| PENGANTAR KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
 Sang Buddha berbicara dengan bahasa Ardhamagadhi, namun tidak
 ada
 peninggalannya. Kitab suci agama Buddha ditemukan dalam bahasa
 Pali dan
 suatu bentuk bahasa Sanskerta. Nama umum yang diberikan untuk
 kumpulan kitab
 suci agama Buddha adalah Tripitaka.
 "Tri " berarti "tiga " dan "pitaka " berarti "keranjang " atau
 biasa
 diartikan sebagai "kumpulan ". Tripitaka dengan demikian adalah
 " Tiga
 Keranjang " atau "Tiga Kumpulan". Tiga kumpulan itu adalah:
 1. Vinaya Pitaka atau Kumpulan Disiplin Vihara.
 2. Sutta/Sutra Pitaka atau Kumpulan Ceramah/Dialog.
 3. Abhidhamma/Abhidharma Pitaka atau Kumpulan Doktrin Yang
 Lebih Tinggi,
 hasil susunan sistematis dan analisis skolastik dari
 bahan-bahan yang
 ditemukan dalam Sutta/Sutra Pitaka.
 TIPITAKA PALI
Tipitaka Pali (45 jilid) memiliki pembagian sebagai
 berikut :
 Vinaya Pitaka:
 1. Parajika
 2. Pacittiya
 3. Mahavagga
 4. Culavagga
 5. Parivara
 Sutta Pitaka:
 1. Digha Nikaya
 2. Majjhima Nikaya
 3. Samyutta Nikaya
 4. Anguttara Nikaya
 5. Khuddaka Nikaya
 Abhidhamma Pitaka:
 1. Dhammasangani
 2. Vibhanga
 3. Dhatukatha
 4. Puggalapannatti
 5. Kathavatthu
 6. Yamaka
 7. Patthana
 MAHAPITAKA (TRIPITAKA MAHAYANA)
Mahapitaka (Ta Chang Cing) terdiri dari 100 buku dengan
 pembagian sebagai
 berikut :
 1. Agama
 2. Jataka
 3. Prajnaparamita
 4. Saddharma Pundarika
 5. Vaipulya
 6. Ratnakuta
 7. Parinirvana
 8. Mahasannipata
 9. Kumpulan Sutra
 10. Tantra
 11. Vinaya
 12. Penjelasan Sutra
 13. Abhidharma
 14. Madhyamika
 15. Yogacara
 16. Sastra
 17. Komentar Sutra
 18. Komentar Vinaya
 19. Komentar Sastra
 20. Sekte
 21. Aneka Sekte
 22. Sejarah
 23. Kamus
 24. Daftar Isi
 25. Komentar Sutra Lanjutan
 26. Komentar Vinaya Lanjutan
 27. Komentar Sastra Lanjutan
 28. Aneka Sekte Lanjutan
 Sutra-sutra dari kaum Hinayana juga terdapat dalam Tripitaka
 Mahayana dengan
 sebutan Agama Sutra (A Han Cing). Agama Sutra sebagian besar
 isinya tidak
 berbeda dengan apa yang terdapat di Nikaya Pali. Agama Sutra
 ini terdiri
 dari :
 1. Dhirghagama
 2. Madhyamagama
 3. Samyuktagama
 4. Ekottarikagama
 Dalam Tripitaka Mahayana terdapat pula tujuh kitab Abhidharma
 dari golongan
 Sarvastivada (berbeda dengan Abhidhamma Pali), yaitu :
 1. Jnanaprasthana
 2. Samgitiprayaya
 3. Prakaranapada
 4. Vijnanakayasya
 5. Dhatukaya
 6. Dharmaskandha
 7. Prajnaptisastra
 KANGJUR DAN TANGJUR (TIBETAN TRIPITAKA)
Kitab Kangjur dan Tangjur adalah terjemahan kitab-kitab suci
 agama Buddha
 teks Sanskerta yang ditulis ke dalam bahasa Tibet sekitar abad
 keenam
 masehi.
 Kangjur (108 jilid) terdiri dari deskripsi ajaran Sang Buddha
 sedangkan
 Tanjur (227 jilid) merupakan komentar dari teks dasar.
 Bersama Mahapitaka, Tibetan Tripitaka kini menjadi sumber
 penting oleh
 karena teks Sanskerta di India sudah tidak lengkap setelah
 terjadinya
 penghancuran oleh Islam.
 BAB I PENGENALAN VINAYA PITAKA
 Vinaya Pitaka : Tata Tertib dan Peraturan Cara Hidup bagi
Samgha
 "Vinaya Pitaka" berisi peraturan/tata tertib yang ditetapkan
 untuk mengatur
 murid-murid Sang Buddha yang telah diangkat sebagai bhikkhu
 atau bhikkhuni
 ke dalam Samgha. Peraturan-peraturan ini berupa himbauan dari
 Sang Buddha
 dengan tujuan agar mereka menguasai dan mengendalikan perbuatan
 jasmani dan
 ucapan mereka. Kitab ini juga menyangkut hal-hal mengenai
 pelanggaran
 peraturan; terdapat berbagai jenis peringatan dan usaha
 pengendalian sesuai
 dengan sifat pelanggaran yang dilakukan.
