KULINER
Sarapan
Gudeg Koyor di
Salatiga
Gudeg memang
makanan khas
kota
Yogyakarta.
Namun di
Salatiga, ada
warung gudeg
yang unik dan
cukup laris.
Namanya “Gudeg
Koyor”. Jika
datang setelah
pukul sepuluh
pagi,
dipastikan
calon pembeli
akan gigit jari
karena
kehabisan.
Penasaran
dengan cerita
teman, kami
berangkat
pagi-pagi dari
kota Klaten.
Jalur yang
dipilih lewat
Jatinom menuju
Boyolali. Jalur
alternatif ini
dalam kondisi
rusak berat. Di
sana-sini
banyak terdapat
tambalan yang
membuat jalan
bergelombang.
Siksaan ini
baru berakhir
setelah sampai
di Mojosongo,
Boyolali,
karena sudah
masuk ke jalan
utama
Solo-Semarang.
Pukul
setengah
sembilan, kami
sudah masuk ke
kota Salatiga.
Sesampai di
lampu merah
“ABC”, kami
mampir sejenak
ke pengrajin
“Gethuk Kethek”
untuk memesan
oleh-oleh.
Kalau tidak
pesan lebih
dulu, jangan
harap bisa
membawa jajanan
tradisional
khas Salatiga
ini. Kami
memesan
beberapa
bungkus gethuk
untuk diambil
pada pukul
15.30.
Setelah itu
meneruskan
perjalanan
menuju Pasar
Sapi, Salatiga.
Tujuan kami
adalah deretan
kios di pasar
pada ujung
barat. Di sini
Hj. Sukini
membuka warung
makan sederhana
dengan menu
utama gudeg
koyor.
Dalam satu
porsi, terdapat
tiga potong
daging koyor,
masing-masing
seukuran
telapak tangan
balita. Koyor
adalah daging
otot yang
menempel di
tulang tulang
punggung dan
kaki sapi.
Mendengar kata
“otot”, mungkin
akan segera
terbayangkan
daging yang
liat, alot dan
susah dikunyah.
Ternyata dugaan
itu keliru.
Daging koyor
pada gudeg ini
ternyata sangat
empuk. Bahkan
mudah sekali
dipotong-potong
hanya
menggunakan
sendok.
Daging koyor
ini dimasak
menggunakan
kuah santan
kelapa yang
super kental
dan pedas.
Sebagai
pendampingnya,
ditambahkan
gudeg, yaitu
nangka muda
yang dimasak
dengan dengan
santan kental,
kemudian
dipanasi setiap
hari sehingga
empuk dan
kecoklatan.
Rasanya manis.
Ada juga daun
ketela rebus
sebagai
penambah
kandungan gizi.
Jika Anda
peduli kadar
kolesterol pada
darah Anda,
maka tersedia
menu nasi gudeg
ayam, yang tak
kalah gurihnya.
Tapi buat apa
jauh-jauh ke
Salatiga kalau
tidak untuk
mencicipi
daging koyor?
Gethuk
Kethek
Dengan perut
yang
kekenyangan,
kami meneruskan
perjalanan ke
kota Semarang.
Ternyata urusan
kami lebih
cepat selesai
dari perkiraan
semula. Sekitar
pukul duabelas,
kami sudah
sampai di
Salatiga lagi.
Padahal pesanan
gethuk kami
dijadwalkan
pada pukul
15.30. Maka
kami putuskan
untuk mencoba
peruntungan
dengan
mengambil
pesanan lebih
awal. Ternyata
kami terpaksa
harus gigit
jari. Kami
harus tetap
menunggu.
Rupanya
pengrajin ini
memasak gethuk
dalam beberapa
gelombang,
setiap dua jam.
Pada setiap
gelombang,
sudah ada
pembeli yang
memesannya.
Maka jangan
heran, ketika
membuat
pesanan, Anda
pasti ditanya
akan mengambil
pesanan pada
pukul berapa.
Kalau Anda
nekad datang
tanpa pesan
lebih dulu,
atau mengambil
gethuk di luar
jadwal, maka
siap-siap saja
untuk gigit
jari.
Sambil menunggu
waktu, saya
ikut cara
membuat gethuk
ini. Proses
pembuatan
gethuk ini pada
dasarnya hampir
sama dengan
gethuk singkong
yang lain.
Perbedaanya
adalah dari
cara
melembutkan
singkong. Pada
cara
tradisional,
singkong yang
telah dikukus
ditambahi gula
jawa dan
parutan kelapa
muda, kemudian
ditumbuk hingga
lembut dan
padat.
Sedangkan pada
“gethuk
kethek”,
singkong yang
telah dikukus
digiling lebih
dulu hingga
halus. Singkong
giling ini
kemudian
ditambahi
parutan kelapa
muda, penambah
aroma dan gula
pasir. Semua
bahan dicampur
menjadi satu
dan diuleni di
dalam ember
plastik dengan
menggunakan
tangan. Setelah
tercampur rata,
adonan dibentuk
menjadi bola
besar.
