan kaidah jurnalistik klasik ini tidak tepat.  Mengapa?  Karena justru melestarikan konflik.

Teori jurnalistik klasik mengajarkan bahwa tugas para jurnalis adalah “melaporkan fakta apa adanya.”  Fungsi pers semata-mata menjadi cermin atas realitas dalam masyarakat.  Namun dalam dunia yang semakin peka media (a media-savy world) ini, banyak orang yang mahir mengemas fakta  untuk dijadikan bahan berita oleh jurnalis.  Kelompok-kelompok yang bertikai sudah itu menyadari pentingnya strategi bermedia dalam memperjuangkan kepentingan mereka.

Padahal fakta-fakta yang disodorkan oleh suatu kelompok yang diberitakan oleh jurnalis ini akan menyulut reaksi kelompok lain.  Dengan dalih menggunakan hak jawab, kelompok lain akan menanggapi berita yang dianggap “merugikan” kelompoknya.  Demikian seterusnya sehingga media terjebak dalam “lingkaran reaksi” (feedback of loop).  Media menjadi sarana tarik-menarik kepentingan pihak-pihak yang bertikai.  Berdasarkan hal ini, kemudian muncul pertanyaan etis: “Apa yang bisa dilakukan oleh pers dalam memutus lingkaran setan ini dan mendukung terjadinya perdamaian?”  Media tidak boleh hanya menonton saja, tetapi  harus berbuat sesuatu dalam mendukung upaya perdamaian. Kegelisahan para jurnalis ini menghantarkan mereka pada paradigma alternatif, yaitu jurnalisme perdamaian.

Sumber Konflik

Dalam berbagai liputan selama ini kata “konflik” sering diasosiasikan dengan “kekerasan.”   Padahal keduanya berbeda.  Konflik bisa bermakna positif dan konstruktif apabila dikelola secara efektif dan beradab. Menurut Peter du Toit, konflik bisa terjadi karena adanya perebutan sumber-sumber yang terbatas, stereotype, ketiadaan dialog, ketidak-percayaan, hal yang tidak terselesaikan di masa lalu, kekuasaan yang tidak terbagi rata atau tiadanya penghargaan di antara kelompok masyarakat. 

Konflik selalu ada. Manusia hidup selalu berkonflik.  Konflik ada di alam dan hadir dalam kehidypan manusia. Konflik selalu mempunyai dua sisi, yaitu risiko dan peluang.  Konflik dapat menciptakan energi yang bersifat destruktif, tetapi bisa juga kreatif.  Ibarat gesekan, konflik dapat menimbulkan api yang melalap semua yang berharga tetapi, juga bisa menghasilkan bentuk batu yang indah. 

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana masyarakat menyelesaikan konflik itu.  Dalam berbagai konflik yang diliput jurnalis, seringkali penyelesainnya mengarah ke hasil menang-kalah (win-lose solution).  Dalam penyelesaian ini, ada kelompok yang lebih diuntungkan dibandingkan kelompok yang lain.  Memang untuk sementara upaya ini bisa menghentikan pertikaian, tapi sebenarnya seperti menyimpan bara dalam timbunan sekam. Sebab pihak yang dirugikan menunggu kesempatan untuk membalas lagi.  Dalam pendekatan ini, perdamaian = kemenangan + genjatan senjata.

Inilah yang disebut Johan Galtung (1998) sebagai jurnalisme perang.   Jurnalisme perang, kata Galtung cenderung terfokus pada kekerasan sebagai penyebabnya dan enggan menggali asal-usul strutural sebuah konflik itu secara mendalam.  Jurnalisme perang terlampau terkonsentrasi pada efek-efek yang terlihat, seperti korban tewas atau terluka, kerusakan material yang kelihatan, bukan kerusakan psikologis, struktur atau budaya.

Jurnalisme perang mereduksi pihak-pihak yang berkonflik menjadi dua dalam polarisasi “lawan-kawan.”  Mereka cenderung menjelek-jelekkan pihak “lawan” dan mengangungkan pihak “kawan.” Bukankah pendekatan ini juga banyak kita temui dalam media Kristen? Apalagi akhir-akhir ini, ada banyak orang Kristen dan gereja yang mengalami penganiayaan.  Dalam menulis berita perusakan gereja, misalnya, jurnalis Kristen lebih menonjolkan tingkat kerusakan yang kelihatan atau jumlah korban yang ada.  Pemberitaan seperti ini tidak akan pernah mencerdaskan pembaca (orang Kristen) karena hanya memuaskan selera keingin-tahuan.  Yang terjadi justru lestarinya prasangka orang Kristen terhadap kelomppok-kelompok yang dianggap menentang kekristenan di tanah air ini.

Jurnalisme Perdamaian

Sebagai antitesis dari jurnalisme perang, hadirlah Jurnalisme Perdamaian. Apa itu jurnalisme perdamaian?  Menurut Annabel McGoldrick dan Jake Lynch (2000), Jurnalisme Perdamaian (JP) melaporkan suatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.  Tugas utamanya adalah memetakan konflik, mengidentifikas pihak-pihak yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan mereka. Pendekatan JP adalah memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan.  Prinsip ini disederhanakan dengan rumus Perdamaian= Non-kekerasan + kreatifitas.

Dalam JP, penyelesaian konflik yang dipakai adalah pendekatan menang-menang (win-win soluttion) dengan memperbanyak alternatif-alternatif penyelesaian konflik.  Dalam hal ini peran pers menurut Abdul Razak dalam Jurnal Pers Indonesia (no.4/1997) adalah menggambarkan situasi dan merumuskan realitas.  Rumusan ini mempengaruhi persepsi, reaksi dan pilihan solusi.  Pers bukan sekadar media penyampai informasi, melainkan juga membangun debat publik yang sehat tentang kepentingan umum.  Peran pers di sini adalah dengan merumuskan (1)masalah, (2)penyebab, (3)alternatif penyelesaian, (4)evaluasi alternatif, (5)pilihan alternatif tebaik, (6)sistem dan mekanisme pelaksanaan, (7) evaluasi dan feedback.

Dengan strategi menelusuri akar konflik ini, para jurnalis berusaha menghindari menyalahkan salah satu pihak sebagai penyebab konflik.  Yang mereka lakukan adalah dengan memaparkan masalah yang sebenarnya, dampak yang telah ditimbulkannya, lalu menawarkan alternatif penyelesaiannya.

Peluang Media Kristen

Memang untuk mewujudkan JP ini bukan pekerjaan yang mudah, bahkan cenderung rumit.  Bagaimana tidak, sebab di sini berita-berita lempang (straight news) saja tidak cukup.  Untuk menjelaskan dan menelusuri urat-urat konflik memerlukan waktu yang lebih lama dan ruang yang lebih banyak. Dalam jurnalistik bentuk tulisan seperti ini dinamakan jurnalisme interpretatif.

Padahal dalam tingkat persaingan antar media yang sengit sekarang ini, setiap media harus bisa “berteriak” mengatasi media-media lain.  Caranya bermacam-macam.  Bisa dengan penyajian yang lebih cepat, sudut pemberitaan (news angle) yang menarik, perwajahan yang ciamik dan judul-judul yang sensansional.  Bagi media Kristiani yang kebanyakan kristiani terbit bulanan, rentang waktu yang lama ini dapat menjadi peluan untuk menerapkan prinsip JP. Pengelola media kristiani punya kesempatan banyak untuk menyiapkan reportase yang analistis, holistik dan  tajam. 