 1.1 Tujuh Jenis Pelanggaran, Apatti
 Peraturan atau tata tertib pertama yang ditetapkan Sang Buddha
 disebut
 dengan Mulapannatti (peraturan akar), pelengkapnya kemudian
 dikenal dengan
 Anupannatti. Semuanya disebut dengan Sikkhapada, peraturan atau
 tata tertib.
 Perbuatan yang melanggar peraturan ini, selanjutnya akan
 mengakibatkan
 hukuman bagi anggota yang bersalah, yang disebut dengan apatti
 (berarti
 melampaui, melakukan).
 Pelanggaran yang mendapat hukuman dapat dikelompokkan dalam
 tujuh kelompok,
 bergantung pada jenis pelanggaran tersebut, yaitu:
 1. Parajika
 2. Samghadisesa
 3. Thullaccaya
 4. Pacittiya
 5. Patidesaniya
 6. Dukkata
 7. Dubbhasita
 Pelanggaran kelompok pertama, Parajika, merupakan pelanggaran
 parah
 (garukapatti) yang tidak dapat ditolerir (atekiccha) dan
 mengakibatkan
 pencabutan status pelanggar sebagai anggota Persamuan.
 Pelanggaran kelompok kedua, Samghadisesa, juga merupakan
 pelanggaran yang
 parah tetapi masih bisa ditolerir (satekiccha). Pelanggar
 menjalani masa
 percobaan selama pelaksanaan hukumannya, yang mengharuskan ia
 menjalankan
 hukumam tertentu yang berat untuk kemudian direhabilitasi
 kembali oleh
 Samgha.
 Lima kelompok berikutnya terdiri atas pelanggaran ringan
 (lahukapatti),
 yang dapat dimaafkan dan hanya mengakibatkan hukuman untuk
 mengakui
 pelanggaran tersebut kepada bhikkhu lain. Setelah menjalankan
 hukuman yang
 ditetapkan, bhikkhu yang melakukan pelanggaran itu kembali ke
 statusnya
 sebagaimana biasanya.
 1.2 Bilamana dan Bagaimana Tata Tertib Ditetapkan
 Selama dua puluh tahun sejak Samgha didirikan, tidak ada
peringatan ataupun
 peraturan yang menyangkut pelanggaran Parajika dan
 Samghadisesa. Para
 anggota Samgha pada awalnya adalah ariya, dan yang paling
 lambat
 perkembangannya juga sudah merupakan seorang yang telah
 "menyeberangi arus",
 orang yang telah mencapai Jalan dan Hasil pertama sehingga
 tidak perlu
 menetapkan peraturan yang menyangkut pelanggaran-pelanggaran
 berat.
 Akan tetapi, sejalan dengan waktu yang berlalu, Samgha
 mengalami
 perkembangan. Unsur-unsur yang tidak diinginkan dan orang-orang
 yang tidak
 mempunyai motif murni tetapi hanya tertarik pada ketenaran dan
 keuntungan
 sebagai bhikkhu, mulai memasuki Persamuan murid Sang Buddha.
 Sejak dua puluh
 tahun Samgha terbentuk, dirasakan perlu untuk menetapkan
 peraturan yang
 menyangkut pelanggaran berat itu.
 Akibat tindakan Bhikkhu Sudinna, penduduk asli Desa Kalanda di
 dekat
 Vesali, yang melakukan pelanggaran berupa berhubungan seksual
 dengan bekas
 isterinya-lah peraturan Parajika pertama diumumkan. Peraturan
 ini ditetapkan
 untuk membuat para bhikkhu jera dari godaan kenikmatan hubungan
 seksual.
 Pada saat peristiwa-peristiwa penting seperti itu muncul, yang
 mengakibatkan dibutuhkannya penetapkan peraturan larangan, Sang
 Buddha
 mengumpulkan para bhikkhu. Hanya setelah menanyakan bhikkhu
 yang
 berkepentingan dan setelah adanya ketidakinginan untuk
 melakukan pelanggaran
 seperti itu dijelaskan, peraturan tertentu ditetapkan untuk
 mencegah
 terjadinya kesalahan berikut yang sama.
 Sang Buddha juga mengikuti hal-hal yang dilakukan Buddha-Buddha
 sebelumnya.
 Dengan menggunakan kekuatan sakti-Nya, Beliau mempertimbangkan
 peraturan-peraturan  yang akan ditetapkan para Buddha
 sebelumnya sesuai
 dengan kondisi tertentu. Selanjutnya, Beliau mengadopsi
 peraturan yang
 sejenis sesuai dengan kondisi yang muncul pada masa tersebut.
 1.3 Penerimaan Bhikkhuni dalam Persamuan
 Setelah menjalani empat masa vassa (hidup-tenang selama musim
hujan)
 sesudah mencapai Pencerahan, Sang Buddha mengunjungi
 Kapilavatthu, ibukota
 tempat asal Beliau, sesuai dengan permintaan ayah-Nya yang
 sakit-sakitan,
 Raja Suddhodana. Pada waktu itu, Mahapajapati, ibu tiri Beliau
 memohon
 kepada-Nya untuk mengijinkan beliau menjadi anggota Persamuan.
