about me kontak saya links buku karya saya artikel my diary permainan humor renungan kuliner

 

Sketsa Kehidupan


Gereja pun Kena Tipu

Para penipu sudah benar-benar nekat. Gereja pun sekarang menjadi target penipuan. Selasa sore (6 Nop), telepon di rumah kami berdering. "Apa betul ini (menyebut nama gereja kami)?" tanya penelepon. Dari suaranya, kelihatannya berdialek dari Indonesia bagian Timur.

"Ini rumah pastori. Silakan Bapak telepon kantor gereja," jawab saya.

"Apakah bisa bicara dengan pendetanya?" si penelepon tidak menggubris jawaban saya.

"Ini darimana?" tanya saya.

"Saya dari Depag," jawab suara di seberang [Cling.....! Saya teringat peristiwa serupa setahun yang lalu].

"Apa yang bisa saya bantu?" tanya saya.

"Apa bisa bicara dengan pendetanya?"

"Ya saya pendetanya," jawab saya berbohong. Padahal yang jadi pendeta itu isteri saya.

"Nama Bapak siapa?" tanyanya [Lho...Anda yang menelepon, tapi Anda tidak tahu siapa yang akan Anda telepon, batin saya]

"Lho Anda mencari siapa?" tanya saya mengelak.

"Saya mencari pendetanya"

"Ya saya pendetanya." [Isteri saya melihat sambil tersenyum-senyum]

"Oke, kalau begitu Bapak diminta untuk menelepon Dirjen Pembimas Kristen, Bapak....(menyebut seorang nama Jawa dengan nama baptis)."

"Ada perlu apa saya harus menelepon beliau?" tanya saya.

"Ada urusan yang sangat penting" jawabnya.

"Yang punya kepentingan itu 'kan dari Depag. Kalau memang itu sangat penting, mengapa bukan bapak dirjen Pembimas sendiri yang menelepon ke sini. Mengapa saya yang harus menelepon?" jawab saya.

Tuuuut...tuuuuut....tut!!! Telepon dimatikan.

Mungkin saya telah bersikap ketus dan kasar. Tapi ini bukan pengalaman yang pertama. Setahun yang lalu, isteri saya menerima telepon yang mengaku dari Depag.  Si penelepon mengatakan bahwa gereja kami akan menerima bantuan dari Depag. Namun ujung-ujungnya, mereka minta duit. Saat itu isteri saya menjawab, "Kalau bantuan itu memang benar, silakan kirim surat resmi ke Majelis Jemaat gereja. Nanti kami akan menanggapinya secara resmi." Saat itu juga telepon diputus.

Semoga kisah ini bermanfaat supaya kita tetap waspada.

Atas


Penipuan Berkedok Fren

Pukul 17:11, telepon Fren kami berbunyi. Di layar HP tertera nomor 08886320127 yang memanggil. Nomor ini belum masuk dalam phonebook kami. Isteri saya yang mengangkatnya. "Halo, nama saya Drs. Wawan Setiawan dari Fren," kata si penelepon,"dengan siapa saya berbicara?" Isteri saya lalu menyebutkan namanya. "Ibu tinggal dimana?" tanya si penelepon. Isteri saya menyebutkan kota tempat kami berdomisili.

"Saya mengucapkan selamat. Nomor Ibu ini telah memenangkan undian dalam rangka bulan Ramadhan," kata si penelepon dengan suara yang bergembira. Sampai di sini, saya mulai curiga. Maka saya mengambil alih telepon.

"Halo, Bapak siapa?" tanya orang yang mengaku Wawan Setiawan. Saya mengatakan bahwa saya suaminya.

"Nama Bapak siapa?"

"Saya Joko" jawab saya berbohong.

"Saya dari Fren, memberitahukan bahwa Bapak Joko memenangkan hadiah undian dalam rangka bulan Ramadhan. Hadiah ini bebas pajak. Apakah Bapak punya buku tabungan untuk mentransfer hadiah?"

"Tunggu dulu," saya menyela,"bagaimana saya bisa memastikan bahwa Anda benar-benar dari Fren dan ini bukan penipuan. Apa buktinya?"

"Kalau Bapak tidak percaya, silakan lihat di LaTivi nanti malam," jawab Bapak itu.

"Saya tidak mau menunggu nanti malam,"sergah saya," Sekarang saya minta Anda meyakinkan saya bahwa Anda benar-benar dari Fren dan bahwa ini bukan penipuan!"

"Ya buktinya sekarang ini kita sedang saling mencocokkan data. Pembicaraan ini direkam, makanya jangan sampai pembicaraan kita ini putus," jawab orang di seberang. Kelihatannya dia mulai jengkel."Sekarang saya ingin tahu, apakah Bapak punya buku tabungan? Di Bank apa?"

"Saya tidak punya buku tabungan" jawab saya berbohong.

"Bagaimana kalau kartu ATM?" tanya orang itu.

"Tabungan saja tidak punya, apalagi kartu ATM," jawab saya.

"Bagaimana kalau Bapak mengambil sendiri hadiahnya? Bapak bisa mengambil di kantor kami di jl. Kebun Sirih" kata orang itu.

"Rumah saja jauh dari Jakarta," jawab saya.

"Apakah Bapak tidak punya Saudara di Jakarta?" tanya si penelepon.

"Tidak punya" jawab saya, lagi-lagi berbohong. Padahal mertua saya ada di Jakarta.

Tidak terdengar suara dari seberang. Rupanya dia telah memutuskan sambungan telepon.

Sejak semula saya sudah mencurigai bahwa ini adalah usaha penipuan karena ada beberapa kejanggalan:

1. Si penelepon menanyakan nama orang yang ditelepon. Mestinya, kalau ingin memberitahukan kemenangan, dia sudah tahu siapa yang akan ditelepon.  Ketika saya mengaku dengan nama "Joko", si penelepon percaya begitu saja. Padahal nomor telepon itu terdaftar atas nama saya [Purnawan]. Kalau dia benar-benar dari Fren, dia mestinya bisa memeriksa database-nya.

2. Si penelepon melakukan blunder dengan menyebut nama LaTivi. Kalau mau membuat acara pengundian pemenang, maka Fren pasti akan memilih stasiun TV yang masih "bersaudara" dengannya yaitu group MNC (TPI, RCTI, Global). Pemegang saham Fren adalah pemegang saham MNC juga.

3. Pengambilan hadiah bisa diwakilkan oleh orang lain. Memang dengan surat kuasa bisa saja dilakukan, tapi biasanya penyelenggara undian berharap pemenang menerima langsung. Ini untuk kepentingan publikasi.

 

Saya berkali-kali menerima SMS hoax yang memberitahukan saya memenangkan undian. Biasanya SMS sampah seperti ini langsung saya hapus. Namun baru kali ini saya mendapat telepon langsung dari si penipu. Ini modus baru. Saya menduga, si penipu berani menelepon karena ongkos telepon antar Fren memang murah.  Biasanya jika sang mangsa terpikat, dia digiring untuk pergi ke ATM terdekat. Selama itu, hubungan telepon tidak boleh terputus. Dengan teknik persuasi yang tinggi, si penelepon menggiring sang mangsa untuk mentransfer uang ke rekeningnya.

 

Kita perlu waspada dan kritis terhadap penyalahgunaan teknologi.

Atas


Kesempatan Kedua untuk Mantan Napi

Prestasinya cukup spektakuler. Hanya dalam satu tahun, dia langsung menyabet peringkat dua di perusahannya sebagai wiraniaga yang paling banyak menjual polis asuransi. Sebagai hadiahnya, dia boleh melancong ke Swiss gratis. Tapi karena ada kendala teknis, tempat tujuannya diubah ke Beijing. Tahun berikutnya, tahun 2006, peringkatnya melorot satu tingkat, ke peringkat tiga. Dia sengaja mengurangi targetnya karena banyak nasabahnya yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.

    Sebut saja namanya, Wahyu (bukan nama sebenarnya). Bapak berusia 43 tahun ini sekarang dengan bangga mengaku bahwa dia hanya lulusan STM jurusan listrik. Dia ingin menunjukkan bahwa dengan pendidikan yang minim pun bukan alasan untuk mencapai sukses, asal mau bekerja keras dan berkomitmen tinggi. Namun di balik itu, ada satu hal yang tidak banyak diketahui orang. Dia adalah mantan narapidana selama 5 tahun dan di antaranya pernah menghuni L.P. Nusakambangan. Dia dihukum karena mengedarkan narkotika.

    Selama Wahyu dalam penjara, anak dan isterinya mengalami masa-masa yang berat.  Termasuk juga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.  Melihat hal ini, setiap bulan sebuah gereja memberikan beras kepada keluarga ini. Ketika Wahyu selesai menjalani hukuman, dia tidak tahu harus bekerja apa. Sebagai mantan narapidana, dia mendapat stigma buruk dari masyarakat. 

    Namun tidak semua orang curiga kepada Wahyu. Ada salah satu anggota jemaat yang memberi kesempatan kepadanya.  Sebut saya namanya pak Jeremia. Berkat relasinya yang kuat, pak Jeremia bisa memasukkan Wahyu ke sebuah perusahaan asuransi. Namun pak Jeremia tidak berhenti di sini. Dengan sabar dia memberikan bimbingan dan motivasi kepada Wahyu. Dia memberikan beberapa langkah strategis. "Kalau kamu melakukan langkah-langkah ini, aku jamin kamu akan sukses," kata pak Jeremia.

    Ternyata kepercayaan dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Wahyu. Setelah sukses sebagai agen pemasar top di perusahaannya, Wahyu menetapkan target baru. Dia ingin masuk dalam daftar  agen pemasaran asuransi paling sukses secara nasional. Langkah ke sana sudah dimulai. Tahun 2007 ini, dia masuk dalam 10 besar agen asuransi versi AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia).

    Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah ini?

1. Jangan menilai orang semata-mata dari masa lalunya. Setiap orang bisa berubah (entah itu ke arah perbaikan atau sebaliknya). Orang yang masa lalunya kelam, tidak selamanya akan menjadi orang yang jahat.

2. Berikan kesempatan kedua pada orang lain untuk memperbaiki diri.

3. Jika kita pernah berbuat kesalahan, bangkitlah kembali untuk memperbaikinya.

4. Pegang teguh kepercayaan yang telah diberikan orang lain kepada kita. Sebab di situlah terletak pintu menuju kesuksesan.

Atas


Urung Donor Darah

Pukul sepuluh malam, HP-ku berdering. "Mas, ini darurat. Anda diminta mendonorkan darah,"kata Agus Permadi di ujung telepon. "Oke, tunggu sebentar. Aku keluarkan sepeda motor dulu," jawabku.

"Tidak usah.  Nanti kami jemput dengan mobil.  Saat ini kami sedang menjemput pak Teguh," sahut Agus Permadi.

Mobil Chevrolet tua melesat membelah kesunyian malam di kota kami. Langit terlihat cerah, udara sangat gerah. Sudah lebih dari tiga bulan ini cuaca sangat panas di kota kami, baik itu siang atau malam.

Sesampai di rumah sakit, sudah ada banyak orang yang berkumpul di depan sebuah kamar. Ada pak Yono dan isteri, pak Giri, pak Lukas dan anaknya, pak Bambang Budiadi dan isteri.  Aku bersama dengan pak Teguh, koh Yoyok dan Agus Permadi bergabung dengan mereka.

Kami menyalami pak Hendro dan bu Dewi Retno Murni isterinya. Mata bu Retno terlihat sembab karena habis menangis. Yogi, anak mereka terbaring di ranjang karena terserang virus demam berdarah. Malam itu, jumlah trombosit dalam darahnya melorot sangat drastis ke angka 50 ribu. Padahal ambang batas minimalnya adalah 150 ribu.

