artikel
Jurnalisme yang
Membawa Damai “Berbahagialah orang
yang membawa damai di antara manusia; Allah akan mengaku mereka
sebagai anak-anak-Nya
Dalam ilmu junalistik,
unsur konflik merupakan salah satu kriteria suatu peristiwa
layak diberitakan. Setiap hari kita disuguhi berita-berita yang
mengandung konflik seperti peperangan, pertikaian kelompok,
kerusuhan, saling hujat, penganiayaan dan sebaginya. Memang
dalam menyajikannya, para jurnalis sedapat mungkin mengikuti
kaidah jurnalistik seperti keberimbangan, obyektifitas, akurasi,
faktual, dan sebagainya. Akan tetapi ternyata peliputan konflik
dengan kaidah jurnalistik klasik ini tidak tepat. Mengapa?
Karena justru melestarikan konflik.
Teori
jurnalistik klasik mengajarkan bahwa tugas para jurnalis adalah
“melaporkan fakta apa adanya.” Fungsi pers semata-mata menjadi
cermin atas realitas dalam masyarakat. Namun dalam dunia yang
semakin peka media (a media-savy world) ini, banyak orang
yang mahir mengemas fakta untuk dijadikan bahan berita oleh
jurnalis. Kelompok-kelompok yang bertikai sudah itu menyadari
pentingnya strategi bermedia dalam memperjuangkan kepentingan
mereka.
Padahal
fakta-fakta yang disodorkan oleh suatu kelompok yang diberitakan
oleh jurnalis ini akan menyulut reaksi kelompok lain. Dengan
dalih menggunakan hak jawab, kelompok lain akan menanggapi
berita yang dianggap “merugikan” kelompoknya. Demikian
seterusnya sehingga media terjebak dalam “lingkaran reaksi” (feedback
of loop). Media menjadi sarana tarik-menarik kepentingan
pihak-pihak yang bertikai. Berdasarkan hal ini, kemudian muncul
pertanyaan etis: “Apa yang bisa dilakukan oleh pers dalam
memutus lingkaran setan ini dan mendukung terjadinya
perdamaian?” Media tidak boleh hanya menonton saja, tetapi
harus berbuat sesuatu dalam mendukung upaya perdamaian.
Kegelisahan para jurnalis ini menghantarkan mereka pada
paradigma alternatif, yaitu jurnalisme perdamaian.
Sumber Konflik
Dalam berbagai
liputan selama ini kata “konflik” sering diasosiasikan dengan
“kekerasan.” Padahal keduanya berbeda. Konflik bisa bermakna
positif dan konstruktif apabila dikelola secara efektif dan
beradab. Menurut Peter du Toit, konflik bisa terjadi karena
adanya perebutan sumber-sumber yang terbatas, stereotype,
ketiadaan dialog, ketidak-percayaan, hal yang tidak
terselesaikan di masa lalu, kekuasaan yang tidak terbagi rata
atau tiadanya penghargaan di antara kelompok masyarakat.
Konflik selalu ada. Manusia hidup selalu berkonflik. Konflik
ada di alam dan hadir dalam kehidypan manusia. Konflik selalu
mempunyai dua sisi, yaitu risiko dan peluang. Konflik dapat
menciptakan energi yang bersifat destruktif, tetapi bisa juga
kreatif. Ibarat gesekan, konflik dapat menimbulkan api yang
melalap semua yang berharga tetapi, juga bisa menghasilkan
bentuk batu yang indah.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana masyarakat menyelesaikan
konflik itu. Dalam berbagai konflik yang diliput jurnalis,
seringkali penyelesainnya mengarah ke hasil menang-kalah (win-lose
solution). Dalam penyelesaian ini, ada kelompok yang lebih
diuntungkan dibandingkan kelompok yang lain. Memang untuk
sementara upaya ini bisa menghentikan pertikaian, tapi
sebenarnya seperti menyimpan bara dalam timbunan sekam. Sebab
pihak yang dirugikan menunggu kesempatan untuk membalas lagi.
Dalam pendekatan ini, perdamaian = kemenangan + genjatan
senjata.
Inilah yang disebut Johan Galtung (1998) sebagai jurnalisme
perang. Jurnalisme perang, kata Galtung cenderung terfokus
pada kekerasan sebagai penyebabnya dan enggan menggali asal-usul
strutural sebuah konflik itu secara mendalam. Jurnalisme perang
terlampau terkonsentrasi pada efek-efek yang terlihat, seperti
korban tewas atau terluka, kerusakan material yang kelihatan,
bukan kerusakan psikologis, struktur atau budaya.
Jurnalisme perang mereduksi pihak-pihak yang berkonflik menjadi
dua dalam polarisasi “lawan-kawan.” Mereka cenderung
menjelek-jelekkan pihak “lawan” dan mengangungkan pihak “kawan.”
Bukankah pendekatan ini juga banyak kita temui dalam media
Kristen? Apalagi akhir-akhir ini, ada banyak orang Kristen dan
gereja yang mengalami penganiayaan. Dalam menulis berita
perusakan gereja, misalnya, jurnalis Kristen lebih menonjolkan
tingkat kerusakan yang kelihatan atau jumlah korban yang ada.
Pemberitaan seperti ini tidak akan pernah mencerdaskan pembaca
(orang Kristen) karena hanya memuaskan selera keingin-tahuan.
Yang terjadi justru lestarinya prasangka orang Kristen terhadap
kelomppok-kelompok yang dianggap menentang kekristenan di tanah
air ini.
Jurnalisme Perdamaian
Sebagai antitesis
dari jurnalisme perang, hadirlah Jurnalisme Perdamaian. Apa itu
jurnalisme perdamaian? Menurut Annabel McGoldrick dan
Jake Lynch (2000), Jurnalisme Perdamaian (JP) melaporkan
suatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih
berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi
tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi. Tugas
utamanya adalah memetakan konflik, mengidentifikas pihak-pihak
yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan mereka. Pendekatan
JP adalah memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai
untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai
jalan kekerasan. Prinsip ini disederhanakan dengan rumus
Perdamaian= Non-kekerasan + kreatifitas.
Dalam JP,
penyelesaian konflik yang dipakai adalah pendekatan
menang-menang (win-win soluttion) dengan memperbanyak
alternatif-alternatif penyelesaian konflik. Dalam hal ini peran
pers menurut Abdul Razak dalam Jurnal Pers Indonesia
(no.4/1997) adalah menggambarkan situasi dan merumuskan
realitas. Rumusan ini mempengaruhi persepsi, reaksi dan pilihan
solusi. Pers bukan sekadar media penyampai informasi, melainkan
juga membangun debat publik yang sehat tentang kepentingan
umum. Peran pers di sini adalah dengan merumuskan (1)masalah,
(2)penyebab, (3)alternatif penyelesaian, (4)evaluasi alternatif,
(5)pilihan alternatif tebaik, (6)sistem dan mekanisme
pelaksanaan, (7) evaluasi dan feedback.
Dengan strategi menelusuri akar konflik ini, para jurnalis
berusaha menghindari menyalahkan salah satu pihak sebagai
penyebab konflik. Yang mereka lakukan adalah dengan memaparkan
masalah yang sebenarnya, dampak yang telah ditimbulkannya, lalu
menawarkan alternatif penyelesaiannya.
Peluang Media Kristen
Memang untuk mewujudkan JP ini bukan pekerjaan yang mudah,
bahkan cenderung rumit. Bagaimana tidak, sebab di sini
berita-berita lempang (straight news) saja tidak cukup.
Untuk menjelaskan dan menelusuri urat-urat konflik memerlukan
waktu yang lebih lama dan ruang yang lebih banyak. Dalam
jurnalistik bentuk tulisan seperti ini dinamakan jurnalisme
interpretatif.
