Sketsa Kehidupan
Gereja pun
Kena Tipu
Para penipu
sudah
benar-benar
nekat.
Gereja pun
sekarang
menjadi
target
penipuan.
Selasa sore
(6 Nop),
telepon di
rumah kami
berdering.
"Apa betul
ini
(menyebut
nama gereja
kami)?"
tanya
penelepon.
Dari
suaranya,
kelihatannya
berdialek
dari
Indonesia
bagian
Timur.
"Ini rumah
pastori.
Silakan
Bapak
telepon
kantor
gereja,"
jawab saya.
"Apakah
bisa bicara
dengan
pendetanya?"
si
penelepon
tidak
menggubris
jawaban
saya.
"Ini
darimana?"
tanya saya.
"Saya dari
Depag,"
jawab suara
di seberang
[Cling.....!
Saya
teringat
peristiwa
serupa
setahun
yang lalu].
"Apa yang
bisa saya
bantu?"
tanya saya.
"Apa bisa
bicara
dengan
pendetanya?"
"Ya saya
pendetanya,"
jawab saya
berbohong.
Padahal
yang jadi
pendeta itu
isteri
saya.
"Nama Bapak
siapa?"
tanyanya
[Lho...Anda
yang
menelepon,
tapi Anda
tidak tahu
siapa yang
akan Anda
telepon,
batin saya]
"Lho Anda
mencari
siapa?"
tanya saya
mengelak.
"Saya
mencari
pendetanya"
"Ya saya
pendetanya."
[Isteri
saya
melihat
sambil
tersenyum-senyum]
"Oke, kalau
begitu
Bapak
diminta
untuk
menelepon
Dirjen
Pembimas
Kristen,
Bapak....(menyebut
seorang
nama Jawa
dengan nama
baptis)."
"Ada perlu
apa saya
harus
menelepon
beliau?"
tanya saya.
"Ada urusan
yang sangat
penting"
jawabnya.
"Yang punya
kepentingan
itu 'kan
dari Depag.
Kalau
memang itu
sangat
penting,
mengapa
bukan bapak
dirjen
Pembimas
sendiri
yang
menelepon
ke sini.
Mengapa
saya yang
harus
menelepon?"
jawab saya.
Tuuuut...tuuuuut....tut!!!
Telepon
dimatikan.
Mungkin
saya telah
bersikap
ketus dan
kasar. Tapi
ini bukan
pengalaman
yang
pertama.
Setahun
yang lalu,
isteri saya
menerima
telepon
yang
mengaku
dari
Depag. Si
penelepon
mengatakan
bahwa
gereja kami
akan
menerima
bantuan
dari Depag.
Namun
ujung-ujungnya,
mereka
minta duit.
Saat itu
isteri saya
menjawab,
"Kalau
bantuan itu
memang
benar,
silakan
kirim surat
resmi ke
Majelis
Jemaat
gereja.
Nanti kami
akan
menanggapinya
secara
resmi."
Saat itu
juga
telepon
diputus.
Semoga
kisah ini
bermanfaat
supaya kita
tetap
waspada.
Atas
Penipuan
Berkedok Fren
Pukul
17:11,
telepon
Fren kami
berbunyi.
Di layar HP
tertera
nomor
08886320127
yang
memanggil.
Nomor ini
belum masuk
dalam
phonebook
kami.
Isteri saya
yang
mengangkatnya.
"Halo, nama
saya Drs.
Wawan
Setiawan
dari Fren,"
kata si
penelepon,"dengan
siapa saya
berbicara?"
Isteri saya
lalu
menyebutkan
namanya.
"Ibu
tinggal
dimana?"
tanya si
penelepon.
Isteri saya
menyebutkan
kota tempat
kami
berdomisili.
"Saya
mengucapkan
selamat.
Nomor Ibu
ini telah
memenangkan
undian
dalam
rangka
bulan
Ramadhan,"
kata si
penelepon
dengan
suara yang
bergembira.
Sampai di
sini, saya
mulai
curiga.
Maka saya
mengambil
alih
telepon.
"Halo,
Bapak
siapa?"
tanya orang
yang
mengaku
Wawan
Setiawan.
Saya
mengatakan
bahwa saya
suaminya.
"Saya Joko"
jawab saya
berbohong.
"Saya dari
Fren,
memberitahukan
bahwa Bapak
Joko
memenangkan
hadiah
undian
dalam
rangka
bulan
Ramadhan.
Hadiah ini
bebas
pajak.
Apakah
Bapak punya
buku
tabungan
untuk
mentransfer
hadiah?"
"Tunggu
dulu," saya
menyela,"bagaimana
saya bisa
memastikan
bahwa Anda
benar-benar
dari Fren
dan ini
bukan penipuan.
Apa
buktinya?"
"Kalau
Bapak tidak
percaya,
silakan
lihat di
LaTivi
nanti
malam,"
jawab Bapak
itu.
"Saya tidak
mau
menunggu
nanti
malam,"sergah
saya,"
Sekarang
saya minta
Anda
meyakinkan
saya bahwa
Anda
benar-benar
dari Fren
dan bahwa
ini bukan
penipuan!"
"Ya
buktinya
sekarang
ini kita
sedang
saling
mencocokkan
data.
Pembicaraan
ini
direkam,
makanya
jangan
sampai
pembicaraan
kita ini
putus,"
jawab orang
di
seberang.
Kelihatannya
dia mulai
jengkel."Sekarang
saya ingin
tahu,
apakah
Bapak punya
buku
tabungan?
Di Bank
apa?"
"Saya tidak
punya buku
tabungan"
jawab saya
berbohong.
"Bagaimana
kalau kartu
ATM?" tanya
orang itu.
"Tabungan
saja tidak
punya,
apalagi
kartu ATM,"
jawab saya.
"Bagaimana
kalau Bapak
mengambil
sendiri
hadiahnya?
Bapak bisa
mengambil
di kantor
kami di jl.
Kebun
Sirih" kata
orang itu.
"Rumah saja
jauh dari
Jakarta,"
jawab saya.
"Apakah
Bapak tidak
punya
Saudara di
Jakarta?"
tanya si
penelepon.
"Tidak
punya"
jawab saya,
lagi-lagi
berbohong.
Padahal
mertua saya
ada di
Jakarta.
Tidak
terdengar
suara dari
seberang.
Rupanya dia
telah
memutuskan
sambungan
telepon.
Sejak
semula saya
sudah
mencurigai
bahwa ini
adalah
usaha
penipuan
karena ada
beberapa
kejanggalan:
1. Si
penelepon
menanyakan
nama orang
yang
ditelepon.
Mestinya,
kalau ingin
memberitahukan
kemenangan,
dia sudah
tahu siapa
yang akan
ditelepon.
Ketika saya
mengaku
dengan nama
"Joko", si
penelepon
percaya
begitu
saja.
Padahal
nomor
telepon itu
terdaftar
atas nama
saya
[Purnawan].
Kalau dia
benar-benar
dari Fren,
dia
mestinya
bisa
memeriksa
database-nya.
2. Si
penelepon
melakukan
blunder
dengan
menyebut
nama
LaTivi.
Kalau mau
membuat
acara
pengundian
pemenang,
maka Fren
pasti akan
memilih
stasiun TV
yang masih
"bersaudara"
dengannya
yaitu group
MNC (TPI,
RCTI,
Global).
Pemegang
saham Fren
adalah
pemegang
saham MNC
juga.
3.
Pengambilan
hadiah bisa
diwakilkan
oleh orang
lain.
Memang
dengan
surat kuasa
bisa saja
dilakukan,
tapi
biasanya
penyelenggara
undian
berharap
pemenang
menerima
langsung.
Ini untuk
kepentingan
publikasi.
Saya berkali-kali
menerima
SMS hoax
yang
memberitahukan
saya
memenangkan
undian.
Biasanya
SMS sampah
seperti ini
langsung
saya hapus.
Namun baru
kali ini
saya
mendapat
telepon
langsung
dari si
penipu. Ini
modus baru.
Saya
menduga, si
penipu
berani
menelepon
karena
ongkos
telepon
antar Fren
memang
murah.
Biasanya
jika sang
mangsa
terpikat,
dia
digiring
untuk pergi
ke ATM
terdekat.
Selama itu,
hubungan
telepon
tidak boleh
terputus.
Dengan
teknik
persuasi
yang
tinggi, si
penelepon
menggiring
sang mangsa
untuk
mentransfer
uang ke
rekeningnya.
Kita perlu
waspada dan
kritis
terhadap
penyalahgunaan
teknologi.
Atas
Kesempatan
Kedua untuk
Mantan Napi
Prestasinya
cukup
spektakuler.
Hanya dalam
satu tahun,
dia
langsung
menyabet
peringkat
dua di
perusahannya sebagai
wiraniaga
yang paling
banyak
menjual
polis
asuransi.
Sebagai
hadiahnya,
dia boleh
melancong
ke Swiss
gratis.
Tapi karena
ada kendala
teknis,
tempat
tujuannya
diubah ke
Beijing.
Tahun
berikutnya,
tahun 2006,
peringkatnya
melorot
satu
tingkat, ke
peringkat
tiga. Dia
sengaja
mengurangi
targetnya
karena
banyak
nasabahnya
yang sedang
mengalami
kesulitan
ekonomi.
Sebut
saja
namanya,
Wahyu
(bukan nama
sebenarnya).
Bapak
berusia 43
tahun ini
sekarang
dengan
bangga
mengaku
bahwa dia
hanya
lulusan STM
jurusan
listrik.
Dia ingin
menunjukkan
bahwa
dengan
pendidikan
yang minim
pun bukan
alasan
untuk
mencapai
sukses,
asal mau
bekerja
keras dan
berkomitmen
tinggi.
Namun di
balik itu,
ada satu
hal yang
tidak
banyak
diketahui
orang. Dia
adalah
mantan
narapidana
selama 5
tahun dan
di
antaranya
pernah
menghuni
L.P.
Nusakambangan.
Dia dihukum
karena
mengedarkan
narkotika.
Selama
Wahyu dalam
penjara,
anak dan
isterinya
mengalami
masa-masa
yang
berat.
Termasuk
juga dalam
memenuhi
kebutuhan
sehari-hari.
Melihat hal
ini, setiap
bulan
sebuah
gereja
memberikan
beras
kepada
keluarga
ini. Ketika
Wahyu
selesai
menjalani
hukuman,
dia tidak
tahu harus
bekerja
apa.
Sebagai
mantan
narapidana,
dia
mendapat
stigma
buruk dari
masyarakat.
Namun
tidak semua
orang
curiga
kepada
Wahyu. Ada
salah satu
anggota
jemaat yang
memberi
kesempatan
kepadanya.
Sebut saya
namanya pak
Jeremia.
Berkat
relasinya
yang kuat,
pak Jeremia
bisa
memasukkan
Wahyu ke
sebuah
perusahaan
asuransi.
Namun pak
Jeremia
tidak
berhenti di
sini.
Dengan
sabar dia
memberikan
bimbingan
dan
motivasi
kepada
Wahyu. Dia
memberikan
beberapa
langkah
strategis.
"Kalau kamu
melakukan
langkah-langkah
ini, aku
jamin kamu
akan
sukses,"
kata pak
Jeremia.
Ternyata
kepercayaan
dan
kesempatan
itu tidak
disia-siakan
oleh Wahyu.
Setelah
sukses
sebagai
agen
pemasar top
di
perusahaannya,
Wahyu
menetapkan
target
baru. Dia
ingin masuk
dalam
daftar
agen
pemasaran
asuransi
paling
sukses
secara
nasional.
Langkah ke
sana sudah
dimulai.
Tahun 2007
ini, dia
masuk dalam
10 besar
agen
asuransi
versi AAJI
(Asosiasi
Asuransi
Jiwa
Indonesia).
Pelajaran
apa yang
bisa kita
petik dari
kisah ini?
1. Jangan
menilai
orang
semata-mata
dari masa
lalunya.
Setiap
orang bisa
berubah
(entah itu
ke arah
perbaikan
atau
sebaliknya).
Orang yang
masa
lalunya
kelam,
tidak
selamanya
akan
menjadi
orang yang
jahat.
2. Berikan
kesempatan
kedua pada
orang lain
untuk
memperbaiki
diri.
3. Jika
kita pernah
berbuat
kesalahan,
bangkitlah
kembali
untuk
memperbaikinya.
4. Pegang
teguh
kepercayaan
yang telah
diberikan
orang lain
kepada
kita. Sebab
di situlah
terletak
pintu
menuju
kesuksesan.
Atas
Urung Donor
Darah
Pukul sepuluh
malam, HP-ku
berdering.
"Mas, ini
darurat. Anda
diminta
mendonorkan
darah,"kata
Agus Permadi
di ujung
telepon.
"Oke, tunggu
sebentar. Aku
keluarkan
sepeda motor
dulu,"
jawabku.
"Tidak usah.
Nanti kami
jemput dengan
mobil. Saat
ini kami
sedang
menjemput pak
Teguh," sahut
Agus Permadi.
Mobil
Chevrolet tua
melesat
membelah
kesunyian
malam di kota
kami. Langit
terlihat
cerah, udara
sangat gerah.
Sudah lebih
dari tiga
bulan ini
cuaca sangat
panas di kota
kami, baik
itu siang
atau malam.
Sesampai di
rumah sakit,
sudah ada
banyak orang
yang
berkumpul di
depan sebuah
kamar. Ada
pak Yono dan
isteri, pak
Giri, pak
Lukas dan
anaknya, pak
Bambang
Budiadi dan
isteri. Aku
bersama
dengan pak
Teguh, koh
Yoyok dan
Agus Permadi
bergabung
dengan
mereka.