Meski sudah banyak minum jus buah jambu merah yang dipercaya dapat meningkatkan kadar trombosit, tapi tidak terlihat perubahan yang berarti. Jika kondisi ini berlanjut, maka alternatifnya adalah tranfusi trombosit yang diambil dari darah orang lain.  Untuk mendapatkan sekantong trombosit, maka dibutuhkan tujuh pendonor. Trombosit ini harus "diekstrak" dari darah segar. Itu artinya, kami harus selalu siap mendonorkan darah jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Setelah setengah jam menunggu, kami mendapat kabar bahwa kepastian pendonoran darah itu baru diketahui besok jam enam pagi. Kami diminta pulang saja untuk menjaga kondisi.

Keesokan harinya, tidak ada panggilan telepon. Berarti tidak jadi donor darah. Siangnya, kami menjenguk Yogi. Meski kadar trombositnya sangat rendah, tapi dia masih bisa bercanda.

"Tadi malam ada banyak orang yang berkumpul di depan kamar saya," kata Yogi."Saya lalu berpikir, apakah sakitku ini sangat parah sehingga banyak orang yang berkumpul. Apa saya sudah akan mati."

Hari itu, beberapa kali bu Retno mengirim SMS. Setiap kali SMS masuk, beritanya tentang kadar trombosit Yogi yang terus menurun, dari 50 ribu, terjun bebas ke angka 25 ribu, 19 ribu, bahkan sampai hanya 12 ribu.

Pagi berikutnya--pukul enam, HP-ku berbunyi. "Pak, kami butuh darah untuk Yogi.  Kami tunggu di PMI ya?" suara bu Retno tersendat-sendat menahan tangis.

Aku segera cuci muka dan gosok gigi. Isteriku juga bersiap-siap. Dengan sepeda motor kami melaju ke kantor PMI yang berjarak sekitar 2 km dari Pastori II. Sesampai di sana, ternyata kami yang datang pertama. Pendonor lain belum ada yang datang. Penjaganya pun masih tidur-tiduran.

Selang sepuluh menit kemudian, pendonor lainnya datang: Pak Teguh, pak Bambang Budiadi, mas Alex dan pak tentara (aku tidak tahu namanya). Pukul delapan, darah yang dibutuhkan sudah mencukupi.

---****---

Berkat tranfusi itu, kadar trombosit Yogi mulai naik.  Setelah dirawat selama enam hari, Yogi dibolehkan pulang ke rumah. Empat hari kemudian, pak Hendro memberikan kesaksian di depan persektuan kelompok.

"Ketika kadar trombosit anak kami terus turun, terus terang saja kami merasa cemas. Sebagai dokter, saya tahu benar betapa gawatnya situasi ini," kata dokter Hendro. "Ada pasien lain yang kadar trombositnya 50 ribu, dan dia tidak bisa bertahan. Sedangkan pada Yogi, kadar trombositnya hanya 12 ribu.  Itu kurang dari sepersepuluh dari batas aman, yaitu 150 ribu."

"Saat itu kami berdoa dengan sungguh-sungguh minta mukjizat Tuhan.  Kami juga mengirim SMS ke banyak orang untuk mendukung dalam doa.    Kalau selama ini ada istilah "doa berantai", maka malam itu saya menciptakan istilah baru, yaitu "serbuan doa".  Saya yakin, ada banyak orang yang mendukung kami dalam doa. Kami "menyerbu" Tuhan dengan doa. Kami meminta mukjizat Tuhan berupa kenaikan kadar trombosit Yogi."

"Akan tetapi mukjizat itu tak kunjung datang.  Bahkan kadar trombositnya malah menurun.  Terus terang saja, iman menjadi goyah saat itu," papar pak Hendro dengan bergetar. "Namun ada satu SMS yang kemudian menguatkan kami,"lanjutnya sambil membuka kembali SMS itu. Dia membacakannya kembali. SMS itu mengutip Kolose 4:2:"Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur." Setelah itu, SMS itu disambung dengan kata-kata ini: "Yogi masih dapat bertahan dengan angka hanya 12 ribu, bukankah itu sebuah mukjizat?"

Seketika itu juga pak Hendro dikuatkan kembali. Dia telah diingatkan tentang adanya mukjizat yang telah dilakukan Tuhan. Ketika kita minta mukjizat, kita sering memintanya harus sesuai dengan kehendak kita. Jika mukjizat itu dalam bentuk yang tidak sesuai dengan keinginan kita, maka kita menganggapnya bukan sebagai mukjizat.

Atas


Makanan Jadul

Hari ini (Jumat, 18/4), saya mengunjungi Museum Anak "Kolong Tangga" di Taman Budaya Yogyakarta. Di tempat ini dipamerkan ratusan mainan anak-anak sejak zaman Majapahit, hingga zaman modern.

 

Melihat-lihat isi museum seolah-olah dibawa oleh mesin waktu kembali masa kecil saya. Mainan yang dipajang mengingatkan kembali akan masa kanak-kanak. Mainan dalam foto ini contohnya.Di kampung saya, mainan  ini sering dijual pada pertunjukan wayang kulit. Bahannya terbuat dari seng . Cara mainnya adalah dengan menggulungkan tali pada rodanya, kemudian menariknya kuat-kuat, sehingga heli ini dapat bergerak sendiri.

Pada bagian pertama ini, saya ingin mengenang makanan ketika saya masih kecil. Karena hidup di wilayah yang cukup gersang, kami justru mengembangkan berbagai jenis makanan yang bervariasi.

1. Thiwul

Pada zaman dahulu, Gunungkidul memang pernah dikenal sebagai wilayah yang kekurangan pangan. Karena beras susah didapatkan, maka warga Gunungkidul mengkonsumsi thiwul, yaitu makanan yang berbahan pokok ketela pohon. Cara pengolahannya, ketela pohon dikupas, kemudian dijemur hingga kering. Namanya gaplek.

Gaplek ini dapat disimpan secara berbulan-bulan. Cara memasaknya: gaplek ditumbuk hingga menjadi tepung, kemudan diberi sedikit air dan digoyang-goyang di atas tampah. Jika sudah terbentuk gumpalan-gumpalan kecil, kemudian dikukus menggunakan kukusan dan dandang yang terbuat dari kuningan. Jika sudah masak maka disebut nasi thiwul.

Cara makan thiwul yang enak adalah dengan ikan asin, sambal bawang dan lalapan biji mandhing (lamtoro). Selain sebagai makanan pokok, thiwul juga dapat dijadikan sebagai camilan. Caranya dengan menambahkan parutan kelapa muda. Cara ini disebut dikrawu. Bisa juga dengan menambahkan gula, sehingga terasa manis.

Selain nasi thiwul, gaplek juga dapat menghasilkan gathot. Gaplek yang berwarna keitam-hitaman tidak cocok jika dijadikan nasi thiwul. Daripada dibuang, maka gaplek jenis ini dapat dijadikan gathot. Caranya cukup dengan dikukus, kemudian dimakan dengan parutan kelapa atau dibikin manis.

Selain thiwul, kami juga mengkonsumsi jenis pangan non beras lainnya seperti nasi jagung, nasi cathel (sorgum), dan nasi jawawut. Kebutuhan karbohidrat juga terpenuhi dari umbi-umbian. Sejauh yang saya ingat, jenis umbia-umbian yang sering dikonsumsi adalah uwi, gembili, gadhung, suwek, ubi rambat, garut, ganyong dan bentul.

Kalau Anda ingin mencicipi makanan jenis ini, datanglah ke kampung saya pada waktu upacara Gumbrekan. Upacara ini berupa doa untuk memohon perlindungan untuk alat-alat pertanian (garu, luku, cangkul, sabil dll) dan ternak. Sebagai sesajennya, para petani mengeluarkan makanan tradisional ini. Ini mirip hari raya Halowen. Pada malam hari anak-anak mendatangi setiap rumah petani. Pemiliki rumah mengeluarkan sesajen, mengucapkan doa, kemudian membagikan makanan itu pada anak-anak. Biasanya saya membawa pulang satu cething penuh aneka jenis makanan.

2. Serangga

Untuk memenuhi kebutuhan protein, maka kami menyantap serangga. Ada berbagai jenis serangga yang biasa kami makan. Yang paling sering diburu adalah belalang kayu. Hama tanaman ini rasanya seperti udang. Cara memasaknya bisa dengan cara dibakar saja, digoreng atau dibacem.

Dulu kami berburu belalang dengan membawa galah bambu yang dipakai untuk memukul belalang pada ranting pohon. Cara menangkap belalang paling mudah adalah setelah turun hujan. Karena sayapnya basah oleh air hujan, maka belalang cenderung terbang menurun, sehingga bisa kami sergap di atas tanah. Cara lainnya adalah dengan metode nyuluh. Pada malam hari kami membawa lampu petromaks. Lampu ini diletakkan di bawah pohon yang diperkirakan banyak bertengger belalang. Setelah itu kami menggoyang-goyang batang pohon itu sehingga belalang itu terbang. Secara naluriah, belalang akan terbang menuju sumber cahaya sehingga mudah ditangkap.

Jenis serangga lain yang juga diburu adalah Jangkrik. Namun rasanya tidak seenak belalang karena ada rasa getirnya. Cara memburuknya adalah membongkar batu-batuan. Tapi harus hati-hati karena bisa tersengat kalajengking atau dipatok ular.

Jika sedang beruntung, maka kami bisa mendapatkan Gondhing atau ratu rayap. Rasanya konon gurih, karena saya belum pernah mencicipi yang ini. Namun rayap yang berjenis laron juga sangat gurih. Biasanya muncul pada malam hari di awal musim hujan.

Kami juga memakan telur semut atau kroto. Cara memasajnya adalah dibikin pepes. Telur-telur semut dibumbui bawang merah dan garam, dibungkus dengan daun jati kemudian diletakkan di atas bara api.

Pada musim semi, kami juga berburu ulat pohon jati dan ulat pohon trembesi. Sebenarnya bukan ulat yang kami konsumsi, melainkan ulat yang sudah kepompong. Kalau melihat ketika masih menjadi ulat memang terlihat menjijikkan. Tapi kalau sudah menjadi kepompong, maka hewan ini dapat menjadi makanan yang lezat.

Yang terakhir, jangan lupakan juga olan-olan. Hewan sejenis ulat ini sering bersarang di pokok/pangkal pohon turi. Bentuknya putih, gemuk dan empuk. Kalau dipegang bikin geli.

3. Rujak Babal

Sebagai desert-nya atau makan penutup, ada sajian rujak babal (nangka muda)

Bumbu: bawang, garam, kencur, gula jawa, Lombok, terasi bakar.

Bahan: babal (nangka mudha), pace/mengkudu, ubi rambat mentah, daun pepaya mentah, lamtoro/mandhing yang masih muda, jambu mete.

Alat: Lumpang dan alu

Pertama-tama bumbu ditumbuk dalam lumping. Setelah halus, masukkan semua bahan rujak, kemudian tumbuk menjadi halus.

Kalau Anda baru pertama kali mencicipi rujak ini pasti akan kaget. Anda akan dibuat batuk-batuk. Ini adalah efek dari kombinasi jambu mete dan pedasnya lombok. Sekali mencicipi pasti ketagihan karena ada berbagai macam rasa yang unik. Selain pedas, asam dan manis, Anda juga dapat mencecap efek pahit dari daun pepaya dan rasa getir yang ditimbulkan oleh pace. Ada juga rasa sepat yang dihasilkan oleh nangka muda. Yang tak kalah seru adalah sensasi klethuk-klethuk dari pace dan ubi mentah ketika dikunyah [Purnawan Kristanto]

 


Atas


Mainan Jadul

Hidup di pedesaan yang jauh dari pusat hiburan dan mainan tidak membuat kami kehilangan masa kecil yang ceria. Kami justru lebih kreatif membuat sendiri alat permainan kami. Kali ini akan saya bagikan alat mainan perang-perangan yang biasa kami mainkan waktu kecil:

1.Senapan Kenthos

Alat permainan ini dapat mengeluarkan bunyi letusan yang nyaring. Hebatnya lagi, dapat melesatkan peluru dari ujung larasnya. Laras senapan ini dibuat dari pucuk bambu dengan diameter 3-5 cm dan panjang 20-30 cm. Kemudian dibuat batang pendorong peluru yang dibuat dari bambu yang lebih tebal. Diameternya harus lebih kecil daripada diameter larasnya supaya bisa masuk; Dan juga lebih pendek 2-3 cm daripada larasnya.