Padahal dalam tingkat persaingan antar media yang sengit
sekarang ini, setiap media harus bisa “berteriak” mengatasi
media-media lain. Caranya bermacam-macam. Bisa dengan
penyajian yang lebih cepat, sudut pemberitaan (news angle)
yang menarik, perwajahan yang ciamik dan judul-judul yang
sensansional. Bagi media Kristiani yang kebanyakan kristiani
terbit bulanan, rentang waktu yang lama ini dapat menjadi peluan
untuk menerapkan prinsip JP. Pengelola media kristiani punya
kesempatan banyak untuk menyiapkan reportase yang analistis,
holistik dan tajam.
Memang
tulisan-tulisan seperti ini kalah laris dibandingkan dengan
berita-beriuta sensansional yang terdapat dalam tabloid. Namun
situasi konflik yang melibatkan sebagian umat Kristen,
pendekatan JP masih (atau semakin) relevan dalam membawa
suara-suara kenabian. Sikap ini yang diambil wartawan Kompas,
Maria Hartiningsih:” Setiap jurnalis mempunyai ideologi,
demikian juga saya. Ideologi saya adalah memberi sumbangan pada
perdamaian dan keadilan …Yang mednorong saya untuk berbuat
sesuatu dalam tugas jurnalistik saya, yaitu ketika saya melihat
banyak orang tidak bersalah yang jadi korban. Terutama kaum
perempuan dan anak-anak itu telah memberi semangat saya untuk
memberi sumbangan pada proses rekonsiliasi di negeri ini.”
Berbahagialah jurnalis yang membawa damai.
catatan:
Tulisan ini
memenangkan juara II dalam lomba penulisan yang digelar oleh
majalah "Genta Kelana", Bandung
Berikan Tanggapan
Memahami Yesus, Ala Mr. Bean atau Mr. Bond?
[Resensi Buku]
Apakah Yesus sungguh-sungguh
miskin? Kalau melihat profesi Yesus sebelum masuk dunia
pelayanan secara full time, Dia dikenal sebagai seorang
tukang kayu. Pada masa itu, keahlian seperti ini cukup terhormat
dan mendatangkan rejeki yang lumayan. Apakah Dia bekerja tanpa
dibayar? Atau Dia selalu menghabiskan penghasilan-Nya?
Pertanyaan-pertanyaan "nakal" seperti ini rasanya tidak lazim
ditemui di antara umat Kristen. Jarang sekali ada orang Kristen
yang berani mengajukan pertanyaan pada pastor atau pendetanya
seperti ini: Apakah Yesus pernah jatuh cinta? Bagaimana masa
kecil Yesus? Apakah Dia selalu menang dalam permainan petak
umpet? Bagaimanakah perasaan Yesus saat diludahi oleh tentara
Romawi?
Sejak kecil, orang Kristen telah
mendapatkan berbagai ajaran tentang iman Kristen. Entah itu di
rumah, sekolah atau gereja. Akan tetapi ajaran-ajaran itu
bersifat baku, yang kurang memberikan ruang untuk merenungkannya
secara kritis. Ibarat anak kecil yang sedang disuapi, mereka
diperintahkan supaya langsung menelan setiap makanan yang
dijejalkan tanpa perlu mengunyah, mengecap dan mencoba kualitas
dari makanan itu.
Penulis mengibaratkan fenomena
seperti ini seperti film Mr. Bean. Dalam pembukaan film
komedi ini, kita melihat ada seberkas sinar kecil yang menyertai
kejatuhan sosok Mr. Bean, entah dari mana asalnya. Kita
tidak pernah tahu darimanakah asal Pria lucu ini. Meski begitu,
penonton tidak pernah memusingkan hal ini. Yang penting bagi
mereka adalah menikmati kekonyolannya, dagelannya, dan perbuatan
gilanya. Hampir sepeerti itulah pemahaman sebagian orang Kristen
tentang Yesus. Pada awalnya, pengetahuan itu merupakan pasokan
dari luar. Setiap hari Minggu mereka datang ke gereja untuk
dibombardir dengan pemahaman teologis yang jatuh dari awan-awan.
Orang-orang datang ke gereja untuk terus menerus diingatkan
tentang dogma dan ajaran gereja: "Kamu tidak boleh ini, tidak
boleh itu, harus begini, harus begitu. Pokoknya otoritas gereja
mengatakan begitu. Titik."
Dalam kristologi, pendekatan
seperti ini dikenal sebagai "kristologi dari atas" (descending
christology). Alhasil, umat memang taat pada asas dan dogma,
tetapi sama sekali tidak mengenal Kristus yang mereka sembah.
Pemutlakan dogma, membuat mereka takut untuk mencoba memahami
Yesus secara kreatif. Daripada repot-repot, lebih baik datang
kepada-Nya untuk minta disembuhkan dari penyakit, dibebaskan
dari stress dan melihat mukjizat-mujizat-Nya. Mereka
lebih tertarik melihat "perbuatan gila" Yesus, daripada mengenal
Yesus.
Berbeda dengan Mr. Bean,
kehebatan dan kegilaan dalam film James Bond telah
dibingkai dalam kisah dengan alur yang jelas. Dalam film ini,
kita bisa mengetahui lebih banyak tentang sosok Mr. Bond
: mengenai asal-usulnya, misinya, relasinya, kecerdasannya,
karakternya dan sebagainya. Penonton mempuniay informasi yang
memadai tentang sosok mr Bond ini. Dalam scene
tertentu penonton juga disodori fakta-fakta dan diajak untuk
berpikir dan menebak misteri dalam film tersebut.
Film james Bond ini
merupakan gambaran dari pendekatan "kristologi dari bawah" (ascending
christology, historical approach). Pendekatan ini mencoba
memahami Yesus secara historis, terlepas apakah dogma gereja
mengatakannya, atau tidak. Titik berangkatnya adalah pengalaman
perjumpaan dengan Yesus di dalam sejarah. Meski begitu,
pendekatan ini tidak hendak menyangkal keilahian Yesus.
Kristologi ini merupakan cara alternatif untuk memahami iman
kjepada Yesus Kristus.
Buku ini merupakan hasil dari
pergulatan alumni STF Driyarkara dalam menggali dan menemukan
sosok Kristus. Suatu kali, dosen Universitasa Sanata Dharma ini
begitu terusik dengan pertanyaan Yesus, kepada murid-murid-Nya:
"Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Di dalam hatinya,
seolah-olah pertanyaan itu berubah menjadi, "Bukan kata mereka,
bukan kata pastor, kata suster, kata bruder, kata ahli sejarah,
atau kata ahli kitab, tetapi katamu, siapakah Aku?" Kegelisahan
itu mendorongnya untuk semakin mengenali sosok Yesusdari dekat
dan menuangkan hasil refleksinya dalam sebuah buku. Dia ingin
membagikan pengalaman pergulatannya itu pada siapa saja yang
memiliki pertanyaan yang kurang lebih sama dalam mempersoalkan
Yesus Kristus.
Di dalam buku ini, penulis
berupaya mengupas sosok Yesus yang telah menjadi bahan
perbincangan, perdebatan dan perselisihan, tetapi juga menjadi
sumber motivasi dan kekuatan begitu banyak orang. .Pada bagian
pertama, penulis memaparkan berbagai problematika di seputar
sosok Yesus. Bagian kedua, penulis mengenalkan dua pendekatan
kristologi (dari atas dan dari bawah), lalu menawarkan fungsi
simbol yang bisa menjembatani perbedaan kedua pendekatan itu.
Menurutnya, tanpa memahami simbol, maka umat akan kesulitan
memahami relevansi rumusan dogma dalam realitas kehidupan.
Bagian ketiga, terdapat paparan
kronologis bagaimana kegilaan Yesus itu dipahami dan dirumuskan
oleh para murid dan gereja purba, kemudian dilestarikan dalam
bentuk tradisi gereja. Dalam perkembangannya, tradisi gereja ini
memuncukanl suatu perdebatan tentang status Yesus Kristus:
Apakah Dia itu manusia atau Tuhan? Pembahasan tentang status
Yesus ini dikupas pada bagian keempat buku ini. Pada bagian
kelima, penulis menjelaskan langkah-langkah untuk menerapkan
kedua pendekatan tadi untuk memahami kristologi pada zaman
sekarang. Bagian terakhir menunjukkan dimensi praksis dalam
berkristologi.