Kami
menyalami pak
Hendro dan bu
Dewi Retno
Murni
isterinya.
Mata bu Retno
terlihat
sembab karena
habis
menangis.
Yogi, anak
mereka
terbaring di
ranjang
karena
terserang
virus demam
berdarah.
Malam itu,
jumlah
trombosit
dalam
darahnya
melorot
sangat
drastis ke
angka 50
ribu. Padahal
ambang batas
minimalnya
adalah 150
ribu.
Meski sudah
banyak minum
jus buah
jambu merah
yang
dipercaya
dapat
meningkatkan
kadar
trombosit,
tapi tidak
terlihat
perubahan
yang berarti.
Jika kondisi
ini
berlanjut,
maka
alternatifnya
adalah
tranfusi
trombosit
yang diambil
dari darah
orang lain.
Untuk
mendapatkan
sekantong
trombosit,
maka
dibutuhkan
tujuh
pendonor.
Trombosit ini
harus
"diekstrak"
dari darah
segar. Itu
artinya, kami
harus selalu
siap
mendonorkan
darah jika
sewaktu-waktu
dibutuhkan.
Setelah
setengah jam
menunggu,
kami mendapat
kabar bahwa
kepastian
pendonoran
darah itu
baru
diketahui
besok jam
enam pagi.
Kami diminta
pulang saja
untuk menjaga
kondisi.
Keesokan
harinya,
tidak ada
panggilan
telepon.
Berarti tidak
jadi donor
darah.
Siangnya,
kami
menjenguk
Yogi. Meski
kadar
trombositnya
sangat
rendah, tapi
dia masih
bisa
bercanda.
"Tadi malam
ada banyak
orang yang
berkumpul di
depan kamar
saya," kata
Yogi."Saya
lalu
berpikir,
apakah
sakitku ini
sangat parah
sehingga
banyak orang
yang
berkumpul.
Apa saya
sudah akan
mati."
Hari itu,
beberapa kali
bu Retno
mengirim SMS.
Setiap kali
SMS masuk,
beritanya
tentang kadar
trombosit
Yogi yang
terus
menurun, dari
50 ribu,
terjun bebas
ke angka 25
ribu, 19
ribu, bahkan
sampai hanya
12 ribu.
Pagi
berikutnya--pukul
enam, HP-ku
berbunyi.
"Pak, kami
butuh darah
untuk Yogi.
Kami tunggu
di PMI ya?"
suara bu
Retno
tersendat-sendat
menahan
tangis.
Aku segera
cuci muka dan
gosok gigi.
Isteriku juga
bersiap-siap.
Dengan sepeda
motor kami
melaju ke
kantor PMI
yang berjarak
sekitar 2 km
dari Pastori
II. Sesampai
di sana,
ternyata kami
yang datang
pertama.
Pendonor lain
belum ada
yang datang.
Penjaganya
pun masih
tidur-tiduran.
Selang
sepuluh menit
kemudian,
pendonor
lainnya
datang: Pak
Teguh, pak
Bambang
Budiadi, mas
Alex dan pak
tentara (aku
tidak tahu
namanya).
Pukul
delapan,
darah yang
dibutuhkan
sudah
mencukupi.
---****---
Berkat
tranfusi itu,
kadar
trombosit
Yogi mulai
naik.
Setelah
dirawat
selama enam
hari, Yogi
dibolehkan
pulang ke
rumah. Empat
hari
kemudian, pak
Hendro
memberikan
kesaksian di
depan
persektuan
kelompok.
"Ketika kadar
trombosit
anak kami
terus turun,
terus terang
saja kami
merasa cemas.
Sebagai
dokter, saya
tahu benar
betapa
gawatnya
situasi ini,"
kata dokter
Hendro. "Ada
pasien lain
yang kadar
trombositnya
50 ribu, dan
dia tidak
bisa
bertahan.
Sedangkan
pada Yogi,
kadar
trombositnya
hanya 12
ribu. Itu
kurang dari
sepersepuluh
dari batas
aman, yaitu
150 ribu."
"Saat itu
kami berdoa
dengan
sungguh-sungguh
minta
mukjizat
Tuhan. Kami
juga mengirim
SMS ke banyak
orang untuk
mendukung
dalam doa.
Kalau selama
ini ada
istilah "doa
berantai",
maka malam
itu saya
menciptakan
istilah baru,
yaitu
"serbuan
doa". Saya
yakin, ada
banyak orang
yang
mendukung
kami dalam
doa. Kami
"menyerbu"
Tuhan dengan
doa. Kami
meminta
mukjizat
Tuhan berupa
kenaikan
kadar
trombosit
Yogi."
"Akan tetapi
mukjizat itu
tak kunjung
datang.
Bahkan kadar
trombositnya
malah
menurun.
Terus terang
saja, iman
menjadi goyah
saat itu,"
papar pak
Hendro dengan
bergetar.
"Namun ada
satu SMS yang
kemudian
menguatkan
kami,"lanjutnya
sambil
membuka
kembali SMS
itu. Dia
membacakannya
kembali. SMS
itu mengutip
Kolose
4:2:"Bertekunlah
dalam doa dan
dalam pada
itu
berjaga-jagalah
sambil
mengucap
syukur."
Setelah itu,
SMS itu
disambung
dengan
kata-kata
ini: "Yogi
masih dapat
bertahan
dengan angka
hanya 12
ribu,
bukankah itu
sebuah
mukjizat?"
Seketika itu
juga pak
Hendro
dikuatkan
kembali. Dia
telah
diingatkan
tentang
adanya
mukjizat yang
telah
dilakukan
Tuhan.
Ketika kita
minta
mukjizat,
kita sering
memintanya
harus sesuai
dengan
kehendak
kita. Jika
mukjizat itu
dalam bentuk
yang tidak
sesuai dengan
keinginan
kita, maka
kita
menganggapnya
bukan sebagai
mukjizat.
Atas
Makanan Jadul
Hari ini
(Jumat,
18/4), saya
mengunjungi
Museum Anak
"Kolong
Tangga" di
Taman Budaya
Yogyakarta.
Di tempat ini
dipamerkan
ratusan
mainan
anak-anak
sejak zaman
Majapahit,
hingga zaman
modern.
Melihat-lihat
isi museum
seolah-olah
dibawa oleh
mesin waktu
kembali masa
kecil saya.
Mainan yang
dipajang
mengingatkan
kembali akan
masa
kanak-kanak.
Mainan dalam
foto ini
contohnya.Di
kampung saya,
mainan
ini sering
dijual pada
pertunjukan
wayang kulit.
Bahannya
terbuat dari
seng . Cara
mainnya
adalah dengan
menggulungkan
tali pada
rodanya,
kemudian
menariknya
kuat-kuat,
sehingga heli
ini dapat
bergerak
sendiri.

Pada bagian
pertama ini,
saya ingin
mengenang
makanan
ketika saya
masih kecil.
Karena hidup
di wilayah
yang cukup
gersang, kami
justru
mengembangkan
berbagai
jenis makanan
yang
bervariasi.
1. Thiwul
Pada zaman
dahulu,
Gunungkidul
memang pernah
dikenal
sebagai
wilayah yang
kekurangan
pangan.
Karena beras
susah
didapatkan,
maka warga
Gunungkidul
mengkonsumsi
thiwul, yaitu
makanan yang
berbahan
pokok ketela
pohon. Cara
pengolahannya,
ketela pohon
dikupas,
kemudian
dijemur
hingga
kering.
Namanya
gaplek.
Gaplek ini
dapat
disimpan
secara
berbulan-bulan.
Cara
memasaknya:
gaplek
ditumbuk
hingga
menjadi
tepung,
kemudan
diberi
sedikit air
dan
digoyang-goyang
di atas
tampah. Jika
sudah
terbentuk
gumpalan-gumpalan
kecil,
kemudian
dikukus
menggunakan
kukusan dan
dandang yang
terbuat dari
kuningan.
Jika sudah
masak maka
disebut nasi
thiwul.
Cara makan
thiwul yang
enak adalah
dengan ikan
asin, sambal
bawang dan
lalapan biji
mandhing
(lamtoro).
Selain
sebagai
makanan
pokok, thiwul
juga dapat
dijadikan
sebagai
camilan.
Caranya
dengan
menambahkan
parutan
kelapa muda.
Cara ini
disebut
dikrawu. Bisa
juga dengan
menambahkan
gula,
sehingga
terasa manis.
Selain nasi
thiwul,
gaplek juga
dapat
menghasilkan
gathot.
Gaplek yang
berwarna
keitam-hitaman
tidak cocok
jika
dijadikan
nasi thiwul.
Daripada
dibuang, maka
gaplek jenis
ini dapat
dijadikan
gathot.
Caranya cukup
dengan
dikukus,
kemudian
dimakan
dengan
parutan
kelapa atau
dibikin
manis.
Selain
thiwul, kami
juga
mengkonsumsi
jenis pangan
non beras
lainnya
seperti nasi
jagung, nasi
cathel
(sorgum), dan
nasi jawawut.
Kebutuhan
karbohidrat
juga
terpenuhi
dari
umbi-umbian.
Sejauh yang
saya ingat,
jenis
umbia-umbian
yang sering
dikonsumsi
adalah uwi,
gembili,
gadhung,
suwek, ubi
rambat,
garut,
ganyong dan
bentul.
Kalau Anda
ingin
mencicipi
makanan jenis
ini,
datanglah ke
kampung saya
pada waktu
upacara
Gumbrekan.
Upacara ini
berupa doa
untuk memohon
perlindungan
untuk
alat-alat
pertanian
(garu, luku,
cangkul,
sabil dll)
dan ternak.
Sebagai
sesajennya,
para petani
mengeluarkan
makanan
tradisional
ini. Ini
mirip hari
raya Halowen.
Pada malam
hari
anak-anak
mendatangi
setiap rumah
petani.
Pemiliki
rumah
mengeluarkan
sesajen,
mengucapkan
doa, kemudian
membagikan
makanan itu
pada
anak-anak.
Biasanya saya
membawa
pulang satu
cething penuh
aneka jenis
makanan.
2. Serangga
Untuk
memenuhi
kebutuhan
protein, maka
kami
menyantap
serangga. Ada
berbagai
jenis
serangga yang
biasa kami
makan. Yang
paling sering
diburu adalah
belalang
kayu. Hama
tanaman ini
rasanya
seperti
udang. Cara
memasaknya
bisa dengan
cara dibakar
saja,
digoreng atau
dibacem.
Dulu kami
berburu
belalang
dengan
membawa galah
bambu yang
dipakai untuk
memukul
belalang pada
ranting
pohon. Cara
menangkap
belalang
paling mudah
adalah
setelah turun
hujan. Karena
sayapnya
basah oleh
air hujan,
maka belalang
cenderung
terbang
menurun,
sehingga bisa
kami sergap
di atas
tanah. Cara
lainnya
adalah dengan
metode
nyuluh. Pada
malam hari
kami membawa
lampu
petromaks.
Lampu ini
diletakkan di
bawah pohon
yang
diperkirakan
banyak
bertengger
belalang.
Setelah itu
kami
menggoyang-goyang
batang pohon
itu sehingga
belalang itu
terbang.
Secara
naluriah,
belalang akan
terbang
menuju sumber
cahaya
sehingga
mudah
ditangkap.
Jenis
serangga lain
yang juga
diburu adalah
Jangkrik.
Namun rasanya
tidak seenak
belalang
karena ada
rasa
getirnya.
Cara
memburuknya
adalah
membongkar
batu-batuan.
Tapi harus
hati-hati
karena bisa
tersengat
kalajengking
atau dipatok
ular.
Jika sedang
beruntung,
maka kami
bisa
mendapatkan
Gondhing atau
ratu rayap.
Rasanya konon
gurih, karena
saya belum
pernah
mencicipi
yang ini.
Namun rayap
yang berjenis
laron juga
sangat gurih.
Biasanya
muncul pada
malam hari di
awal musim
hujan.
Kami juga
memakan telur
semut atau
kroto. Cara
memasajnya
adalah
dibikin
pepes.
Telur-telur
semut
dibumbui
bawang merah
dan garam,
dibungkus
dengan daun
jati kemudian
diletakkan di
atas bara
api.
Pada musim
semi, kami
juga berburu
ulat pohon
jati dan ulat
pohon
trembesi.
Sebenarnya
bukan ulat
yang kami
konsumsi,
melainkan
ulat yang
sudah
kepompong.
Kalau melihat
ketika masih
menjadi ulat
memang
terlihat
menjijikkan.
Tapi kalau
sudah menjadi
kepompong,
maka hewan
ini dapat
menjadi
makanan yang
lezat.
Yang
terakhir,
jangan
lupakan juga
olan-olan.
Hewan sejenis
ulat ini
sering
bersarang di
pokok/pangkal
pohon turi.
Bentuknya
putih, gemuk
dan empuk.
Kalau
dipegang
bikin geli.
3. Rujak
Babal
Sebagai
desert-nya
atau makan
penutup, ada
sajian rujak
babal (nangka
muda)
Bumbu:
bawang,
garam,
kencur, gula
jawa, Lombok,
terasi bakar.
Bahan: babal
(nangka
mudha),
pace/mengkudu,
ubi rambat
mentah, daun
pepaya
mentah,
lamtoro/mandhing
yang masih
muda, jambu
mete.