Memang tulisan-tulisan seperti ini kalah laris dibandingkan dengan berita-beriuta sensansional yang terdapat dalam tabloid.  Namun situasi konflik yang melibatkan sebagian umat Kristen, pendekatan JP masih (atau semakin) relevan dalam membawa suara-suara kenabian. Sikap ini yang diambil wartawan Kompas, Maria Hartiningsih:” Setiap jurnalis mempunyai ideologi, demikian juga saya.  Ideologi saya adalah memberi sumbangan pada perdamaian dan keadilan …Yang mednorong saya untuk berbuat sesuatu dalam tugas jurnalistik saya, yaitu ketika saya melihat banyak orang tidak bersalah yang jadi korban.  Terutama kaum perempuan dan anak-anak itu telah memberi semangat saya untuk memberi sumbangan pada proses rekonsiliasi di negeri ini.” Berbahagialah jurnalis yang membawa damai.

 

catatan: Tulisan ini memenangkan juara II dalam lomba penulisan yang digelar oleh majalah "Genta Kelana", Bandung

 

Berikan Tanggapan


Memahami Yesus, Ala Mr. Bean atau Mr. Bond?

[Resensi Buku]

 

Apakah Yesus sungguh-sungguh miskin? Kalau melihat profesi Yesus sebelum masuk dunia pelayanan secara full time, Dia dikenal sebagai seorang tukang kayu. Pada masa itu, keahlian seperti ini cukup terhormat dan mendatangkan rejeki yang lumayan. Apakah Dia bekerja tanpa dibayar? Atau Dia selalu menghabiskan penghasilan-Nya? Pertanyaan-pertanyaan "nakal" seperti ini rasanya tidak  lazim ditemui di antara umat  Kristen. Jarang sekali ada orang Kristen yang berani mengajukan pertanyaan pada pastor atau pendetanya seperti ini: Apakah Yesus pernah jatuh cinta? Bagaimana masa kecil Yesus? Apakah Dia selalu menang dalam permainan petak umpet? Bagaimanakah perasaan Yesus saat diludahi oleh tentara Romawi?

Sejak kecil, orang Kristen telah mendapatkan berbagai ajaran tentang iman Kristen. Entah itu di rumah, sekolah atau gereja. Akan tetapi ajaran-ajaran itu bersifat baku, yang kurang memberikan ruang untuk merenungkannya secara kritis.  Ibarat anak kecil yang sedang disuapi, mereka diperintahkan supaya langsung menelan setiap makanan yang dijejalkan tanpa perlu mengunyah, mengecap dan mencoba kualitas dari makanan itu.

Penulis mengibaratkan fenomena seperti ini seperti film Mr. Bean. Dalam pembukaan film komedi ini, kita melihat ada seberkas sinar kecil yang menyertai kejatuhan sosok Mr. Bean, entah dari mana asalnya. Kita tidak pernah tahu darimanakah asal Pria lucu ini. Meski begitu, penonton tidak pernah memusingkan hal ini. Yang penting bagi mereka adalah menikmati kekonyolannya, dagelannya, dan perbuatan gilanya. Hampir sepeerti itulah pemahaman sebagian orang Kristen tentang Yesus. Pada awalnya, pengetahuan itu merupakan pasokan dari luar. Setiap hari Minggu mereka datang ke gereja untuk dibombardir dengan pemahaman teologis yang jatuh dari awan-awan. Orang-orang datang ke gereja untuk terus menerus diingatkan tentang dogma dan ajaran gereja: "Kamu tidak boleh ini, tidak boleh itu, harus begini, harus begitu.  Pokoknya otoritas gereja mengatakan begitu. Titik."

Dalam kristologi, pendekatan seperti ini dikenal sebagai "kristologi dari atas" (descending christology). Alhasil, umat memang taat pada asas dan dogma, tetapi sama sekali tidak mengenal Kristus yang mereka sembah. Pemutlakan dogma, membuat mereka takut untuk mencoba memahami Yesus secara kreatif. Daripada repot-repot, lebih baik datang kepada-Nya untuk minta disembuhkan dari penyakit, dibebaskan dari stress dan melihat mukjizat-mujizat-Nya. Mereka lebih tertarik melihat "perbuatan gila" Yesus, daripada mengenal Yesus.

Berbeda dengan Mr. Bean, kehebatan dan kegilaan dalam film James Bond telah dibingkai dalam kisah dengan alur yang jelas. Dalam film ini, kita bisa mengetahui lebih banyak tentang sosok Mr. Bond : mengenai asal-usulnya, misinya, relasinya, kecerdasannya, karakternya dan sebagainya. Penonton mempuniay informasi yang memadai tentang  sosok mr Bond ini. Dalam scene tertentu penonton juga disodori fakta-fakta dan diajak untuk berpikir dan menebak misteri dalam film tersebut.

Film james Bond ini merupakan gambaran dari pendekatan "kristologi dari bawah" (ascending christology, historical approach). Pendekatan ini mencoba memahami Yesus secara historis, terlepas apakah dogma gereja mengatakannya, atau tidak. Titik berangkatnya adalah pengalaman perjumpaan dengan Yesus di  dalam sejarah. Meski begitu, pendekatan ini tidak hendak menyangkal keilahian Yesus. Kristologi ini merupakan cara  alternatif untuk memahami iman kjepada Yesus Kristus.

Buku ini merupakan hasil dari pergulatan alumni STF Driyarkara dalam menggali dan menemukan sosok Kristus. Suatu kali, dosen Universitasa Sanata Dharma ini begitu terusik dengan pertanyaan Yesus, kepada murid-murid-Nya: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Di dalam hatinya, seolah-olah pertanyaan itu berubah menjadi, "Bukan kata mereka, bukan kata pastor, kata suster, kata bruder, kata ahli sejarah, atau kata ahli kitab, tetapi katamu, siapakah Aku?" Kegelisahan itu mendorongnya untuk semakin mengenali sosok Yesusdari dekat dan menuangkan hasil refleksinya dalam sebuah buku. Dia ingin membagikan pengalaman pergulatannya itu pada siapa saja yang memiliki pertanyaan yang kurang lebih sama dalam  mempersoalkan Yesus Kristus.

Di dalam buku ini, penulis berupaya mengupas sosok Yesus yang telah menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan perselisihan, tetapi juga menjadi sumber motivasi dan kekuatan begitu banyak orang.  .Pada bagian pertama,  penulis memaparkan berbagai problematika di seputar sosok Yesus. Bagian kedua,  penulis mengenalkan dua pendekatan kristologi (dari atas dan dari bawah), lalu menawarkan fungsi simbol yang bisa menjembatani perbedaan kedua pendekatan itu. Menurutnya, tanpa memahami simbol, maka umat  akan kesulitan memahami relevansi rumusan dogma dalam realitas kehidupan.

Bagian ketiga, terdapat paparan kronologis bagaimana kegilaan Yesus itu dipahami dan dirumuskan oleh para murid dan gereja purba, kemudian dilestarikan dalam bentuk tradisi gereja. Dalam perkembangannya, tradisi gereja ini memuncukanl suatu perdebatan tentang status Yesus Kristus: Apakah Dia itu manusia atau Tuhan? Pembahasan tentang status Yesus ini dikupas pada bagian keempat buku ini. Pada bagian kelima, penulis menjelaskan langkah-langkah untuk menerapkan kedua pendekatan tadi untuk memahami kristologi pada zaman sekarang. Bagian terakhir menunjukkan dimensi praksis dalam berkristologi.