Supaya bisa mengenal sosok Yesus,
Setyawan mengajukan empat syarat yang perlu dimiliki orang
Kristen: Syarat pertama, kita harus memiliki iman. Yang dimaksud
iman di sini bukanlah sekadar mengamini dogma-dogma gereja
begitu saja, melainkan suatu kehidupan rohani yang memiliki
relasi personal dengan Yesus Kristus. Jika Anda ingin mengenal
seseorang, tentu saja Anda terlebih dahulu harus menjalin
hubungan dengan orang itu. Semakin dekat dan intens hubungan
Anda dengan orang itu, maka semakin banyak Anda mengenal orang
tersebut. Demikian pula, dalam mengenal Yesus. Mustahil bisa
mengenal Yesus lebih dalam jika tidak disertai relasi yang akrab
dengan-Nya.
Syarat kedua adalah meninggalkan
cara berpikir dikotomis. Seringkali kita membuat dikotomi antara
Allah dengan manusia, antara Pencipta dengan ciptaan, antara
Hamba dengan tuan. Akibat dari pola pikir ini, kita cenderung
menempatkan Allah di pojok ruangan atau di tempat yang jauh.
Kita menganggap Allah hanya bersemayam di gereja atau ruang doa.
Seolah-olah, Dia absen dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
mengganti cara pikir dikotomis ini, penulis menawarkan
pendekatan pemikiran postmodern yang tidak lagi
memisahkan antara subjek dan objek. Pembaca diajak supaya tidak
membuat pemisahan secara ekstrim antara Allah dengan manusia.
Allah bisa hadir dunia dalam berbagai rupa. Dia juga
berkomunikasi dengan berbagai cara. Bisa saja Allah meminjam
mulut orang lain untuk berbicara dengan kita. Mengutip Piet
Schoonenberg, Allah berelasi dengan dunia ini dengan cara
bekerja di dalam benda/makhluk ciptaan.
Syarat ketiga untuk mengenal
Yesus, kita mesti mempunyai sikap pluralistis dan terbuka pada
segala kemungkinan cara untuk mengenal Kristus. Karena perbedaan
latar belakang dan keunikan manusia, maka dalam menangkap makna
dan memahami sosok Yesus pun bisa menjadi berbeda-beda untuk
setiap orang. Perbedaan ini perlu diakui dan disyukuri karena
mungkin saja ada kebenaran di dalam cara pandang orang lain.
Sikap ini dilandasi oleh keyakinan bahwa tidak seorang pun di
dunia ini yang pernah mengetahui kebenaran Allah secara
sempurna. Itu sebabnya kita perlu berpikiran terbuka dan
menghargai adanya perbedaan pemahaman tentang sosok Yesus.
Keempat untuk menghindari
dikotomi dan relativisme, kita perlu menggunakan cara berpikir
relasional. Di dalam berpikir relasional ini, kita
mempunyai kemampuan dalam menafsirkan inti dari iman kita dan
menerapkannya dalam konteks yang plural. Dalam hal ini kita
memerlukan iman yang kuat sehingga memiliki titik pijak yang
kokoh di dalam menghadapi pluralitas. Jika tidak, maka kita
hanya akan diombang-ambingkan oleh prinsip relativisme.
Mahasiswa program magister dan
licensiat teologi ini merangkum keempat syarat tersebut
menjadi satu ungkapan, yaitu sebuah kesadaran terhadap imbol.
Orang yang memiliki kesadaran ini biasanya mempunyai kemampuan
melihat sesuatu di balik realitas yang kelihatan. Dia mampu
membaca makna yang tersirat (read between the lines).
Orang Kristen perlu memiliki kesadaran terhadap simbol ini
karena dalam ritus-ritus kekristenan seindiri sarat dengan
simbol. Tanpa memiliki pemahaman ini, maka kesertaan mereka
dalam setiap ritual pembaptisan, perjamuan kudus, misa,
kebaktian dan ibadah lainnya menjadi sekadar sebuah kebiasaan (just
business as usual).
Membaca buku inii, kita diajak
untuk menemukan relevansi beriman kepada Yesus Kristus dalam
kehidupan sehari-hari.. Menurut Setyawan, memiliki pengetahuan
tentang Kristus tidak ada gunanya jika kita tidak memiliki
pengalaman bersama Kristus: "Kita akan memiliki pengalaman
Kristus ketika kita dengan sepenuh hati memperjuangkan keadilan
bagi sesama dan saat kita mengalami teror, kita rela menerima
teror itu sebagai bagian dari salib. Kita akan memiliki
pengalaman kristologis ketika mengalami kekecewaan hidup,
situasi ambang batas, keraguan, ketakutan dan pada saat kita
sungguh menyuarakan pembelaan kepada pihak-pihak yang terkena
penindasan." (h.230).
Pengalaman itupun belum
sepenuhnya disebut pengalaman kristologis, kalau kita belum
mengalami kebangkitan. Ada banyak lembaga sosial yang
memperjuangkan kaum tertindas. Tidak sedikit di antara mereka
menjadi frustasi ketika usaha merelka dipersulitm ditekan,
diftnah bahkan mengalami kekerasan. Hanya mereka yang mengalami
kebangkitan dari frustasi dan tekanan ini yang bisa memiliki
pengalaman kristologis. "Syaratnya tidak banyak, kita hanya
perlu mengakui bahwa seluruh perjuangan kita ini ada di tataran
fisik. Segala yang fisik akan dengan mudah menimbulkan konflik
dan akhirnya berujung pada kehancuran." (231)
Buku ini bisa menjadi pintu bagi
kaum awam untuk memasuki ruang studi tentang kristologi. Dengan
cerdas, penulis berhasil mendaratkan konsep-konsep yang abstrak
menggunakan analogi dan metafora sehingga lebih mudah dipahami.
Dengan bahasa yang akrab dan memakai idiom-idiom yang ngepop,
kita dipandu mengenal konsep-konsep teologi seperti
soteriologi (keselamatan), eskatologi (akhir zaman),
kenostisisme, dll. Sayangnya, di dalam hal Trinitas atau
Tritunggal Allah, penulis tidak menjelaskannya dengan tuntas.
Padahal di sinilah sering menjadi ganjalan dalam relasi umat
kristiani dengan umat agama lain. Setyawan mengaku mengalami
kesulitan mencari analogi yang pas untuk menjelaskan hal ini.
Penulis menduga Trinitas ini merupakan misteri yang memang
sengaja diciptakan Allah untuk memberi ruang terbuka bagi
pertanyaan-pertanyaan yang tiada habisnya.
Akhirnya dengan memiliki
pengetahuan yang memadai tentang Yesus, penulis berharap umat
Kristen akan semakin kagum terhadap sosok Yesus dari Nazaret.
Itulah sebabnya dia sengaja memberi judul "Orang Gila dari
Nazaret." Yang dimaksud "gila" di sini adalah ucapan yang
keluar dari orang yang berdecak kagum. Setelah mempelajari dan
semakin mengenal sepak terjang Yesus, maka niscaya dari mulut
orang itu keluar kata-kata: édan tènan atau gilé
bènèr.
Peran Konsultan dalam Rekonstruksi Paska Gempa
Pemerintah telah menyatakan bahwa
masa tanggap darurat untuk gempa 27 Mei sudah selesai. Untuk
tahapan rekonstruksi, pemerintah pusat telah menganggarkan dana
sebesar Rp.1,2 triliun untuk DIY dan Jateng. Untuk wilayah DIY
disediakan dana Rp. 749 miliar.
Akan tetapi, pengalokasian dana
ini mendapat sorotan tajam dari beberapa pihak. Yang paling
perhatian utama adalah alokasi sebesar Rp. 37 miliar untuk jasa
Konsultan. Yang dimaksud Konsultan di sini adalah tenaga
pendamping teknis dan pengorganisasian masyarakat. Benarkah
dibutuhkan dana sebesar itu? Atau pertanyaan yang lebih
mendasar, jenis jasa konsultan apa yang dibutuhkan dalam masa
rekonstruksi ini? Dalam tulisan ini saya ingin berbagi
pengalaman saya sebagai relawan tim Gerakan Kemanusiaan
Indonesia (tim GKI) di Klaten.