Alat: Lumpang
dan alu
Pertama-tama
bumbu
ditumbuk
dalam
lumping.
Setelah
halus,
masukkan
semua bahan
rujak,
kemudian
tumbuk
menjadi
halus.
Kalau Anda
baru pertama
kali
mencicipi
rujak ini
pasti akan
kaget. Anda
akan dibuat
batuk-batuk.
Ini adalah
efek dari
kombinasi
jambu mete
dan pedasnya
lombok.
Sekali
mencicipi
pasti
ketagihan
karena ada
berbagai
macam rasa
yang unik.
Selain pedas,
asam dan
manis, Anda
juga dapat
mencecap efek
pahit dari
daun pepaya
dan rasa
getir yang
ditimbulkan
oleh pace.
Ada juga rasa
sepat yang
dihasilkan
oleh nangka
muda. Yang
tak kalah
seru adalah
sensasi
klethuk-klethuk
dari pace dan
ubi mentah
ketika
dikunyah [Purnawan
Kristanto]
Atas
Mainan Jadul
Hidup di
pedesaan yang
jauh dari
pusat hiburan
dan mainan
tidak membuat
kami
kehilangan
masa kecil
yang ceria.
Kami justru
lebih kreatif
membuat
sendiri alat
permainan
kami. Kali
ini akan saya
bagikan alat
mainan
perang-perangan
yang biasa
kami mainkan
waktu kecil:
1.Senapan
Kenthos
Alat
permainan ini
dapat
mengeluarkan
bunyi letusan
yang nyaring.
Hebatnya
lagi, dapat
melesatkan
peluru dari
ujung
larasnya.
Laras senapan
ini dibuat
dari pucuk
bambu dengan
diameter 3-5
cm dan
panjang 20-30
cm. Kemudian
dibuat batang
pendorong
peluru yang
dibuat dari
bambu yang
lebih tebal.
Diameternya
harus lebih
kecil
daripada
diameter
larasnya
supaya bisa
masuk; Dan
juga lebih
pendek 2-3 cm
daripada
larasnya.
Cara
memainkannya
adalah
memasukkan
“peluru”
yaitu bunga
lamtoro/mlandhing
muda (disebut
kenthos).
Bisa juga
menggunakan
kertas basah
yang dibikin
bola kecil.
Peluru ini
dimasukkan
dalam lobang
di pangkal
laras,
kemudian
didorong
pelan sampai
ujung laras,
tetapi tidak
sampai
keluar.
Setelah itu
dimasukkan
peluru yang
kedua di
pangkal
laras. Peluru
ini harus
dimampatkan
hingga tidak
ada udara
dalam laras
yang bisa
keluar.
Setelah itu,
peluru
didorong
kuat-kuat
dengan bambu
pendorong.
Ketika peluru
kedua
didorong,
maka udara di
antara peluru
kedua dan
pertama
mengalami
tekanan yang
sangat kuat.
Jika peluru
yang di ujung
senapan sudah
tidak kuat
menahan
tekanan, maka
peluru
tersebut akan
melesat
keluar dengan
kecepatan
tinggi
disertai
bunyi ledakan
yang berasal
dari tekanan
udara yang
berhasil
keluar.
Untuk
memperkuat
efek ledakan,
maka kami
menambahkan
potongan
botol
plastik, yang
telah
dilubangi
bagian
dasarnya,
pada ujung
laras
senapan.
Senapan
kenthos ini
asyik jika
digunakan
untuk
perang-perangan.
Jika mengenai
seseorang,
pelurunya
tidak sampai
melukai, tapi
cukup untuk
membuat kulit
menjadi
merah.
2. Senapan
Batang Daun
Pisang
Jenis mainan
ini hanya
untuk
menghasilkan
suara seperti
ledakan
senapan.
Caranya daun
pisang
diambil
batangnya.
Kemudian pada
sisi-sisi
luar dikerat
sepanjang
10-15 meter,
kemudian
ditekuk
keluar. Cara
memainkannya
adalah dengan
menutup
keratan tadi
dengan
kecepatan
tinggi
sehingga
terdengar
bunyi
“plok…plok…plok….plok”
Seperti
senapan
mesin.
3. Meriam
Bambu
Untuk
menyambut
hari raya
lebaran, kami
biasa membuat
meriam bambu.
Saya rasa hal
ini tidak
hanya di desa
saya saja. Di
daerah-daerah
lain, juga
ada tradisi
ini. Bahan
meriam ini
dibuat dari
bambu ori.
Panjangnya
2-3 meter.
Menggunakan
kayu bulat
atau linggis,
sekat-sekat
setiap ruas
dilubangi,
kecuali sekat
ruas bagian
pangkal.
Kemudian di
dekat ruas
dibuat lobang
kecil dengan
diameter 5-10
cm.
Cara
memainkannya
adalah
meletakkan
meriam di
atas tanah.
Ujung meriam
diganjal batu
kecil agar
lebih tinggi.
Kemudian
minyak tanah
dituangkan ke
dalam meriam
melalui
lubang kecil
di pangkal
meriam.
Mula-mula
minyak tanah
tersebut
dipanasi dulu
dengan cara
memasukkan
api ke dalam
meriam
menggunakan
ranting
kecil.
Setelah itu
melalui
lobang kecil
itu, asapnya
ditipu-tiup
agar keluar
lewat ujung
meriam.
Lama-lama,
setelah suhu
di dalam
meriam mulai
panas, maka
akan
terdengar
ledakan-ledakan
ketika nyala
api pada
ranting
kering
dimasukkan ke
dalam lobang
kecil di
pangkal
meriam…buuuuum!
Atas
Pelajaran
Kerendahan
Hati
Ibu Inge
(nama
samaran)
adalah
seorang
pengikut
Kristus
yang taat.
Usianya di
atas 50
tahun dan
sudah
setahun
menjanda.
Suatu hari,
dia menarik
uang di
bank.
Di tempat
parkir,
tiba-tiba
ada 3 orang
yang
menyapanya
dengan
sangat
ramah.
Sepertinya
sudah kenal
akrab,
walau bu
Inge
sendiri
merasa
tidak
kenal.
"Sedang
apa, Bu,"
tanya salah
seorang
pria dengan
hangat.
"Ambil
uang,"
jawab bu
Inge.
"Ambil
berapa?" Bu
Inge
menyebutkan
nilai
nominal
tertentu.
"Ah, masih
kurang. Ayo
ambil
lagi!" kata
penyapa itu
sambil
menggamit
lengan bu
Inge dan
mengajaknya
kembali
masuk bank.
Anehnya, bu
Inge
menurut
saja. Dia
kembali ke
kasir dan
mengambil
seluruh
tabungannya.
Setelah
itu, bu
Inge
'dibimbing'
masuk ke
sebuah
mobil. Di
dalam
mobil,
orang-orang
itu
membujuk
supaya bu
Inge
menitipkan
segepok
uang kepada
mereka. Ini
demi
keamanan,
kata
mereka.
Mereka juga
meminta
perhiasan
dan HP
milik bu
Inge.
Beberapa
saat
setelah
diturunkan
di pinggir
jalan, bu
Inge baru
sadar bahwa
telah
ditipu
habis-habisan.
Dia segera
melapor ke
polisi.
"Tuhan, apa
maksud-Mu
atas semua
ini?"tanya
bu Inge
dalam doa.
Lalu suara
hatinya
berkata,"Kamu
ambil uang
itu untuk
apa, sih?"
Dia ingat
sehari
sebelumnya,
dia
tersinggung
pada ucapan
seseorang
yang
berkaitan
dengan
uang. Untuk
menjaga
harga
dirinya,
maka dia
akan
'menyumpal'
mulut orang
itu dengan
uang.
"Tuhan
rupanya
sedang
mengajarkan
tentang
merendahkan
diri
kepadaku,"kata
bu Inge.
"Memang
benar,
ucapan ini:
yen
pingin
andhap
asor, kowe
kudu nganti
ndlosor
[Merendahkan
diri itu
harus
sampai
mencium
tanah]." [Purnawan]
Atas
Pengalaman
Ikut
Christmas
Carol
Setiap kali
mengikuti
acara
Christmas
Carol, selalu
ada saja
pengalaman
rohani yang
aku dapatkan.
Tahun ini,
aku kebagian
tugas
membawakan
renungan
untuk
kelompok III.
Semuanya ada
lima kelompok
yang mendapat
tugas
mengunjungi
orang-orang
yang karena
kondisi
badannya
lemah mereka
tidak dapat
merayakan
Natal
bersama-sama.
Setelah
mendapat
taklimat
singkat dari
gereja,
setiap
kelompok
kemudian
masuk ke
dalam mobil
masing-masing
kemudian
meluncur ke
rumah-rumah
anggota
jemaat. Tiga
tempat
pertama yang
kami kunjungi
adalah
orang-orang
yag sudah
lanjut usia.
Meskipun
pendengaran
mereka sudah
berkurang,
tapi mereka
terlihat
senang. Pada
setiap rumah,
kami
menyanyikan
lagu-lagu
Natal,
mendengarkan
renungan
singkat,
menyalakan
lilin, berdoa
syafaat dan
membagikan
bingkisan.
Ketika
mengunjungi
rumah yang
keempat,
hatiku
berdesir
melihat orang
yang kami
kunjungi.
Adalah
seorang anak
perempuan
berusia
sepuluh tahun
yang tergolek
lunglai di
tempat tidur.
Virus polio
dengan ganas
menggerogoti
kekuatan
tubuhnya.
Jangankan
untuk
berjalan,
untuk duduk
tegak saja
dia tak
perempuan
manis ini tak
berdaya. Dia
harus
dipangku dan
ditopang
ibunya supaya
bisa duduk.
Tapi ketika
kami
menyanyikan
lagu Natal,
wajahnya
menjadi
cerah. Tangan
dan kakinya
bergerak tak
beraturan.
Menggapai-gapai
kian kemari.
Namun justru
aku justru
ingin
menangis. Ya
Tuhan, gadis
kecil ini
yang mestinya
berjalan dan
berlari
menjelajahi
dunianya,
tapi sekarang
dunianya
sekarang ini
hanya tempat
tidur dan
sekitar
rumahnya.
Renungan apa
yang harus
aku sampaikan
kepadanya?
Apakah aku
bisa
menyampaikan
renungan
tanpa harus
mengeluarkan
air mata?
Ketika
akhirnya
harus
menyampaikan
renungan, aku
hanya
membacakan
kisah
kelahiran
Yesus dari
kitab Matius.
Suaraku
tertahan di
tenggorokan.
Mataku kabur
karena basah
oleh air
mata. Setelah
itu, kami
lebih banyak
menyanyikan
lagu-lagu
Natal.
Nampaknya
gadis kecil
ini lebih
senang
mendengarkan
nyanyian.
Kunjungan
kelima adalah
kepada
seorang nenek
yang sudah
tua, tapi
masih sangat
sehat. Hanya
daya
pendengarannya
saja yang
sudah
berkurang.
Kunjungan
keenam adalah
seorang
perempuan
dewasa yang
tergolek
koma. Sudah
berbulan-bulan
dia terbaring
lemah.
Perempuan
yang berusia
sekitar 25
tahun ini
mengalami
kecelakaan di
Semarang.
Sepeda motor
yang
ditumpanginya
diseruduk
oleh truk,
yang kemudian
melarikan
diri. Sejak
kecelakaan
itu,
perempuan ini
belum
mengalami
kesadaran
secara penuh.
Sekali lagi
aku bingung
harus
menyampaikan
renungan apa.
Akhirnya aku
putuskan
untuk membaca
salah satu
pasal dari
kitab Mazmur
saja. Ketika
berpamitan
pulang, aku
genggam
tangannya.
Terasa
dingin, tapi
dia
memberikkan
reaksi. Dia
menggerakkan
tangannya.
Saat koh
Yoyok
mengucapkan
kata-kata
penghiburan,
perempuan ini
memberikan
reaksi.
Ekspresi
wajahnya
berubah.
Meskipun
tidak bisa
berkata-kata,
dia kelihatan
senang dengan
perkunjungan
kami.
Tujuan
terakhir kami
adalah
seorang ibu
berusia
limapuluan
tahun yang
dirawat di
Rumah Sakit
Islam. Saat
memasuki
kompleks
rumah sakit,
kami
ragu-ragu
apakah
diperbolehkan
menyanyikan
pujian Natal
di sana?
Apakah tidak
mengganggu
pasien lain?
Maka kami
putuskan
untuk
menyampaikan
renungan,
berdoa
syafaat dan
memberikan
bingkisan
saja.
Winner, salah
satu anggota
rombongan,
memulai acara
dengan
menyampaikan
maksud
kedatangan
kami.
Kemudian aku
dipersilahkan
menyampaikan
renungan
singkat.
Selepas
renungan,
acara
berikutnya
adalah
penyalaaan
lilin. Aku
tiba-tiba
digerakkan
untuk
mengajak
semua orang
di ruangan
itu untuk
menyanyikan
lagu Malam
Kudus.
Ternyata lagu
itu sangat
menyentuh
hati sang ibu
yang sedang
sakit. Dia
menitikkan
air mata.
Anggota
keluarganya
yang lain
juga ikut
terharu.
"Terimakasih
karena sudah
menghadirkan
perayaan
Natal di
tempat ini,"
kata ibu itu
sambil
terisak,"ini
banyak
memberikan
penghiburan
kepada kami."