Supaya bisa mengenal sosok Yesus, Setyawan mengajukan empat syarat yang perlu dimiliki orang Kristen: Syarat pertama, kita harus memiliki iman. Yang dimaksud iman di sini bukanlah sekadar mengamini dogma-dogma gereja begitu saja, melainkan suatu kehidupan rohani yang memiliki relasi personal dengan Yesus Kristus. Jika Anda ingin mengenal seseorang, tentu saja Anda terlebih dahulu harus menjalin hubungan dengan orang itu. Semakin dekat dan intens hubungan Anda dengan orang itu, maka semakin banyak Anda mengenal orang tersebut.   Demikian pula, dalam mengenal Yesus. Mustahil bisa mengenal Yesus lebih dalam jika tidak disertai relasi yang akrab dengan-Nya.

Syarat kedua adalah meninggalkan cara berpikir dikotomis. Seringkali kita membuat dikotomi antara Allah dengan manusia, antara Pencipta dengan ciptaan, antara Hamba dengan tuan. Akibat dari pola pikir ini, kita cenderung menempatkan Allah di pojok ruangan atau di tempat yang jauh. Kita menganggap Allah hanya bersemayam di gereja atau ruang doa. Seolah-olah, Dia absen dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengganti cara pikir dikotomis ini, penulis menawarkan pendekatan pemikiran postmodern yang tidak lagi memisahkan antara subjek dan objek. Pembaca diajak supaya tidak membuat pemisahan secara ekstrim antara Allah dengan manusia. Allah bisa hadir dunia dalam berbagai rupa. Dia juga berkomunikasi dengan berbagai cara. Bisa saja Allah meminjam mulut orang lain untuk berbicara dengan kita. Mengutip Piet Schoonenberg,  Allah berelasi dengan dunia ini dengan cara bekerja di dalam benda/makhluk ciptaan.

Syarat ketiga untuk mengenal Yesus, kita mesti mempunyai sikap pluralistis dan terbuka pada segala kemungkinan cara untuk mengenal Kristus. Karena perbedaan latar belakang dan keunikan manusia, maka dalam menangkap makna dan memahami sosok Yesus pun bisa menjadi berbeda-beda untuk setiap orang.  Perbedaan ini perlu diakui dan disyukuri karena mungkin saja ada kebenaran di dalam cara pandang orang lain. Sikap ini dilandasi oleh keyakinan bahwa tidak seorang pun di dunia ini yang pernah mengetahui kebenaran Allah secara sempurna. Itu sebabnya kita perlu berpikiran terbuka dan menghargai adanya perbedaan pemahaman tentang sosok Yesus.

Keempat untuk menghindari dikotomi dan relativisme, kita perlu menggunakan cara berpikir relasional. Di dalam berpikir relasional ini, kita mempunyai kemampuan dalam menafsirkan inti dari iman kita dan menerapkannya dalam konteks yang plural. Dalam hal ini kita memerlukan iman yang kuat sehingga memiliki titik pijak yang kokoh di dalam menghadapi pluralitas. Jika tidak, maka kita hanya akan diombang-ambingkan oleh prinsip relativisme.

Mahasiswa program magister dan licensiat teologi ini merangkum keempat syarat tersebut menjadi satu ungkapan, yaitu sebuah kesadaran terhadap imbol. Orang yang memiliki kesadaran ini biasanya mempunyai kemampuan melihat sesuatu di balik realitas yang kelihatan. Dia mampu membaca makna yang tersirat (read between the lines). Orang Kristen perlu memiliki kesadaran terhadap simbol ini karena dalam ritus-ritus kekristenan seindiri sarat dengan simbol. Tanpa memiliki pemahaman ini, maka kesertaan mereka dalam setiap ritual pembaptisan, perjamuan kudus, misa, kebaktian dan ibadah lainnya menjadi sekadar sebuah kebiasaan (just business as usual).

Membaca buku inii, kita diajak untuk menemukan relevansi beriman kepada Yesus Kristus dalam kehidupan sehari-hari.. Menurut Setyawan,  memiliki pengetahuan tentang Kristus tidak ada gunanya jika kita tidak memiliki pengalaman bersama Kristus: "Kita akan memiliki pengalaman Kristus ketika kita dengan sepenuh hati memperjuangkan keadilan bagi sesama dan saat kita mengalami teror, kita rela menerima teror itu sebagai bagian dari salib. Kita akan memiliki pengalaman kristologis ketika mengalami kekecewaan hidup, situasi ambang batas, keraguan, ketakutan dan pada saat kita sungguh menyuarakan pembelaan kepada pihak-pihak yang terkena penindasan." (h.230).

Pengalaman itupun belum sepenuhnya disebut pengalaman kristologis, kalau kita belum mengalami kebangkitan. Ada banyak lembaga sosial yang memperjuangkan kaum tertindas. Tidak sedikit di antara mereka menjadi frustasi ketika usaha merelka dipersulitm ditekan, diftnah bahkan mengalami kekerasan. Hanya mereka yang mengalami kebangkitan dari frustasi dan tekanan ini yang bisa memiliki pengalaman kristologis. "Syaratnya tidak banyak, kita hanya perlu mengakui bahwa seluruh perjuangan kita ini ada di tataran fisik. Segala yang fisik akan dengan mudah menimbulkan konflik dan akhirnya berujung pada kehancuran." (231)

Buku ini bisa menjadi pintu bagi kaum awam untuk memasuki ruang studi tentang kristologi. Dengan cerdas, penulis berhasil mendaratkan konsep-konsep yang abstrak menggunakan analogi dan metafora sehingga lebih mudah dipahami. Dengan bahasa yang akrab dan memakai idiom-idiom yang ngepop, kita dipandu mengenal konsep-konsep teologi seperti soteriologi (keselamatan), eskatologi (akhir zaman), kenostisisme, dll. Sayangnya, di dalam hal Trinitas atau Tritunggal Allah, penulis tidak menjelaskannya dengan tuntas. Padahal di sinilah sering menjadi ganjalan dalam relasi umat kristiani dengan umat agama lain. Setyawan mengaku mengalami kesulitan mencari analogi yang pas untuk menjelaskan hal ini. Penulis menduga Trinitas ini merupakan misteri yang memang sengaja diciptakan Allah untuk memberi ruang terbuka bagi pertanyaan-pertanyaan yang tiada habisnya.

Akhirnya dengan memiliki pengetahuan yang memadai tentang Yesus, penulis berharap umat Kristen akan semakin kagum terhadap sosok Yesus dari Nazaret. Itulah sebabnya dia sengaja memberi judul "Orang Gila dari Nazaret."  Yang dimaksud  "gila" di sini adalah ucapan yang keluar dari orang yang berdecak kagum. Setelah mempelajari dan semakin mengenal sepak terjang Yesus, maka niscaya dari mulut orang itu keluar kata-kata:  édan tènan atau gilé bènèr.


Peran Konsultan dalam Rekonstruksi Paska Gempa

 

Pemerintah telah menyatakan bahwa masa tanggap darurat untuk gempa 27 Mei sudah selesai. Untuk tahapan rekonstruksi, pemerintah pusat telah menganggarkan dana sebesar Rp.1,2 triliun untuk DIY dan Jateng. Untuk wilayah DIY disediakan dana Rp. 749 miliar.

Akan tetapi, pengalokasian dana ini mendapat sorotan tajam dari beberapa pihak. Yang paling perhatian utama adalah alokasi sebesar Rp. 37 miliar untuk jasa Konsultan.  Yang dimaksud Konsultan di sini adalah tenaga pendamping teknis dan pengorganisasian masyarakat. Benarkah dibutuhkan dana sebesar itu? Atau pertanyaan yang lebih mendasar, jenis jasa konsultan apa yang dibutuhkan dalam masa rekonstruksi ini? Dalam tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman saya sebagai relawan tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia (tim GKI) di Klaten.