Adonan bola
besar ini siap
dicetak.
Selanjutnya,
Inilah
perbedaan
lainnya antara
“gethuk kethek”
dengan gethuk
tradisional.
Pada gethuk
tradisional,
setelah
ditumbuk halus,
gethuk dibentuk
menjadi balok
besar. Pada
saat dijajakan,
gethuk ini
diiris menjadi
potongan
kecil-kecil.
Sedangkan pada
“gethuk
kethek”, adonan
dicomot sedikit
demi sedikit
untuk diisikan
pada cetakan,
mirip cetakan
tahu. Adonan
ini dipadatkan,
lalu
dikeluarkan
dari
cetakannya.
Dengan
demikian,
ukuran “gethuk
kethek” menjadi
seragam.
Setiap bungkus
gethuk berisi
20 potong,
dijual seharga
Rp. 7.000,-
Tersedia juga
gethuk goreng,
seharga Rp.
500,-/potong.
Keistimewaan
gethuk ini
terletak pada
teksturnya
yang lembut,
sehingga tidak
membuat seret
tenggorokan.
Paling enak
dimakan ketika
masih hangat.
Rasanya manis
dan gurih. Rasa
gurih
didapatkan dari
parutan kelapa,
yang sekaligus
memberi tekstur
renyah ketika
dikunyah. Namun
di sini pula
letak
kekurangannya.
Karena
menggunakan
kelapa muda,
maka gethuk ini
mudah basi dan
tidak mampu
bertahan lebih
dari sehari (Purnawan
Kristanto)
“Kethek”
adalah Monyet
Oleh-oleh khas
Salatiga yang
satu ini memang
bikin
penasaran..
Kalau tidak
pesan lebih
dulu, maka
siap-siaplah
menelan
kekecewaan jika
tetap nekad
datang ke sana.
Hal ini dialami
seorang ibu
yang berasal
dari Boyolali.
Tanpa pesan
lebih dulu, dia
bermaksud
langsung
membeli.
Ternyata tidak
ada satu potong
pun gethuk yang
tersisa. Semua
sudah dipesan
pembeli. Meski
sudah
dirayu-rayu,
tetapi pemilik
usaha gethuk
tetap tidak
melayani
pembelian
langsung itu.
Nama gethuk ini
juga bikin
penasaran.
Namanya “Gethuk
Kethek”. Dalam
bahasa Jawa
“kethek”
berarti monyet.
Apakah itu
berarti gethuk
ini berbahan
baku daging
monyet? Tentu
saja tidak.
Nama “kethek”
sengaja dipakai
sebagai penanda
yang membedakan
dengan
pengrajin
gethuk lainnya,
yang ada di
sekitar itu.
Kebetulan
pengrajin
memelihara
seekor monyet
yang kandangnya
ada di depan
rumah. Dulu,
gethuk ini
belum bernama.
Karena di
sekitar tempat
itu ada juga
pengrajin
gethuk, maka
para pembeli
menggunakan
monyet itu
untuk
membedakan
dengan
pengrajin yang
lain. “Itu, lho
yang ada
‘kethek’
(monyet) di
depan
rumahnya,”
demikian tutur
seseorang
pembeli kepada
calon pembeli
lain.
Ada rumor yang
mengatakan
bahwa monyet
ini adalah
penglaris yang
dipelihara oleh
pengrajin
gethuk itu.
Mungkin ada
benarnya, sebab
dengan
menggunakan
monyet sebagai
merek dagang,
ternyata gethuk
ini punya
brandname
yang kuat.
Tanpa memasang
iklan, usaha
kecil ini
memang sangat
laris. Jika
Anda penasaran
ingin
mencobanya,
jangan lupa
untuk menelepon
dulu. Kalau
tidak, bisa
jadi Anda akan
seperti “kethek
ditulup” alias
monyet kena
sumpit. Hanya
bisa melongo [Purnawan]
Ensiklopedi
Bakso Jogja
Iklim kompetisi
yang ketat,
ternyata juga
mempengaruhi
bisnis bakso.
Saat ini muncul
warung-warung
bakso dengan
inovasi-inovasi
baru. Contohnya
warung bakso
yang satu ini.
Kalau di tempat
lain biasanya
menggunakan
daging sapi
(atau babi),
tapi di warung
bakso ini
menawarkan
daging ayam.
Namanya warung
bakso "Kuning
Gading".
Lokasinya, di
sebelah selatan
toko buku
"Puskat"
Kotabaru. Kalau
dari arah
stadion
Kridosono,
letaknya
setelah gedung
Widya Mandala,
tetapi sebelum
viaduk jembatan
Kewek.
Saya
pertama kali
makan di tempat
ini karena
diajak Lily
Halim setelah
melakukan tugas
peliputan untuk
majalah BAHANA
(Soal
perbaksoan,
Lily Halim
memang
pakarnya).