Cara memainkannya adalah memasukkan “peluru” yaitu bunga lamtoro/mlandhing muda (disebut kenthos). Bisa juga menggunakan kertas basah yang dibikin bola kecil. Peluru ini dimasukkan dalam lobang di pangkal laras, kemudian didorong pelan sampai ujung laras, tetapi tidak sampai keluar.

Setelah itu dimasukkan peluru yang kedua di pangkal laras. Peluru ini harus dimampatkan hingga tidak ada udara dalam laras yang bisa keluar. Setelah itu, peluru didorong kuat-kuat dengan bambu pendorong. Ketika peluru kedua didorong, maka udara di antara peluru kedua dan pertama mengalami tekanan yang sangat kuat. Jika peluru yang di ujung senapan sudah tidak kuat menahan tekanan, maka peluru tersebut akan melesat keluar dengan kecepatan tinggi disertai bunyi ledakan yang berasal dari tekanan udara yang berhasil keluar.

Untuk memperkuat efek ledakan, maka kami menambahkan potongan botol plastik, yang telah dilubangi bagian dasarnya, pada ujung laras senapan.

Senapan kenthos ini asyik jika digunakan untuk perang-perangan. Jika mengenai seseorang, pelurunya tidak sampai melukai, tapi cukup untuk membuat kulit menjadi merah.


2. Senapan Batang Daun Pisang

Jenis mainan ini hanya untuk menghasilkan suara seperti ledakan senapan. Caranya daun pisang diambil batangnya. Kemudian pada sisi-sisi luar dikerat sepanjang 10-15 meter, kemudian ditekuk keluar. Cara memainkannya adalah dengan menutup keratan tadi dengan kecepatan tinggi sehingga terdengar bunyi “plok…plok…plok….plok” Seperti senapan mesin.


3. Meriam Bambu

Untuk menyambut hari raya lebaran, kami biasa membuat meriam bambu. Saya rasa hal ini tidak hanya di desa saya saja. Di daerah-daerah lain, juga ada tradisi ini. Bahan meriam ini dibuat dari bambu ori. Panjangnya 2-3 meter. Menggunakan kayu bulat atau linggis, sekat-sekat setiap ruas dilubangi, kecuali sekat ruas bagian pangkal. Kemudian di dekat ruas dibuat lobang kecil dengan diameter 5-10 cm.

Cara memainkannya adalah meletakkan meriam di atas tanah. Ujung meriam diganjal batu kecil agar lebih tinggi. Kemudian minyak tanah dituangkan ke dalam meriam melalui lubang kecil di pangkal meriam.

Mula-mula minyak tanah tersebut dipanasi dulu dengan cara memasukkan api ke dalam meriam menggunakan ranting kecil. Setelah itu melalui lobang kecil itu, asapnya ditipu-tiup agar keluar lewat ujung meriam. Lama-lama, setelah suhu di dalam meriam mulai panas, maka akan terdengar ledakan-ledakan ketika nyala api pada ranting kering dimasukkan ke dalam lobang kecil di pangkal meriam…buuuuum!

Atas


Pelajaran Kerendahan Hati

Ibu Inge (nama samaran) adalah seorang pengikut Kristus yang taat. Usianya di atas 50 tahun dan sudah setahun menjanda. Suatu hari, dia menarik uang di bank.

Di tempat parkir, tiba-tiba ada 3 orang yang menyapanya dengan sangat ramah. Sepertinya sudah kenal akrab, walau bu Inge sendiri merasa tidak kenal. "Sedang apa, Bu," tanya salah seorang pria dengan hangat.

"Ambil uang," jawab bu Inge. "Ambil berapa?" Bu Inge menyebutkan nilai nominal tertentu. "Ah, masih kurang. Ayo ambil lagi!" kata penyapa itu sambil menggamit lengan bu Inge dan mengajaknya kembali masuk bank.

Anehnya, bu Inge menurut saja. Dia kembali ke kasir dan mengambil seluruh tabungannya. Setelah itu, bu Inge 'dibimbing' masuk ke sebuah mobil. Di dalam mobil, orang-orang itu membujuk supaya bu Inge menitipkan segepok uang kepada mereka. Ini demi keamanan, kata mereka.  Mereka juga meminta perhiasan dan HP milik bu Inge.

Beberapa saat setelah diturunkan di pinggir jalan, bu Inge baru sadar bahwa telah ditipu habis-habisan. Dia segera melapor ke polisi.

"Tuhan, apa maksud-Mu atas semua ini?"tanya bu Inge dalam doa. Lalu suara hatinya berkata,"Kamu ambil uang itu untuk apa, sih?" Dia ingat sehari sebelumnya, dia tersinggung pada ucapan seseorang yang berkaitan dengan uang. Untuk menjaga harga dirinya, maka dia akan 'menyumpal' mulut orang itu dengan uang.

"Tuhan rupanya sedang mengajarkan tentang merendahkan diri kepadaku,"kata bu Inge. "Memang benar, ucapan ini: yen pingin andhap asor, kowe kudu nganti ndlosor [Merendahkan diri itu harus sampai mencium tanah]." [Purnawan]

 Atas


Pengalaman Ikut Christmas Carol

Setiap kali mengikuti acara Christmas Carol, selalu ada saja pengalaman rohani yang aku dapatkan. Tahun ini, aku kebagian tugas membawakan renungan untuk kelompok III. Semuanya ada lima kelompok yang mendapat tugas mengunjungi orang-orang yang karena kondisi badannya lemah mereka tidak dapat merayakan Natal bersama-sama.

Setelah mendapat taklimat singkat dari gereja, setiap kelompok kemudian masuk ke dalam mobil masing-masing kemudian meluncur ke rumah-rumah anggota jemaat. Tiga tempat pertama yang kami kunjungi adalah orang-orang yag sudah lanjut usia. Meskipun pendengaran mereka sudah berkurang, tapi mereka terlihat senang. Pada setiap rumah, kami menyanyikan lagu-lagu Natal, mendengarkan renungan singkat, menyalakan lilin, berdoa syafaat dan membagikan bingkisan.

Ketika mengunjungi rumah yang keempat, hatiku berdesir melihat orang yang kami kunjungi. Adalah seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang tergolek lunglai di tempat tidur. Virus polio dengan ganas menggerogoti kekuatan tubuhnya. Jangankan untuk berjalan, untuk duduk tegak saja dia tak perempuan manis ini tak berdaya. Dia harus dipangku dan ditopang ibunya supaya bisa duduk.

Tapi ketika kami menyanyikan lagu Natal, wajahnya menjadi cerah. Tangan dan kakinya bergerak tak beraturan. Menggapai-gapai kian kemari. Namun justru aku justru ingin menangis. Ya Tuhan, gadis kecil ini yang mestinya berjalan dan berlari menjelajahi dunianya, tapi sekarang dunianya sekarang ini hanya tempat tidur dan sekitar rumahnya. Renungan apa yang harus aku sampaikan kepadanya? Apakah aku bisa menyampaikan renungan tanpa harus mengeluarkan air mata?

Ketika akhirnya harus menyampaikan renungan, aku hanya membacakan kisah kelahiran Yesus dari kitab Matius. Suaraku tertahan di tenggorokan. Mataku kabur karena basah oleh air mata. Setelah itu, kami lebih banyak menyanyikan lagu-lagu Natal. Nampaknya gadis kecil ini lebih senang mendengarkan nyanyian.

Kunjungan kelima adalah kepada seorang nenek yang sudah tua, tapi masih sangat sehat. Hanya daya pendengarannya saja yang sudah berkurang. Kunjungan keenam adalah seorang perempuan dewasa yang tergolek koma. Sudah berbulan-bulan dia terbaring lemah. Perempuan yang berusia sekitar 25 tahun ini mengalami kecelakaan di Semarang. Sepeda motor yang ditumpanginya diseruduk oleh truk, yang kemudian melarikan diri. Sejak kecelakaan itu, perempuan ini belum mengalami kesadaran secara penuh.

Sekali lagi aku bingung harus menyampaikan renungan apa. Akhirnya aku putuskan untuk membaca salah satu pasal dari kitab Mazmur saja. Ketika berpamitan pulang, aku genggam tangannya. Terasa dingin, tapi dia memberikkan reaksi. Dia menggerakkan tangannya. Saat koh Yoyok mengucapkan kata-kata penghiburan, perempuan ini memberikan reaksi. Ekspresi wajahnya berubah. Meskipun tidak bisa berkata-kata, dia kelihatan senang dengan perkunjungan kami.

Tujuan terakhir kami adalah seorang ibu berusia limapuluan tahun yang dirawat di Rumah Sakit Islam. Saat memasuki kompleks rumah sakit, kami ragu-ragu apakah diperbolehkan menyanyikan pujian Natal di sana? Apakah tidak mengganggu pasien lain? Maka kami putuskan untuk menyampaikan renungan, berdoa syafaat dan memberikan bingkisan saja.

Winner, salah satu anggota rombongan, memulai acara dengan menyampaikan maksud kedatangan kami. Kemudian aku dipersilahkan menyampaikan renungan singkat. Selepas renungan, acara berikutnya adalah penyalaaan lilin. Aku tiba-tiba digerakkan untuk mengajak semua orang di ruangan itu untuk menyanyikan lagu Malam Kudus. Ternyata lagu itu sangat menyentuh hati sang ibu yang sedang sakit. Dia menitikkan air mata. Anggota keluarganya yang lain juga ikut terharu. "Terimakasih karena sudah menghadirkan perayaan Natal di tempat ini," kata ibu itu sambil terisak,"ini banyak memberikan penghiburan kepada kami."

Sekitar pukul setengah satu siang, kami menghadiri acara Christmas Carol. Semoga tahun depan tidak banyak orang yang harus kami kunjungi.

Atas


Pengumuman Ngawur

Ketika melewati pertokoan dan perkantoran saya sering membaca tulisan ini:

"Tidak menerima sumbangan dalam bentuk apa pun, kecuali seizin ketua RT"

Komentar: Kalau ada orang asing yang baru belajar bahasa Indonesia, dia pasti akan heran membaca tulisan itu: "Ternyata orang Indonesia itu sangat baik hati dan suka memberi ya. Buktinya, toko dan kantor sampai kewalahan menerima sumbangan sehingga memasang tulisan seperti ini."

 Ada lagi tulisan di perumahan yang berbunyi:

"Ngamen gratis"

Komentar: Pemilik rumah ini sungguh baik hati. Kalau ada pengamen yang ingin mengamen di depan rumahnya, tidak perlu membayar alias gratis. 

 

Lain lagi bunyi pengumuman di sebuah rumah sakit:

INSTRUKSI
No.: 005/Ins.Dir/RS.I&A/THS/Ska/VII/91
Untuk meningkatkan penggunaan ASI, maka diinstruksikan kepada seluruh pegawai yang bertugas untuk :
Memberikan penyuluhan gizi kepada semua ibu hamil dan meneteki setiapkali ibu-ibu tersebut datang, kapan saja..
Komentar : Hiiii....amit-amit jangan sampai jadi pegawai di Rumah Sakit itu. Bayangkan kalau tiap hari ada 50 ibu-ibu yang datang, apa nggak 'gempor' pegawai itu karena harus meneteki ibu-ibu...  


 

Terakhir, di sebuah tempat parkir ada tulisan:

"Bagi yang membawa sepeda, harap dikunci."

Komentar: Ngeri....ah kalau harus dikunci. Bagian mana dari tubuh pemilik sepeda yang harus dicanteli gembok??!!!