Sekitar pukul
setengah satu
siang, kami
menghadiri
acara
Christmas
Carol. Semoga
tahun depan
tidak banyak
orang yang
harus kami
kunjungi.
Atas
Pengumuman
Ngawur
Ketika
melewati
pertokoan
dan
perkantoran
saya sering
membaca
tulisan
ini:
"Tidak
menerima
sumbangan
dalam
bentuk apa
pun,
kecuali
seizin
ketua RT"
Komentar:
Kalau ada
orang asing
yang baru
belajar
bahasa
Indonesia,
dia pasti
akan heran
membaca
tulisan
itu:
"Ternyata
orang
Indonesia
itu sangat
baik hati
dan suka
memberi ya.
Buktinya, toko
dan kantor
sampai
kewalahan
menerima
sumbangan
sehingga
memasang
tulisan
seperti
ini."
Ada lagi
tulisan di
perumahan
yang
berbunyi:
Komentar:
Pemilik
rumah ini
sungguh
baik hati.
Kalau ada
pengamen
yang ingin
mengamen di
depan
rumahnya,
tidak perlu
membayar
alias
gratis.
Lain lagi
bunyi
pengumuman
di sebuah
rumah
sakit:
INSTRUKSI
No.:
005/Ins.Dir/RS.I&A/THS/Ska/VII/91
Untuk
meningkatkan
penggunaan
ASI, maka
diinstruksikan
kepada
seluruh
pegawai
yang
bertugas
untuk :
Memberikan
penyuluhan
gizi kepada
semua ibu
hamil dan
meneteki
setiapkali
ibu-ibu
tersebut
datang,
kapan
saja..
Komentar :
Hiiii....amit-amit
jangan
sampai jadi
pegawai di
Rumah Sakit
itu.
Bayangkan
kalau tiap
hari ada 50
ibu-ibu
yang
datang, apa
nggak
'gempor'
pegawai itu
karena harus
meneteki
ibu-ibu...
Terakhir,
di sebuah
tempat
parkir ada
tulisan:
"Bagi yang
membawa
sepeda,
harap
dikunci."
Komentar:
Ngeri....ah
kalau harus
dikunci.
Bagian mana
dari tubuh
pemilik
sepeda yang
harus
dicanteli
gembok??!!!
Pengalaman
Ibu Murni
Hari ini saya
bertemu teman
yang
sebenarnya
lebih pantas
menjadi nenek
saya. Sebut
saja namanya
bu Murni. Dia
menceritakan
pengalaman
rohaninya
yang
menggetarkan.
Hampur 20
tahun yang
lalu ia
mendampingi
seorang
perempuan
yang diculik
dan disekap
selama
berbulan-bulan.
Ketika
ditemukan,
perempuan ini
dalam keadaan
linglung dan
hamil. Diduga
karena
diperkosa.
Ketika
diantarkan ke
rumah
orangtuanya,
orangtuanya
tidak mau
menerima
karena anak
perempuannya
mengandung
bayi haram.
Maka,
perempuan ini
menumpang
tinggal di
rumah bu
Murni. Selama
mendampingi
perempuan
ini, bu Murni
mengalami
pergumulan
yang luar
biasa. Dia
hampir-hampir
tidak mampu
melakukan
panggilan
mulia.
Bagaimana
tidak,
perempuan ini
menginginkan
supaya bayi
yang ada di
kandungannya
itu
digugurkan
saja. Hal ini
jelas
bertentangan
iman
kristiani
yang diyakini
bu Murni. Dia
mengalami
pertentangan
batin yang
hebat.
Hingga
akhirnya bu
Murni hanya
bisa menangis
tersedu-sedu
di depan
altar gereja.
Seluruh isi
hatinya
ditumpahkan
di hadapan
Allah. Cukup
lama dia
berada gereja
itu, hingga
seluruh pintu
gereja
ditutup dan
hanya
disisakan
satu pintu
untuknya.
Ketika
tangisannya
mulai reda,
bu Murni
mendengar
suara
batinnya
berkata,"Jika
kamu
dipanggil
Allah, masa'
sih Allah
tidak
memberikan
kekuatan dan
sarana
kepadamu
untuk
melaksanakan
panggilan
itu." Suara
itu kembali
menguatkan
semangat
untuk
menjalankan
tugas
pelayanannya.
Meski begitu,
persoalan
aborsi masih
menjadi
pergumulan
batinnya.
Suatu ketika,
dia diundang
untuk
mengikuti
sebuah
konferensi di
Beijing.
Dalam suatu
kesempatan,
ada
sekelompok
orang yang
berdemonstrasi
di forum ini.
Para
demonstran
ini
kebanyakan
adalah korban
kekerasan
seksual di
sebuah negara
Afrika.
Mereka
menuntut
legalisasi
pengguguran
kandungan
atau aborsi,
khususnya
untuk
kehamilan
yang tidak
diinginkan.
Misalnya
karena korban
perkosaan
atau dipaksa
menjadi
pekerja seks
komersial. Bu
Murni pun
mengikuti
perjalanan
demonstrasi
ini dari
belakang.
Tapi hati
nuraninya
membuatnya
merasa tidak
nyaman di
tengah
kerumunan.
Maka dia pun
keluar dari
kelompok
demonstran
tersebut dan
duduk di
bawah pohon.
Hatinya
berkecamuk,
"Di manakah
posisiku?
Apakah aku
akan
menyetujui
pembunuhan
ciptaan Tuhan
yang ada di
dalam
kandungan?
Tapi
bagaimana
dengan korban
yang harus
menderita
trauma selama
berbulan-bulan
karena
mengandung
janin dari
pemerkosanya?"
Cukup lama
dia merenung,
hingga
akhirnya
sampai pada
sebuah
pencerahan,
"Tugasmu
adalah
mendampingi
dan
menguatkan
korban
kekerasan.
Perkara
apakah bayi
itu akan
dikandung
sampai lahir
atau tidak,
itu adalah
keputusan si
korban
tersebut.
Yang penting
kamu sudah
memberikan
segala
pertimbangan
menurut
keyakinanmu."
Suara hatinya
itu memberi
kakuatan baru
kepadanya
untuk
mendampingi
perempuan-perempuan
korban
kekerasan
sampai saat
ini.
Atas
SMS Berantai
(1)
Kartu GSM
XXXX [nama
disamarkan]
sudah keluar:
Rp.6/SMS; Rp.
60/menit; Rp.
600/SMS. Jika
dijumlah 666,
simbol
antikris.
Jangan
dibeli. Itu
kartu
pendukung
antikris,
milik [nama
perusahaan di
Timur
Tengah].
Sebarkan SMS
ini. Satu SMS
selamatkan
satu jiwa"
Itulah bunyi
SMS yang saya
terima, dan
saya yakin
banyak orang
Kristen lain
yang menerima
pesan serupa.
Saya hanya
senyum-senyum
sendiri.
Sekali lagi,
orang Kristen
menjadi
sasaran dan
korban perang
disinformasi.
Celakanya,
banyak orang
Kristen yang
dengan
semangat 45,
rela hati
mengeluarkan
ongkos satu
SMS untuk
disebarkan ke
nomor yang
lain. "Ah,
cuma
kehilangan
beberapa
rupiah. Tapi
yang penting
dapat
menyelamatkan
jiwa orang
lain."
Begitulah
kira-kira
pikiran orang
Kristen yang
lugu
tersebut.
Kelihatannya
hanya
sederhana,
yaitu
meneruskan
SMS, tapi di
balik itu ada
persoalan
yang perlu
dikritiki:
Pertama,
apakah isi
informasi
tersebut
sudah benar
atau hanya
rumor belaka?
Apakah
pembuat pesan
tersebut
sudah
mengkonfirmasi
perusahaan
yang
bersangkutan
dan mereka
mengakui
bahwa mereka
pendukung
antikiris?
Atau
setidak-tidaknya,
si pembuat
SMS itu sudah
memiliki
data-data
yang akurat
untuk
mendukung
pernyataan
tersebut?
Jika dia
hanya
mendasarkan
diri pada
logika
"othak-athik
gathuk" alias
menebak-nebak
berdasarkan
prasangka,
maka dapat
dipastikan
isinya adalah
kebohongan.
Nah, jika
kita
meneruskan
SMS yang
isinya
kebohongan
itu, maka
kita pun
turut serta
dalam dosa
kebohongan
massal
tersebut.
Atau menurut
istilah teman
muslim,
"kebohongan
berjamaah"
Kedua, apakah
perusahaan
GSM tersebut
berbuat
sebodoh itu
dengan
menyatakan
diri sebagai
pendukung
antikris,
dengan
konsekuensi
akan diboikot
orang Kristen
dan Islam?
Mayoritas
penduduk
Indonesia
adalah orang
Islam, dan
dalam Al
Quran ada
sosok Dajjal
yang
digambarkan
menentang Isa
A.S. Dajjal
ini sama
dengan
antikris
dalam
terminologi
kekristenan.
Tapi mengapa
menampilkan
angka yang
serba enam?
Menurut saya
sih, ini
kebetulan
saja. Sebagai
perusahaan
baru, mereka
harus
menghitung
tarif yang
lebih
kompetitif
daripada
pesaing yang
sudah lama
beroperasi.
Maka
ketemulah
angka sekitar
angka enam
tersebut.
Dengan
mempertimbangkan
aspek
promosi, maka
diciptakan
tarif yang
menggunakan
angka serba
enam supaya
mudah
diingat.
Ketiga,
mungkinkah
rumor ini
sengaja
diciptakan
oleh operator
telepon lama,
yang merasa
tersaingi
oleh operator
GSM yang
baru.
Meski begitu
ada, ada satu
hal baik yang
termuat dalam
SMS berantai
ini: Kita
perlu cermat
dalam memilih
operator
telepon yang
akan kita
pakai. Selain
aspek tarif
dan pelayanan
yang
diberikan,
kita juga
perlu
mempertimbangkan
perilaku
perusahaan
tersebut.
Apakah
perusahaan
tersebut
melakukan
monopoli?
Apakah
perusahaan
tersebut
telah adil?
Apakah telah
peduli pada
lingkungan?
Apakah peduli
pada
masyarakat?
Apakah
membayar upah
pekerjanya
dengan layak?
Apakah tidak
mengemplang
pajak?
Singkatnya,
apakah
perusahaan
tersebut
telah
menjalankan
prinsip-prinsip
Good
Corporate
Governance.
Jika ya, maka
kita layak
memilih
operator
telepon
tersebut.
Atas
SMS Berantai
(2)
Setelah
menulis
tentang SMS
Berantai yang
isinya hoax
tentang
antikris,
saya mendapat
banyak
tanggapan.
Baik secara
publik maupun
via japri
(jalur
pribadi).
Bahkan ada
orang yang
punya ciri
khas memakai
istilah
"TRIUNITAS"
mengirim
email yang
sungguh sulit
untuk
dipahami.
Yang menarik,
ada orang
yang
mengirimkan
gambar yang
mirip
potongan
fragmen
perkamen.
Menurut
pengirim, di
perkamen itu
lambang 666
mirip dengan
dengan
lambang AXIS.
Sebagai
perbandingan,
dia
menyertakan
juga logo
AXIS.
Tanggapan
saya terhadap
gambar ini
adalah:
1. Apakah
pengirim
email sudah
memastikan
bahwa
potongan
perkamen
tersebut
benar-benar
asli?
Soalnya,
dengan
sentuhan
teknologi
komputer,
kita mudah
sekali
memanipulasi
gambar
tersebut.
Sebagai
buktinya,
saya
menggunakan
Photoshop
untuk
menambahkan
nama saya di
situ.
Bukankah
tulisan itu
mirip sekali
dengan
dokumen kuno?
2. Saya
mencoba
membuka kitab
Wahyu
"Byzantine
Majority
Greek Text",
ternyata
angka 666
yang tertulis
di situ
berbeda
sekali dengan
logo AXIS
[lihat
lampiran].
Sedangkan
versi
Westcott-Hort
Greek Text
malah tidak
menuliskan
angka 666,
melainkan
menyebutkannya
dengan
kata-kata.
Dengan kata
lain, tulisan
yang diklaim
sebagai huruf
666 dalam
gambar
tersebut
adalah PALSU.
Kompas
on-line sudah
memuat
bantahan dari
pihak AXIS.
Jadi jelaslah
sudah bahwa
isi SMS bahwa
AXIS adalah
antichrist
adalah hoax
alias bohong.
Belum reda
isu soal AXIS
ini, sekarang
muncul SMS
hoax lainnya.
Bunyinya
begini:
"Syalom,
tanggal 11-13
Mei 2008,
akan dilepas
roket satelit
666 ke
angkasa untuk
menangkap
jiwa lewat
nomor hp.
Jadi dihimbau
tanggal 11-13
harap lepas
kartu HP
untuk
sementara dan
berdoa selalu
agar Yesus
campurtangan
untuk
menggagalkan
segalanya.
Amin.
Sebarkan ke
teman,
saudara dan
kerabat lain.
Ingat satu
SMS
selamatkan
satu jiwa."
Sekali lagi
saya mengelus
dada. Pembuat
SMS ini sudah
keterlaluan
dalam
membodohi
orang banyak.
Coba dipikir,
negara mana
sih yang mau
keluar biaya
yang sangat
besar untuk
melepas
satelit
seperti ini?
Lagipula
negara mana
yang punya
ideologi
untuk
"menangkap
jiwa melalui
HP"?
Pelepasan
satelit ke
ruang angkasa
bukan
peristiwa
yang
main-main.