 Mahapajapati
 bukanlah satu-satunya orang yang menginginkan kesempatan itu.
 Lima ratus
 wanita Sakya yang suaminya telah meninggalkan hidup berumah
 tangga juga
 sangat mengharapkan untuk bisa menjadi anggota Persamuan.
 Setelah ayah-Nya mangkat, Sang Buddha kembali ke Vesali, dengan
 menolak
 permohonan berulang-ulang dari Mahapajapati untuk menjadi
 anggota Persamuan.
 Ibu tiri Sang Buddha dan janda Raja Suddhodana yang baru saja
 mangkat ini,
 memotong rambutnya dan mengenakan pakaian berwarna gelap,
 ditemani lima
 ratus wanita suku Sakya, pergi ke Vesali, kota tempat Mahavana
 berada. Di
 sana, Sang Buddha tinggal di Balai Kutagara.
 Bhikkhu Ananda melihat mereka berada di luar pintu gerbang
 Balai Kutagara;
 dengan badan yang penuh debu, berkaki bengkak, bermuka lusuh,
 mereka berdiri
 dan menangis. Karena rasa belas kasihnya terhadap wanita,
 Bhikkhu Ananda
 mewakili mereka dan memohon kepada Sang Buddha agar bisa
 diterima menjadi
 anggota Persamuan. Sang Buddha tetap pada pendirian-Nya semula.
 Akan tetapi,
 saat Bhikkhu Ananda bertanya apakah wanita tidak dapat mencapai
 penyadaran
 Magga dan Phala, Sang Buddha menjawab bahwa wanita juga
 sebenarnya bisa
 mengalaminya, hanya saja mereka harus meninggalkan kehidupan
 berumah tangga
 sebagaimana umat pria.
 Selanjutnya, Ananda memohon sekali lagi dengan mengingatkan
 bahwa
 Mahapajapati telah sangat berjasa bagi Sang Buddha, dengan
 merawat dan
 memelihara-Nya, serta menyusui-Nya sejak ibu kandung Beliau
 meninggal.
 Karena wanita juga bisa mencapai penyadaran Magga dan Phala,
 dia juga
 seharusnya diijinkan untuk menjadi anggota Persamuan.
 Sang Buddha akhirnya mengabulkan permohonan Ananda dengan
 mengatakan,
 "Ananda, jika Mahapajapati mau menerima delapan peraturan
 khusus
 (garu-dhamma), persetujuannya itulah yang akan membuat dia
 menjadi anggota
 Persamuan."
 Kedelapan peraturan khusus itu*) ialah:
 1. Seorang bhikkhuni, walaupun telah sangat senior karena
 menjadi anggota
 Persamuan selama seratus tahun, harus menghormati seorang
 bhikkhu walaupun
 bhikkhu ini hanya berusia satu hari.
 2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menjalani hidup masa-tenang
 musim hujan di
 tempat yang tidak ada bhikkhu.
 3.Setiap dua minggu sekali, seorang bhikkhuni harus melakukan
 dua hal:
 menanyakan bhikkhu Samgha hari uposatha, serta meminta
 pengarahan dan amanat
 dari bhikkhu Samgha.
 4. Jika periode masa-tenang musim hujan telah berakhir, seorang
 bhikkhuni
 harus menghadiri upacara pavarana yang diselenggarakan baik
 oleh Persamuan
 bhikkhu ataupun bhikkhuni. Pada masing-masing kesempatan
 tersebut, dia harus
 meminta kritik tentang yang dilihat, didengar, atau dicurigai
 pihak lain
 terhadapnya.
 5. Seorang bhikkhuni yang melakukan pelanggaran Samghadisesa
 harus menjalani
 hukuman pengakuan selama setengah bulan (pakkha manatta), dalam
 Persamuan
 bhikkhu maupun bhikkhuni.
 6. Ijin menjadi anggota Persamuan harus didapatkan, dari kedua
 Persamuan,
 oleh seorang wanita awam hanya setelah ia menjalani dua tahun
 latihan
 percobaan sebagai calon.
 7. Seorang bhikkhuni tidak boleh mencaci maki seorang bhikkhu
 dengan cara
 apapun, bahkan secara tidak langsung sekalipun.
 8. Seorang bhikkhuni harus mematuhi pengarahan yang diberikan
 oleh para
 bhikkhunya, tetapi tidak boleh memberikan pengarahan atau
 nasihat kepada
 para bhikkhu.
 Mahapajapati menerima dengan tidak ragu-ragu delapan syarat
 yang diajukan
 oleh Sang Buddha dan dengan demikian diijinkan menjadi anggota
 Persamuan.
 --------------------------
*) lihat Vinaya-II, 74-75
 BAB II VINAYA PITAKA
 Vinaya Pitaka terdiri atas lima kitab, yaitu:
1. "Parajika Pali";
 2. "Pacittiya Pali";
 3. "Mahavagga Pali";
 4. "Culavagga Pali"; dan
 5. "Parivara Pali".