 Atas


Pengalaman Ibu Murni

Hari ini saya bertemu teman yang sebenarnya lebih pantas menjadi nenek saya. Sebut saja namanya bu Murni. Dia menceritakan pengalaman rohaninya yang menggetarkan. Hampur 20 tahun yang lalu ia mendampingi seorang perempuan yang diculik dan disekap selama berbulan-bulan. Ketika ditemukan, perempuan ini dalam keadaan linglung dan hamil. Diduga karena diperkosa.

Ketika diantarkan ke rumah orangtuanya, orangtuanya tidak mau menerima karena anak perempuannya mengandung bayi haram. Maka, perempuan ini menumpang tinggal di rumah bu Murni. Selama mendampingi perempuan ini, bu Murni mengalami pergumulan yang luar biasa. Dia hampir-hampir tidak mampu melakukan panggilan mulia. Bagaimana tidak, perempuan ini menginginkan supaya bayi yang ada di kandungannya itu digugurkan saja. Hal ini jelas bertentangan iman kristiani yang diyakini bu Murni. Dia mengalami pertentangan batin yang hebat.

Hingga akhirnya bu Murni hanya bisa menangis tersedu-sedu di depan altar gereja. Seluruh isi hatinya ditumpahkan di hadapan Allah. Cukup lama dia berada gereja itu, hingga seluruh pintu gereja ditutup dan hanya disisakan satu pintu untuknya. Ketika tangisannya mulai reda, bu Murni mendengar suara batinnya berkata,"Jika kamu dipanggil Allah, masa' sih Allah tidak memberikan kekuatan dan sarana kepadamu untuk melaksanakan panggilan itu." Suara itu kembali menguatkan semangat untuk menjalankan tugas pelayanannya.

Meski begitu, persoalan aborsi masih menjadi pergumulan batinnya. Suatu ketika, dia diundang untuk mengikuti sebuah konferensi di Beijing. Dalam suatu kesempatan, ada sekelompok orang yang berdemonstrasi di forum ini. Para demonstran ini kebanyakan adalah korban kekerasan seksual di sebuah negara Afrika. Mereka menuntut legalisasi pengguguran kandungan atau aborsi, khususnya untuk kehamilan yang tidak diinginkan. Misalnya karena korban perkosaan atau dipaksa menjadi pekerja seks komersial. Bu Murni pun mengikuti perjalanan demonstrasi ini dari belakang. Tapi hati nuraninya membuatnya merasa tidak nyaman di tengah kerumunan. Maka dia pun keluar dari kelompok demonstran tersebut dan duduk di bawah pohon. Hatinya berkecamuk, "Di manakah posisiku? Apakah aku akan menyetujui pembunuhan ciptaan Tuhan yang ada di dalam kandungan? Tapi bagaimana dengan korban yang harus menderita trauma selama berbulan-bulan karena mengandung janin dari pemerkosanya?"

Cukup lama dia merenung, hingga akhirnya sampai pada sebuah pencerahan, "Tugasmu adalah mendampingi dan menguatkan korban kekerasan. Perkara apakah bayi itu akan dikandung sampai lahir atau tidak, itu adalah keputusan si korban tersebut. Yang penting kamu sudah memberikan segala pertimbangan menurut keyakinanmu." Suara hatinya itu memberi kakuatan baru kepadanya untuk mendampingi perempuan-perempuan korban kekerasan sampai saat ini.

Atas


SMS Berantai (1)

Kartu GSM XXXX [nama disamarkan] sudah keluar: Rp.6/SMS; Rp. 60/menit; Rp. 600/SMS. Jika dijumlah 666, simbol antikris. Jangan dibeli. Itu kartu pendukung antikris, milik [nama perusahaan di Timur Tengah]. Sebarkan SMS ini. Satu SMS selamatkan satu jiwa"

Itulah bunyi SMS yang saya terima, dan saya yakin banyak orang Kristen lain yang menerima pesan serupa. Saya hanya senyum-senyum sendiri. Sekali lagi, orang Kristen menjadi sasaran dan korban perang disinformasi. Celakanya, banyak orang Kristen yang dengan semangat 45, rela hati mengeluarkan ongkos satu SMS untuk disebarkan ke nomor yang lain. "Ah, cuma kehilangan beberapa rupiah. Tapi yang penting dapat menyelamatkan jiwa orang lain." Begitulah kira-kira pikiran orang Kristen yang lugu tersebut.

Kelihatannya hanya sederhana, yaitu meneruskan SMS, tapi di balik itu ada persoalan yang perlu dikritiki:

Pertama, apakah isi informasi tersebut sudah benar atau hanya rumor belaka? Apakah pembuat pesan tersebut sudah mengkonfirmasi perusahaan yang bersangkutan dan mereka mengakui bahwa mereka pendukung antikiris? Atau setidak-tidaknya, si pembuat SMS itu sudah memiliki data-data yang akurat untuk mendukung pernyataan tersebut? Jika dia hanya mendasarkan diri pada logika "othak-athik gathuk" alias menebak-nebak berdasarkan prasangka, maka dapat dipastikan isinya adalah kebohongan. Nah, jika kita meneruskan SMS yang isinya kebohongan itu, maka kita pun turut serta dalam dosa kebohongan massal tersebut. Atau menurut istilah teman muslim, "kebohongan berjamaah"

Kedua, apakah perusahaan GSM tersebut berbuat sebodoh itu dengan menyatakan diri sebagai pendukung antikris, dengan konsekuensi akan diboikot orang Kristen dan Islam? Mayoritas penduduk Indonesia adalah orang Islam, dan dalam Al Quran ada sosok Dajjal yang digambarkan menentang Isa A.S. Dajjal ini sama dengan antikris dalam terminologi kekristenan.

Tapi mengapa menampilkan angka yang serba enam? Menurut saya sih, ini kebetulan saja. Sebagai perusahaan baru, mereka harus menghitung tarif yang lebih kompetitif daripada pesaing yang sudah lama beroperasi. Maka ketemulah angka sekitar angka enam tersebut. Dengan mempertimbangkan aspek promosi, maka diciptakan tarif yang menggunakan angka serba enam supaya mudah diingat.
Ketiga, mungkinkah rumor ini sengaja diciptakan oleh operator telepon lama, yang merasa tersaingi oleh operator GSM yang baru.

Meski begitu ada, ada satu hal baik yang termuat dalam SMS berantai ini: Kita perlu cermat dalam memilih operator telepon yang akan kita pakai. Selain aspek tarif dan pelayanan yang diberikan, kita juga perlu mempertimbangkan perilaku perusahaan tersebut. Apakah perusahaan tersebut melakukan monopoli? Apakah perusahaan tersebut telah adil? Apakah telah peduli pada lingkungan? Apakah peduli pada masyarakat? Apakah membayar upah pekerjanya dengan layak? Apakah tidak mengemplang pajak? Singkatnya, apakah perusahaan tersebut telah menjalankan prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Jika ya, maka kita layak memilih operator telepon tersebut.

Atas


SMS Berantai (2)

Setelah menulis tentang SMS Berantai yang isinya hoax tentang antikris, saya mendapat banyak tanggapan. Baik secara publik maupun via japri (jalur pribadi). Bahkan ada orang yang punya ciri khas memakai istilah "TRIUNITAS" mengirim email yang sungguh sulit untuk dipahami.

Yang menarik, ada orang yang mengirimkan gambar yang mirip potongan fragmen perkamen. Menurut pengirim, di perkamen itu lambang 666 mirip dengan dengan lambang AXIS. Sebagai perbandingan, dia menyertakan juga logo AXIS.

Tanggapan saya terhadap gambar ini adalah:

1. Apakah pengirim email sudah memastikan bahwa potongan perkamen tersebut benar-benar asli? Soalnya, dengan sentuhan teknologi komputer, kita mudah sekali memanipulasi gambar tersebut. Sebagai buktinya, saya menggunakan Photoshop untuk menambahkan nama saya di situ. Bukankah tulisan itu mirip sekali dengan dokumen kuno?

2. Saya mencoba membuka kitab Wahyu "Byzantine Majority Greek Text", ternyata angka 666 yang tertulis di situ berbeda sekali dengan logo AXIS [lihat lampiran]. Sedangkan versi Westcott-Hort Greek Text malah tidak menuliskan angka 666, melainkan menyebutkannya dengan kata-kata. Dengan kata lain, tulisan yang diklaim sebagai huruf 666 dalam gambar tersebut adalah PALSU.

Kompas on-line sudah memuat bantahan dari pihak AXIS. Jadi jelaslah sudah bahwa isi SMS bahwa AXIS adalah antichrist adalah hoax alias bohong.

Belum reda isu soal AXIS ini, sekarang muncul SMS hoax lainnya. Bunyinya begini: "Syalom, tanggal 11-13 Mei 2008, akan dilepas roket satelit 666 ke angkasa untuk menangkap jiwa lewat nomor hp. Jadi dihimbau tanggal 11-13 harap lepas kartu HP untuk sementara dan berdoa selalu agar Yesus campurtangan untuk menggagalkan segalanya. Amin. Sebarkan ke teman, saudara dan kerabat lain. Ingat satu SMS selamatkan satu jiwa."

Sekali lagi saya mengelus dada. Pembuat SMS ini sudah keterlaluan dalam membodohi orang banyak. Coba dipikir, negara mana sih yang mau keluar biaya yang sangat besar untuk melepas satelit seperti ini? Lagipula negara mana yang punya ideologi untuk "menangkap jiwa melalui HP"? Pelepasan satelit ke ruang angkasa bukan peristiwa yang main-main. Setiap peluncurannya tidak bisa dilakukan sembunyi-sembunyi. Pasti dilakukan secara publik. Kalau memang benar roket ini diluncurkan oleh antikris, pasti peristiwa ini akan menimbulkan kehebohan yang besar. Lagipula, negara-negara yang sudah mampu mengirim satelit ke luar angkasa itu masih dapat terbilang dengan jari tangan kanan.

Jika peristiwa ini diketahui secara publik, mengapa negara-negara lain tidak memberikan reaksi atas rencana ini. Taruh kata, yang meluncurkan satelit ini adalah negeri Perancis, maka negara Amerika Serikat pasti akan terancam dengan program ini. Bagaimana tidak. Bayangkan jika jiwa-jiwa penduduk Amerika yang punya HP tersedot jiwanya. Apa itu tidak menjadi ancaman serius bagi mereka? Bayangkan jika presiden Bush dan jajaran menterinya tiba-tiba menjadi bego gara-garanya jiwanya ditangkap oleh HP mereka. Lucu juga membayangkannya. [Wah bisa jadi ide untuk cerita film fiksi ilmiah tuh].

Jika isu itu benar, maka bayangkan apa yang terjadi pada orang yang punya HP lebih dari satu. HP mana yang akan menangkap jiwanya? Apakah HP yang sinyalnya paling kuat atau HP yang paling dekat dengan pemiliknya? Bayangkan pula jika semua HP menyedot jiwanya, bisa habis tak bersisa tuh jiwanya.hi...hi.hi..

Tulisan ini dibuat pada tanggal 11 Mei dan dikirim tanggal 12 Mei. Ternyata jiwa saya masih setia bermukim di badan saya. Jadi jangan percaya mentah-mentah deh dengan hoax semacam ini. Jika mendapat SMS seperti itu, jangan sebarkan ke teman, saudara dan kerabat lain. Meminjam istilah mereka: "Ingat satu SMS menguntungkan perusahaan seluler Rp. 50-Rp. 200,-/SMS."

Meski begitu saya setuju jika tanggal 11-13 Mei 2008 kita bersama-sama melepas kartu HP. Ini untuk membuktikan bahwa kita masih tetap hidup tanpa HP. Mari kita boikot perusahaan seluler itu biar mereka menurunkan tarif pada tataran yang pantas.

Atas
 


Tongkol Anturium Dicuri

Siang itu, seperti biasa ada banyak orang yang datang ke kebun bunga milik Agus Permadi. Ada yang sekadar melihat-lihat, tapi ada juga yang menawar harga bunga.  "Demam bunga" sedang melanda di wilayah kami. Tiba-tiba ada banyak orang yang sedang memelihara bunga.