Setiap
peluncurannya
tidak bisa
dilakukan
sembunyi-sembunyi.
Pasti
dilakukan
secara
publik. Kalau
memang benar
roket ini
diluncurkan
oleh
antikris,
pasti
peristiwa ini
akan
menimbulkan
kehebohan
yang besar.
Lagipula,
negara-negara
yang sudah
mampu
mengirim
satelit ke
luar angkasa
itu masih
dapat
terbilang
dengan jari
tangan kanan.
Jika
peristiwa ini
diketahui
secara
publik,
mengapa
negara-negara
lain tidak
memberikan
reaksi atas
rencana ini.
Taruh kata,
yang
meluncurkan
satelit ini
adalah negeri
Perancis,
maka negara
Amerika
Serikat pasti
akan terancam
dengan
program ini.
Bagaimana
tidak.
Bayangkan
jika
jiwa-jiwa
penduduk
Amerika yang
punya HP
tersedot
jiwanya. Apa
itu tidak
menjadi
ancaman
serius bagi
mereka?
Bayangkan
jika presiden
Bush dan
jajaran
menterinya
tiba-tiba
menjadi bego
gara-garanya
jiwanya
ditangkap
oleh HP
mereka. Lucu
juga
membayangkannya.
[Wah bisa
jadi ide
untuk cerita
film fiksi
ilmiah tuh].
Jika isu itu
benar, maka
bayangkan apa
yang terjadi
pada orang
yang punya HP
lebih dari
satu. HP mana
yang akan
menangkap
jiwanya?
Apakah HP
yang
sinyalnya
paling kuat
atau HP yang
paling dekat
dengan
pemiliknya?
Bayangkan
pula jika
semua HP
menyedot
jiwanya, bisa
habis tak
bersisa tuh
jiwanya.hi...hi.hi..
Tulisan ini
dibuat pada
tanggal 11
Mei dan
dikirim
tanggal 12
Mei. Ternyata
jiwa saya
masih setia
bermukim di
badan saya.
Jadi jangan
percaya
mentah-mentah
deh dengan
hoax semacam
ini. Jika
mendapat SMS
seperti itu,
jangan
sebarkan ke
teman,
saudara dan
kerabat lain.
Meminjam
istilah
mereka:
"Ingat satu
SMS
menguntungkan
perusahaan
seluler Rp.
50-Rp.
200,-/SMS."
Meski begitu
saya setuju
jika tanggal
11-13 Mei
2008 kita
bersama-sama
melepas kartu
HP. Ini untuk
membuktikan
bahwa kita
masih tetap
hidup tanpa
HP. Mari kita
boikot
perusahaan
seluler itu
biar mereka
menurunkan
tarif pada
tataran yang
pantas.
Atas
Tongkol
Anturium
Dicuri
Siang itu,
seperti
biasa ada
banyak
orang yang
datang ke
kebun bunga
milik Agus
Permadi.
Ada yang
sekadar
melihat-lihat,
tapi ada
juga yang
menawar
harga
bunga.
"Demam
bunga"
sedang
melanda di
wilayah
kami.
Tiba-tiba
ada banyak
orang yang
sedang
memelihara
bunga.
Ada dua
pemuda
berumur di
atas 20
tahun yang
tanya-tanya
harga
bunga. Tak
lama
kemudian,
datanglah
satu ibu
paruh baya
yang
diantar
seorang
pemuda
berusia
sekitar 35
tahun.
Sang ibu
ini ingin
membeli
bunga.
Ditemani
Agus
Permadi,
sang Ibu
ini memilih
bunga yang
dikehendaki.
Sementara
dua pemuda
tadi
memisahkan
diri untuk
melihat
bunga-bunga
di sisi
taman yang
lain. Sang
Ibu ini
asyik
mengobrol
sambil
ditemani
pemuda yang
mengantarnya
dan Agus
Permadi, si
pemilik
kebun
bunga.
Tak berapa
lama, mbak
Widi,
isteri Agus
Permadi
pulang dari
bank. Dia
melihat
tongkol
biji bunga
Anturium
dibawa
pergi dua
pemuda.
Mbak Widi
bergegas
mencari
suaminya.
"Apakah
Papa
menjual
tongkol
biji bunga
Anturium?"
tanya mbah
Widi.
"Nggak tuh"
jawab Agus
Permadi.
"Berarti
dua orang
itu mencuri
tongkol
biji bunga
Anturium
milik
kita!!"
kata mbak
Widi.
Mereka
bergegas
keluar,
tetapi dua
pemuda itu
sudah kabur
menggunakan
sepeda
motor. Maka
hilanglah
uang 15
juta! Dari
mana bisa
didapatkan
perhitungan
itu? Saat
ini orang
sedang
berburu
bunga
anturium,
akibatnya
harga
melambung
tinggi.
Bahkan
ketika
masih
berupa
biji, orang
bersedia membayar
biji
anturium
yang masih
ada di
tongkolnya!
Jika dijual
perbiji,
maka
tongkol itu
akan
menghasilkan
uang 15
juta
rupiah.
Biji bunga
anturium
itu
bentuknya
seperti
tongkol
jagung.
Biji-bijinya
juga
sebesar
biji
jagung,
tapi
berwarna
merah. Agus
Permadi
menjualnya
per biji.
Dua pemuda
tadi
tampaknya
memotong
tongkol
menggunakan
cutter.
Ibu yang
ingin
membeli
bunga tadi
bertanya
apa yang
terjadi.
Agus
Permadi
menceritakan
peristiwa
yang baru
saja
terjadi.
Mendengar
itu, sang
Ibu ini
merasa
bersalah.
Soalnya,
gara-gara dia
mengajak
Agus
Permadi
mengobrol,
akibatnya
dua pemuda
tadi punya
kesempatan
mencuri
tongkol
anturium.
"Ah,
sudahlah.
Tidak
apa-apa."
kata Agus
Permadi,"Tuhan
sudah
banyak
memberi
berkat
kepada
saya."
Kini, bunga
anturium
itu sudah
dijual
dengan
harga 19
juta.
Totalitas
Pelayanan
Perjalanan ke
Semarang
menghantarkan
saya bertemu
dengan pak
Andreas. Dia
mengajarkan
tentang makna
totalitas
dalam
pelayanan.
Pak Andreas
ini mempunyai
hobi wisata
kuliner.
Kalau ingin
mengetahui
tempat-tempat
makan yang
enak di
sekitar Jogja
dan Jawa
Tengah, maka
tanyalah
kepadanya.
Pria
kelahiran
Ketandan
Jogja ini
adalah
"ensiklopedia
kuliner".
Hobinya yang
lain adalah
memancing di
laut. Dia
sudah
menjelajahi
berbagai
pantai. Dia
bercerita,
bersama
teman-temannya,
mereka pernah
pergi
memancing di
sebuah pantai
di wilayah
Panggang,
Gunungkidul.
Pantai yang
masih
"perawan" ini
hanya bisa
dicapai
setelah
berjalan kaki
selama 2 jam.
Belum ada
jalan yang
dapat dilalui
kendaraan.
Bahkan untuk
sampai ke
sana, mereka
kadang harus
membuat jalan
sendiri. Sore
hari mereka
mulai
memasang
pancing, pagi
harinya
mereka sudah
berkemas-kemas
pulang.
Pak Andreas
juga gemar
memancing di
tengah laut.
Dia sering
menyewa
perahu
nelayan untuk
membawanya ke
tempat yang
banyak
ikannya. Demi
meuaskan
hobinya ini,
maka dia
merogoh
koceknya
untuk membeli
kapal
sendiri.
Dengan
begitu, dia
bisa lebih
leluasa
memancing di
laut. Namun
bersamaan
dengan
datangnya
kapal, datang
pula
panggilan
pelayanan di
gerejanya.
Dia menyadari
jika dia
menerima
panggilan
pelayanan
ini, maka dia
tidak punya
kesempatan
untuk
memancing
lagi. Namun
dia
memutuskan
untuk
menerima
panggilan
itu. Dan
memang benar,
kesibukkan
dalam
pekerjaan dan
pelayanan,
sudah tidak
memungkinkannya
untuk
memancing
lagi. Maka
perahunya pun
jadi
pengangguran.
Supaya tidak
mangkrak,
maka perahu
yang hanya
sekali
dipakai itu
diberikan
kepada orang
yang biasa
merawat dan
mengoperasikan
perahu itu.
Untunglah,
sampai
sekarang dia
masih bisa
melakukan
hobinya yang
lain yaitu
wisata
kuliner.
Setiap kali
ada tamu di
gerejanya,
maka dia yang
menghantar
dan mengajak
mereka makan.
Termasuk saya
dan isteri
saya. Kami
diajak makan
serba bandeng
di rumah
makan dekat
Simpang Lima,
Semarang.
"Mendengar
itu Yesus
berkata
kepadanya:
"Masih
tinggal satu
hal lagi yang
harus
kaulakukan:
juallah
segala yang
kaumiliki dan
bagi-bagikanlah
itu kepada
orang-orang
miskin, maka
engkau akan
beroleh harta
di sorga,
kemudian
datanglah ke
mari dan
ikutlah
Aku."" (Lukas
18:22 TB)
Atas
Witers's
Corner
Majalah
Getlife
memiliki
rubrik baru:
Writer's
Corner.
Dalam setiap
edisi kita
akan mengenal
lebih dekat
satu sosok
penulis
Kristen
Indonesia.
Penulis
perdana kita
kali ini
adalah
Purnawan
Kristanto
yang
diwawancarai
reporter
GetLife,
Hardhono
:Dari
antara 13
judul buku
pernah
diterbitkan,
yang paling
berkesan yang
mana?
Setiap buku
melalui
proses
kreatif yang
meninggalkan
kesan
sendiri-sendiri.
Namun yang
paling
berkesan
adalah "Misteri
Gerbong Tua".
Novel remaja
ini ditulis
hanya dalam
waktu kurang
tiga bulan,
karena akan
diikutkan ke
dalam Lomba
Penulisan
Buku Fiksi
Keagamaan
tingkat
Nasional
2003. Puji
Tuhan, naskah
ini meraih
Juara Harapan
II. Hal ini
cukup
memuaskan
saya,
mengingat
baru pertama
kali saya
menulis buku
fiksi.
Banyak buku
Anda tentang
permainan
asyik atau
seru.
Definisi Anda
mengenai
permainan
yang seru
atau asyik
itu apa?
Permainan
yang asyik
adalah
permainan
yang dapat
mendorong
banyak orang
untuk
terlibat
secara
sukarela dan
hatinya
merasa
senang.
Orang yang
hatinya
sedang senang
akan lebih
terbuka dalam
menerima
kebenaran
firman Tuhan
dan ide-ide
baru. Dengan
permainan,
kita dapat
menghangatkan
relasi antar
manusia dan
belajar hal
baru secara
menyenangkan.
Inspirasi
permainan
asyik dan
seru ini dari
mana?
Sebagian
besar berasal
dari
permainan
yang pernah
diterapkan
dalam
pengajaran
Sekolah
Minggu dan
pelatihan
LSM. Saya
juga
terinspirasi
dari
permainan
tradisional
dan melakukan
survei di
internet.
Tentunya
dengan
penyesuaian
sesuai
kebutuhan di
Indonesia.
Apakah semua
permainan itu
selalu diuji
coba dulu
sebelum
diterbitkan
menjadi buku?
Belum semua.
Sampai
sekarang saya
sudah menulis
485
permainan.
Jika setiap
minggu harus
diuji coba
satu
permainan,
maka
dibutuhkan
waktu
10 tahun
lebih.
Anda
juga menulis
novel remaja
dan cerpen.
Menurut Anda
fiksi Kristen
yang baik itu
seperti apa?
Sebaiknya
fiksi Kristen
itu dapat
menjadi oase
yang
menyegarkan.
Ia menawarkan
nilai-nilai
kristiani di
tengah-tengah
kemerosotan
moral saat
ini. Namun
hal ini harus
dikemas
secara
cerdas,
elegan dan
lemah lembut,
sehingga
setiap orang
yang
membacanya
akan
mengamininya.
Penulis
favorit Anda?
Mengapa?
Ada dua
orang.
Pertama, Remi
Silado. Dia
sangat kuat
dalam diksi.
Kedua, Xavier
Quentin
Pranata.
Selama 2,5
tahun saya
bekerja sama
dengan dia.
Saya
mengagumi
antusiasme
dan
kerendahanhatinya.
Catatan:
Hasil
wawancara di
atas adalah
versi asli
dari
penulis. Namun
karena
keterbatasan
space, ada
banyak
kata-kata
yang
dipangkas
(nama
rubriknya
saja Corner
atau Pojokan.
Jadi ya cuma
kejatah
se-upil).
Jika ingin
mengetahui
hasil editan
redaktur
Getlife,
silakan beli
dan baca di
majalah
Getlife edisi
no.32
Atas
Sipil yang
Militeristik
Suatu kali saya ditugasi peliputan ke Polda DIY.
Saya harus menemui seorang tersangka pembunuhan. Saya berangkat
dengan perasaan deg-degan. Pengamanan di sana pati ketat sekali.
Pasti saya akan menemui kesulitan menemui tahanan. Saya pernah
dengar cerita kalau keluarga tahanan harus menyuap petugas
supaya bisa ketemu anggota keluarganya yang ditahan. Mungkin
Anda pernah mendengar cerita seperti ini: Pada zaman Orde Baru,
ada sebuah kompleks militer pasukan khusus yang melarang
mobil-mobil saling menyalip ketika melintasi kompleks itu. Jika
ada yang nekad, maka mobil itu akan dihentikan dan pengendaranya
akan dihukum oleh tentara yang berjaga. Teman saya pernah
dihukum mandi di sebuah bak yang airnya sudah berwarnah hijau.