Rumah Tumbuh
Dengan usainya masa tanggap
darurat, tim GKI menyusun rencana untuk membuat rumah darurat (temporary
house) untuk para korban bencana alam. Rumah ini dirancang
sebagai tempat berteduh, sementara warga membangun kembali rumah
mereka. Namun kenyataannya para korban sudah berinisiatif
membangun barak-barak sementara secara swadaya. Mereka
memanfaatkan sisa-sisa bangunan, sehingga bentuknya bervariasi.
Ada yang memakai atap dari terpal, genteng,atau seng. Untuk
dindingnya, ada yang menggunakan terpal, kepang,
gedhek, gebyok (panel kayu) dll.
Untuk musim kemarau, bangunan ini
memang mampu melindungi penghuninya dari sengatan sinar matahari
di siang hari dan hembusan hawa dingin di malam hari. Namun
pada musim hujan, kekuatan bangunan ini masih diragukan. Pondok
yang memakai atap dari terpal akan jebol karena tidak mampu
menahan berat air hujan.
Itu sebabnya, tim GKI memutuskan
untuk mengalihkan dana pembangunan rumah darurat ini untuk mulai
membangun rumah secara permanen. Targetnya adalah membangun
rumah berukuran 6 x 7 meter, yang terdiri darri dua kamar tidur,
satu ruang tamu, satu dapur dan kamar mandi/WC. Dana yang
tersedia sangat terbatas. Hanya bisa untuk membuat bangunan
berukuran 3 x 4 meter. Namun pembangunan rumah ini harus segera
dikerjakan untuk berpacu dengan kedatangan musim hujan.
Diharapkan pada musim penghujan, penduduk sudah memiliki tempat
berteduh yang kokoh dan rapat.
Untuk itu dibuatlah kondep rumah
tumbuh. Artinya pembangunan rumah dikerjakan secara bertahap,
sesuai dengan dana yang tersedia. Ketika ditawarkan kepada para
korban bencana, konsep ini ditanggapi oleh penduduk dengan
antusias. Ada lebih dari 250 kepala keluarga yang berminat
mengikuti proyek ini.
Proyek ini memakai prinsip gotong
royong dan kemitraan. Penduduk tidak hanya berposisi sebagai
penerima bantuan saja, tetapi menjadi pelaku dari pembangunan
itu. Untuk itu, mereka diminta untuk membentuk kelompok, dengan
anggota antara 5-7 kepala keluarga. Mereka akan bekerja
bergotong royong di dalam kelompok ini, setelah sebelumnya
menentukan urutan pembangunan rumah.
Di dalam prinsip kemitraan,
penduduk diminta untuk menyediakan bata (dari sisa bangunan),
kusen (pintu dan jendela), kayu, genting, dan tenaga kerja.
Kepada setiap rumah, tim GKI menyediakan pasir satu rit, semen
15 zak, besi dan alat pertukangan.
Peran Konsultan
Karena pekerja dalam proyek ini
bukan tukang batu profesional, maka tentu saja dibutuhkan
pengawasan dan pengarahan secara teknis. Dengan demikian,
bangunan yang dikerjakan ini dapat memenuhi standard kelayakan
secara teknis. Untuk itu, tim GKI menyediakan penyelia (supervisor)
teknis. Sebelum pembangunan dimulai, penyelia teknis ini
membuat rancangan rumah yang sederhana, tapi cukup kokoh.
Untuk memperkuat struktur bangunan supaya tahan dari goncangan
gempa, maka digunakan konstruksi beton bertulang. Teknologi
sederhana ini ternyata cukup memadai. Hal ini terbukti pada
rumah-rumah di wilayah bencana yang memakai beton bertulang ini
ternyata masih dapat berdiri kokoh.
Gambar rancangan ini diperbanyak,
dibagikan dan dijelaskan kepada setiap kelompok. Mereka
diharapkan membangun sesuai dengan rancangan tersebut. Untuk
memastikan pelaksanaannya, maka setiap hari sang penyelia ini
turun ke lapangan. Dia harus memeriksa dan mengawasi teknis pada
setiap bangunan. Sebagai contoh, penyelia harus memberikan
pengarahan dalam pemasangan besi kolom, slup, ring,
serta teknis pengecorannya.
Apabila peran konsultan hanya
terbatas dalam memberikan supervisi teknis saja, menurut saya
biayanya tidaklah terlalu besar. Satu penyelia dapat menangani
50-100 unit rumah. Jika jumlah yang akan dibangun sebanyak
42.000 rumah, maka hanya dibutuhkan 420 penyelia. Jika setiap
penyelia mendapat honor Rp. 2,5 juta/bulan, maka hanya
dibutuhkan dana sebanyak 1,05 milyar/bulan. Terpaut sangat jauh
dengan angka Rp. 3,7 milyar!
Lalu bagaimana peran konsultan
sebagai pengorganisasi? Gempa boleh saja menghancurkan bangunan
fisik, tapi tidak mampu menghapus tatanan sosial dan kebudayaan
mereka yang dirajut selama ratusan tahun. Memang selama
beberapa saat, sempat muncul perilaku anomali, seperti
penjarahan atau penimbunan bantuan. Namun hal ini dapat
dimengerti, mengingat setiap manusia memiliki naluri alamiah
untuk bertahan hidup. Dalam perjalanan waktu, tatanan dan
struktur sosial ini mulai pulih kembali. Masyarakat sudah mulai
bisa mengatur dirinya sendiri.
Beberapa hari setelah gempa,
Sultan HB X pernah menyatakan keinginan supaya pengerjaan
rekonstruksi paska gempa dikerjakan sendiri oleh rakyat. Sultan
mungkin telah belajar dari pengalaman di Aceh, paska Tsunami.
Proyek rekonstruksi yang dikerjakan oleh kontraktor-kontraktor
profesional justru sangat mengecewakan. Para korban enggan
menempati rumah-rumah bantuan itu tidak layak huni, karena
diduga ada penyimpangan pelaksanaan di lapangan.
Sultan memiliki keyakinan kuat
bahwa dengan budaya gotong royong, masyarakat mampu membangun
sendiri rumah-rumah mereka. Dengan keyakinan ini, maka alangkah
baiknya jika pemerintah propinsi melibatkan penduduk sebagai
pelaku utama dalam pekerjaan rekonstruksi ini. Jasa konsultan
yang dibutuhkan adalah sebagai penyelia teknis saja. Sedangkan
untuk pengorganisasiannya, masyarakat sudah cukup mampu
mengorganisasi diri. Berilah kesempatan kepada pemimpin-pemimpin
lokal untuk mengelola proyek ini.
Berikan Tanggapan
PERAN ETIKA BISNIS
DALAM MEMBANGUN
KEBERLANJUTAN USAHA
ETIKA BISNIS
mulai
ramai dibicarakan seputar tahun 80-an ketika dunia bisnis
internasional terjadi penyimpangan yang melibatkan para pelaku
bisnis di perusahaan kelas dunia. Salah satu kasus yang
menghebohkan adalah skandal Lockheed. Begini ceritanya:
Pada pertengahan tahun 1960-an, Japan Airlines (JAL) dan All
Nippon Airways (ANA) mengalami booming jumlah
penumpang. Kedua perusahaan ini lalu membuat rencana membeli
pesawat berbadan lebar. ANA merasa akan kalah bersaing dengan
JAL—yang dimiliki oleh pemerintah—dalam pengadaan pesawat ini.
Itu sebabnya mereka lalu menyuap Menteri Perhubunga,n
Tomisaburo Hashimoto dan wakilnya Takayuki Sato. Usahanya
berhasil. Pak menteri menunda permohonan ijin yang diajukan
JAL untuk pengadaan pesawat. Hal ini memberikan waktu kepada
ANA untuk membuka tender bagi pabrik-pabrik pesawat.