Ada dua pemuda berumur di atas 20 tahun yang tanya-tanya harga bunga.  Tak lama kemudian, datanglah satu ibu paruh baya yang diantar seorang pemuda berusia sekitar 35 tahun.  Sang ibu ini ingin membeli bunga.

Ditemani Agus Permadi, sang Ibu ini memilih bunga yang dikehendaki.  Sementara dua pemuda tadi memisahkan diri untuk melihat bunga-bunga di sisi taman yang lain. Sang Ibu ini asyik mengobrol sambil ditemani pemuda yang mengantarnya dan Agus Permadi, si pemilik kebun bunga.

Tak berapa lama, mbak Widi, isteri Agus Permadi pulang dari bank. Dia melihat tongkol biji bunga Anturium dibawa pergi dua pemuda. Mbak Widi bergegas mencari suaminya. "Apakah Papa menjual tongkol biji bunga Anturium?" tanya mbah Widi.

"Nggak tuh" jawab Agus Permadi.

"Berarti dua orang itu mencuri tongkol biji bunga Anturium milik kita!!" kata mbak Widi.

Mereka bergegas keluar, tetapi dua pemuda itu sudah kabur menggunakan sepeda motor. Maka hilanglah uang 15 juta! Dari mana bisa didapatkan perhitungan itu? Saat ini orang sedang berburu bunga anturium, akibatnya harga melambung tinggi. Bahkan ketika masih berupa biji, orang bersedia membayar biji anturium yang masih ada di tongkolnya! Jika dijual perbiji, maka tongkol itu akan menghasilkan uang 15 juta rupiah.

Biji bunga anturium itu bentuknya seperti tongkol jagung. Biji-bijinya juga sebesar biji jagung, tapi berwarna merah. Agus Permadi menjualnya per biji. Dua pemuda tadi tampaknya memotong tongkol menggunakan cutter.

Ibu yang ingin membeli bunga tadi bertanya apa yang terjadi. Agus Permadi menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi. Mendengar itu, sang Ibu ini merasa bersalah. Soalnya, gara-gara dia mengajak Agus Permadi mengobrol, akibatnya dua pemuda tadi punya kesempatan mencuri tongkol anturium.

"Ah, sudahlah. Tidak apa-apa." kata Agus Permadi,"Tuhan sudah banyak memberi berkat kepada saya."

Kini, bunga anturium itu sudah dijual dengan harga 19 juta.

 Atas

 


Totalitas Pelayanan

Perjalanan ke Semarang menghantarkan saya bertemu dengan pak Andreas. Dia mengajarkan tentang makna totalitas dalam pelayanan. Pak Andreas ini mempunyai hobi wisata kuliner. Kalau ingin mengetahui tempat-tempat makan yang enak di sekitar Jogja dan Jawa Tengah, maka tanyalah kepadanya. Pria kelahiran Ketandan Jogja ini adalah "ensiklopedia kuliner".

Hobinya yang lain adalah memancing di laut. Dia sudah menjelajahi berbagai pantai. Dia bercerita, bersama teman-temannya, mereka pernah pergi memancing di sebuah pantai di wilayah Panggang, Gunungkidul. Pantai yang masih "perawan" ini hanya bisa dicapai setelah berjalan kaki selama 2 jam. Belum ada jalan yang dapat dilalui kendaraan. Bahkan untuk sampai ke sana, mereka kadang harus membuat jalan sendiri. Sore hari mereka mulai memasang pancing, pagi harinya mereka sudah berkemas-kemas pulang.

Pak Andreas juga gemar memancing di tengah laut. Dia sering menyewa perahu nelayan untuk membawanya ke tempat yang banyak ikannya. Demi meuaskan hobinya ini, maka dia merogoh koceknya untuk membeli kapal sendiri. Dengan begitu, dia bisa lebih leluasa memancing di laut. Namun bersamaan dengan datangnya kapal, datang pula panggilan pelayanan di gerejanya. Dia menyadari jika dia menerima panggilan pelayanan ini, maka dia tidak punya kesempatan untuk memancing lagi. Namun dia memutuskan untuk menerima panggilan itu. Dan memang benar, kesibukkan dalam pekerjaan dan pelayanan, sudah tidak memungkinkannya untuk memancing lagi. Maka perahunya pun jadi pengangguran. Supaya tidak mangkrak, maka perahu yang hanya sekali dipakai itu diberikan kepada orang yang biasa merawat dan mengoperasikan perahu itu. Untunglah, sampai sekarang dia masih bisa melakukan hobinya yang lain yaitu wisata kuliner. Setiap kali ada tamu di gerejanya, maka dia yang menghantar dan mengajak mereka makan. Termasuk saya dan isteri saya. Kami diajak makan serba bandeng di rumah makan dekat Simpang Lima, Semarang.

"Mendengar itu Yesus berkata kepadanya: "Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."" (Lukas 18:22 TB)

 

Atas

 


Witers's Corner

Majalah Getlife memiliki rubrik baru: Writer's Corner.  Dalam setiap edisi kita akan mengenal lebih dekat satu sosok penulis Kristen Indonesia.  Penulis perdana kita kali ini adalah Purnawan Kristanto yang diwawancarai reporter GetLife, Hardhono

:Dari antara 13 judul buku pernah diterbitkan, yang paling berkesan yang mana?
Setiap buku melalui proses kreatif yang meninggalkan kesan sendiri-sendiri. Namun yang paling berkesan adalah "Misteri Gerbong Tua". Novel remaja ini ditulis hanya dalam waktu kurang tiga bulan, karena akan diikutkan ke dalam Lomba Penulisan Buku Fiksi Keagamaan tingkat Nasional 2003. Puji Tuhan, naskah ini meraih Juara Harapan II. Hal ini cukup memuaskan saya, mengingat baru pertama kali saya menulis buku fiksi.

 

Banyak buku Anda tentang permainan asyik atau seru. Definisi Anda mengenai permainan yang seru atau asyik itu apa?
Permainan yang asyik adalah permainan yang dapat mendorong banyak orang untuk terlibat secara sukarela dan hatinya merasa senang.  Orang yang hatinya sedang senang akan lebih terbuka dalam menerima kebenaran firman Tuhan dan ide-ide baru.  Dengan permainan, kita dapat menghangatkan relasi antar manusia dan belajar hal baru secara menyenangkan.

 

Inspirasi permainan asyik dan seru ini dari mana?
Sebagian besar berasal dari permainan yang pernah diterapkan dalam pengajaran Sekolah Minggu dan pelatihan LSM.  Saya juga terinspirasi dari permainan tradisional dan melakukan survei di internet. Tentunya dengan penyesuaian sesuai kebutuhan di Indonesia.

 

Apakah semua permainan itu selalu diuji coba dulu sebelum diterbitkan menjadi buku?
Belum semua. Sampai sekarang saya sudah menulis 485 permainan. Jika setiap minggu harus diuji coba satu permainan, maka dibutuhkan waktu 10 tahun lebih.

 

Anda juga menulis novel remaja dan cerpen. Menurut Anda fiksi Kristen yang baik itu seperti apa?
Sebaiknya fiksi Kristen itu dapat menjadi oase yang menyegarkan. Ia menawarkan nilai-nilai kristiani di tengah-tengah kemerosotan moral saat ini. Namun hal ini harus dikemas secara cerdas, elegan dan lemah lembut, sehingga setiap orang yang membacanya akan mengamininya.

 

Penulis favorit Anda? Mengapa?
Ada dua orang. Pertama, Remi Silado. Dia sangat kuat dalam diksi. Kedua, Xavier Quentin Pranata. Selama 2,5 tahun saya bekerja sama dengan dia. Saya mengagumi antusiasme dan kerendahanhatinya.

 

Catatan: Hasil wawancara di atas adalah versi asli dari penulis. Namun karena keterbatasan space, ada banyak kata-kata yang dipangkas (nama rubriknya saja Corner atau Pojokan. Jadi ya cuma kejatah se-upil).  Jika ingin mengetahui hasil editan redaktur Getlife, silakan beli dan baca di majalah Getlife edisi no.32

Atas
 


 

Sipil yang Militeristik 

 

Suatu kali saya ditugasi peliputan ke Polda DIY. Saya harus menemui seorang tersangka pembunuhan. Saya berangkat dengan perasaan deg-degan. Pengamanan di sana pati ketat sekali. Pasti saya akan menemui kesulitan menemui tahanan. Saya pernah dengar cerita kalau keluarga tahanan harus menyuap petugas supaya bisa ketemu anggota keluarganya yang ditahan. Mungkin Anda pernah mendengar cerita seperti ini: Pada zaman Orde Baru, ada sebuah kompleks militer pasukan khusus yang melarang mobil-mobil saling menyalip ketika melintasi kompleks itu. Jika ada yang nekad, maka mobil itu akan dihentikan dan pengendaranya akan dihukum oleh tentara yang berjaga. Teman saya pernah dihukum mandi di sebuah bak yang airnya sudah berwarnah hijau. Dia diberi sebatang sabun mandi yang masih baru. Dia harus menggosokkan sabun itu ke badannya hingga habis. Sesudah itu, baru boleh pergi.

Di benak saya, kompleks kepolisian ini masih seperti kompleks militer yang dijaga amat ketat. Masuk gedung utama saya langsung menemui petugas jaga. "Pak saya ingin menemui tahanan bernama X" kata saya dengan berdebar-debar. "Silakan ke gedung sayap Timur, lantai 3" jawab petugas. 'Lho cuma begitu doang?' tanya saya heran dalam hati. 'Kok nggak ditanya identitasnya?'

Saya mengikuti petunjuk itu. Sesampai di depan pintu sel, saya kembali mengutarakan maksud saya. Saya diminta meninggalkan identitas. Setelah itu, ada petugas lain yang menjemput tahanan. Saya bisa melakukan wawancara dengan bebas di sebuah ruang berukuran 4x6 meter sambil lesehan.

Pengalaman ini jelas jauh dari kesan angker yang saya bayangkan sebelumnya. Mungkinkah polisi mempermudah prosedur karena saya wartawan? Ah tidak juga. Karena ketika menemui polisi, saya tidak ngomong kalau saya wartawan.

Dugaan saya, paradigma kepolisian mungkin sudah berubah. Mereka memposisikan diri sebagai aparat sipil, yang bertugas "melindungi dan melayani" masyarakat. Itu sebabnya mungkin di pos polisi sekarang ini ada tulisan: "Kami siap melayani Anda." Sayangnya, di pos-pos satpam di lembaga sipil justru masih dipasang tulisan yang militeristik: "TAMU HARAP LAPOR!"

Saya prihatin melihat lembaga-lembaga sipil yang justru mengarah militeristik. Lihat saja satpam-satpam di mal (di EX Plasa Indonesia dan plasa Ambarukmo, contohnya). Mereka didandani alam polisi militer. Pakai topi baja bertuliskan PKD, entah singkatan dari apa. Kata teman saya, itu singkatan dari “Petugas Keamanan Dalam”. Mereka bersepatu bot hitam bergaris putih vertikal.

Lihat juga seragam satgas-satgas partai yang bermotif doreng dengan atribut yang sedapat mungkin mirip tentara. Perilaku mereka kadang berlebihan [Kepala saya pernah dipukul gara-gara kurang minggir ketika mereka berkonvoi. Untung saya pakai helm]. Ashadi Siregar pernah berkelakar,"Kalau banser NU ingin mempelopori demokratisasi, tinggalkan atribut militer pada seragamnya. Pakai saja sarung sebagai seragamnya."

Dalam ilmu manajemen modern dikatakan bahwa stake-holder sebuah lembaga tidak hanya pemilik/pemegang saham, tapi juga kastemer, konsumen, nasabah, dan masyarakat sekitar. Terhadap para stake-holder ini, para karyawan--termasuk satpam di dalamnya--wajib memberikan respek. Sama seperti ketika mereka mereka tunduk takzim pada big-bos. Sikap terhadap stake-holder akan mempengaruhi kelangsungan sebuah lembaga.