 2.1 Parajika Pali
 Parajika Pali, yang merupakan kitab pertama dalam "Vinaya
Pitaka",
 memberikan penjelasan rinci tentang peraturan yang menyangkut
 Parajika dan
 Samghadisesa, demikian pula Aniyata dan Nissaggiya, yang
 merupakan
 pelanggaran ringan.
 2.1.1 Pelanggaran dan hukuman Parajika
Peraturan Parajika terdiri atas empat kelompok peraturan yang
 ditetapkan
 untuk mencegah empat pelanggaran berat. Setiap pelanggar
 peraturan ini akan
 dikeluarkan dari Persamuan. Menurut  penjelasan Vinaya,
 Parajika Apatti
 mengundurkan dirinya sendiri; dia menjadi kehilangan status
 sebagai bhikkhu;
 dia tidak lagi dikenal sebagai anggota Persamuan dan tidak
 diijinkan untuk
 menjadi bhikkhu kembali. Dia harus kembali ke kehidupan rumah
 tangga sebagai
 umat awam atau kembali ke keadaan sebagai samanera, seorang
 pemula.
 Seseorang yang telah kehilangan statusnya sebagai bhikkhu
 akibat melanggar
 salah satu dari peraturan-peraturan ini diumpamakan sebagai:
 1. orang yang kepalanya telah dipenggal dari badannya; dia
 tidak akan bisa
 hidup kembali walaupun kepalanya dipasang lagi pada badannya
 itu;
 2. daun-daun yang telah gugur dari ranting sebuah pohon, tidak
 akan menjadi
 hijau kembali walaupun ditempelkan lagi ke tangkai daunnya;
 3. batu utuh yang telah dibelah, tidak dapat disatukan kembali,
 4. pohon palem yang telah dipotong dari batangnya, dan tidak
 akan bisa
 tumbuh lagi.
 Empat pelanggaran Parajika yang mengakibatkan tercabutnya
 status seseorang
 sebagai bhikkhu ialah:
 1. Parajika pertama
 Bhikkhu yang melakukan hubungan seksual akan kehilangan
 statusnya sebagai
 bhikkhu.
 2. Parajika kedua
 Bhikkhu yang melakukan perbuatan dengan tujuan mencuri sesuatu
 yang tidak
 diberikan kepadanya akan kehilangan statusnya sebagai bhikkhu.
 3. Parajika ketiga
 Bhikkhu yang dengan sengaja menghalang-halangi seorang manusia
 dari hidupnya
 akan kehilangan statusnya sebagai bhikkhu.
 4.Parajika keempat Bhikkhu yang menyatakan pencapaian sesuatu
 yang belum ia
 capai sebenarnya, yaitu pencapaian jhana atau penyadaran Magga
 dan Phala,
 kehilangan statusnya sebagai bhikkhu.
 Pelanggar Parajika melakukan kesalahan yang amat berat. Dia
 tidak lagi
 menjadi bhikkhu. Pelanggarannya (apatti) tidak dapat diperbaiki
 lagi.
 2.1.2 Tiga belas pelanggaran dan hukuman Samghadisesa
 Peraturan Samghadisesa terdiri atas tiga belas peraturan yang
 melibatkan
 partisipasi formal Samgha dari awal hingga akhir dalam proses
 yang
 membuatnya bebas dari kesalahan akibat pelanggaran.
 1. Seorang bhikkhu yang melanggar peraturan-peraturan ini, dan
 mengharapkan
 dirinya bebas dari pelanggarannya harus menjumpai Samgha dan
 mengakui
 pelanggarannya itu. Samgha menentukan jenis pelanggarannya dan
 memerintahkannya untuk melaksanakan hukuman parivasa, suatu
 hukuman yang
 mengharuskan dia hidup di bawah tekanan dari anggota Persamuan
 yang lain,
 sebanyak jumlah hari dia menyembunyikan pelanggarannya dengan
 sengaja.
 2. Di akhir masa parivasa, dia menjalani masa hukuman
 berikutnya, manatta,
 selama enam hari untuk mendapatkan pengakuan dari Samgha.
 3. Setelah hukuman manatta, bhikkhu itu memohon kepada Samgha
 agar statusnya
 dalam Persamuan  dikembalikan ke keadaan semula.
 Setelah diyakinkan akan kemurnian tindak-tanduknya sebagaimana
 sebelumnya,
 Samgha mengangkat apatti pada suatu pertemuan khusus yang
 dihadiri oleh
 sekurang-kurangnya dua puluh bhikkhu, saat natti, mosi
 rehabilitasinya,
 dibacakan dan diikuti dengan pembacaan tiga kali kammavaca,
 bacaan untuk
 kegiatan formal Samgha.
 Beberapa contoh pelanggaran Samghadisesa ialah:
 1. Pelanggaran Kayasamsagga
 Jika seorang bhikkhu, dengan dorongan hawa nafsu dan bermaksud
 menggoda,
 berhubungan badan dengan seorang wanita, misalnya memegang
 tangannya,
 mengusap rambutnya, atau menyentuh bagian tubuh wanita
 tersebut, ia telah
 melakukan pelanggaran Kayasamsagga Samghadisesa.