Dia diberi sebatang sabun mandi yang masih baru. Dia harus
menggosokkan sabun itu ke badannya hingga habis. Sesudah itu,
baru boleh pergi.
Di benak saya, kompleks kepolisian ini masih
seperti kompleks militer yang dijaga amat ketat. Masuk gedung
utama saya langsung menemui petugas jaga. "Pak saya ingin
menemui tahanan bernama X" kata saya dengan berdebar-debar.
"Silakan ke gedung sayap Timur, lantai 3" jawab petugas. 'Lho
cuma begitu doang?' tanya saya heran dalam hati. 'Kok nggak
ditanya identitasnya?'
Saya mengikuti petunjuk itu. Sesampai di depan
pintu sel, saya kembali mengutarakan maksud saya. Saya diminta
meninggalkan identitas. Setelah itu, ada petugas lain yang
menjemput tahanan. Saya bisa melakukan wawancara dengan bebas di
sebuah ruang berukuran 4x6 meter sambil lesehan.
Pengalaman ini jelas jauh dari kesan angker yang
saya bayangkan sebelumnya. Mungkinkah polisi mempermudah
prosedur karena saya wartawan? Ah tidak juga. Karena ketika
menemui polisi, saya tidak ngomong kalau saya wartawan.
Dugaan saya, paradigma kepolisian mungkin sudah
berubah. Mereka memposisikan diri sebagai aparat sipil, yang
bertugas "melindungi dan melayani" masyarakat. Itu sebabnya
mungkin di pos polisi sekarang ini ada tulisan: "Kami siap
melayani Anda." Sayangnya, di pos-pos satpam di lembaga sipil
justru masih dipasang tulisan yang militeristik: "TAMU HARAP
LAPOR!"
Saya prihatin melihat lembaga-lembaga sipil yang
justru mengarah militeristik. Lihat saja satpam-satpam di mal
(di EX Plasa Indonesia dan plasa Ambarukmo, contohnya). Mereka
didandani alam polisi militer. Pakai topi baja bertuliskan PKD,
entah singkatan dari apa. Kata teman saya, itu singkatan dari
“Petugas Keamanan Dalam”. Mereka bersepatu bot hitam bergaris
putih vertikal.
Lihat juga seragam satgas-satgas partai yang
bermotif doreng dengan atribut yang sedapat mungkin mirip
tentara. Perilaku mereka kadang berlebihan [Kepala saya pernah
dipukul gara-gara kurang minggir ketika mereka berkonvoi. Untung
saya pakai helm]. Ashadi Siregar pernah berkelakar,"Kalau banser
NU ingin mempelopori demokratisasi, tinggalkan atribut militer
pada seragamnya. Pakai saja sarung sebagai seragamnya."
Dalam ilmu manajemen modern dikatakan bahwa
stake-holder sebuah lembaga tidak hanya pemilik/pemegang saham,
tapi juga kastemer, konsumen, nasabah, dan masyarakat sekitar.
Terhadap para stake-holder ini, para karyawan--termasuk satpam
di dalamnya--wajib memberikan respek. Sama seperti ketika mereka
mereka tunduk takzim pada big-bos. Sikap terhadap stake-holder
akan mempengaruhi kelangsungan sebuah lembaga.
Sayangnya, masih banyak karyawan-karyawan yang di
front-liner kurang menyadari hal ini. Saya beberapa mendapati
petugas-petugas yang melayani konsumen dengan sikap ogah-ogahan,
merengut atau kurang antusias. Jika mengalami hal ini,maka
biasanya saya kapok untuk berhubungan dengan perusahaan atau
lembaga itu lagi.
Bayangkan jika ini terjadi pada gereja! Gara-gara
sikap satpam, koster atau pengerjanya yang arogan, bisa jadi
orang-orang menjadi alergi untuk beribadah di gereja itu.
Kembali ke atas
Pengalaman
Sebagai Relawan Kemanusiaan
Saya ingin membagikan pengalaman waktu menjadi
relawan di posko kemanusiaan pada gempa bumi 27 Mei 2006. Siapa
tahu ada manfaatnya buat teman-teman yang terjun sebagai relawan
pada banjir awal tahun ini (baik di Jabodetabek dan tempat
lain).
Dua hari pertama, setelah gempa, masing-masing
relawan bergerak secara sporadis. Masing-masing menyalurkan
bantuan sesuai dengan seleranya sendiri-sendiri. Namun pada hari
ketiga, kami mulai mengadakan konsolidasi dan mengorganisasi
diri. Kami lalu membuat prosedur pemberian bantuan.
Kami tidak lagi menyalurkan bantuan dengan
mengasong. [Maksudnya,membawa bantuan tanpa tahu sasaran yang
akan dituju. Siapa saja yang ditemui, diberi bantuan]. Kami
mengamati, beberapa dermawan yang spontan membawakan bantuan
biasanya “dicegat” di tengah jalan. Ini terjadi di daerah-daerah
yang berdekatan dengan akses keluar-masuk. Padahal wilayah
tersebut sebenarnya sudah dijangkau oleh bantuan lain.
Akibatnya, wilayah yang “lebih dalam” belum mendapat bantuan.
Kami menyiasatinya dengan mengutus relawan untuk
menerobos wilayah yang benar-benar belum tersentuh oleh pemberi
bantuan. Di tempat itu, mereka harus mengumpulkan data-data
vital, seperti:
(1). Berapa jiwa yang ada di sana?
(2). Apakah ada yang sakit?
(3). Berapa orang yang lansia?
(4). Berapa jumlah balita?
(5). Berapa yang hamil?
(6). Berapa jumlah yang wanita?
(7). Berapa jumlah anak-anak?
(7). Apa saja kebutuhan mereka? (pangan, baju, selimut, tenda,
penerangan, obat-obatan dll).
Berdasarkan data tersebut, maka relawan tersebut
dapat membuat daftar bantuan yang dibutuhkan oleh para korban.
Dengan metode ini, maka bantuan dapat diberikan dengan tepat.
Kami dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penumpukan bantuan
yang sejenis. Contohnya, kami melihat ada sekelompok warga yang
berkali-kali menerima bantuan pakaian layak pakai. Karena
terlalu kebanyakan, maka baju-baju itu dipakai untuk
menghangatkan badan. Carannya bukan dengan memakainya, tapi
membakarnya sebagai api unggun!
Untuk mendukung kelancaran tugas, maka setiap
relawan yang bertugas mendata ini dilengkapi dengan alat
komunikasi Handie Talkie. Pesawat HT ini ternyata memberi jasa
yang sangat besar. Gempa bumi tahun kemarin juga ikut merobohkan
menara-menara GSM. Akibatnya, selama beberapa hari komunikasi
lewat handphone tidak dapat dilakukan. Namun dengan adanya HT
ini, maka komunikasi dapat dilakukan dengan baik. Memang daya
jangkau HT ini terbatas. Hal ini dapat disiasati dengan
mendirikan repeater atau pesawat rig. Kami memasang dua rig
dengan jarak sekitar 10 km. Daya jangkau rig jauh lebih luas,
sehingga dapat merelay sinyal HT dalam radius sekitar 20-30 km.
Jika relawan selesai melakukan pendataan, maka
dia segera menghubungi posko induk untuk meminta pengiriman
bantuan yang diperlukan. Sementara bantuan sedang dalam
perjalanan, maka relawan ini dapat berpindah untuk mencari
“sasaran” berikutnya.
Pengalaman lain yang mungkin berguna adalah
meminta bantuan tenaga dari korban bencana. Jumlah relawan
sangat terbatas. Supaya energi kami tidak terkuras, maka kami
mengajak warga setempat untuk mengambil sendiri bantuan yang
diperlukan. Caranya dengan memberikan secarik memo yang berisi
daftar kebutuhan, selanjutnya mereka yang akan mengangkut
bantuan itu dari posko logistik.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dukungan
untuk relawan. Mereka sudah bekerja keras dan tidak kenal waktu.
Untuk itu mereka membutuhkan dukungan supaya tidak jatuh sakit.
Barang-barang seperti: air minum dalam kemasan, es,
multivitamin, sunblock, topi lebar, kaos tangan, kopi dan teh
panas biasanya sangat dibutuhkan relawan. Untuk menghindari
kejenuhan, rotasi relawan juga perlu dilakukan.
Dalam situasi yang sulit, emosi gampang tersulut
dan konflik mudah terjadi. Pertengkaran di antara relawan sangat
mungkin terjadi. Untuk itu, pimpinan posko harus sudah
mengantisipasi hal ini.
Kembali ke atas
Dia Pernah
Mengalahkan Taufik Hidayat
Siapa sangka pemuda ini pernah mengalahkan Taufik
Hidayat. Pemuda ini pernah dipanggil mengikuti pelatnas
bulutangkis. Talentanya sangat besar dan postur tubuhnya pun
cukup ideal. Tapi hendak dikata, musibah cedera lutut
menderanya.
Ketika lutut itu dioperasi oleh dokter-dokter
Indonesia, mereka “hanya bisa membongkar, tapi tidak bisa
memasangnya kembali.” Terpaksa, dia dibawa ke Singapura. Tapi
sudah terlambat. Cedera lututnya sudah permanen. Dia tidak bisa
lagi menekuni olahraga bulutangkis. Padahal, dia dulu pernah
akan dikontrak oleh Singapura.
Akhirnya, dia kembali ke kota asalnya. Sekarang
pekerjaannya “hanya” menjaga toko milik orangtuanya. Ketika
gereja kami mengadakan pertandingan bulutangkis, kami
mengajaknya untuk menjadi panitia. Dia terlihat antusias.
Meskipun hanya berupa turnamen amatiran, tapi dia
mempersiapkannya dengan bersemangat. Dia seperti menemukan lagi
dunianya dulu. Seperti ikan kepanasan di darat yang dimasukkan
ke dalam air.
Bicara soal bulutangkis, di kota kami sebenarnya
berdomisili mantan pemain putri dunia. Namanya Huang Hua, dari
China. Sekarang dia menetap di kota kami karena menikah dengan
pria Indonesia. Ketika masih berkiprah di dunia bulutangkis,
Huang Hua adalah lawan tangguh bagi Susi Susanti.
Dengan kehebatan itu, dia tentu banyak menyimpan
ilmu perbulutangkisan yang dapat diserap untuk memajukan
olahraga bulutangkis di Indonesia. Sayangnya, hingga kini
kayaknya tidak ada pengurus PBSI yang mendekati Huang Hua.
Kembali ke atas
Tetanggaku
Terluka
Isteri tetangga depan rumahku kelihatan gelisah.
Pada pukul enam sore, dia menemui isteriku untuk meminjam
Betadine. Wajahnya kelihatan gugup dan pucat. Dia bercerita
bahwa suaminya mengalami luka di dagunya, karena terjatuh. Luka
itu cukup dalam dan keluar banyak darah.
Aku menyarankan supaya menutup luka itu dengan
plester berbentuk kupu-kupu. Dia menuruti. Sepuluh menit
kemudian, dia kembali ke rumahku dengan wajah yang semakin
pucat. Katanya, darahnya tak berhenti mengalir.
Mendengar hal itu, aku segera masuk ke rumah
mereka. Suaminya terbaring di lantai ruang tanah. Bantalnya
sudah berubah merah total, karena bersimbah darah. Astaga! Aku
terkesiap sejenak. Ini luka yang cukup serius. Tadinya saya
pikir hanya luka gores biasa.
“Ini harus segera dibawa ke rumah
sakit,”saranku,”darah yang keluar sudah sangat banyak. Mas ini
bisa kehabisan darah.”
“Tidak usah,” kata pria yang terluka itu dengan
suara lemah,”nanti juga berhenti sendiri.”
“Tapi darah yang sudah keluar sudah terlalu
banyak,” kataku menandaskan.
“Sudahlah. Saya sudah pernah mengalami begini sebelumnya, dan
tidak apa-apa kok,” jawab pria itu.
Aku menghampiri isterinya. “Kita harus membawanya
ke rumah sakit, atau setidaknya ke klinik terdekat,” kataku. Ia
mengangguk menurut. “Saya akan mencari becak dulu,” lanjutku
sambil mengeluarkan sepeda motor. Untunglah, masih ada tukang
becak yang masih mangkal meski sudah malam.
Aku kembali ke rumah tetangga. Kondisi pria itu
semakin lemah, tapi dia masih menolak dibawa ke rumah sakit.
Isterinya membujuk-bujuk sambil menangis, pria ini tetap
menolak. Aku segera membisiki anak perempuannya yang masih TK
untuk membujuk ayahnya supaya mau dibawa ke rumah sakit. Dia
menurut, tapi gadis kecil ini membujuknya sambil menangis, “Papa
jangan mati, ya. Dibawa ke rumah sakit, ya Pa.”
Tapi tangisan anaknya pun tak mampu meruntuhkan
benteng pertahanan itu. Kami pun sudah hampir kehabisan akal.
Aku lalu ingat punya teman seorang paramedis. Kami pernah
bekerja sama di posko kemanusiaan pada bencana gempa di kota
kami. Aku hubungi HP-nya, tapi tidak diangkat. Aduh, apa lagi
yang bisa dilakukan?
“Kita jemput mamanya saja, mas” saran ibu penjual
gado-gado,”mungkin kalau mamanya yang membujuk, dia mau patuh!”.