Sayangnya, masih banyak karyawan-karyawan yang di front-liner kurang menyadari hal ini. Saya beberapa mendapati petugas-petugas yang melayani konsumen dengan sikap ogah-ogahan, merengut atau kurang antusias. Jika mengalami hal ini,maka biasanya saya kapok untuk berhubungan dengan perusahaan atau lembaga itu lagi.

Bayangkan jika ini terjadi pada gereja! Gara-gara sikap satpam, koster atau pengerjanya yang arogan, bisa jadi orang-orang menjadi alergi untuk beribadah di gereja itu.

Kembali ke atas


Pengalaman Sebagai Relawan Kemanusiaan

 

Saya ingin membagikan pengalaman waktu menjadi relawan di posko kemanusiaan pada gempa bumi 27 Mei 2006. Siapa tahu ada manfaatnya buat teman-teman yang terjun sebagai relawan pada banjir awal tahun ini (baik di Jabodetabek dan tempat lain).

Dua hari pertama, setelah gempa, masing-masing relawan bergerak secara sporadis. Masing-masing menyalurkan bantuan sesuai dengan seleranya sendiri-sendiri. Namun pada hari ketiga, kami mulai mengadakan konsolidasi dan mengorganisasi diri. Kami lalu membuat prosedur pemberian bantuan.

Kami tidak lagi menyalurkan bantuan dengan mengasong. [Maksudnya,membawa bantuan tanpa tahu sasaran yang akan dituju. Siapa saja yang ditemui, diberi bantuan]. Kami mengamati, beberapa dermawan yang spontan membawakan bantuan biasanya “dicegat” di tengah jalan. Ini terjadi di daerah-daerah yang berdekatan dengan akses keluar-masuk. Padahal wilayah tersebut sebenarnya sudah dijangkau oleh bantuan lain. Akibatnya, wilayah yang “lebih dalam” belum mendapat bantuan.

Kami menyiasatinya dengan mengutus relawan untuk menerobos wilayah yang benar-benar belum tersentuh oleh pemberi bantuan. Di tempat itu, mereka harus mengumpulkan data-data vital, seperti:
(1). Berapa jiwa yang ada di sana?
(2). Apakah ada yang sakit?
(3). Berapa orang yang lansia?
(4). Berapa jumlah balita?
(5). Berapa yang hamil?
(6). Berapa jumlah yang wanita?
(7). Berapa jumlah anak-anak?
(7). Apa saja kebutuhan mereka? (pangan, baju, selimut, tenda, penerangan, obat-obatan dll).

Berdasarkan data tersebut, maka relawan tersebut dapat membuat daftar bantuan yang dibutuhkan oleh para korban. Dengan metode ini, maka bantuan dapat diberikan dengan tepat. Kami dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penumpukan bantuan yang sejenis. Contohnya, kami melihat ada sekelompok warga yang berkali-kali menerima bantuan pakaian layak pakai. Karena terlalu kebanyakan, maka baju-baju itu dipakai untuk menghangatkan badan. Carannya bukan dengan memakainya, tapi membakarnya sebagai api unggun!

Untuk mendukung kelancaran tugas, maka setiap relawan yang bertugas mendata ini dilengkapi dengan alat komunikasi Handie Talkie. Pesawat HT ini ternyata memberi jasa yang sangat besar. Gempa bumi tahun kemarin juga ikut merobohkan menara-menara GSM. Akibatnya, selama beberapa hari komunikasi lewat handphone tidak dapat dilakukan. Namun dengan adanya HT ini, maka komunikasi dapat dilakukan dengan baik. Memang daya jangkau HT ini terbatas. Hal ini dapat disiasati dengan mendirikan repeater atau pesawat rig. Kami memasang dua rig dengan jarak sekitar 10 km. Daya jangkau rig jauh lebih luas, sehingga dapat merelay sinyal HT dalam radius sekitar 20-30 km.

Jika relawan selesai melakukan pendataan, maka dia segera menghubungi posko induk untuk meminta pengiriman bantuan yang diperlukan. Sementara bantuan sedang dalam perjalanan, maka relawan ini dapat berpindah untuk mencari “sasaran” berikutnya.

Pengalaman lain yang mungkin berguna adalah meminta bantuan tenaga dari korban bencana. Jumlah relawan sangat terbatas. Supaya energi kami tidak terkuras, maka kami mengajak warga setempat untuk mengambil sendiri bantuan yang diperlukan. Caranya dengan memberikan secarik memo yang berisi daftar kebutuhan, selanjutnya mereka yang akan mengangkut bantuan itu dari posko logistik.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dukungan untuk relawan. Mereka sudah bekerja keras dan tidak kenal waktu. Untuk itu mereka membutuhkan dukungan supaya tidak jatuh sakit. Barang-barang seperti: air minum dalam kemasan, es, multivitamin, sunblock, topi lebar, kaos tangan, kopi dan teh panas biasanya sangat dibutuhkan relawan. Untuk menghindari kejenuhan, rotasi relawan juga perlu dilakukan.

Dalam situasi yang sulit, emosi gampang tersulut dan konflik mudah terjadi. Pertengkaran di antara relawan sangat mungkin terjadi. Untuk itu, pimpinan posko harus sudah mengantisipasi hal ini.

Kembali ke atas

 

 


Dia Pernah Mengalahkan Taufik Hidayat

 

Siapa sangka pemuda ini pernah mengalahkan Taufik Hidayat. Pemuda ini pernah dipanggil mengikuti pelatnas bulutangkis. Talentanya sangat besar dan postur tubuhnya pun cukup ideal. Tapi hendak dikata, musibah cedera lutut menderanya.

Ketika lutut itu dioperasi oleh dokter-dokter Indonesia, mereka “hanya bisa membongkar, tapi tidak bisa memasangnya kembali.” Terpaksa, dia dibawa ke Singapura. Tapi sudah terlambat. Cedera lututnya sudah permanen. Dia tidak bisa lagi menekuni olahraga bulutangkis. Padahal, dia dulu pernah akan dikontrak oleh Singapura.

Akhirnya, dia kembali ke kota asalnya. Sekarang pekerjaannya “hanya” menjaga toko milik orangtuanya. Ketika gereja kami mengadakan pertandingan bulutangkis, kami mengajaknya untuk menjadi panitia. Dia terlihat antusias. Meskipun hanya berupa turnamen amatiran, tapi dia mempersiapkannya dengan bersemangat. Dia seperti menemukan lagi dunianya dulu. Seperti ikan kepanasan di darat yang dimasukkan ke dalam air.

Bicara soal bulutangkis, di kota kami sebenarnya berdomisili mantan pemain putri dunia. Namanya Huang Hua, dari China. Sekarang dia menetap di kota kami karena menikah dengan pria Indonesia. Ketika masih berkiprah di dunia bulutangkis, Huang Hua adalah lawan tangguh bagi Susi Susanti.

Dengan kehebatan itu, dia tentu banyak menyimpan ilmu perbulutangkisan yang dapat diserap untuk memajukan olahraga bulutangkis di Indonesia. Sayangnya, hingga kini kayaknya tidak ada pengurus PBSI yang mendekati Huang Hua.
 

Kembali ke atas


Tetanggaku Terluka

 

Isteri tetangga depan rumahku kelihatan gelisah. Pada pukul enam sore, dia menemui isteriku untuk meminjam Betadine. Wajahnya kelihatan gugup dan pucat. Dia bercerita bahwa suaminya mengalami luka di dagunya, karena terjatuh. Luka itu cukup dalam dan keluar banyak darah.

Aku menyarankan supaya menutup luka itu dengan plester berbentuk kupu-kupu. Dia menuruti. Sepuluh menit kemudian, dia kembali ke rumahku dengan wajah yang semakin pucat. Katanya, darahnya tak berhenti mengalir.

Mendengar hal itu, aku segera masuk ke rumah mereka. Suaminya terbaring di lantai ruang tanah. Bantalnya sudah berubah merah total, karena bersimbah darah. Astaga! Aku terkesiap sejenak. Ini luka yang cukup serius. Tadinya saya pikir hanya luka gores biasa.

“Ini harus segera dibawa ke rumah sakit,”saranku,”darah yang keluar sudah sangat banyak. Mas ini bisa kehabisan darah.”

“Tidak usah,” kata pria yang terluka itu dengan suara lemah,”nanti juga berhenti sendiri.”

“Tapi darah yang sudah keluar sudah terlalu banyak,” kataku menandaskan.
“Sudahlah. Saya sudah pernah mengalami begini sebelumnya, dan tidak apa-apa kok,” jawab pria itu.

Aku menghampiri isterinya. “Kita harus membawanya ke rumah sakit, atau setidaknya ke klinik terdekat,” kataku. Ia mengangguk menurut. “Saya akan mencari becak dulu,” lanjutku sambil mengeluarkan sepeda motor. Untunglah, masih ada tukang becak yang masih mangkal meski sudah malam.

Aku kembali ke rumah tetangga. Kondisi pria itu semakin lemah, tapi dia masih menolak dibawa ke rumah sakit. Isterinya membujuk-bujuk sambil menangis, pria ini tetap menolak. Aku segera membisiki anak perempuannya yang masih TK untuk membujuk ayahnya supaya mau dibawa ke rumah sakit. Dia menurut, tapi gadis kecil ini membujuknya sambil menangis, “Papa jangan mati, ya. Dibawa ke rumah sakit, ya Pa.”

Tapi tangisan anaknya pun tak mampu meruntuhkan benteng pertahanan itu. Kami pun sudah hampir kehabisan akal. Aku lalu ingat punya teman seorang paramedis. Kami pernah bekerja sama di posko kemanusiaan pada bencana gempa di kota kami. Aku hubungi HP-nya, tapi tidak diangkat. Aduh, apa lagi yang bisa dilakukan?

“Kita jemput mamanya saja, mas” saran ibu penjual gado-gado,”mungkin kalau mamanya yang membujuk, dia mau patuh!”. Usul yang bagus. Aku segera meluncur ke rumah ayahnya yang tidak seberapa jauh. Dengan sepeda motor, aku segera memboncengkan ibu yang sudah tua ini. Tapi usaha ini pun membentur tembok kekerasan hati juga.

Aku sudah mulai tak sabar. Aku sudah punya rencana untuk bersama membopongnya dengan setengah memaksa. Tukang becak masih menunggu di depan rumahnya. Dengan kondisi yang lemah, dia tidak punya tenaga untuk memberontak. Demikian pikirku. Tapi sebelum rencana itu dilaksanakan, teman paramedis itu menghubungi. Aku lalu menceritakan kejadiannya. Dia bersedia datang untuk melihat kondisinya.

Dengan peralatan medis seadanya, temanku itu segera melihat kondisi lukanya. “Luka bapak ini tidak lebar, tapi sangat banyak. Kemungkinannya kena pembuluh darah. Ini harus dijahit,” katanya meyakinkan.

Pria itu tidak membantah. “Saya tidak membawa peralatan. Jadi sebaiknya dibawa ke rumah sakit. Nanti tidak dijahit banyak kok. Paling satu atau dua jahitan,”lanjut temanku.

“Dibawa ke rumah sakit ya, pa?” kata isterinya.

Pria itu diam saja. Ini pertanda baik. “Oke, becak sudah siap. Kita ke rumah sakit,yuk,”kataku sambil menggamit lengannya. Pria ini akhirnya menurut ketika dipapah ke becak. Di atas becak, pria ini muntah.

“Itu salah satu tanda dia sudah kehilangan banyak darah,” kata temanku yang paramedis. Kami segera membawanya ke klinik terdekat. Dia segera mendapat pertolongan pertama. Tak sampai setengah, jam pendarahan pun berhenti.

Selama menanti di ruang tunggu UGD, saya menanyakan bagaimana kejadiannya pada isterinya. Dia lalu bercerita bahwa suaminya terjatuh ketika dibonceng oleh temannya. Dengan kondisi terluka, dia segera dibawa pulang. Sesampai di rumah, lukanya itu segera dirawat, tapi darahnya mengalir keluar terus. Kalau dihitung, sudah lebih dari enam jam darah itu tidak berhenti keluar.