 

Rumah Tumbuh

Dengan usainya masa tanggap darurat, tim GKI menyusun rencana untuk membuat rumah darurat (temporary house) untuk para korban bencana alam.  Rumah ini dirancang sebagai tempat berteduh, sementara warga membangun kembali rumah mereka. Namun kenyataannya para korban sudah berinisiatif membangun barak-barak sementara secara swadaya. Mereka memanfaatkan sisa-sisa bangunan, sehingga bentuknya bervariasi.  Ada yang memakai atap dari terpal, genteng,atau seng.  Untuk dindingnya, ada yang menggunakan terpal, kepang, gedhek, gebyok (panel kayu) dll.

Untuk musim kemarau, bangunan ini memang mampu melindungi penghuninya dari sengatan sinar matahari di siang hari dan hembusan hawa dingin di malam hari.  Namun pada musim hujan, kekuatan bangunan ini masih diragukan.  Pondok yang memakai atap dari terpal akan jebol karena tidak mampu menahan berat air hujan.

Itu sebabnya, tim GKI memutuskan untuk mengalihkan dana pembangunan rumah darurat ini untuk mulai membangun rumah secara permanen. Targetnya adalah membangun rumah berukuran 6 x 7 meter, yang terdiri darri dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur dan kamar mandi/WC.  Dana yang tersedia sangat terbatas. Hanya bisa untuk membuat bangunan berukuran 3 x 4 meter. Namun pembangunan rumah ini harus segera dikerjakan untuk berpacu dengan kedatangan musim hujan.  Diharapkan pada musim penghujan, penduduk sudah memiliki tempat berteduh yang kokoh dan rapat.

Untuk itu dibuatlah kondep rumah tumbuh.  Artinya pembangunan rumah dikerjakan secara bertahap, sesuai dengan dana yang tersedia. Ketika ditawarkan kepada para korban bencana, konsep ini ditanggapi oleh penduduk dengan antusias. Ada lebih dari 250 kepala keluarga yang berminat mengikuti proyek ini.

Proyek ini memakai prinsip gotong royong dan kemitraan. Penduduk tidak hanya berposisi sebagai penerima bantuan saja, tetapi menjadi pelaku dari pembangunan itu. Untuk itu, mereka diminta untuk membentuk kelompok, dengan anggota antara 5-7 kepala keluarga.  Mereka akan bekerja bergotong royong di dalam kelompok ini, setelah sebelumnya menentukan urutan pembangunan rumah.

Di dalam prinsip kemitraan, penduduk diminta untuk menyediakan bata (dari sisa bangunan), kusen (pintu dan jendela), kayu, genting, dan tenaga kerja.  Kepada setiap rumah, tim GKI menyediakan pasir satu rit, semen 15 zak, besi dan alat pertukangan.

 

Peran Konsultan

Karena pekerja dalam proyek ini bukan tukang batu profesional, maka tentu saja dibutuhkan pengawasan dan pengarahan secara teknis. Dengan demikian, bangunan yang dikerjakan ini dapat memenuhi standard kelayakan secara teknis. Untuk itu, tim GKI menyediakan penyelia (supervisor) teknis.  Sebelum pembangunan dimulai, penyelia teknis ini membuat rancangan rumah yang sederhana, tapi cukup  kokoh.  Untuk memperkuat struktur bangunan supaya tahan dari goncangan gempa, maka digunakan konstruksi beton bertulang.  Teknologi sederhana ini ternyata cukup memadai.  Hal ini terbukti pada rumah-rumah di wilayah bencana yang memakai beton bertulang ini ternyata masih dapat berdiri kokoh.

Gambar rancangan ini diperbanyak, dibagikan dan dijelaskan kepada setiap kelompok. Mereka diharapkan membangun sesuai dengan rancangan tersebut. Untuk memastikan pelaksanaannya, maka setiap hari sang penyelia ini turun ke lapangan. Dia harus memeriksa dan mengawasi teknis pada setiap bangunan.  Sebagai contoh, penyelia harus memberikan pengarahan dalam pemasangan  besi kolom, slup, ring, serta teknis pengecorannya.

Apabila peran konsultan hanya terbatas dalam memberikan supervisi teknis saja, menurut saya biayanya tidaklah terlalu besar.  Satu penyelia dapat menangani 50-100 unit rumah. Jika jumlah yang akan dibangun sebanyak 42.000 rumah, maka hanya dibutuhkan 420 penyelia.  Jika setiap penyelia mendapat honor Rp. 2,5 juta/bulan, maka hanya dibutuhkan dana sebanyak 1,05 milyar/bulan. Terpaut sangat jauh dengan angka Rp. 3,7 milyar!

Lalu bagaimana peran konsultan sebagai pengorganisasi?  Gempa boleh saja menghancurkan bangunan fisik, tapi tidak mampu menghapus tatanan sosial dan kebudayaan mereka yang dirajut selama ratusan tahun.  Memang selama beberapa saat, sempat muncul perilaku anomali, seperti penjarahan atau penimbunan bantuan.  Namun hal ini dapat dimengerti, mengingat setiap manusia memiliki naluri alamiah untuk bertahan hidup.  Dalam perjalanan waktu, tatanan dan struktur sosial ini mulai pulih kembali. Masyarakat sudah mulai bisa mengatur dirinya sendiri.

Beberapa hari setelah gempa, Sultan HB X pernah menyatakan keinginan supaya pengerjaan rekonstruksi paska gempa dikerjakan sendiri oleh rakyat.  Sultan mungkin telah belajar dari pengalaman di Aceh, paska Tsunami.  Proyek rekonstruksi yang dikerjakan oleh kontraktor-kontraktor profesional justru sangat mengecewakan.  Para korban enggan menempati rumah-rumah bantuan itu tidak layak huni, karena diduga ada penyimpangan pelaksanaan di lapangan.

Sultan memiliki keyakinan kuat bahwa dengan budaya gotong royong, masyarakat mampu membangun sendiri rumah-rumah mereka. Dengan keyakinan ini, maka alangkah baiknya jika pemerintah propinsi melibatkan penduduk sebagai pelaku utama dalam pekerjaan rekonstruksi ini.  Jasa konsultan yang dibutuhkan adalah sebagai penyelia teknis saja.  Sedangkan untuk pengorganisasiannya, masyarakat sudah cukup mampu mengorganisasi diri. Berilah kesempatan kepada pemimpin-pemimpin lokal untuk mengelola proyek ini.

Berikan Tanggapan


PERAN ETIKA BISNIS DALAM MEMBANGUN KEBERLANJUTAN USAHA

 

 

ETIKA BISNIS mulai ramai dibicarakan seputar tahun 80-an ketika dunia bisnis internasional terjadi penyimpangan yang melibatkan para pelaku bisnis di perusahaan kelas dunia. Salah satu kasus yang menghebohkan adalah skandal Lockheed.  Begini ceritanya:

Pada pertengahan tahun 1960-an, Japan Airlines (JAL) dan All Nippon Airways (ANA) mengalami booming jumlah penumpang.  Kedua perusahaan ini lalu membuat rencana membeli pesawat berbadan lebar. ANA merasa akan kalah bersaing dengan JAL—yang dimiliki oleh pemerintah—dalam pengadaan pesawat ini. Itu sebabnya mereka lalu menyuap Menteri Perhubunga,n Tomisaburo Hashimoto dan wakilnya Takayuki Sato. Usahanya berhasil. Pak menteri menunda permohonan ijin yang diajukan JAL untuk pengadaan pesawat. Hal ini memberikan waktu kepada ANA untuk membuka tender bagi pabrik-pabrik pesawat.