Ada tiga
perusahaan besar yang ikut tender ini. McDonald Douglas,
lewat perusahaan Mitsui, menawarkan DC-10; Boeing, lewat
perusahaan Nissho Iwai, menjual seri 747; dan Lockheed, lewat
perusahaan Marubeni, mengajukan TriStar.
Di dalam
persaingan ini, Lockheed menjadi kuda hitam. Melihat peluang
yang sangat tipis, Marubeni mengusulkan upaya rahasia.
Lockheed setuju. Mereka lalu minta saran Yoshio Kodama (agen
rahasia Lockheed yang membantu penjualan peralatan militer ke
Jepang) . Kodama mengusulkan agar Lockheed-Marubeni menjalin
kontak dengan Kenji Osano (staf Perdana Menteri Jepang, Kakuei
Tanaka). Dengan imbalan $200,000(thn 1976), sebagai konsultan,
Osano memberi kesempatan kepada Marubeni untuk bertemu
langsung dengan Presdir ANA, Tokuji Wakasa.
Untuk jasa ini,
Marubeni bermaksud memberikan uang ucapan terimakasih sebesar
500 juta yen atau sekitar $7.53 juta (tahun 1977) kepada
Tanaka. Hiyama, presdir Marubeni, mengutus Toshiharu Okubo
(Direktur Manajer) menemui A.C. Kotchian, presdir Lockheed
untuk membicarakan “hadiah” ini. Kotchian setuju dengan
rencana ini.
23 Agustus 1972,
Hiyama menemui Tanaka dan menawarkan 500 juta yen sebagai jasa
jika Tanaka bersedia mendorong ANA untuk membeli TriStars.
Tanaka setuju. Dia lalu berbicara dengan Wakasa, presdir ANA.
Sementara, Osano (asisten Tanaka) berusaha meyakinkan wakil
presdir ANA, Watanabe. Dua bulan kemudian, ANA mengumumkan
bahwa Lockheed memenangkan kontrak pengadaan pesawat ini.
Konspirasi
tingkat tinggi ini dijalin dengan begitu rapi. Namun
serapat-rapatnya orang membungkus bangkai, akhirnya tercium
juga. Senat Amerika mencium bau tidak sedap ini. Mereka
melakukan investigasi yang menghasilkan pengakuan Kotchian
mengenai praktik bisnis yang kotor ini. Skandal ini lalu
diekspos besar-besaran oleh media massa, sehinga memaksa
Kakuei Tanaka
mengundurkan diri. Sedangkan di Amerika, presiden komisaris
Lockheed, Daniel Haughton mengundurkan diri. Orang-orang yang
terlibat dalam skandal ini diseret ke muka pengadilan.
Namun rupanya praktik kotor ini
tidak hanya sekali dilakukan oleh Lockheed. Di negeri Belanda,
mereka menyuap pangeran Bernhard, supaya AU mereka memilih
F-104G Starfighters, keluaran Lockheed, daripada pesawat
Mirage V. Skandal inilah yang mendorong Amerika untuk membuat
Undang-undang Anti-korupsi di Luar-negeri. Isinya melarang
warga dan lembaga Amerika untuk memberikan suap kepada
pemerintah negara asing.
Kejadian yang memalukan seperti ini mendorong para pakar
psikologi, sosiologi, filsafat dan menajemen bisnis untuk
mengkaji dan memperbaiki citra dunia bisnis. Bisnis bukan
semata-mata berorientasi mengumpulkan materi dan keuntungan
finansial, melainkan juga harus memerhatikan etika dan
moralitas.
Pada kenyataannya, pelanggaran etika bisnis masih sering
dijumpai di Indonesia.
Praktik
bisnis yang terjadi selama ini dinilai masih cenderung
mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai
praktik-praktik tidak terpuji atau moral hazard. Pelanggaran
etika yang sering dilakukan oleh pihak swasta, menurut ketua
KPK, Taufiequrachman Ruki, adalah penyuapan dan
pemerasan. Berdasarkan data Bank Dunia, setiap tahun di
seluruh dunia sebanyak US$ 1 triliun (sekitar Rp 9.000
triliun) habis diperuntukkan sebagai uang pelicin alias suap.
Dana itu diyakini telah meningkatkan biaya operasional
perusahaan. (Koran Tempo – 05/08/2006)
Di bidang
keuangan, banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan
pelanggaran etika. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Erni Rusyani, terungkap bahwa hampir 61.9% dari 21
perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di BEJ tidak
lengkap dalam menyampaikan laporan keuangannya (not
avaliable).
Pelanggaran etika
perusahaan terhadap pelanggannya di Indonesia merupakan
fenomena yang sudah sering terjadi. Contohnya adalah kasus
Ajinomoto. Kehalalan Ajinomoto dipersoalkan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada akhir Desember 2000 setelah ditemukan
bahwa pengembangan bakteri untuk proses fermentasi tetes tebu
(molase), mengandung bactosoytone (nutrisi untuk
pertumbuhan bakteri), yang merupakan hasil hidrolisa enzim
kedelai terhadap biokatalisator porcine yang berasal
dari pankreas babi.
Kasus lainnya,
adalah produk minuman berenergi yang sebagian produknya diduga
mengandung nikotin lebih dari batas yang diizinkan oleh Badan
Pengawas Obat dan Minuman. Kita juga masih ingat, obat
anti-nyamuk Hit yang dilarang beredar karena mengandung bahan
berbahaya.
Kalau mau
didaftari satu demi satu, masih banyak lagi pelanggaran
hak-hak konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha. Selain itu,
masih ada juga pelanggaran etika di bidang ketenaga-kerjaan
dan lingkungan.
ARTI PENTING ETIKA BISNIS
Perilaku Etis
penting diperlukan untuk sukses jangka panjang dalam sebuah
bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua
perspektif baik lingkup makro ataupun mikro.
1.
Perspektif Makro
Pertumbuhan suatu
negara tergantung pada efektivitas dan efisiensi sistem pasar
dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang
diperlukan supaya sistem dapat bekerja secara efektif dan
efisien adalah:
a. Adanya hak memiliki dan mengelola properti
swasta
b. Adanya kebebasan memilih dalam perdagangan
barang dan jasa
c. Adanya ketersediaan informasi yang akurat
berkaitan dengan barang dan jasa
Jika salah satu
subsistem dalam sistem pasar ini melakukan perilaku yang tidak
etis, maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan
mengambat pertumbuhan sistem secara makro. Contoh-contoh
perilaku tidak etis pada perspektif makro adalah:
a. Penyogokan atau suap: Yaitu
memberikan sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi
tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik.
Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan membeli
pengaruh. ‘Pembelian’ itu dapat dilakukan baik dengan
membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun ‘pembayaran
kembali’ setelah deal terlaksana.
b. Tindakan pemaksaan: Merupakan
tekanan, pembatasan, dorongan dengan paksa menggunakan jabatan
atau ancaman untuk memaksakan kehendak. Tindakan pemaksaan ini
misalnya berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan,
pemecatan, atau penolakan terhadap seseorang.
c. Informasi palsu (Deceptive
information): Yaitu memberikan informasi yang tidak jujur
untuk mengelabuhi atau menutupi sesuatu yang tidak benar.
d. Pencurian dan
penggelapan: Tidak hanya di bidang politik dan militer, di
dalam bidang bisnis pun sudah ada kegiatan spionase. Fei Ye,
(37 th), and Ming Zhong, (36 th) ditangkap polisi Amerika
dengan tuduhan telah mencuri rancangan microchip dan rahasia
perusahaan dari perusahaan komputer Sun Microsystems Inc.,
NEC Electronics Corp., Transmeta Corp. dan Trident
Microsystems Inc. Mereka ditangkap di airport San
Fransisco saat akan terbang ke negeri Cina.
e. Perlakukan diskriminatif, yaitu
perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang
tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin,
kewarganegaraan, atau agama.
2.
Perspektif Mikro
Dalam lingkup
mikro perilaku etis identik dengan kepercayaan atau trust.