Hebat juga bapak ini! Esoknya dia sudah berangkat kerja seperti biasa.

Minggu, 25 April 2007
 

Kembali ke atas


Mami Vinolia alias Wakijo

 

Nama aslinya sebenarnya Wakijo, tapi oleh teman-teman waria ia dipanggil mami Vinolia atau mami Vinny. Penampilannya biasa-biasa saja, bahkan malah terkesan macho. Tubuhnya gempal, bibirnya besar dan rambutnya keriting jarang-jarang. Saya mengenalnya ketika reportase tentang kesehatan reproduksi anak-anak jalanan. Dia mengasuh anak-anak jalanan di Yogyakarta yang biasa mangkal di stasiun Lempuyangan. Waria berusia di atas 40 tahun ini prihatin melihat anak perempuan di jalan-jalan yang sangat rentan terhadap penyakit pada alat reproduksinya.

Kami tidak menjalin kontak lagi selama hampir tiga tahun. Bulan kemarin panitia Paskah bertanya, sebaiknya kami melakukan aksi sosial kemana? Entah mengapa saya teringat kelompok anak jalanan ini. Saya menawarkannya pada panitia Paskah, dan mereka setuju. Saya lalu menghubungi mami Vinolia, setelah lebih dulu minta no HP-nya pada PKBI Jogja. Ternyata, dia sudah tidak mengasuh anak jalanan lagi. Dia sekarang menaruh perhatian pada sesama Waria yang sangat rentan tertular penyakit HIV-AIDS. Untuk itu dia mendirikan sebuah LSM bernama KEBAYA, singkatan dari Keluarga Besar Waria Yogyakarta dengan akta Notarisno 38, tgl 22 Januari 2007.

Visi mereka adalah turunnya angka infeksi HIV dan penangana kasus AIDS di kalangan Waria DIY. Sedangkan misinya, meningkatkan taraf hidup waria yang setara dengan anggaota masyarakat lainnya sebagai warga negara Indonesia. Dalam organisasi ini, mami Vinny sebagai manajer program, dan dibantu oleh Yuni Shara sebagai manajer keuangan dan Yetti Rumaropen sebagai koordinator lapangan.

"Fokus perjuangan kami saat ini adalah memberdayakan kaum waria dan berjuang supaya kaum waria mendapatkan hak-hak yang setara sebagai warga negara," kata mami Vinny. Ia mencontohkan, saat ini kaum waria mengalami kesulitan untuk mendapatkan KTP. Kaum waria juga sering dikejar-kejar oleh Satpol P.P. Untuk itu mereka bertekad untuk mengubah persepsi buruk masyarakat terhadap waria. "Contohnya banyaknya peran waria di Sinetron TV itu justru sangat tidak menguntungkan kami. Peran waria di sana paling sering hanya sebagai bahan tertawaan saja," jelas mami Vinny dengan penuh prihatin.

Di akhir pertemuan kami dengan Kebaya, mereka mengedarkan kardus sumbangan. Salah satu anggota mereka, yang bernama Fani, kini sedang dirawat di R.S. Bethesda dalam keadaan kritis. Hasil bantingan ini akan disumbangkan untuk membantu pengobatan Fani.

Kembali ke atas

 


Saved by Coin

 

Darah Sunar tersirap. Matanya menatap lekat di layar TV. "Astaga, apa yang terjadi," batinnya terkesiap. Cepat-cepat dia menyambar handphone. Jari-jarinya meloncat-loncat gemetaran mencari nomor telepon kawannya.

"Tulalit-tulalit…Nomor yang Anda tuju berada di luar service area….," terdengar suara jawaban otomatis.

"Mungkin dia memakai nomor satunya," batinnya. Masih tersisa harapan.

Tapi tidak ada nada sambung sama sekali. Sunar lalu menelepon temannya.

"Sudah lihat berita di TV?" tanya Sunar

"Sudah. Bagaimana kabar Mayadi?" jawab suara di seberang.

"Justru itu, aku mau tanya."

Sunar terduduk lesu. Tangannya merogoh uang logam seratusam. Sejenak menimang-nimangya. Matanya menerawang kejadian lima hari sebelumnya.

Siang itu, Sunar baru saja memarkirkan sepeda motornya di halaman kantor jaringan LSM. Mayadi menghampiri dan menariknya di bawah pohon sawo.

"Biar aku saja yang berangkat," pinta Mayadi, "Minggu depan isteriku akan melahirkan. Aku butuh uang."

Sunar hanya mendengus. Dia sebenarnya juga membutuhkan uang. Kontrakan rumahnya sudah habis. Tapi Sunar tidak tega melihat wajah Mayadi yang memelas. Dia tahu, isteri Mayadi mengandung bayi yang sungsang. Bayinya dalam posisi duduk.

"Ayo kita tanya Pimpinan," ajak Sunar, "mungkin bisa diusahakan kita pergi berdua." Mereka masuk ruang pimpinan.

"Tidak bisa," jawab Pimpinan, "jatah dalam proposal hanya satu."

"Tapi kota ini adalah daerah konflik. Banyak terjadi pelanggaran HAM," kilah Sunar.

"Makanya perlu dikirim dua orang," tambah Mayadi.

"Anggarannya sangat terbatas," jawab Pimpinan pendek. Sunar tersenyum kecut. Dia tahu tabiat pimpinan. Kalau sudah menyangkut dana, tak bisa kompromi lagi.

"Baiklah. Kamu saja yang berangkat," kata Sunar kepada Mayadi.

Di jaringan LSM itu, mereka berdua sebenarnya berstatus relawan. Mereka.bekerja atas dasar dorongan panggilan hati. Meski begitu, mereka mendapat honor jika terlibat program kegiatan. Saat itu ada kesempatan mengadakan pelatihan di daerah konflik dengan dukungan dana dari luar negeri. Biasanya honornya lumayan, karena ditetapkan dengan standard Dollar.

Rapat pleno digelar. Ada dua kandidat yang dikirim: Sunar atau Mayadi. Sunar memberi kesempatan pada Mayadi.

"Tidak bisa begitu," kata Wulan, "kita harus memisahkan persoalan pribadi dengan profesionlsime."

"Supaya adil,kita undi saja" usul Anto.

Semua setuju. Sunar bangkit, merogoh uang logam di sakunya.

"Kamu pilih rumah atau kayon?" tanya Sunar

"Rumah," pilih Mayadi.

Uang koin berputar di udara. Gambar rumah di bagian atas. Mayadi yang berangkat.

Lima hari kemudian gelombang Tsunami menggulung kota yang dituju Mayadi.

***

Jaringan komunikasi sudah pulih, tapi Mayadi tak juga berkabar berita. Masih hidupkah dia? Karena jazadnya tidak ditemukan, berarti ada harapan Mayadi ditemukan masih hidup. Mungkin dia terluka berat.

Sunar memutuskan berangkat ke kota itu. Apapun juga, perjuangan mulia harus berjalan terus. Dia akan meneruskan rencana pelatihan itu sambil sedapat-dapatnya mencari Mayadi. Sunar ingin mengabarkan bahwa isterinya sudah melahirkan bayi perempuan. Dia diberi nama "Sunami".