Ada tiga perusahaan besar yang ikut tender ini. McDonald Douglas, lewat  perusahaan Mitsui, menawarkan DC-10; Boeing, lewat perusahaan Nissho Iwai, menjual seri  747; dan Lockheed, lewat perusahaan Marubeni, mengajukan TriStar.

Di dalam persaingan ini, Lockheed menjadi kuda hitam. Melihat peluang yang sangat tipis, Marubeni mengusulkan upaya rahasia. Lockheed setuju. Mereka lalu minta saran Yoshio Kodama (agen rahasia Lockheed yang membantu penjualan peralatan militer ke Jepang) . Kodama mengusulkan agar Lockheed-Marubeni menjalin kontak dengan Kenji Osano (staf Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka). Dengan imbalan $200,000(thn 1976), sebagai konsultan, Osano memberi kesempatan kepada Marubeni untuk bertemu langsung dengan Presdir ANA, Tokuji Wakasa.

Untuk jasa ini, Marubeni bermaksud memberikan uang ucapan terimakasih sebesar  500 juta yen atau sekitar $7.53 juta (tahun 1977) kepada Tanaka. Hiyama, presdir Marubeni, mengutus Toshiharu Okubo (Direktur Manajer) menemui A.C. Kotchian, presdir Lockheed untuk membicarakan “hadiah” ini. Kotchian setuju dengan rencana ini.

23 Agustus 1972, Hiyama menemui Tanaka dan menawarkan 500 juta yen sebagai jasa jika Tanaka bersedia mendorong ANA untuk membeli TriStars. Tanaka setuju. Dia lalu berbicara dengan Wakasa, presdir  ANA. Sementara, Osano (asisten Tanaka) berusaha meyakinkan wakil presdir ANA, Watanabe. Dua bulan kemudian, ANA mengumumkan bahwa Lockheed memenangkan kontrak pengadaan pesawat ini.

Konspirasi tingkat tinggi ini dijalin dengan begitu rapi. Namun serapat-rapatnya orang membungkus bangkai, akhirnya tercium juga.  Senat Amerika mencium bau tidak sedap ini. Mereka melakukan investigasi yang menghasilkan pengakuan Kotchian mengenai praktik bisnis yang kotor ini. Skandal ini lalu diekspos besar-besaran oleh media massa, sehinga memaksa Kakuei Tanaka mengundurkan diri.  Sedangkan di Amerika, presiden komisaris Lockheed, Daniel Haughton mengundurkan diri.  Orang-orang yang terlibat dalam skandal ini diseret ke muka pengadilan.

Namun rupanya praktik kotor ini tidak hanya sekali dilakukan oleh Lockheed. Di negeri Belanda, mereka menyuap pangeran Bernhard, supaya AU mereka memilih F-104G Starfighters, keluaran Lockheed, daripada pesawat Mirage V. Skandal inilah yang mendorong Amerika untuk membuat Undang-undang Anti-korupsi di Luar-negeri. Isinya melarang warga dan lembaga Amerika untuk memberikan suap kepada pemerintah negara asing.

 Kejadian yang memalukan seperti ini mendorong para pakar psikologi, sosiologi, filsafat dan menajemen bisnis untuk mengkaji dan memperbaiki citra dunia bisnis.  Bisnis bukan semata-mata berorientasi mengumpulkan materi dan keuntungan finansial, melainkan juga harus memerhatikan etika dan moralitas.

Pada kenyataannya, pelanggaran etika bisnis masih sering dijumpai di Indonesia. Praktik bisnis yang terjadi selama ini dinilai masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik tidak terpuji atau moral hazard. Pelanggaran etika yang sering dilakukan oleh pihak swasta, menurut ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, adalah penyuapan dan pemerasan. Berdasarkan data Bank Dunia, setiap tahun di seluruh dunia sebanyak US$ 1 triliun (sekitar Rp 9.000 triliun) habis diperuntukkan sebagai uang pelicin alias suap. Dana itu diyakini telah meningkatkan biaya operasional perusahaan. (Koran Tempo – 05/08/2006)

Di bidang keuangan, banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran etika. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Erni Rusyani, terungkap bahwa hampir 61.9% dari 21 perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di BEJ tidak lengkap dalam menyampaikan laporan keuangannya (not avaliable).

Pelanggaran etika perusahaan terhadap pelanggannya di Indonesia merupakan fenomena yang sudah sering terjadi. Contohnya adalah kasus Ajinomoto. Kehalalan Ajinomoto dipersoalkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir Desember 2000 setelah ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk proses fermentasi tetes tebu (molase), mengandung bactosoytone (nutrisi untuk pertumbuhan bakteri), yang merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai terhadap biokatalisator porcine yang berasal dari pankreas babi.

Kasus lainnya, adalah produk minuman berenergi yang sebagian produknya diduga mengandung nikotin lebih dari batas yang diizinkan oleh Badan Pengawas Obat dan Minuman. Kita juga masih ingat, obat anti-nyamuk Hit yang dilarang beredar karena mengandung bahan berbahaya.

Kalau mau didaftari satu demi satu, masih banyak lagi pelanggaran hak-hak konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha. Selain itu, masih ada juga pelanggaran etika di bidang ketenaga-kerjaan dan lingkungan.

 

ARTI PENTING ETIKA BISNIS

Perilaku Etis penting diperlukan untuk sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif baik lingkup makro ataupun mikro.

1. Perspektif Makro

Pertumbuhan suatu negara tergantung pada efektivitas dan efisiensi sistem pasar dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan supaya sistem dapat bekerja secara efektif  dan efisien adalah:

a. Adanya hak memiliki dan mengelola properti swasta

b. Adanya kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa

c. Adanya ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa

Jika salah satu subsistem dalam sistem pasar ini melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan mengambat pertumbuhan sistem secara makro.  Contoh-contoh perilaku tidak etis pada perspektif makro adalah:

a. Penyogokan atau suap: Yaitu memberikan sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. ‘Pembelian’ itu dapat dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun ‘pembayaran kembali’ setelah deal terlaksana.

b. Tindakan pemaksaan: Merupakan tekanan, pembatasan, dorongan dengan paksa menggunakan jabatan atau ancaman untuk memaksakan kehendak. Tindakan pemaksaan ini misalnya berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan terhadap seseorang.

c. Informasi palsu (Deceptive information): Yaitu memberikan informasi yang tidak jujur untuk mengelabuhi atau menutupi sesuatu yang tidak benar.

d. Pencurian dan penggelapan: Tidak hanya di bidang politik dan militer, di dalam bidang bisnis pun sudah ada kegiatan spionase. Fei Ye, (37 th), and Ming Zhong, (36 th) ditangkap polisi Amerika dengan tuduhan telah mencuri rancangan microchip dan rahasia perusahaan dari perusahaan komputer Sun Microsystems Inc., NEC Electronics Corp., Transmeta Corp. dan Trident Microsystems Inc. Mereka ditangkap di airport San Fransisco saat akan terbang ke negeri Cina.

e. Perlakukan diskriminatif, yaitu perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama.

 

2. Perspektif Mikro

Dalam lingkup mikro perilaku etis identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam lingkup mikro terdapat rantai relasi dimana pemasok (supplier), perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan dalam kegiatan bisnis yang saling mempengaruhi. Tiap mata rantai di dalam relasi harus selalu menjaga etika sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.