Dalam lingkup mikro terdapat rantai relasi dimana pemasok (supplier),
perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan dalam
kegiatan bisnis yang saling mempengaruhi. Tiap mata rantai di
dalam relasi harus selalu menjaga etika sehingga kepercayaan
yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.
Bagaimana
perilaku etis dapat berperan dalam menciptakan keberlangsungan
usaha? Sebagian besar perusahaan berusaha menciptakan adanya
repetitive purchase (pembelian berulang) yang dilakukan
konsumen. Hal ini hanya dapat terjadi jika konsumen merasakan
kepuasan dalam mengkonsumsi produk tersebut. Perilaku tidak
etis yang dilakukan oleh perusahaan dapat mencederai kepuasaan
ini.
Dalam kaitannya
dengan dalam relasi bisnis, setiap perusahaan ingin bekerja
sama dengan perusahaan yang dapat dipercaya. Kepercayaan ini
ada di dalam reputasi perusahaan yang tidak diciptakan dalam
sekejap. Perilaku etis merupakan salah satu komponen utama
dalam membangun reputasi perusahaan.
Dalam hubungan
dengan pihak perbankan, banyak perbankan yang memasukkan
komponen etika bisnis dalam mempertimbangkan pengesahan
permohonan kredit. Pihak perbankan lebih yakin dalam
mengabulkan pinjaman terhadap perusahaan yang telah
melaksanakan prinsip-prinsip Corporate Social
Responsibility.
Dalam skala
global, telah merebak kesadaran baru bahwa selain memiliki
hak-hak sebagai konsumen, mereka juga memiliki kewajiban.
Mereka menyadari bahwa perilaku konsumsi mereka dapat
berpengaruh terhadap ketidak-adilan dan kerusakan lingkungan.
Itu sebabnya, lapisan masyarakat yang terdidik mulai selektif
di dalam mengkonsumsi suatu barang/jasa. Mereka tidak akan
membeli barang yang diproduksi oleh perusahaan yang membalak
hutan. Mereka menolak produk dari pabrik yang tidak memberi
upah yang layak kepada buruhnya.
Sedangkan secara
internal, penerapan etika juga dapat meningkatkan kinerja dan
loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Menurut penelitian
Erni Rusyani (dosen Fak. Ekonomi Unpas Bandung) perusahaan
yang tidak perduli pada etikq bisnis, maka kelangsungan hidup
perusahaan itu akan terganggu dan akan berdampak pula pada
kinerja keuangannya. Hal ini terjadi akibat pihak manajemen
dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga
terjadi penyimpangan norma-norma etis. Segala kompetensi,
keterampilan, keahlian, potensi, dan modal lainnya ditujukan
sepenuhnya untuk memenangkan kompetisi yang tidak sehat ini.
Di dalam tingkat
kompetisi yang sangat tinggi, perusahaan yang dapat bertahan
adalah perusahaan yang inovatif, proaktif, dan berani dalam
mengambil risiko. Hal ini hanya dapat terjadi jika perusahaan
itu memiliki budaya kerja yang suportif. Salah satu syaratnya
adalah adanya etika perusahaan.
MENEGAKKAN
ETIKA BISNIS
Pengertian etika
harus dibedakan dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa
Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang
baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari
bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup
yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama.
Berikut ini
beberapa pendapat para ahli tentang etika:
“Etika merupakan
bagian dari filsafat. Sebagai ilmu, etika mencari keterangan
(benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi
etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia
. . .memang apa yang tertemukan oleh etika mungkin menjadi
pedoman seseorang, tetapi tujuan etika bukanlah untuk memberi
pedoman, melainkan untuk tahu.”(Prof. Ir. Poedjawiyatna,
Etika, Filsafat Tingkah Laku)
“Etika bukan
suatu sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan merupakan
filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan padangan-pandangan moral (Franz Magnis
Suseno)
“Etika adalah
sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma
moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola
perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai
kelompok.” (A. Sonny Keraf)
“Etika adalah
ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia
sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut
pula akhlak dan disebut pula moral.” (Drs.Sudarsono)
Dengan membaca
pendapat-pendapat di atas, kita mengetahui bahwa ada banyak
pengertian tentang etika. Yang penting bagi pelaku bisnis
adalah bagaimana menempatkan etika pada kedudukan yang pantas
dalam kegiatan bisnis. Tugas pelaku bisnis adalah berorientasi
pada norma-norma moral. Dalam melaksanakan pekerjaannya
sehari-hari dia berusaha selalu berada dalam kerangka ‘etis’,
yaitu tidak merugikan siapa pun secara moral.
Tolok ukur dalam
etika bisnis adalah standar moral. Seorang pengusaha yang
beretika selalu mempertimbangkan standar moral dalam mengambil
keputusan: apakah keputusanku ini dinilai baik atau buruk oleh
masyarakat? Apakah keputusanku berdampak baik atau buruk
kepada orang lain? Apakah keputusanku ini melanggar hukum atau
tidak?
Ada dua prinsip
yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etis dalam
pengambilan keputusan yaitu :
1. Prinsip
Konsequentialis:
Konsep etika ini berfokus pada konsekuensi dari
pengambilan keputusan yang dilakukan seseorang. Ini artinya,
penilaian apakah sebuah keputusan dapat dikatakan etis atau
tidak, itu tergantung pada konsekuensi (dampak) dari keputusan
tersebut. Misalnya, keputusan mengalirkan lumpur panas ke
laut. Penilaian etis atas keputusan ini diukur dari dampaknya
terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat.
2. Prinsip
Non-Konsekuentialis:
Konsep etika ini mendasarkan penilaian pada
rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan
pengambilan keputusan. Penilaian etis lebih didasarkan pada
alasan, bukan pada akibatnya. Ada dua prinsip utama di dalam
konsep ini, yaitu:
a. Prinsip Hak: Menjamin hak asasi manusia. Hak
ini berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar
hak orang lain.
b. Prinsip Keadilan: Keadilan biasanya terkait
dengan isu hak, kejujuran,dan kesamaan. Prinsip keadilan dapat
dibagi menjadi tiga jenis yaitu :
(1). Keadilan
distributif. Keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi
benefit dan beban antar anggota kelompok. Benefit
terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan,
pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja,
pajak dan kewajiban sosial. (2). Keadilan retributif.
Keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi)
dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang harus
bertanggungjawab atas dampak negatif atas tindakan yang
dilakukannya (kecuali jika tindakan tersebut dilakukan atas
paksaan pihak lain.) (3). Keadilan kompensatoris.
Keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang
dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan
medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi
apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya
kehilangan nyawa manusia.
10 PRINSIP
PENERAPAN ETIKA BISNIS
Dalam ranah ilmu filsafat, kajian etika
berusaha menjawab secara kritis terhadap pertanyaan: mengapa
sebuah perbuatan ini dinilai baik atau buruk? Namun dalam
dunia bisnis secara praktis, kita harus mengoperasionalkan
etika bisnis sehingga dapat diterapkan dalam pekerjaan
sehari-hari. Berikut ini adalah 10 Prinsip di dalam
menerapkan Etika Bisnis yang positif:
1.
Etika Bisnis itu dibangun
berdasarkan etika pribadi: Tidak ada
perbedaan yang tegas antara etika bisnis dengan etika
pribadi. Kita dapat merumuskan etika bisnis berdasarkan
moralitas dan nilai-nilai yang kita yakini sebagai kebenaran.
2.
Etika Bisnis itu berdasarkan
pada
fairness. Apakah kedua pihak
yang melakukan negosiasi telah bertindak dengan jujur? Apakah
setiap konsumen diperlakukan dengan adil? Apakah setiap
karyawan diberi kesempatan yang sama? Jika ya, maka etika
bisnis telah diterapkan.
3.
Etika Bisnis itu membutuhkan
integritas. Integritas merujuk pada
keutuhan pribadi, kepercayaan dan konsistensi. Bisnis yang
etis memperlakukan orang dengan hormat, jujur dan
berintegritas. Mereka menepati janji dan melaksanakan
komitmen.
4.