 2.Pelanggaran Sancaritta
 Jika seorang bhikkhu bertindak sebagai perantara antara seorang
 pria dan
 wanita untuk melanjutkan kehidupan resmi sebagai suami dan
 isteri, atau
 untuk berhubungan sementara sebagai pria dan wanita penghibur
 atau wanita
 dan kekasihnya, bhikkhu tersebut bersalah karena melakukan
 pelanggaran
 Sancaritta Samghadisesa.
 2.1.3 Dua pelanggaran dan hukuman Aniyata
 "Aniyata" berarti "tidak terdefinisi, tidak pasti". Ada dua
 pelanggaran
 Aniyata, yang bersifat tidak pasti apakah termasuk kesalahan
 Parajika,
 Samghadisesa, atau Pacittiya. Untuk itu, harus ditentukan
 berdasarkan
 persyaratan berikut ini:
 1. Jika seorang bhikkhu duduk berduaan dengan seorang wanita di
 tempat yang
 sepi dan tersembunyi, serta bermaksud melakukan hal-hal yang
 melanggar
 kesusilaan, dan jika seorang wanita awam yang bisa dipercaya
 (yaitu seorang
 ariya), melihatnya dan menuduhnya melakukan salah satu dari
 pelanggaran-pelanggaran berikut: Parajika, Samghadisesa, atau
 Pacittiya, dan
 bhikkhu itu sendiri mengakuinya, dia terbukti melakukan
 pelanggaran sesuai
 dengan yang dituduhkan kepadanya oleh wanita tersebut.
 2. Jika seorang bhikkhu duduk berduaan dengan seorang wanita di
 tempat yang
 tidak tersembunyi dan tidak bermaksud melakukan hal-hal yang
 melanggar
 kesusilaan, tetapi membicarakan hal-hal yang membangkitkan
 nafsu birahi, dan
 jika seorang wanita awam yang bisa dipercaya (yaitu seorang
 ariya),
 melihatnya dan menuduhnya telah melakukan salah satu dari dua
 pelanggaran
 berikut: Samghadisesa, atau Pacittiya, dan bhikkhu tersebut
 mengakuinya, dia
 terbukti bersalah karena melakukan pelanggaran sesuai dengan
 yang dituduhkan
 kepadanya itu.
 2.1.4 Tiga puluh pelanggaran dan hukuman Nissagiya Pacittiya
 Ada tiga puluh peraturan dalam kategori pelanggaran dan hukuman
 Nissaggiya
 yang ditetapkan untuk mengekang ketamakan di luar batas para
 bhikkhu atas
 barang milik seperti jubah, mangkuk, dan lain-lain. Sebagai
 contoh,
 pelanggaran atas peraturan ini dilakukan jika benda-benda yang
 tidak
 diijinkan diambil, atau jika benda-benda yang diambil itu lebih
 dari batas
 jumlah yang diijinkan. Hukumannya pertama-tama ialah
 mengembalikan benda-
 benda yang mengakibatkan pelanggaran, secara rela. Kemudian,
 diikuti dengan
 pengakuan atas pelanggaran peraturan, dan berjanji untuk tidak
 mengulangi
 pelanggaran yang sama, kepada Samgha secara keseluruhan, atau
 sekelompok
 bhikkhu, atau bhikkhu perorangan yang padanya benda yang
 diperoleh secara
 tidak benar itu dikembalikan.
 Beberapa contoh pelanggaran Nissaggiya Pacittiya:
 1. Nissagiya Sikkhapada pertama
 Jika seorang bhikkhu menyimpan jubah lebih dari jumlah yang
 diijinkan, yaitu
 jubah bawah, jubah atas, dan jubah agung, dia telah melakukan
 pelanggaran
 sehingga harus menyerahkan jubah yang berlebih itu dan mengakui
 kesalahannya.
 2. Civara Acchindana Sikkhapada
 Jika seorang bhikkhu memberikan jubahnya kepada bhikkhu lain
 dan kemudian,
 dengan marah atau secara tidak senang, mengambilnya kembali
 dengan kekerasan
 atau menyuruh orang lain mengambilnya, dia telah melakukan
 pelanggaran
 Nissaggiya Pacittiya.
 Pelanggaran Nissagiya adalah pelanggaran yang ringan
 dibandingkan dengan
 pelanggaran Parajika Apatti atau Samghadisesa Apatti.
 2.2 Pacittiya Pali
"Pacittiya Pali", yang merupakan kitab kedua dalam "Vinaya
 Pitaka" berisi
 kumpulan peraturan-peraturan lain untuk bhikkhu, yaitu:
 Pacittiya,
 Patidesaniya, Sekhiya, Adhikaranasamatha, dan tata tertib yang
 bersesuaian
 untuk para bhikkhuni. Walaupun dalam bahasa Pali hanya disebut
 dengan
 "Pacittiya", nama lain yang khas ialah "Suddha Pacittiya"
 (Pacittiya
 biasa), untuk membedakannya dari Nissaggiya Pacittiya, yang
 diuraikan di
 atas.