Usul yang bagus. Aku segera meluncur ke rumah ayahnya yang tidak
seberapa jauh. Dengan sepeda motor, aku segera memboncengkan ibu
yang sudah tua ini. Tapi usaha ini pun membentur tembok
kekerasan hati juga.
Aku sudah mulai tak sabar. Aku sudah punya
rencana untuk bersama membopongnya dengan setengah memaksa.
Tukang becak masih menunggu di depan rumahnya. Dengan kondisi
yang lemah, dia tidak punya tenaga untuk memberontak. Demikian
pikirku. Tapi sebelum rencana itu dilaksanakan, teman paramedis
itu menghubungi. Aku lalu menceritakan kejadiannya. Dia bersedia
datang untuk melihat kondisinya.
Dengan peralatan medis seadanya, temanku itu
segera melihat kondisi lukanya. “Luka bapak ini tidak lebar,
tapi sangat banyak. Kemungkinannya kena pembuluh darah. Ini
harus dijahit,” katanya meyakinkan.
Pria itu tidak membantah. “Saya tidak membawa
peralatan. Jadi sebaiknya dibawa ke rumah sakit. Nanti tidak
dijahit banyak kok. Paling satu atau dua jahitan,”lanjut
temanku.
“Dibawa ke rumah sakit ya, pa?” kata isterinya.
Pria itu diam saja. Ini pertanda baik. “Oke,
becak sudah siap. Kita ke rumah sakit,yuk,”kataku sambil
menggamit lengannya. Pria ini akhirnya menurut ketika dipapah ke
becak. Di atas becak, pria ini muntah.
“Itu salah satu tanda dia sudah kehilangan banyak
darah,” kata temanku yang paramedis. Kami segera membawanya ke
klinik terdekat. Dia segera mendapat pertolongan pertama. Tak
sampai setengah, jam pendarahan pun berhenti.
Selama menanti di ruang tunggu UGD, saya
menanyakan bagaimana kejadiannya pada isterinya. Dia lalu
bercerita bahwa suaminya terjatuh ketika dibonceng oleh
temannya. Dengan kondisi terluka, dia segera dibawa pulang.
Sesampai di rumah, lukanya itu segera dirawat, tapi darahnya
mengalir keluar terus. Kalau dihitung, sudah lebih dari enam jam
darah itu tidak berhenti keluar.
Hebat juga bapak ini! Esoknya dia sudah berangkat
kerja seperti biasa.
Minggu, 25 April 2007
Kembali ke atas
Mami
Vinolia alias Wakijo
Nama aslinya sebenarnya Wakijo, tapi oleh
teman-teman waria ia dipanggil mami Vinolia atau mami Vinny.
Penampilannya biasa-biasa saja, bahkan malah terkesan macho.
Tubuhnya gempal, bibirnya besar dan rambutnya keriting
jarang-jarang. Saya mengenalnya ketika reportase tentang
kesehatan reproduksi anak-anak jalanan. Dia mengasuh anak-anak
jalanan di Yogyakarta yang biasa mangkal di stasiun Lempuyangan.
Waria berusia di atas 40 tahun ini prihatin melihat anak
perempuan di jalan-jalan yang sangat rentan terhadap penyakit
pada alat reproduksinya.
Kami tidak menjalin kontak lagi selama hampir
tiga tahun. Bulan kemarin panitia Paskah bertanya, sebaiknya
kami melakukan aksi sosial kemana? Entah mengapa saya teringat
kelompok anak jalanan ini. Saya menawarkannya pada panitia
Paskah, dan mereka setuju. Saya lalu menghubungi mami Vinolia,
setelah lebih dulu minta no HP-nya pada PKBI Jogja. Ternyata,
dia sudah tidak mengasuh anak jalanan lagi. Dia sekarang menaruh
perhatian pada sesama Waria yang sangat rentan tertular penyakit
HIV-AIDS. Untuk itu dia mendirikan sebuah LSM bernama KEBAYA,
singkatan dari Keluarga Besar Waria Yogyakarta dengan akta
Notarisno 38, tgl 22 Januari 2007.
Visi mereka adalah turunnya angka infeksi HIV dan
penangana kasus AIDS di kalangan Waria DIY. Sedangkan misinya,
meningkatkan taraf hidup waria yang setara dengan anggaota
masyarakat lainnya sebagai warga negara Indonesia. Dalam
organisasi ini, mami Vinny sebagai manajer program, dan dibantu
oleh Yuni Shara sebagai manajer keuangan dan Yetti Rumaropen
sebagai koordinator lapangan.
"Fokus perjuangan kami saat ini adalah
memberdayakan kaum waria dan berjuang supaya kaum waria
mendapatkan hak-hak yang setara sebagai warga negara," kata mami
Vinny. Ia mencontohkan, saat ini kaum waria mengalami kesulitan
untuk mendapatkan KTP. Kaum waria juga sering dikejar-kejar oleh
Satpol P.P. Untuk itu mereka bertekad untuk mengubah persepsi
buruk masyarakat terhadap waria. "Contohnya banyaknya peran
waria di Sinetron TV itu justru sangat tidak menguntungkan kami.
Peran waria di sana paling sering hanya sebagai bahan tertawaan
saja," jelas mami Vinny dengan penuh prihatin.
Di akhir pertemuan kami dengan Kebaya, mereka
mengedarkan kardus sumbangan. Salah satu anggota mereka, yang
bernama Fani, kini sedang dirawat di R.S. Bethesda dalam keadaan
kritis. Hasil bantingan ini akan disumbangkan untuk membantu
pengobatan Fani.
Kembali ke atas
Saved by Coin
Darah Sunar tersirap. Matanya menatap lekat di
layar TV. "Astaga, apa yang terjadi," batinnya terkesiap.
Cepat-cepat dia menyambar handphone. Jari-jarinya
meloncat-loncat gemetaran mencari nomor telepon kawannya.
"Tulalit-tulalit…Nomor yang Anda tuju berada di
luar service area….," terdengar suara jawaban otomatis.
"Mungkin dia memakai nomor satunya," batinnya.
Masih tersisa harapan.
Tapi tidak ada nada sambung sama sekali. Sunar
lalu menelepon temannya.
"Sudah lihat berita di TV?" tanya Sunar
"Sudah. Bagaimana kabar Mayadi?" jawab suara di
seberang.
"Justru itu, aku mau tanya."
Sunar terduduk lesu. Tangannya merogoh uang logam
seratusam. Sejenak menimang-nimangya. Matanya menerawang
kejadian lima hari sebelumnya.
Siang itu, Sunar baru saja memarkirkan sepeda
motornya di halaman kantor jaringan LSM. Mayadi menghampiri dan
menariknya di bawah pohon sawo.
"Biar aku saja yang berangkat," pinta Mayadi,
"Minggu depan isteriku akan melahirkan. Aku butuh uang."
Sunar hanya mendengus. Dia sebenarnya juga
membutuhkan uang. Kontrakan rumahnya sudah habis. Tapi Sunar
tidak tega melihat wajah Mayadi yang memelas. Dia tahu, isteri
Mayadi mengandung bayi yang sungsang. Bayinya dalam posisi
duduk.
"Ayo kita tanya Pimpinan," ajak Sunar, "mungkin
bisa diusahakan kita pergi berdua." Mereka masuk ruang pimpinan.
"Tidak bisa," jawab Pimpinan, "jatah dalam
proposal hanya satu."
"Tapi kota ini adalah daerah konflik. Banyak
terjadi pelanggaran HAM," kilah Sunar.
"Makanya perlu dikirim dua orang," tambah Mayadi.
"Anggarannya sangat terbatas," jawab Pimpinan
pendek. Sunar tersenyum kecut. Dia tahu tabiat pimpinan. Kalau
sudah menyangkut dana, tak bisa kompromi lagi.
"Baiklah. Kamu saja yang berangkat," kata Sunar
kepada Mayadi.
Di jaringan LSM itu, mereka berdua sebenarnya
berstatus relawan. Mereka.bekerja atas dasar dorongan panggilan
hati. Meski begitu, mereka mendapat honor jika terlibat program
kegiatan. Saat itu ada kesempatan mengadakan pelatihan di daerah
konflik dengan dukungan dana dari luar negeri. Biasanya honornya
lumayan, karena ditetapkan dengan standard Dollar.
Rapat pleno digelar. Ada dua kandidat yang
dikirim: Sunar atau Mayadi. Sunar memberi kesempatan pada
Mayadi.
"Tidak bisa begitu," kata Wulan, "kita harus
memisahkan persoalan pribadi dengan profesionlsime."
"Supaya adil,kita undi saja" usul Anto.
Semua setuju. Sunar bangkit, merogoh uang logam
di sakunya.
"Kamu pilih rumah atau kayon?" tanya Sunar
"Rumah," pilih Mayadi.
Uang koin berputar di udara. Gambar rumah di
bagian atas. Mayadi yang berangkat.
Lima hari kemudian gelombang Tsunami menggulung
kota yang dituju Mayadi.
***
Jaringan komunikasi sudah pulih, tapi Mayadi tak
juga berkabar berita. Masih hidupkah dia? Karena jazadnya tidak
ditemukan, berarti ada harapan Mayadi ditemukan masih hidup.
Mungkin dia terluka berat.
Sunar memutuskan berangkat ke kota itu. Apapun
juga, perjuangan mulia harus berjalan terus. Dia akan meneruskan
rencana pelatihan itu sambil sedapat-dapatnya mencari Mayadi.
Sunar ingin mengabarkan bahwa isterinya sudah melahirkan bayi
perempuan. Dia diberi nama "Sunami".
~~~~Terinspirasi dari kisah nyata (alm) Mas
Wijanarko
In Memoriam pdt.
Susanto Notodiryo
Saya baru dua kali bertemu dengan pdt. Susanto
Notodiryo atau kami biasa memanggil beliau pak Noto.
Pertemuan pertama, pada bulan Desember 2005 di pastori,
samping GKJ Gumulan. Sudah menjadi tradisi, setiap Desember
kami mengadakan Christmas Carol. Salah satu tempat yang
kami kunjungi adalah Panti Wredha yang disesepuhi oleh pak
Noto dan Ibu. Setelah dari panti wredha ini, kami melanjutkan
kunjungan ke rumah beliau, yang berbatasan pagar dengan panti.
Pertemuan kedua, bulan desember 2006, pada
acara yang sama pula. Secara fisik, badannya masih kelihatan
tegap, walau rambutnya sudah memutih dan kulitnya berkeriput.
Tatapan matanya masih menyala-nyala. Selera humornya juga
belum hilang.
Bu Noto bercerita, bahwa selama ini pak Noto
tidak mengalami gangguan kesehatan yang berarti. Hanya
saja, fungsi pendengarannya sudah menurun. Untuk itu,
beliau membutuhkan alat bantu pendengaran. Sayangnya,
alat ini mengalami kerusakan. Namun hal ini tidak
menghalangi pak Noto untuk beribadah di gereja.
Pulang dari gereja, pak Noto bercerita sambil
tertawa: "Orang-orang di gereja tadi mungkin mengira saya bisa
mendengar khotbah hari ini. Padahal saya mendengar tidak
sama sekali. Saya hanya mengangguk-anggukkan kepala
saja."
Tanggal 19 Mei 2007, Tuhan memanggil pulang pak
Noto pada usia 83 tahun. Sejak memulai pelayanan sebagai
guru Injil pada tahun 1944, berarti sudah sekitar 63 tahun pak
Noto telah melayani Tuhan. Pada saat-saat terakhirnya,
pak Noto berpesan supaya jenazahnya tidak dipakaikan toga
pendeta. Dia juga berpesan supaya dalam peti itu tidak
disertakan Alkitab."Itu melecehkan Alkitab. Masa'
orang mati disuruh membaca Alkitab," pesan pak Noto.
Pak Noto juga sudah memilih sendiri lagu-lagu yang akan
dinyanyikan pada kebaktian pangrukti laya nantinya.
Salah satunya adalah "Tiap Langkahku Diatur oleh Tuhan"
Dalam khotbahnya, pdt. Budianto mengatakan
bahwa keinginan terbesar yang dimiliki oleh pendeta adalah
mengakhiri tugas pelayanan dengan baik. Kerinduan itu telah
didapatkan oleh pak Noto, sehingga dia dapat berbaring dengan
lega dan berkata:"Aku telah mengakhiri pertandingan yang
baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara
iman." (2 Timotius 4:7)
Kembali ke atas
Melewatkan Mukjizat di Depan Mata
Pukul sepuluh malam, HP-ku berdering. "Mas, ini
darurat. Anda diminta mendonorkan darah,"kata Agus Permadi di
ujung telepon. "Oke, tunggu sebentar. Aku keluarkan sepeda motor
dulu," jawabku.
"Tidak usah. Nanti kami jemput dengan
mobil. Saat ini kami sedang menjemput pak Teguh," sahut
Agus Permadi.
Mobil Chevrolet tua melesat membelah kesunyian
malam di kota kami. Langit terlihat cerah, udara sangat gerah.
Sudah lebih dari tiga bulan ini cuaca sangat panas di kota kami,
baik itu siang atau malam.
Sesampai di rumah sakit, sudah ada banyak orang
yang berkumpul di depan sebuah kamar. Ada pak Yono dan isteri,
pak Giri, pak Lukas dan anaknya, pak Bambang Budiadi dan isteri.
Aku bersama dengan pak Teguh, koh Yoyok dan Agus Permadi
bergabung dengan mereka.