Etika Bisnis itu membutuhkan
kejujuran. Bukan jamannya lagi bagi
perusahaan untuk mengelabuhi pihak lain dan menyembunyika
cacat produk. Jaman sekarang adalah era kejujuran. Pengusaha
harus jujur mengakui keterbatasan yang dimiliki oleh
produknya.
5.
Etika Bisnis itu harus dapat
dipercayai. Jika perusahaan Anda
terbilang baru, sedang tergoncang atau mengalami kerugian,
maka secara etis Anda harus mengatakan dengan terbuka kepada
klien atau stake-holder Anda.
6.
Etika Bisnis itu membutuhkan
perencanaan bisnis. Sebuah
perusahaan yang beretika dibangun di atas realitas sekarang,
visi atas masa depan dan perannya di dalam lingkungan. Etika
bisnis tidak hidup di dalam ruang hampa. Semakin jelas rencana
sebuah perusahaan tentang pertumbuhan, stabilitas, keuntungan
dan pelayanan, maka semakin kuat komitmen perusahaan tersebut
terhadap praktik bisnis.
7.
Etika Bisnis itu diterapkan
secara internal dan eksternal.
Bisnis yang beretika memperlakukan setiap konsumen dan
karyawannya dengan bermartabat dan adil. Etika juga diterapkan
di dalam ruang rapat direksi, ruang negosiasi, di dalam
menepati janji, dalam memenuhi kewajiban terhadap karyawan,
buruh, pemasok, pemodal dll. Singkatnya, ruang lingkup etika
bisnis itu universal.
8.
Etika Bisnis itu membutuhkan
keuntungan. Bisnis yang beretika
adalah bisnis yang dikelola dengan baik, memiliki sistem
kendali internal dan bertumbuh. Etika adalah berkenaan dengan
bagaimana kita hidup pada saat ini dan mempersiapkan diri
untuk masa depan. Bisnis yang tidak punya rencana untuk
menghasilkan keuntungan bukanlah perusahaan yang beretika.
9.
Etika Bisnis itu berdasarkan
nilai. Perusahaan yang beretika
harus merumuskan standar nilai secara tertulis. Rumusan ini
bersifat spesifik, tetapi berlaku secara umum. Etika
menyangkut norma, nilai dan harapan yang ideal. Meski begitu,
perumusannya harus jelas dan dapat dilaksanakan dalam
pekerjaan sehari-hari.
10.
Etika Bisnis itu dimulai dari
pimpinan. Ada pepatah, “Pembusukan ikan dimulai dari
kepalanya.” Kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap corak
lembaga. Perilaku seorang pemimpin yang beretika akan menjadi
teladan bagi anak buahnya.
Di dalam persaingan dunia usaha yang sangat
ketat ini, etika bisnis merupakan sebuah harga yang tidak
dapat ditawar lagi. Seorang konsumen yang tidak puas,
rata-rata akan mengeluh kepada 16 orang di sekitarnya. Dalam
zaman informasi seperti ini, baik-buruknya sebuah dunia usaha
dapat tersebar dengan cepat dan massif. Memperlakukan
karyawan, konsumen, pemasok, pemodal dan masyarakat umum
secara etis, adil dan jujur adalah satu-satunya cara supaya
kita dapat bertahan di dalam dunia bisnis sekarang.
Berikan
Tanggapan
Referensi:
-
Bartono,
P.H., SE, Today Business Ethics, Elex Media Komputindo, Jakarta,
2005
-
Franz
Magnis Suseno, Etika, Kanisius, Yogyakarta, 1991
-
Sony
Keraf, A, Pragmatisme, Kanisius, Yogyakarta, 1987
-
http://en.wikipedia.org
-
http://www.crimelibrary.com
·
http://www.crn.com
-
http://www.nofieiman.com
-
http://www.nofieiman.com
-
http://www.philiphumbert.com
-
http://www.pikiran-rakyat.com
-
http://www.pikiran-rakyat.com
-
http://www.republika.co.id
-
http://www.transparansi.or.id
Bahaya Tersembunyi di Balik
Pornografi
Akhir-ahir ini sedang diperdebatkan tentang
perlu-tidaknya Undang-Undang Anti pornografi dan porono aksi.
Wacana ini memang telah membelah opini masyarakat menjadi dua
kelompok: kubu pengecam pornografi yang menghendaki pembatasan
sajian gambar dan foto sensual; sementara itu kubu yang lain
menolak pembatasan ini karena dianggap memasung kreativitas.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada rumusan yang dapat dipakai
untuk menakar kadar pornografi yang disajikan oleh media massa.
Akibatnya kita kesulitan menentukan apakah sebuah gambar,
tulisan atau pertunjukkan itu masih dapat dipahami dan dinikmati
sebagai produk kesenian atau sudah mengarah kepada percabulan.
Batasan yang Kabur
Pornografi sebenarnya sebuah fenomena kuno yang telah menempuh
perjalanan yang panjang. Kaisar Romawi, Tiberius Claudius Nero
(berkuasa tahun 14-37 M), diperkirakan memiliki koleksi pribadi
berbagai benda-benda pornografi eksplisit, yang sebagian besar
berasal dari wilayah Timur. Koleksinya ini dinamai: "kumpulan
tulisan tentang perempuan sundal". Dari sinilah orang Yunani
kuno lalu menciptakan istilah pornografi. Dalam bahasa
Yunani, pornographos berarti "tulisan tentang prostitusi"
(porne = "prostitusi" + graphein= "tulisan"). Kata ini
berdekatan dengan kata pernanai yang artinya "menjual".
Sedangkan menurut ensiklopedi Britanica, pornografi memiliki
tiga makna : (1) Pelukisan tentang perilaku erotis (dalam bentuk
gambar atau tulisan) yang bertujuan untuk menciptakan kenikmatan
seksual; (2) materi (seperti buku atau foto) yang menggambarkan
perliaku erotis dan sengaja bertujuan untuk menciptakan
kenikmatan seksual; (3) Penggambaran perbuatan dalam bentuk
sensasional sehingga bisa menimbalkan reaksi emosi secara cepat
dan kuat.
Pada zaman dulu, kebanyakan gambar-gambar porno justru tersebar
luas di peradaban Timur, terutama di India dan Jepang. Di
Indonesia, salah satu pengaruhnya, dapat kita lihat di candi
Sukuh. Di masa modern ini, pornografi telah lama menjadi bahan
perdebatan yang kontroversial, terutama menyangkut status
legalitas dari pornografi itu. Perdebatan berpusat pada apakah
pornografi bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari
percabulan, atau tidak; dan apakah perlu dilakukan penyensoran
terhadap pornografi, atau tidak.
Kecanduan Pornografi
Di Indonesia, kubu pengecam pornografi mengeluarkan argumentasi
bahwa bahwa pornografi bisa berubah menjadi porno aksi. Mereka
menyodorkan sejumlah fakta pemerkosan dan pelecehan seksual
lainnya yang terjadi sesaat setelah si pelaku kriminal itu
menonton gambar atau VCD porno. Harus diakui bahwa,
bagaimanapun juga pornografi memiliki dampak buruk bagi kaum
penikmatnya.