 2.2.1 Sembilan puluh dua pelanggaran dan hukuman Pacittiya
 Ada sembilan puluh dua peraturan yang tergolong pelanggaran
 kelompok yang
 terbagi atas sembilan bagian ini. Beberapa contoh pelanggaran
 jenis ini
 ialah:
 1. Berbohong dengan sengaja adalah pelanggaran Pacittiya.
 2. Seorang bhikkhu yang tidur seatap dan seruangan dengan
 seorang wanita
 melakukan pelanggaran Pacittiya.
 3. Seorang bhikkhu yang menggali tanah atau menyuruh orang lain
 menggalinya
 melalukan pelanggaran Pacittiya.
 Kesalahan Pacittiya dihapuskan hanya dengan mengakuinya pada
 seorang
 bhikkhu.
 2.2.2 Empat pelanggaran dan hukuman Patidesaniya
 Ada empat pelanggaran yang termasuk dalam kelompok ini dan
 semuanya
 berkaitan dengan tindakan bhikkhu dalam menerima dan memakan
 makanan yang
 dipersembahkan kepadanya. Seorang bhikkhu yang melakukan
 pelanggaran salah
 satu peraturan ini, dalam mengakui kesalahannya, harus
 mengikuti prosedur
 tententu untuk menyatakan jenis kesalahannya.
 Peraturan pertama Patidesaniya menyatakan bahwa, jika seoranng
 bhikkhu
 memakan makanan keras atau lunak yang diterimanya dengan tangan
 sendiri dari
 seorang bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan dengannya atau
 yang telah
 didapatkannya dari rumah-rumah penduduk, makanan tersebut harus
 mendapat
 pengakuan dari bhikkhu lain oleh bhikkhu itu sendiri dengan
 mengatakan,
 "Temanku, saya telah melakukan hal-hal tercela yang tidak
 terpuji dan harus
 kuakui. Saya mengakui telah melakukan pelanggaran
 Patidesaniya."
 Peristiwa yang menyebabkan timbulnya peraturan pertama ini
 terjadi di
 Savatthi. Pada saat suatu pagi, para bhikkhu dan bhikkhuni
 pergi untuk
 memohon makanan. Seorang bhikkhuni menawarkan makanan yang
 didapatkannya
 kepada bhikkhu lain yang selanjutnya mengambil semua yang ada
 di mangkuk
 itu. Bhikkhuni tersebut harus pulang tanpa makanan pada hari
 tersebut. Tiga
 hari berturut- turut, bhikkhuni itu menawarkan makanan
 persembahan yang
 diterimanya kepada bhikkhu yang sama, dan selama tiga hari itu
 makanan
 tersebut dihabiskan oleh bhikkhu pula. Dengan demikian,
 bhikkhuni ini
 menjadi sangat lapar. Di hari keempat, pada saat akan memohon
 makanan, ia
 pingsan dan terjatuh karena badannya lemas. Saat Sang Buddha
 mendengar hal
 ini, Beliau mencela bhikkhu yang bersalah atas perbuatan itu
 dan menetapkan
 peraturan di atas.
 2.2.3 Tujuh puluh lima peraturan Sekhiya atas tingkah laku
 sopan
 Tujuh puluh lima peraturan yang ditetapkan pada mulanya untuk
 mengatur
 tindak-tanduk para bhikkhu ini juga berlaku bagi pemula yang
 ingin memasuki
 Persamuan. Kebanyakan dari peraturan ini ditetapkan di
 Savatthi, sehubungan
 dengan tindakan yang tidak disiplin pada sekelompok bhikkhu
 yang terdiri
 atas enam orang. Peraturan ini bisa dikelompokkan menjadi empat
 kelompok,
 yaitu:
 1. Kelompok pertama terdiri atas dua puluh enam peraturan,
 menyangkut
 tingkah laku yang baik saat pergi ke kota atau desa. 2.
 Kelompok kedua
 terdiri atas tiga puluh peraturan, berisi tata cara yang sopan
 saat menerima
 makanan persembahan dan saat makan.
 3. Kelompok ketiga mengandung enam belas peraturan yang
 menguraikan
 peraturan yang melarang mengajarkan Dharma kepada orang yang
 tidak sopan.
 4. Kelompok keempat berisi tiga peraturan yang menyangkut sifat
 bawaan yang
 tidak senonoh dan meludah.
 2.2.4 Tujuh cara untuk menyelesaikan perselisihan,
 Adhikaranasamatha
 "Pacittiya Pali" mengakhiri peraturan atau tata tertib bagi
 para bhikkhu
 dengan sebuah bab yang menguraikan tujuh cara untuk memecahkan
 masalah,
 Adhikaranasamatha.
 Empat jenis masalah dapat diuraikan di bawah ini:
 1. Vivadadhikarana
 Perselisihan menyangkut hal-hal seperti: yang mana termasuk
 dhamma, yang
 mana bukan; yang mana Vinaya, yang mana bukan; apa yang
 dikatakan Sang
 Buddha, apa yang tidak dikatakan-Nya; dan yang mana termasuk
 pelanggaran,
 yang mana bukan.