Selain
dagingnya, yang
istimewa dari
tempat ini
adalah porsinya
yang sangat
besar. Dengan
menggunakan
mangkok besar,
kita disuguhi
bakso yang
terdiri dari
mie kuning,
tahu potong,
daging ayam,
bawang goreng,
irisan daun
seledri dan
tentunya
bulatan bakso.
Bulatan
baksonya pun
cukup terasa
dagingnya.
Kalau
kebanyakan
bakso lebih
banyak
tepungnya, tapi
kandungan
daging dalam
bola bakso di
sini lumayan
banyak.
Sehingga terasa
sekali tekstur
dagingnya.
Untuk ukuran
Jogja, tarif di
warung ini
memang agak
mahal. Untuk 2
porsi bakso+2
gelas es
teh+krupuk
(seribuan)+2
piring
nasi+irisan
tahu ekstra,
kami membayar
Rp. 23.500,-
Bakso Rusuk
Warung bakso
lain berinovasi
dengan
menambahkan
rusuk sapi.
Maka mereka
menyebutnya
bakso rusuk.
Salah satunya
adalah bakso
rusuk "Samson"
yang
"enceng-encengan"
(berseberangan
diagonal)
dengan pintu
gerbang Akademi
Angkatan Udara,
Yogyakarta.
Jika memesan
bakso rusuk
spesial, maka
Anda akan
disuguhi
semangkok bakso
dengan potongan
rusuk sapi
seukuran
telapangan
tangan balita.
Tentu saja
masih ada
daging yang
menempel.
Selain itu
masih ditambahi
dengan
thethelan
(remah-remah
daging).
Dagingnya cukup
empuk, sehingga
tidak
dibutuhkan
tenaga Samson
untuk
mengunyahnya.
Harga per porsi
Rp. 9.000,-
Selain hidangan
bakso, yang
istimewa di
sini adalah es
telernya.
Menurut saya,
rasa kelapa
mudanya cukup
'nendhang'.
Manisnya pun
tidak
keterlaluan,
sehingga kita
tidak justru
kehausan
setelah
meminumnya.
Bakso Luar
Negeri
Sementara itu
di dekat rumah
saya di Klaten,
sedang
ngentrend
warung bakso
dengan
mengambil nama
negara luar
negeri. Yang
pertama Bakso
Arab.
Keunikannya
pada ukuran
baksonya yang
sangat besar.
Bakso ini
diiris pada
bagian pada
bagian
tengahnya,
kemudian
"dikupas"
keluar sehingga
menyerupai
irisan manisan
buah pala.
Tujuan
pengirisan ini
untuk membuat
bagian dalam
bakso juga
telah matang.
Karena ukuran
yang "oversize"
maka Anda akan
kekenyangan
jika makan satu
porsi saja.
Lokasi warung
ini di pasar
Srago, ringroad
selatan,
Klaten.
Di dekatnya,
sekitar 200
meter, ada
warung bakso
Jepang. Saya
belum tahu
mengapa warung
bakso ini
dinamai warung
bakso Jepang.
Terus terang
saya kecewa
dengan hidangan
di sini. Tidak
ada yang
istimewa.
Bahkan es
campur yang
dihidangkan
sudah terasa
basi. Maka saya
berjanji pada
isteri saya
untuk tidak
jajan ke sana
lagi.
Ada lagi warung
bakso "Nuklir"
yang ada di
wilayah Bareng,
Klaten. Warung
bakso ini
sering memasang
spot iklan di
stasiun TV
swasta. Tapi
saya belum
pernah mencoba
ke sana.
Isu Daging
Tikus
Sekitar tiga
tahun yang
lalu, bisnis
kuliner bakso
di Yogyakarta
sempat kolaps
dihantam isu
daging tikus.
Entah benar
atau tidak,
sempat beredar
rumor bahwa ada
seseorang yang
menyaksikan
pekerja sebuah
warung bakso
laris di kota
gudeg ini
sedang
menguliti
daging tikus.
Sontak beredar
kabar bahwa
bakso di warung
ini menjadi
enak karena
dicampur dengan
daging tikus.
Isu ini sempat
membuat
penggemar bakso
merasa jijik
dan ogah
menyantap
makanan rakyat
ini. Tapi
waktulah yang
membuktikan.
Tidak dapat
dapat
dipungkiri
memang ada satu
atau dua
pedagang bakso
yang curang,
tapi saya yakin
warung bakso
yang sudah
mapan tidak
akan berbuat
sebodoh itu,
yaitu
mempertaruhkan
reputasinya
demi
penghematan
yang tidak
seberapa.
Saat itu, yang
sedang ngetrend
adalah bakso
urat. Warung
bakso urat yang
diminati
konsumen di
antaranya
warung bakso
"Pak Kumis" dan
"Pak Kribo" di
sepanjang jalan
Gejayan.
Sementara di
wilayah
Selatan, ada
warung bakso di
dekat lampu
merah R.S
Bethesda
Lempuyangan dan
Jl. Sultan
Agung.
|