Salah satunya berupa potensi yang dimilikinya dalam menciptakan
kecanduan. Menurut Dr. Robert Weiss dari Sexual Recovery
Institute di Los Angeles, pornografi memiliki reputasi efek
mirip kokain, yaitu menimbulkan kecanduan seksual. "Cara
kerjanya sangat cepat dan kuat," kata Weiss. Sama seperti
penggunaan narkotika, pengalaman kenikmatan seksual yang didapat
dengan melihat gambar-gambar porno dapat menimbulkan pola
perilaku yang berulang dan semakin intensif. Walhasil,
terciptalah kecanduan pornografi. Dalam hal ini, Dr. Victor
Cline, dari University of Utah, membagi tahapan kecanduan
menjadi lima bagian: (1). Terpaan Awal. Pada tahapan ini, orang
itu mengenal pornografi untuk pertama kalinya. Biasanya terjadi
pada usia muda. Mula-mula dia terkejut, jijik dan merasa
bersalah.(2). Ketagihan. Setelah itu, dia mulai bisa menikmati
pornografi dan berusaha mengulangi kenikmatan itu. Perilaku yang
berulang ini tanpa disadarinya telah meresap menjadi bagian dari
kehidupannya. Dia sudah terjerat dan sulit melepaskan diri dari
kebiasaan itu. (3). Peningkatan. Dia mulai mencari lebih banyak
lagi gambar-gambar porno. Dia mulai menikmati sesuatu yang pada
mulanya dia merasa jijik melihatnya. (4). Mati Rasa. Dia mulai
mati rasa terhadap gambar yang dia pelototi. Bahkan gambar yang
paling porno sekalipun, sudah tidak lagi menarik minatnya. Dia
berusaha mencari perasaan kepuasan yang didapatnya ketika
pertama kali melihat gambar itu. Akan tetapi dia tidak bisa
mendapatkannya lagi karena perasannya sudah kebal. (5). Tindakan
seksual. Pada titik ini, dia melakukan lompatan besar, yaitu
mencari kenikmatan seksual di dunia nyata.
Dengan kata lain, perbuatan kriminal yang dipicu oleh pornografi
sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari efek negatif
pornografi. Di bawah permukaan, justru ada lebih banyak efek
negatif yang tidak kelihatan. Dalam bukunya, The Centrefold
Syndrome, psikolog Gary R. Brooks, Ph.D memaparkan ada lima
"gangguan mental" yang dikaitkan dengan konsumsi pornografi
jenis soft-core semacam dari majalah Playboy atau Penthouse.
Voyeurisme - Sebuah gangguan pikiran yang lebih suka memandangi
tubuh wanita daripada menjalin interaksi dengannya. Brooks
menyebutkan bahwa karena ada pemujaan dan objektifikasi terhadap
tubuh wanita, maka hal ini menciptakan citra wanita yang semu,
membiaskan realitas dan menciptakan sebuah obsesi berupa
rangsangan visual. Hal ini mengabaikan pentingnya sebuah
hubungan psikoseksual yang sehat dan dewasa.
Objektifikasi - Sebuah sikap yang menaksir kualitas wanita
berdasarkan ukuran, bentuk dan keharmonisan anggota tubuhnya
semata. Brooks menegaskan bahwa jika seorang pria lebih suka
menghabiskan energi emosionalnya pada fantasi seksual dengan
orang yang tidak mungkin diaksesnya secara nyata, maka dia juga
tidak akan bisa "diakses" oleh pasangannya untuk menciptakan
momentum keintiman.
Validasi-Yaitu suatu kebutuhan untuk membuktikan kesahihan
kejantanan seorang pria dengan berhasil menggaet wanita cantik.
Menurut Brooks, wanita dianggap memenuhi standard apabila dia
mampu mempertahankan ksempurnaan tubuhnya. Kaum pria yang belum
bisa mendapatan kenikmatan seksual dengan wanita impiannya, dia
merasa belum menjadi pria sejati.
Trofisme - Yaitu suatu sikap yang menganggap wanita sebagai
sebuah koleksi trofi atau piala. Orang itu mengukur tingkatan
kejantanan pria berdasarkan jumlah trofi yang berhasil dia
koleksi. Brooks menambahkan mentalitas seperti ini sangat
berbahaya di kalangan remaja, dan cukup merusak di kalangan
orang dewasa.
Ketakutan pada Keintiman Sejati - Yaitu suatu ketidak-mampuan
untuk menjalin relasi secara jujur dan intim dengan wanita.
Pornografi telah menutup mata kaum pria tentang pentingnya
sensualitas dan keintiman. Karena hanya mementingkan pemuasan
hawa nafsu seksual, beberapa pria mendapat hambatan dalam
menjalin hubungan emosional dengan sesama kaum pria dan hubungan
nonseksual dengan kaum wanita.
Industri Menggiurkan
Teman saya yang tinggal di Solo bercerita: Suatu kali dia pergi
ke warnet. Ketika melewati bilik-bilik komputer, iseng-iseng
dia melirik ke salah satu bilik. Dia melihat seorang remaja
yang masih mengenakan seragam SMP. Dia terkejut, karena remaja
itu sedang melakukan masturbasi sambil menatap layar monitor
komputer. Dia bisa memastikan bahwa anak ingusan ini sedang
mengakses situs porno.
Majalah Time menulis pernah menulis"... pornografi menjadi
sangat berbeda di dalam jaringan komputer. Anda bisa mendapatkan
privasi di rumah Anda--tanpa harus mengendap-endap ke toko buku
atau bioskop. Anda hanya tinggal download file yang membuat Anda
terangsang, tidak perlu mengeluarkan uang atau terlibat masalah
hukum." Gambar porno hanya sejauh satu "klik" pada mouse
komputer Anda.
Benarkah situs-situs porno menawarkan gambar porno dengan
gratis? Ada pepatah, "dalam dunia bisnis tidak pernah ada makan
siang gratis." Kita sering mendengar istilah "berselancar di
internet," tetapi istilah ini lebih tepat jika diganti dengan
kalimat "berjalan di pantai." Mengapa? Karena setiap kali
berjalan di atas pasir, kita selalu meninggalkan "jejak kaki".
Demikian juga di internet. Semua browser seperti Netscape,
Internet Explorer, atau AOL, diperlengkapi dengan cache, yaitu
sebuah file sementara yang menyimpan salinan halaman, gambar
atau file. Tujuan semula bertujuan untuk mempercepat download
pada akses di kesempatan lain. Akan tetapi dalam
perkembangannya, file ini dimanfaatkan untuk memata-matai
penggunaan komputer itu. Dalam dunia bisnis, data-data ini
sangat berharga. Selain melalui chache dan cookie, pengelola
situs biasanya mensyaratkan calon pengakses memasukkan alamat
emailnya untuk mendapatkan password-nya. Begitu alamat email
diberitahukan, maka kotak email si pengakses ini akan disesaki
dengan kiriman email sampah (junk email).
Ada juga yang menawarkan akses situs dengan membayar secara on
line. Mereka diminta memasukkan nomor kartu kredit dan PIN
untuk mendapatkan kode akses. Begitu nomor-nomor ini
dimasukkan, maka dimulailah pembobolan kartu kredit. Sebagian
besar pria yang tertipu modus operandi ini, biasanya enggan
melaporkan karena merasa malu.
Dalam e-commerce, industri pornografi termasuk pionirnya.
Mereka yang pertama kali memakai teknologi belanja elektronik
dan menggunakan kartu kredit untuk pembayaran on line. Mereka
juga yang menemukan cara untuk mengirimkan file grafis berukuran
besar melalui bandwith yang sempit. Mereka pula yang
mempelopori penggunaan streaming video. Mereka juga yang
menemukan cara "melumpuhkan" tombol "back" di browser Anda dan
yang memunculkan teknik selalu memunculkan jendela baru ketika
pengakses menutup satu jendela. Akibatnya, di layar itu selalu
terpampang gambar porno.
Hal ini tidak mengherankan karena industri pornografi ini telah
menjadi bisnis yang menggiurkan. Bandingkan marjin keuntungan
yang didapat sektor perdagangan on-line yang hanya 0,2 persen,
dengan keuntungan yang diraup situs porno sebesar 30 persen!
Pada tahun 1999, diperkirakan situs porno meraup 1,1-1,2 milyar
Dollar. Sayangnya di Indonesia tidak ada data yang pasti.
Tetapi untuk membayangkan saja, sebuah tabloid yang menonjolkan
sensualitas seksual mengaku bisa mendapat keuntungan yang setara
dengan sepuluh mobil (tapi tidak jelas, mobil merek apa).
Itu artinya, dicegat dengan cara apapun, pornografi akan selalu
mencari celah untuk bisa berkelit. Selama masih banyak
penikmatnya, industri pemikat syahwat ini akan tetap memikat.
Karena itu cara yang lebih efektif dengan menggalang gerakan
masyarakat untuk menolak mengkonsumsi pornografi ini. Cara ini
lebih elegan dan jauh dari kontroversi.
Berikan Tanggapa
|