 2.Anuvadadhikarana
 Tuduhan dan perselisihan pendapat yang muncul dari orang-orang
 yang
 mempermasalahkan kebajikan, latihan, pandangan, dan cara hidup
 seorang
 bhikkhu.
 3. Apattadhikarana
 Pelanggaran atas peraturan atau tata tertib.
 4.Kiccadhikarana
 Pertemuan atau keputusan formal yang dibuat oleh Samgha.
 Untuk mengakhiri perselisihan seperti di atas yang mungkin
 muncul dari
 waktu ke waktu di dalam Persamuan, metode yang tepat dan rinci
 diuraikan
 dalam tujuh bagian berikut:
 1. Sammukha Vinaya
 Sebelum mencapai kata mufakat, adakan pengambilan pendapat
 dengan dihadiri
 kedua belah pihak sesuai dengan peraturan dalam Vinaya.
 2. Sati Vinaya
 Buat sebuah pernyataan dari Samgha atas tidak bersalahnya
 seorang arahat
 yang padanya dituduhkan hal-hal yang tidak terbukti, setelah
 menanyakan
 kepadanya apakah ia ingat telah melakukan pelanggaran.
 3. Amulha Vinaya
 Buat suatu pernyataan dari Samgha jika tertuduh ternyata tidak
 waras.
 4. Patinnata Karana
 Buatlah keputusan jika kedua belah pihak telah menyetujuinya.
 5. Yebhuyyasika Kamma
 Buat keputusan sesuai dengan suara terbanyak.
 6. Tassapapiyasika Kamma
 Buat pernyataan dari Samgha jika tertuduh terbukti tidak bisa
 dipercayai,
 berikan ijin untuk menarik mereka kembali, untuk menghindari
 pertanyaan
 berikut dan kebohongannya.
 7. Tinavattharaka Kamma
 "Tindakan untuk menutupi dengan rumput"-cabut semua pelanggaran
 kecuali
 pelanggaran Parajika, Samghadisesa, dan yang berhubungan dengan
 umat awam,
 setelah kedua pihak yang bertikai didamaikan oleh Samgha.
 2.2.5 Peraturan atau tata tertib untuk bhikkhuni
 Bagian yang ditujukan untuk para bhikkhuni ini mengakhiri
 "Pacittiya Pali".
 Uraian peraturan untuk bhikkhuni lebih panjang dibandingkan
 dengan peraturan
 untuk para bhikkhu. Peraturan untuk para bhikkhuni diambil dari
 peraturan
 untuk para bhikkhu, kecuali  dua peraturan Aniyata yang tidak
 ditetapkan
 untuk Persamuan Bhikkhuni.
 Perbandingan jumlah peraturan untuk bhikkhu dan bhikkhuni
 adalah sebagai
 berikut:
 
 
| PELANGGARAN | BHIKKHU | BHIKKHUNI |  
| 1. Parajika | 4 | 8 |  
| 2. Samghadisesa | 13 | 17 |  
| 3. Aniyata | 2 | - |  
| 4. Nissaggiya Pacittiya | 30 | 30 |  
| 5. Suddha Pacittiya | 92 | 166 |  
| 6. Patidesaniya | 4 | 8 |  
| 7. Sekhiya | 75 | 75 |  
| 8. Adhikaranasamatha | 7 | 7 |  
| JUMLAH | 227 | 311 |  Delapan kelompok peraturan untuk bhikkhu dan bhikkhuni dalam
Persamuan
 diuraikan dengan jelas dalam dua kitab pertama "Vinaya Pitaka".
 Untuk setiap
 peraturan, diberikan latar belakang atau peristiwa yang
 melahirnya peraturan
 tersebut, diikuti dengan peringatan dari Sang Buddha yang
 diakhiri dengan,
 "Pelanggaran ini tidak menguatkan keyakinan bagi mereka yang
 tidak yakin
 akan Ajaran, juga tidak meningkatkan keyakinan bagi mereka yang
 telah
 yakin." Setelah peringatan ini, barulah disebutkan peraturan
 yang ditetapkan
 Sang Buddha, dan diteruskan dengan penjelasan tentang peraturan
 tersebut.
 2.3 Mahavagga Pali
Dua kitab berikutnya, yaitu "Mahavagga Pali", yang merupakan
 kitab ketiga,
 dan "Culavagga Pali", yang merupakan buku keempat dalam "Vinaya
 Pitaka",
 berkaitan dengan hal-hal dalam Samgha yang belum tercakup pada
 kedua kitab
 pertama.