 

~~~~Terinspirasi dari kisah nyata (alm) Mas Wijanarko


In Memoriam pdt. Susanto Notodiryo

 

Saya baru dua kali bertemu dengan pdt. Susanto Notodiryo atau kami biasa memanggil beliau pak Noto.  Pertemuan pertama, pada bulan Desember 2005 di pastori, samping GKJ Gumulan. Sudah menjadi tradisi, setiap Desember kami mengadakan Christmas Carol.  Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Panti Wredha yang disesepuhi oleh pak Noto dan Ibu. Setelah dari panti wredha ini, kami melanjutkan kunjungan ke rumah beliau, yang berbatasan pagar dengan panti.

Pertemuan kedua, bulan desember 2006, pada acara yang sama pula. Secara fisik, badannya masih kelihatan tegap, walau rambutnya sudah memutih dan kulitnya berkeriput. Tatapan matanya masih menyala-nyala. Selera humornya juga belum hilang.

 

Bu Noto bercerita, bahwa selama ini pak Noto tidak mengalami gangguan kesehatan yang berarti.  Hanya saja, fungsi pendengarannya sudah menurun.  Untuk itu, beliau membutuhkan alat bantu pendengaran.  Sayangnya, alat ini mengalami kerusakan.  Namun hal ini tidak menghalangi pak Noto untuk beribadah di gereja.

Pulang dari gereja, pak Noto bercerita sambil tertawa: "Orang-orang di gereja tadi mungkin mengira saya bisa mendengar khotbah hari ini.  Padahal saya mendengar tidak sama sekali.  Saya hanya mengangguk-anggukkan kepala saja."

 

Tanggal 19 Mei 2007, Tuhan memanggil pulang pak Noto pada usia 83 tahun.  Sejak memulai pelayanan sebagai guru Injil pada tahun 1944, berarti sudah sekitar 63 tahun pak Noto telah melayani Tuhan.  Pada saat-saat terakhirnya, pak Noto berpesan supaya jenazahnya tidak dipakaikan toga pendeta.  Dia juga berpesan supaya dalam peti itu tidak disertakan Alkitab."Itu melecehkan Alkitab.  Masa' orang mati disuruh membaca Alkitab," pesan pak Noto.  Pak Noto juga sudah memilih sendiri lagu-lagu yang akan dinyanyikan pada kebaktian pangrukti laya nantinya.  Salah satunya adalah "Tiap Langkahku Diatur oleh Tuhan"

 

Dalam khotbahnya, pdt. Budianto mengatakan bahwa keinginan terbesar yang dimiliki oleh pendeta adalah mengakhiri tugas pelayanan dengan baik. Kerinduan itu telah didapatkan oleh pak Noto, sehingga dia dapat berbaring dengan lega dan berkata:"Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman." (2 Timotius 4:7)

 

Kembali ke atas

 


Melewatkan Mukjizat di Depan Mata

Pukul sepuluh malam, HP-ku berdering. "Mas, ini darurat. Anda diminta mendonorkan darah,"kata Agus Permadi di ujung telepon. "Oke, tunggu sebentar. Aku keluarkan sepeda motor dulu," jawabku.

"Tidak usah.  Nanti kami jemput dengan mobil.  Saat ini kami sedang menjemput pak Teguh," sahut Agus Permadi.

Mobil Chevrolet tua melesat membelah kesunyian malam di kota kami. Langit terlihat cerah, udara sangat gerah. Sudah lebih dari tiga bulan ini cuaca sangat panas di kota kami, baik itu siang atau malam.

Sesampai di rumah sakit, sudah ada banyak orang yang berkumpul di depan sebuah kamar. Ada pak Yono dan isteri, pak Giri, pak Lukas dan anaknya, pak Bambang Budiadi dan isteri.  Aku bersama dengan pak Teguh, koh Yoyok dan Agus Permadi bergabung dengan mereka.

Kami menyalami pak Hendro dan bu Dewi Retno Murni isterinya. Mata bu Retno terlihat sembab karena habis menangis. Yogi, anak mereka terbaring di ranjang karena terserang virus demam berdarah. Malam itu, jumlah trombosit dalam darahnya melorot sangat drastis ke angka 50 ribu. Padahal ambang batas minimalnya adalah 150 ribu.

Meski sudah banyak minum jus buah jambu merah yang dipercaya dapat meningkatkan kadar trombosit, tapi tidak terlihat perubahan yang berarti. Jika kondisi ini berlanjut, maka alternatifnya adalah tranfusi trombosit yang diambil dari darah orang lain.  Untuk mendapatkan sekantong trombosit, maka dibutuhkan tujuh pendonor. Trombosit ini harus "diekstrak" dari darah segar. Itu artinya, kami harus selalu siap mendonorkan darah jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Setelah setengah jam menunggu, kami mendapat kabar bahwa kepastian pendonoran darah itu baru diketahui besok jam enam pagi. Kami diminta pulang saja untuk menjaga kondisi.

Keesokan harinya, tidak ada panggilan telepon. Berarti tidak jadi donor darah. Siangnya, kami menjenguk Yogi. Meski kadar trombositnya sangat rendah, tapi dia masih bisa bercanda.

"Tadi malam ada banyak orang yang berkumpul di depan kamar saya," kata Yogi."Saya lalu berpikir, apakah sakitku ini sangat parah sehingga banyak orang yang berkumpul. Apa saya sudah akan mati."

Hari itu, beberapa kali bu Retno mengirim SMS. Setiap kali SMS masuk, beritanya tentang kadar trombosit Yogi yang terus menurun, dari 50 ribu, terjun bebas ke angka 25 ribu, 19 ribu, bahkan sampai hanya 12 ribu.

Pagi berikutnya--pukul enam, HP-ku berbunyi. "Pak, kami butuh darah untuk Yogi.  Kami tunggu di PMI ya?" suara bu Retno tersendat-sendat menahan tangis.

Aku segera cuci muka dan gosok gigi. Isteriku juga bersiap-siap. Dengan sepeda motor kami melaju ke kantor PMI yang berjarak sekitar 2 km dari Pastori II. Sesampai di sana, ternyata kami yang datang pertama. Pendonor lain belum ada yang datang. Penjaganya pun masih tidur-tiduran.

Selang sepuluh menit kemudian, pendonor lainnya datang: Pak Teguh, pak Bambang Budiadi, mas Alex dan pak tentara (aku tidak tahu namanya). Pukul delapan, darah yang dibutuhkan sudah mencukupi.

---****---

Berkat tranfusi itu, kadar trombosit Yogi mulai naik.  Setelah dirawat selama enam hari, Yogi dibolehkan pulang ke rumah. Empat hari kemudian, pak Hendro memberikan kesaksian di depan persektuan kelompok.

"Ketika kadar trombosit anak kami terus turun, terus terang saja kami merasa cemas. Sebagai dokter, saya tahu benar betapa gawatnya situasi ini," kata dokter Hendro. "Ada pasien lain yang kadar trombositnya 50 ribu, dan dia tidak bisa bertahan. Sedangkan pada Yogi, kadar trombositnya hanya 12 ribu.  Itu kurang dari sepersepuluh dari batas aman, yaitu 150 ribu."

"Saat itu kami berdoa dengan sungguh-sungguh minta mukjizat Tuhan.  Kami juga mengirim SMS ke banyak orang untuk mendukung dalam doa.    Kalau selama ini ada istilah "doa berantai", maka malam itu saya menciptakan istilah baru, yaitu "serbuan doa".  Saya yakin, ada banyak orang yang mendukung kami dalam doa. Kami "menyerbu" Tuhan dengan doa. Kami meminta mukjizat Tuhan berupa kenaikan kadar trombosit Yogi."

"Akan tetapi mukjizat itu tak kunjung datang.  Bahkan kadar trombositnya malah menurun.  Terus terang saja, iman menjadi goyah saat itu," papar pak Hendro dengan bergetar. "Namun ada satu SMS yang kemudian menguatkan kami,"lanjutnya sambil membuka kembali SMS itu. Dia membacakannya kembali. SMS itu mengutip Kolose 4:2:"Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur." Setelah itu, SMS itu disambung dengan kata-kata ini: "Yogi masih dapat bertahan dengan angka hanya 12 ribu, bukankah itu sebuah mukjizat?"

Seketika itu juga pak Hendro dikuatkan kembali. Dia telah diingatkan tentang adanya mukjizat yang telah dilakukan Tuhan. Ketika kita minta mukjizat, kita sering memintanya harus sesuai dengan kehendak kita. Jika mukjizat itu dalam bentuk yang tidak sesuai dengan keinginan kita, maka kita menganggapnya bukan sebagai mukjizat.

Kembali ke atas

 


Pelajaran Merendahkan Diri

 

Ibu Inge (nama samaran) adalah seorang pengikut Kristus yang taat. Usianya di atas 50 tahun dan sudah setahun menjanda. Suatu hari, dia menarik uang di bank.

Di tempat parkir, tiba-tiba ada 3 orang yang menyapanya dengan sangat ramah. Sepertinya sudah kenal akrab, walau bu Inge sendiri merasa tidak kenal. "Sedang apa, Bu," tanya salah seorang pria dengan hangat.

"Ambil uang," jawab bu Inge. "Ambil berapa?" Bu Inge menyebutkan nilai nominal tertentu. "Ah, masih kurang. Ayo ambil lagi!" kata penyapa itu sambil menggamit lengan bu Inge dan mengajaknya kembali masuk bank.

Anehnya, bu Inge menurut saja. Dia kembali ke kasir dan mengambil seluruh tabungannya. Setelah itu, bu Inge 'dibimbing' masuk ke sebuah mobil. Di dalam mobil, orang-orang itu membujuk supaya bu Inge menitipkan segepok uang kepada mereka. Ini demi keamanan, kata mereka.  Mereka juga meminta perhiasan dan HP milik bu Inge.

Beberapa saat setelah diturunkan di pinggir jalan, bu Inge baru sadar bahwa telah ditipu habis-habisan. Dia segera melapor ke polisi.

"Tuhan, apa maksud-Mu atas semua ini?"tanya bu Inge dalam doa. Lalu suara hatinya berkata,"Kamu ambil uang itu untuk apa, sih?" Dia ingat sehari sebelumnya, dia tersinggung pada ucapan seseorang yang berkaitan dengan uang. Untuk menjaga harga dirinya, maka dia akan 'menyumpal' mulut orang itu dengan uang.

"Tuhan rupanya sedang mengajarkan tentang merendahkan diri kepadaku,"kata bu Inge. "Memang benar, ucapan ini: yen pingin andhap asor, kowe kudu nganti ndlosor [Merendahkan diri itu harus sampai mencium tanah]." [Purnawan]

Kembali ke atas

 

 

Kenangan Singkat atas Omi Intan Naomi

Saya kaget membaca berita di Kompas: Omi Intan Naomi telah dipanggil Bapa di sorga dalam usia 36 tahun. Saya mengenal pertama kali mengenal Omi melalui karya-karyanya yang dimuat di Sinar Harapan Minggu (sebelum dibereidel). Dia sangat rajin menulis di rubrik anak-anak. Maklum saja, ayahnya adalah seorang penyair ternama, Darmanto Jatman.  Bersama dengan Remi Silado, Darmanto membuat inovasi dengan menciptakan puisi-puisi mbelingnya.

Sebagai anak yang hidup di pelosok Gunungkidul, saya cukup beruntung telah diperkenalkan dengan dunia literatur oleh ayah saya. Meski agak susah dijangkau tansportasi, tapi ayah saya sering 'berhasil' mendapatkan koran SH dan almarhum majalah Mutiara. Minat kepenulisan saya banyak dibentuk oleh kedua media ini,Perkenalan saya pribadi dengan Omi Intan Naomi bermula ketika saya kuliah di jurusan Komunikasi UGM.

Omi menjadi kakak angkatan saya. Saya angkatan 1991, dia angkatan 1989.Ketika itu, dia sudah dikenal sebagai penyair muda yang cemerlang.Kami sempat beraktivitas bersama-sama di dalam Korps Mahasiswa Komunikasi (Komako), khususnya di divisi Jurnalistik dan Penerbitan. Kami menerbitkan tabloid SWARA. Dia menjadi Pemimpin Redaksi, saya reporternya. Saya masih ingat, laporan utama yang diangkat adalah tentang kewajiban Penataran P4 bagi mahasiswa baru.  Kami mengadakan jajak pendapat. Hasilnya, mayoritas responden menolak Penataran P4.

Selain Omi, rekan sekerja kami adalah Imam Wahyu(pernah di Editor dan Tiras. Entah sekarang dia ada dimana), Sagiyo, Yuyun Wardhana (fotografer Detik), Berto, Candra dan satu teman lagi yang sekarang di Metro TV. Namanya Matius Dwi Hartanto, tapi teman-teman memanggilnya Gimin.

Saya tidak lama bergaul dengan Omi karena dia cepat menyelesaikan teorinya. Setelah itu, dia jarang nongol di kampus. Dari pergaulan singkat saya dengannya, saya melihat Omi sebagai mahasiswa yang cerdas dan kritis. Namun ada juga jiwa pemberontak di dalamnya. Setiap kami rapat redaksi, dia biasanya melontarkan opini-opini cerdas sambil tak lupa mengepulkan asap rokok ringan dari mulutnya.

Omi menyelesaikan skripsi dengan topik penelitian analisis isi pojok Kompas. Setelah itu, kami tidak pernah kontak lagi.  Saya dengar kabar, dia menerjemahkan karya-karya sastra dari Australia.

Harus saya akui, perjalanan kepenulisan saya telah dihiasi oleh kekaguman saya pada wanita manis, berkulit langsat dan berambut ikal ini. Selamat jalan mbak Omi.
 


 


Anak Penjual Kripik Tewas Dipagut Ular

Bagi pengunjung yang sering mengunjungi blog saya mungkin pernah membaca kisah penjual keripik. Namanya pak Tukiran. Umurnya sudah di atas 50-an tahun, orangnya sangat sederhana. Pekerjaannya menjuak keripik dari rumah ke rumah menggunakan sepeda onthel.  Hebatnya, dia malah sudah pernah pergi ke Perancis karena anaknya dipersunting negerinya Zenedine Zidane itu. Tapi dia juga pernah mengalami tragedi. Anak, mantu dan cucunya yang lain semuanya tewas dalam peristiwa gempa 27 Mei 2006.

Setelah lama sekali tidak muncul, hari ini (26/8) pak Tukiran datang ke rumah kami. Saya pikir dia menjual keripik lagi. "Wah sudah lama ditunggu-tunggu,pak," kata saya, "apakah Bapak membawa keripik kesukaan kami?"

"Maaf, Pak," kata pak Tukiran sambil tertunduk-tunduk. Begitulah kebiasaannya. Kedua tangannya dilipatkan di depan dada, seperti posisi menyembah cara orang Jawa, sambil berkali-kali minta maaf. "Saya mau memberitahukan layu-layu," lanjut pak Tukiran.  Saya sedikit kaget, soalnya saya tidak begitu mengenal keluarganya. "Siapa yang meninggal?" tanya saya.

"Anak saya meninggal empat hari lalu," jawab pak Tukiran dengan suara yang tercekat.

"Lho, meninggal karena apa?"

"Digigit ular, pak"

Saya kaget sambil merasa sedikit merinding. Sumpah, saya takut banget sama ular!

Pak Tukiran lalu bercerita bahwa dia dan anak laki-lakinya yang masih sekolah STM berburu belut di sawah. Malam itu dengan bekal penerangan seadanya, mereka mengumpulkan binatang licin untuk dijadikan kripik belut. Tiba-tiba, sang anak merasakan sakit pada tumitnya, tapi dia tidak begitu mempedulikan karena dipikirnya hanya tertusuk duri liar saja. Akibatnya sungguh fatal, hanya dalam beberapa jam tubuhnya sudah membiru. Dia segera dilarikan ke RSUD Tegalyoso, tapi pihak rumah sakit menolaknya. Sudah terlambat, kata mereka. Maka anaknya ini dilarikan ke R.S. dr. Oen di Solo. Meski sudah diberi pertolongan, akhirnya nyawa sang anak tak terselamatkan.

Itulah ceritanya. Setelah itu pak Tukiran mengutarakan maksud kedatangannya ke rumah kami.  Sambil berkali-kali meminta maaf, dia ingin meminjam sejumlah uang untuk menutup ongkos di rumah sakit. "Kalau boleh, saya akan mencicil dengan keripik tempe," pinta pak Tukiran.

Atas

 

 

Home | buku | foto | about | kontak | links | permainan | humor | renungan | kuliner | artikel | sketsa | inspiratif | buku tamu