Bagaimana perilaku etis dapat berperan dalam menciptakan keberlangsungan usaha? Sebagian besar perusahaan berusaha menciptakan adanya repetitive purchase (pembelian berulang) yang dilakukan konsumen.  Hal ini hanya dapat terjadi jika konsumen merasakan kepuasan dalam mengkonsumsi produk tersebut. Perilaku tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan dapat mencederai kepuasaan ini.

Dalam kaitannya dengan dalam relasi bisnis, setiap perusahaan ingin bekerja sama dengan perusahaan yang dapat dipercaya.  Kepercayaan ini ada di dalam reputasi perusahaan yang tidak diciptakan dalam sekejap.  Perilaku etis merupakan salah satu komponen utama dalam membangun reputasi perusahaan.

Dalam hubungan dengan pihak perbankan, banyak perbankan yang memasukkan komponen etika bisnis dalam mempertimbangkan pengesahan permohonan kredit. Pihak perbankan lebih yakin dalam mengabulkan pinjaman terhadap perusahaan yang telah melaksanakan prinsip-prinsip Corporate Social Responsibility.

Dalam skala global, telah merebak kesadaran baru bahwa selain memiliki hak-hak sebagai konsumen, mereka juga memiliki kewajiban.  Mereka menyadari bahwa perilaku konsumsi mereka dapat berpengaruh terhadap ketidak-adilan dan kerusakan lingkungan.  Itu sebabnya, lapisan masyarakat yang terdidik mulai selektif di dalam mengkonsumsi suatu barang/jasa.  Mereka tidak akan membeli barang yang diproduksi oleh perusahaan yang membalak hutan.  Mereka menolak produk dari pabrik yang tidak memberi upah yang layak kepada buruhnya.

Sedangkan secara internal, penerapan etika juga dapat meningkatkan kinerja dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Menurut penelitian Erni Rusyani (dosen Fak. Ekonomi Unpas Bandung) perusahaan yang tidak perduli pada etikq bisnis, maka kelangsungan hidup perusahaan itu akan terganggu dan akan berdampak pula pada kinerja keuangannya. Hal ini terjadi akibat pihak manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis. Segala kompetensi, keterampilan, keahlian, potensi, dan modal lainnya ditujukan sepenuhnya untuk memenangkan kompetisi yang tidak sehat ini.

Di dalam tingkat kompetisi yang sangat tinggi, perusahaan yang dapat bertahan adalah perusahaan yang inovatif, proaktif, dan berani dalam mengambil risiko. Hal ini hanya dapat terjadi jika perusahaan itu memiliki budaya kerja yang suportif.  Salah satu syaratnya adalah adanya etika perusahaan.  

 

MENEGAKKAN ETIKA BISNIS

Pengertian etika harus dibedakan dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama.

Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang etika:

“Etika merupakan bagian dari filsafat. Sebagai ilmu, etika mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia . . .memang apa yang tertemukan oleh etika mungkin menjadi pedoman seseorang, tetapi tujuan etika bukanlah untuk memberi pedoman, melainkan untuk tahu.”(Prof. Ir. Poedjawiyatna, Etika, Filsafat Tingkah Laku)

“Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan padangan-pandangan moral (Franz Magnis Suseno)

“Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.” (A. Sonny Keraf)

“Etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak dan disebut pula moral.” (Drs.Sudarsono)

Dengan membaca pendapat-pendapat di atas, kita mengetahui bahwa ada banyak pengertian tentang etika.  Yang penting bagi pelaku bisnis adalah bagaimana menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis. Tugas pelaku bisnis adalah berorientasi pada norma-norma moral.  Dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari dia berusaha selalu berada dalam kerangka ‘etis’, yaitu tidak merugikan siapa pun secara moral.

Tolok ukur dalam etika bisnis adalah standar moral.  Seorang pengusaha yang beretika selalu mempertimbangkan standar moral dalam mengambil keputusan: apakah keputusanku ini dinilai baik atau buruk oleh masyarakat? Apakah keputusanku berdampak  baik atau buruk kepada orang lain? Apakah keputusanku ini melanggar hukum atau tidak?

Ada dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etis dalam pengambilan keputusan yaitu :

1. Prinsip Konsequentialis: Konsep etika ini berfokus pada konsekuensi dari pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang. Ini artinya, penilaian apakah sebuah keputusan dapat dikatakan etis atau tidak, itu tergantung pada konsekuensi (dampak) dari keputusan tersebut. Misalnya, keputusan mengalirkan lumpur panas ke laut.  Penilaian etis atas keputusan ini diukur dari dampaknya terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat.

2. Prinsip Non-Konsekuentialis: Konsep etika ini mendasarkan penilaian pada rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan. Penilaian etis lebih didasarkan pada alasan, bukan pada akibatnya.  Ada dua prinsip utama di dalam konsep ini, yaitu:

a. Prinsip Hak: Menjamin hak asasi manusia. Hak ini berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain.

b. Prinsip Keadilan: Keadilan biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran,dan kesamaan. Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

(1). Keadilan distributif. Keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban sosial. (2). Keadilan retributif. Keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang harus bertanggungjawab atas dampak  negatif atas tindakan yang dilakukannya (kecuali jika tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain.) (3). Keadilan kompensatoris. Keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia.

 

10 PRINSIP PENERAPAN ETIKA BISNIS

Dalam ranah ilmu filsafat, kajian etika berusaha menjawab secara kritis terhadap pertanyaan: mengapa sebuah perbuatan ini dinilai baik atau buruk? Namun dalam dunia bisnis secara praktis, kita harus mengoperasionalkan etika bisnis sehingga dapat diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari.  Berikut ini adalah 10 Prinsip di dalam menerapkan Etika Bisnis yang positif:

1.  Etika Bisnis itu dibangun berdasarkan etika pribadi: Tidak ada perbedaan yang tegas antara etika bisnis dengan etika pribadi.  Kita dapat merumuskan etika bisnis berdasarkan moralitas dan nilai-nilai yang kita yakini sebagai kebenaran.

2.  Etika Bisnis itu berdasarkan pada fairness. Apakah kedua pihak yang melakukan negosiasi telah bertindak dengan jujur? Apakah setiap konsumen diperlakukan dengan adil? Apakah setiap karyawan diberi kesempatan yang sama? Jika ya, maka etika bisnis telah diterapkan.

3.  Etika Bisnis itu membutuhkan integritas. Integritas merujuk pada keutuhan pribadi, kepercayaan dan konsistensi. Bisnis yang etis memperlakukan orang dengan hormat, jujur dan berintegritas.  Mereka menepati janji dan melaksanakan komitmen.

4.  Etika Bisnis itu membutuhkan kejujuran. Bukan jamannya lagi bagi perusahaan untuk mengelabuhi pihak lain dan menyembunyika cacat produk.  Jaman sekarang adalah era kejujuran.  Pengusaha harus jujur mengakui keterbatasan yang dimiliki oleh produknya.

5.  Etika Bisnis itu harus dapat dipercayai. Jika perusahaan Anda terbilang baru, sedang tergoncang atau mengalami kerugian, maka secara etis Anda harus mengatakan dengan terbuka kepada klien atau stake-holder Anda.

6.  Etika Bisnis itu membutuhkan perencanaan bisnis. Sebuah perusahaan yang beretika dibangun di atas realitas sekarang, visi atas masa depan dan perannya di dalam lingkungan. Etika bisnis tidak hidup di dalam ruang hampa. Semakin jelas rencana sebuah perusahaan tentang pertumbuhan, stabilitas, keuntungan dan pelayanan, maka semakin kuat komitmen perusahaan tersebut terhadap praktik bisnis.