Kami menyalami pak Hendro dan bu Dewi Retno Murni
isterinya. Mata bu Retno terlihat sembab karena habis menangis.
Yogi, anak mereka terbaring di ranjang karena terserang virus
demam berdarah. Malam itu, jumlah trombosit dalam darahnya
melorot sangat drastis ke angka 50 ribu. Padahal ambang batas
minimalnya adalah 150 ribu.
Meski sudah banyak minum jus buah jambu merah
yang dipercaya dapat meningkatkan kadar trombosit, tapi tidak
terlihat perubahan yang berarti. Jika kondisi ini berlanjut,
maka alternatifnya adalah tranfusi trombosit yang diambil dari
darah orang lain. Untuk mendapatkan sekantong trombosit,
maka dibutuhkan tujuh pendonor. Trombosit ini harus "diekstrak"
dari darah segar. Itu artinya, kami harus selalu siap
mendonorkan darah jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Setelah setengah jam menunggu, kami mendapat
kabar bahwa kepastian pendonoran darah itu baru diketahui besok
jam enam pagi. Kami diminta pulang saja untuk menjaga kondisi.
Keesokan harinya, tidak ada panggilan telepon.
Berarti tidak jadi donor darah. Siangnya, kami menjenguk Yogi.
Meski kadar trombositnya sangat rendah, tapi dia masih bisa
bercanda.
"Tadi malam ada banyak orang yang berkumpul di
depan kamar saya," kata Yogi."Saya lalu berpikir, apakah sakitku
ini sangat parah sehingga banyak orang yang berkumpul. Apa saya
sudah akan mati."
Hari itu, beberapa kali bu Retno mengirim SMS.
Setiap kali SMS masuk, beritanya tentang kadar trombosit Yogi
yang terus menurun, dari 50 ribu, terjun bebas ke angka 25 ribu,
19 ribu, bahkan sampai hanya 12 ribu.
Pagi berikutnya--pukul enam, HP-ku berbunyi.
"Pak, kami butuh darah untuk Yogi. Kami tunggu di PMI ya?"
suara bu Retno tersendat-sendat menahan tangis.
Aku segera cuci muka dan gosok gigi. Isteriku
juga bersiap-siap. Dengan sepeda motor kami melaju ke kantor PMI
yang berjarak sekitar 2 km dari Pastori II. Sesampai di sana,
ternyata kami yang datang pertama. Pendonor lain belum ada yang
datang. Penjaganya pun masih tidur-tiduran.
Selang sepuluh menit kemudian, pendonor lainnya
datang: Pak Teguh, pak Bambang Budiadi, mas Alex dan pak tentara
(aku tidak tahu namanya). Pukul delapan, darah yang dibutuhkan
sudah mencukupi.
Berkat tranfusi itu, kadar trombosit Yogi mulai
naik. Setelah dirawat selama enam hari, Yogi dibolehkan
pulang ke rumah. Empat hari kemudian, pak Hendro memberikan
kesaksian di depan persektuan kelompok.
"Ketika kadar trombosit anak kami terus turun,
terus terang saja kami merasa cemas. Sebagai dokter, saya tahu
benar betapa gawatnya situasi ini," kata dokter Hendro. "Ada
pasien lain yang kadar trombositnya 50 ribu, dan dia tidak bisa
bertahan. Sedangkan pada Yogi, kadar trombositnya hanya 12 ribu.
Itu kurang dari sepersepuluh dari batas aman, yaitu 150 ribu."
"Saat itu kami berdoa dengan sungguh-sungguh
minta mukjizat Tuhan. Kami juga mengirim SMS ke banyak
orang untuk mendukung dalam doa. Kalau selama
ini ada istilah "doa berantai", maka malam itu saya menciptakan
istilah baru, yaitu "serbuan doa". Saya yakin, ada banyak
orang yang mendukung kami dalam doa. Kami "menyerbu" Tuhan
dengan doa. Kami meminta mukjizat Tuhan berupa kenaikan kadar
trombosit Yogi."
"Akan tetapi mukjizat itu tak kunjung datang.
Bahkan kadar trombositnya malah menurun. Terus terang
saja, iman menjadi goyah saat itu," papar pak Hendro dengan
bergetar. "Namun ada satu SMS yang kemudian menguatkan
kami,"lanjutnya sambil membuka kembali SMS itu. Dia
membacakannya kembali. SMS itu mengutip Kolose 4:2:"Bertekunlah
dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap
syukur." Setelah itu, SMS itu disambung dengan kata-kata ini: "Yogi
masih dapat bertahan dengan angka hanya 12 ribu, bukankah itu
sebuah mukjizat?"
Seketika itu juga pak Hendro dikuatkan kembali.
Dia telah diingatkan tentang adanya mukjizat yang telah
dilakukan Tuhan. Ketika kita minta
mukjizat, kita sering memintanya harus sesuai dengan kehendak
kita. Jika mukjizat itu dalam bentuk yang tidak sesuai dengan
keinginan kita, maka kita menganggapnya bukan sebagai mukjizat.
Kembali ke atas
Pelajaran
Merendahkan Diri
Ibu Inge (nama samaran) adalah seorang pengikut
Kristus yang taat. Usianya di atas 50 tahun dan sudah setahun
menjanda. Suatu hari, dia menarik uang di bank.
Di tempat parkir, tiba-tiba ada 3 orang yang
menyapanya dengan sangat ramah. Sepertinya sudah kenal akrab,
walau bu Inge sendiri merasa tidak kenal. "Sedang apa, Bu,"
tanya salah seorang pria dengan hangat.
"Ambil uang," jawab bu Inge. "Ambil berapa?" Bu
Inge menyebutkan nilai nominal tertentu. "Ah, masih kurang.
Ayo ambil lagi!" kata penyapa itu sambil menggamit lengan bu
Inge dan mengajaknya kembali masuk bank.
Anehnya, bu Inge menurut saja. Dia kembali ke
kasir dan mengambil seluruh tabungannya. Setelah itu, bu Inge
'dibimbing' masuk ke sebuah mobil. Di dalam mobil, orang-orang
itu membujuk supaya bu Inge menitipkan segepok uang kepada
mereka. Ini demi keamanan, kata mereka. Mereka juga
meminta perhiasan dan HP milik bu Inge.
Beberapa saat setelah diturunkan di pinggir
jalan, bu Inge baru sadar bahwa telah ditipu habis-habisan.
Dia segera melapor ke polisi.
"Tuhan, apa maksud-Mu atas semua ini?"tanya bu
Inge dalam doa. Lalu suara hatinya berkata,"Kamu ambil uang
itu untuk apa, sih?" Dia ingat sehari sebelumnya, dia
tersinggung pada ucapan seseorang yang berkaitan dengan uang.
Untuk menjaga harga dirinya, maka dia akan 'menyumpal' mulut
orang itu dengan uang.
"Tuhan rupanya sedang mengajarkan tentang
merendahkan diri kepadaku,"kata bu Inge. "Memang benar, ucapan
ini: yen pingin andhap asor, kowe kudu nganti ndlosor
[Merendahkan diri itu harus sampai mencium tanah]." [Purnawan]
Kembali ke atas
Kenangan Singkat
atas Omi Intan Naomi
Saya kaget membaca berita di Kompas: Omi Intan
Naomi telah dipanggil Bapa di sorga dalam usia 36 tahun. Saya
mengenal pertama kali mengenal Omi melalui karya-karyanya yang
dimuat di Sinar Harapan Minggu (sebelum dibereidel). Dia sangat
rajin menulis di rubrik anak-anak. Maklum saja, ayahnya adalah
seorang penyair ternama, Darmanto Jatman. Bersama dengan
Remi Silado, Darmanto membuat inovasi dengan menciptakan
puisi-puisi mbelingnya.
Sebagai anak yang hidup di pelosok Gunungkidul,
saya cukup beruntung telah diperkenalkan dengan dunia literatur
oleh ayah saya. Meski agak susah dijangkau tansportasi, tapi
ayah saya sering 'berhasil' mendapatkan koran SH dan almarhum
majalah Mutiara. Minat kepenulisan saya banyak dibentuk oleh
kedua media ini,Perkenalan saya pribadi dengan Omi Intan Naomi
bermula ketika saya kuliah di jurusan Komunikasi UGM.
Omi menjadi kakak angkatan saya. Saya angkatan
1991, dia angkatan 1989.Ketika itu, dia sudah dikenal sebagai
penyair muda yang cemerlang.Kami sempat beraktivitas
bersama-sama di dalam Korps Mahasiswa Komunikasi (Komako),
khususnya di divisi Jurnalistik dan Penerbitan. Kami menerbitkan
tabloid SWARA. Dia menjadi Pemimpin Redaksi, saya reporternya.
Saya masih ingat, laporan utama yang diangkat adalah tentang
kewajiban Penataran P4 bagi mahasiswa baru. Kami
mengadakan jajak pendapat. Hasilnya, mayoritas responden menolak
Penataran P4.
Selain Omi, rekan sekerja kami adalah Imam
Wahyu(pernah di Editor dan Tiras. Entah sekarang dia ada
dimana), Sagiyo, Yuyun Wardhana (fotografer Detik), Berto,
Candra dan satu teman lagi yang sekarang di Metro TV. Namanya
Matius Dwi Hartanto, tapi teman-teman memanggilnya Gimin.
Saya tidak lama bergaul dengan Omi karena dia
cepat menyelesaikan teorinya. Setelah itu, dia jarang nongol di
kampus. Dari pergaulan singkat saya dengannya, saya melihat Omi
sebagai mahasiswa yang cerdas dan kritis. Namun ada juga jiwa
pemberontak di dalamnya. Setiap kami rapat redaksi, dia biasanya
melontarkan opini-opini cerdas sambil tak lupa mengepulkan asap
rokok ringan dari mulutnya.
Omi menyelesaikan skripsi dengan topik penelitian
analisis isi pojok Kompas. Setelah itu, kami tidak pernah kontak
lagi. Saya dengar kabar, dia menerjemahkan karya-karya
sastra dari Australia.
Harus saya akui, perjalanan kepenulisan saya
telah dihiasi oleh kekaguman saya pada wanita manis, berkulit
langsat dan berambut ikal ini. Selamat jalan mbak Omi.
Anak Penjual
Kripik Tewas
Dipagut Ular
Bagi
pengunjung
yang sering
mengunjungi
blog saya
mungkin
pernah
membaca kisah
penjual
keripik.
Namanya pak
Tukiran.
Umurnya sudah
di atas 50-an
tahun,
orangnya
sangat
sederhana.
Pekerjaannya
menjuak
keripik dari
rumah ke
rumah
menggunakan
sepeda
onthel.
Hebatnya, dia
malah sudah
pernah pergi
ke Perancis
karena
anaknya
dipersunting
negerinya
Zenedine
Zidane itu.
Tapi dia juga
pernah
mengalami
tragedi.
Anak, mantu
dan cucunya
yang lain
semuanya
tewas dalam
peristiwa
gempa 27 Mei
2006.
Setelah lama
sekali tidak
muncul, hari
ini (26/8)
pak Tukiran
datang ke
rumah kami.
Saya pikir
dia menjual
keripik lagi.
"Wah sudah
lama
ditunggu-tunggu,pak,"
kata saya,
"apakah Bapak
membawa
keripik
kesukaan
kami?"
"Maaf, Pak,"
kata pak
Tukiran
sambil
tertunduk-tunduk.
Begitulah
kebiasaannya.
Kedua
tangannya
dilipatkan di
depan dada,
seperti
posisi
menyembah
cara orang
Jawa, sambil
berkali-kali
minta maaf.
"Saya mau
memberitahukan
layu-layu,"
lanjut pak
Tukiran.
Saya sedikit
kaget,
soalnya saya
tidak begitu
mengenal
keluarganya.
"Siapa yang
meninggal?"
tanya saya.
"Anak saya
meninggal
empat hari
lalu," jawab
pak Tukiran
dengan suara
yang
tercekat.
"Lho,
meninggal
karena apa?"
Saya kaget
sambil merasa
sedikit
merinding.
Sumpah, saya
takut banget
sama ular!
Pak Tukiran
lalu
bercerita
bahwa dia dan
anak
laki-lakinya
yang masih
sekolah STM
berburu belut
di sawah.
Malam
itu dengan
bekal
penerangan
seadanya,
mereka
mengumpulkan
binatang
licin untuk
dijadikan
kripik belut.
Tiba-tiba,
sang anak
merasakan
sakit pada
tumitnya,
tapi dia
tidak begitu
mempedulikan
karena
dipikirnya
hanya
tertusuk duri
liar saja.
Akibatnya
sungguh
fatal, hanya
dalam
beberapa jam
tubuhnya
sudah
membiru. Dia
segera
dilarikan ke
RSUD
Tegalyoso,
tapi pihak
rumah sakit
menolaknya.
Sudah
terlambat,
kata mereka.
Maka anaknya
ini dilarikan
ke R.S. dr.
Oen di Solo.
Meski sudah
diberi
pertolongan,
akhirnya
nyawa sang
anak tak
terselamatkan.
Itulah
ceritanya.
Setelah itu
pak Tukiran
mengutarakan
maksud
kedatangannya
ke rumah
kami. Sambil
berkali-kali
meminta maaf,
dia ingin
meminjam
sejumlah uang
untuk menutup
ongkos di
rumah sakit.
"Kalau boleh,
saya akan
mencicil
dengan
keripik
tempe," pinta
pak Tukiran.
Atas
|