7.  Etika Bisnis itu diterapkan secara internal dan eksternal. Bisnis yang beretika memperlakukan setiap konsumen dan karyawannya dengan bermartabat dan adil. Etika juga diterapkan di dalam ruang rapat direksi, ruang negosiasi, di dalam menepati janji, dalam memenuhi kewajiban terhadap karyawan, buruh, pemasok, pemodal dll. Singkatnya, ruang lingkup etika bisnis itu universal.

8.  Etika Bisnis itu membutuhkan keuntungan. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang dikelola dengan baik, memiliki sistem kendali internal dan bertumbuh. Etika adalah berkenaan dengan bagaimana kita hidup pada saat ini dan mempersiapkan diri untuk masa depan. Bisnis yang tidak punya rencana untuk menghasilkan keuntungan bukanlah perusahaan yang beretika.

9.  Etika Bisnis itu berdasarkan nilai. Perusahaan yang beretika harus merumuskan standar nilai secara tertulis. Rumusan ini bersifat spesifik, tetapi berlaku secara umum. Etika menyangkut norma, nilai dan harapan yang ideal.  Meski begitu, perumusannya harus jelas dan dapat dilaksanakan dalam pekerjaan sehari-hari.

10.  Etika Bisnis itu dimulai dari pimpinan. Ada pepatah, “Pembusukan ikan dimulai dari kepalanya.” Kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap corak lembaga. Perilaku seorang pemimpin yang beretika akan menjadi teladan bagi anak buahnya.

Di dalam persaingan dunia usaha yang sangat ketat ini, etika bisnis merupakan sebuah harga yang tidak dapat ditawar lagi. Seorang konsumen yang tidak puas, rata-rata akan mengeluh kepada 16 orang di sekitarnya. Dalam zaman informasi seperti ini, baik-buruknya sebuah dunia usaha dapat tersebar dengan cepat dan massif. Memperlakukan karyawan, konsumen, pemasok, pemodal dan masyarakat umum secara etis, adil dan jujur adalah satu-satunya cara supaya kita dapat bertahan di dalam dunia bisnis sekarang.

 Berikan Tanggapan

Referensi:

  • Bartono, P.H., SE, Today Business Ethics, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2005

  • Franz Magnis Suseno, Etika, Kanisius, Yogyakarta, 1991

  • Sony Keraf, A, Pragmatisme, Kanisius, Yogyakarta, 1987

  • http://en.wikipedia.org

  • http://www.crimelibrary.com

  • http://www.nofieiman.com

  • http://www.nofieiman.com

  • http://www.philiphumbert.com

  • http://www.pikiran-rakyat.com

  • http://www.pikiran-rakyat.com

  • http://www.republika.co.id

  • http://www.transparansi.or.id


Bahaya Tersembunyi di Balik Pornografi

 

Akhir-ahir ini sedang diperdebatkan tentang perlu-tidaknya Undang-Undang Anti pornografi dan porono aksi. Wacana ini memang telah membelah opini masyarakat menjadi dua kelompok: kubu pengecam pornografi yang menghendaki pembatasan sajian gambar dan foto sensual; sementara itu kubu yang lain menolak pembatasan ini karena dianggap memasung kreativitas. Sayangnya, hingga saat ini belum ada rumusan yang dapat dipakai untuk menakar kadar pornografi  yang disajikan oleh media massa. Akibatnya kita kesulitan menentukan apakah sebuah gambar, tulisan atau pertunjukkan itu masih dapat dipahami dan dinikmati sebagai produk kesenian atau sudah mengarah kepada percabulan.

Batasan yang Kabur
Pornografi sebenarnya sebuah fenomena kuno yang telah menempuh perjalanan yang panjang.  Kaisar Romawi, Tiberius Claudius Nero (berkuasa tahun 14-37 M), diperkirakan memiliki koleksi pribadi berbagai benda-benda pornografi eksplisit, yang sebagian besar berasal dari wilayah Timur. Koleksinya ini dinamai: "kumpulan tulisan tentang perempuan sundal".  Dari sinilah orang Yunani kuno lalu menciptakan istilah pornografi.  Dalam bahasa Yunani,   pornographos berarti "tulisan tentang prostitusi" (porne = "prostitusi" + graphein= "tulisan"). Kata ini berdekatan dengan kata pernanai yang artinya "menjual". Sedangkan menurut ensiklopedi Britanica, pornografi memiliki tiga makna : (1) Pelukisan tentang perilaku erotis (dalam bentuk gambar atau tulisan) yang bertujuan untuk menciptakan kenikmatan seksual; (2) materi (seperti buku atau foto) yang menggambarkan perliaku erotis dan sengaja bertujuan untuk menciptakan kenikmatan seksual; (3)  Penggambaran perbuatan dalam bentuk sensasional sehingga bisa menimbalkan reaksi emosi secara cepat dan kuat.

Pada zaman dulu, kebanyakan gambar-gambar porno justru tersebar luas di peradaban Timur, terutama di India dan Jepang.  Di Indonesia, salah satu pengaruhnya, dapat kita lihat di candi Sukuh.  Di masa modern ini, pornografi telah lama menjadi bahan perdebatan yang kontroversial, terutama menyangkut status legalitas dari pornografi itu.  Perdebatan berpusat pada apakah pornografi bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari percabulan, atau tidak; dan apakah perlu dilakukan penyensoran terhadap pornografi, atau tidak.

Kecanduan Pornografi
Di Indonesia, kubu pengecam pornografi mengeluarkan argumentasi bahwa bahwa pornografi bisa berubah menjadi porno aksi.  Mereka menyodorkan sejumlah fakta pemerkosan dan pelecehan seksual lainnya yang terjadi sesaat setelah si pelaku kriminal itu menonton gambar atau VCD porno.  Harus diakui bahwa, bagaimanapun juga pornografi memiliki dampak buruk bagi kaum penikmatnya.

Salah satunya berupa potensi yang dimilikinya dalam menciptakan kecanduan. Menurut Dr. Robert Weiss dari Sexual Recovery Institute di Los Angeles, pornografi memiliki reputasi efek mirip kokain, yaitu menimbulkan kecanduan seksual. "Cara kerjanya sangat cepat dan kuat," kata Weiss. Sama seperti penggunaan narkotika, pengalaman kenikmatan seksual yang didapat dengan melihat gambar-gambar porno dapat menimbulkan pola perilaku yang berulang dan semakin intensif. Walhasil, terciptalah kecanduan pornografi. Dalam hal ini, Dr. Victor Cline, dari University of Utah,  membagi tahapan kecanduan menjadi lima bagian: (1). Terpaan Awal. Pada tahapan ini, orang itu mengenal pornografi untuk pertama kalinya. Biasanya terjadi pada usia muda. Mula-mula dia terkejut, jijik dan merasa bersalah.(2). Ketagihan. Setelah itu, dia mulai bisa menikmati pornografi dan berusaha mengulangi kenikmatan itu. Perilaku yang berulang ini tanpa disadarinya telah meresap menjadi bagian dari kehidupannya.  Dia sudah terjerat dan sulit melepaskan diri dari kebiasaan itu. (3). Peningkatan. Dia mulai mencari lebih banyak lagi gambar-gambar porno. Dia mulai menikmati sesuatu yang pada mulanya dia merasa jijik melihatnya. (4). Mati Rasa. Dia mulai mati rasa terhadap gambar yang dia pelototi. Bahkan gambar yang paling porno sekalipun, sudah tidak lagi menarik minatnya. Dia berusaha mencari perasaan kepuasan yang didapatnya ketika pertama kali melihat gambar itu.  Akan tetapi dia tidak bisa mendapatkannya lagi karena perasannya sudah kebal. (5). Tindakan seksual. Pada titik ini, dia melakukan lompatan besar, yaitu mencari kenikmatan seksual di dunia nyata.

Dengan kata lain, perbuatan kriminal yang dipicu oleh pornografi sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari efek negatif pornografi. Di bawah permukaan, justru ada lebih banyak efek negatif yang tidak kelihatan. Dalam bukunya, The Centrefold Syndrome, psikolog Gary R. Brooks, Ph.D memaparkan ada lima "gangguan mental" yang dikaitkan dengan konsumsi pornografi jenis soft-core semacam dari majalah Playboy atau Penthouse.

Voyeurisme - Sebuah gangguan pikiran yang lebih suka memandangi tubuh wanita daripada menjalin interaksi dengannya.  Brooks menyebutkan bahwa karena ada pemujaan dan objektifikasi terhadap tubuh wanita, maka hal ini menciptakan citra wanita yang semu, membiaskan realitas dan menciptakan sebuah obsesi berupa rangsangan visual.  Hal ini mengabaikan pentingnya sebuah hubungan psikoseksual yang sehat dan dewasa.

Objektifikasi - Sebuah sikap yang menaksir kualitas wanita berdasarkan ukuran, bentuk dan keharmonisan anggota tubuhnya semata. Brooks menegaskan bahwa jika seorang pria lebih suka menghabiskan energi emosionalnya pada fantasi seksual dengan orang yang tidak mungkin diaksesnya secara nyata, maka dia juga tidak akan bisa "diakses" oleh pasangannya untuk menciptakan momentum keintiman.

Validasi-Yaitu suatu kebutuhan untuk membuktikan kesahihan kejantanan seorang pria dengan berhasil menggaet wanita cantik.  Menurut Brooks, wanita dianggap memenuhi standard apabila dia mampu mempertahankan ksempurnaan tubuhnya.  Kaum pria yang belum bisa mendapatan kenikmatan seksual dengan wanita impiannya, dia merasa belum menjadi pria sejati.

Trofisme - Yaitu suatu sikap yang menganggap wanita sebagai sebuah koleksi trofi atau piala.  Orang itu mengukur tingkatan kejantanan pria berdasarkan jumlah trofi yang berhasil dia koleksi. Brooks menambahkan mentalitas seperti ini sangat berbahaya di kalangan remaja, dan cukup merusak di kalangan orang dewasa.

Ketakutan pada Keintiman Sejati - Yaitu suatu ketidak-mampuan untuk menjalin relasi secara jujur dan intim dengan wanita.  Pornografi telah menutup mata kaum pria tentang pentingnya sensualitas dan keintiman. Karena hanya mementingkan pemuasan hawa nafsu seksual, beberapa pria mendapat hambatan dalam menjalin hubungan emosional dengan sesama kaum pria dan hubungan nonseksual dengan kaum wanita.

Industri Menggiurkan

Teman saya yang tinggal di Solo bercerita: Suatu kali dia pergi ke warnet.  Ketika melewati bilik-bilik komputer, iseng-iseng dia melirik ke salah satu bilik.  Dia melihat seorang remaja yang masih mengenakan seragam SMP. Dia terkejut, karena remaja itu sedang melakukan masturbasi sambil menatap layar monitor komputer.  Dia bisa memastikan bahwa anak ingusan ini  sedang mengakses situs porno.

Majalah Time menulis pernah menulis"... pornografi menjadi sangat berbeda di dalam jaringan komputer. Anda bisa mendapatkan privasi di rumah Anda--tanpa harus mengendap-endap ke toko buku atau bioskop. Anda hanya tinggal download file yang membuat Anda terangsang, tidak perlu mengeluarkan uang atau terlibat masalah hukum."  Gambar porno hanya sejauh satu "klik" pada mouse komputer Anda.

Benarkah situs-situs porno menawarkan gambar porno dengan gratis? Ada pepatah, "dalam dunia bisnis tidak pernah ada makan siang gratis."  Kita sering mendengar istilah "berselancar di internet," tetapi istilah ini lebih tepat jika diganti dengan kalimat "berjalan di pantai." Mengapa? Karena setiap kali berjalan di atas pasir, kita selalu meninggalkan "jejak kaki". Demikian juga di internet. Semua browser seperti Netscape, Internet Explorer, atau AOL, diperlengkapi dengan cache, yaitu sebuah file sementara yang menyimpan salinan halaman, gambar atau file.  Tujuan semula bertujuan untuk mempercepat download pada akses di kesempatan lain. Akan tetapi dalam perkembangannya, file ini dimanfaatkan untuk memata-matai penggunaan komputer itu. Dalam dunia bisnis, data-data ini sangat berharga.  Selain melalui chache dan cookie, pengelola situs biasanya mensyaratkan calon pengakses memasukkan alamat emailnya untuk mendapatkan password-nya.  Begitu alamat email diberitahukan, maka kotak email si pengakses ini akan disesaki dengan kiriman email sampah (junk email).

Ada juga yang menawarkan akses situs dengan membayar secara on line.  Mereka diminta memasukkan nomor kartu kredit dan PIN untuk mendapatkan kode akses.  Begitu nomor-nomor ini dimasukkan, maka dimulailah pembobolan kartu kredit. Sebagian besar pria yang tertipu modus operandi ini, biasanya enggan melaporkan karena merasa malu.

Dalam e-commerce, industri pornografi termasuk pionirnya.  Mereka yang pertama kali memakai teknologi belanja elektronik dan menggunakan kartu kredit untuk pembayaran on line.  Mereka juga yang menemukan cara untuk mengirimkan file grafis berukuran besar melalui bandwith yang sempit.  Mereka pula yang mempelopori penggunaan streaming video.  Mereka juga yang menemukan cara "melumpuhkan" tombol "back" di browser Anda dan yang memunculkan teknik selalu memunculkan jendela baru ketika pengakses menutup satu jendela.  Akibatnya, di layar itu selalu terpampang gambar porno.

 Hal ini tidak mengherankan karena industri pornografi ini telah menjadi bisnis yang menggiurkan.  Bandingkan marjin keuntungan yang didapat sektor perdagangan on-line yang hanya 0,2 persen, dengan keuntungan yang diraup situs porno sebesar 30 persen! Pada tahun 1999, diperkirakan situs porno meraup 1,1-1,2 milyar Dollar.  Sayangnya di Indonesia tidak ada data yang pasti.  Tetapi untuk membayangkan saja, sebuah tabloid yang menonjolkan sensualitas seksual mengaku bisa mendapat keuntungan yang setara dengan sepuluh mobil (tapi tidak jelas, mobil merek apa).

Itu artinya, dicegat dengan cara apapun, pornografi akan selalu mencari celah untuk bisa berkelit.  Selama masih banyak penikmatnya, industri pemikat syahwat ini akan tetap memikat.  Karena itu cara yang lebih efektif dengan menggalang gerakan masyarakat untuk menolak mengkonsumsi pornografi ini. Cara ini lebih elegan dan jauh dari kontroversi.

Berikan Tanggapa

 

 

 

 

Home | buku | foto | about | kontak | links | permainan | humor | renungan | kuliner | artikel | sketsa | inspiratif | buku tamu