 "Mahavagga Pali", tersusun atas sepuluh bagian yang dikenal
 dengan nama
 khandhaka, dimulai dengan  sejarah peristiwa Sang Buddha
 mencapai Pencerahan
 Sempurna di bawah pohon Bodhi, bagaimana Beliau menemukan hukum
 Sebab
 Musabab yang Saling Bergantungan-yang terkenal itu-, bagaimana
 Beliau
 membabarkan Dharma untuk pertama kali kepada lima bhikkhu
 setelah menemukan
 Empat Kesunyataan Mulia, yaitu Pemutaran Roda Dhamma, "Sutta
 Dhammacakkappavattana". Ini dilanjutkan dengan pembabaran
 Dharma lain yang
 terkenal, "Sutta Anattalakkhana". Kedua sutta ini dapat
 dianggap sebagai
 Intisari Ajaran Sang Buddha.  Bagian pertama menguraikan
 tentang bagaimana
 seorang pemuda dari keluarga yang baik-baik, misalnya Yasa
 mencari
 perlindungan dalam diri Beliau sebagai Buddha dan menjalankan
 Ajaran-Nya;
 bagaimana Sang Buddha memulai misi khusus penyebaran Dharma
 "untuk
 kesejahteraan dan kebahagiaan banyak orang" setelah Beliau
 mengumpulkan enam
 puluh murid yang telah mantap dalam Dhamma dan menjadi arahat;
 bagaimana
 Beliau mendirikan Persamuan Samgha untuk berfungsi sebagai
 contoh yang hidup
 atas Kesunyataan yang dibabarkan-Nya; dan bagaimana murid
 terkenal Beliau,
 seperti Sariputta, Moggalana, Maha Kassapa, Ananda, Upali,
 Angulimala
 menjadi anggota Persamuan. Pada bagian yang sama, kemudian
 dijabarkan
 peraturan formal untuk menjadi anggota Persamuan (Upasampada),
 dengan
 memberikan secara rinci syarat-syarat  yang harus dipenuhi
 seseorang, agar
 ia bisa diterima menjadi anggota Persamuan, dan tata cara yang
 harus
 dijalankan untuk setiap tahap penerimaan.
 "Mahavagga" selanjutnya menguraikan tata cara untuk
 menyelenggarakan
 pertemuan Uposatha, pertemuan Samgha pada setiap saat bulan
 purnama dan pada
 hari keempat belas atau kelima belas penanggalan bulan, saat
 Patimokkha,
 ringkasan peraturan Vinaya, dibacakan. Selanjutnya, ada
 peraturan untuk
 menjalankan masa- tenang musim hujan (vassa), dan  upacara
 formal pavarana
 yang mengakhiri masa tersebut, yang pada kesempatan upacara ini
 seorang
 bhikkhu meminta kritik dari saudara-saudaranya tentang apa yang
 telah mereka
 lihat, dengar, atau curigai tentang tindakannya.
 Juga ada peraturan yang mengatur bhikkhu yang sakit, penggunaan
 kulit untuk
 alas kaki dan perlengkapan hidup, bahan-bahan untuk jubah, dan
 yang
 berhubungan dengan obat serta makanan. Pada bagian yang
 terpisah, dijelaskan
 tentang upacara Kathina, saat pembuatan dan persembahan jubah
 diselenggarakan secara tahunan.
 2.4 Culavagga Pali
 "Culavagga Pali", yang merupakan kitab keempat dalam "Vinaya
Pitaka",
 melanjutkan hal-hal yang berhubungan dengan peraturan dan tata
 cara dalam
 bertindak atau fungsi kelembagaan yang dikenal dengan
 Samghakamma. Dua belas
 bagian dalam kitab ini berisi peraturan untuk pelanggaran
 seperti
 Samghadisesa yang berhubungan dengan Samgha; peraturan untuk
 pelaksanaan
 pengakuan kesalahan seperti parivasa, manatta, dan peraturan
 untuk
 rehabilitasi bhikkhu. Juga terdapat berbagai peraturan yang
 menyangkut
 mandi, berpakaian, tempat tinggal, peralatan, hal-hal yang
 berhubungan
 dengan perlakuan terhadap bhikkhu tamu, tugas guru pembimbing,
 dan tugas
 pemula. Beberapa ketentuan penting menyangkut Tajjaniya Kamma,
 tindakan
 formal yang diambil Samgha terhadap bhikkhu-bhikkhu yang
 menyebabkan
 pertikaian, pertengkaran, perselisihan, yang berhubungan akrab
 dengan umat
 awam, dan yang berbicara secara tidak hormat tentang Buddha,
 Dhamma, dan
 Samgha; Ukkhepaniya Kamma, tindakan formal berupa penekanan
 yang diambil
 terhadap mereka yang melakukan pelanggaran tetapi tidak mau
 mengakuinya; dan
 Pakasaniya Kamma yang dijatuhkan kepada Devadatta karena
 mengumumkan,
 "Apapun yang dilakukan dan diucapkan oleh Devadatta, harus
 dipandang sebagai
 bersumber dari Devadata sendiri dan tidak ada hubungannya
 dengan Buddha,
 Dhamma, dan Samgha." Uraian tindakan ini diikuti dengan cerita
 tentang tiga
 usaha Devadatta terhadap hidup Sang Buddha, dan perpecahan
 Samgha yang
 disebabkan oleh Devadatta.
 Dalam bagian kesepuluh, ada cerita tentang Mahapajapati, ibu
 tiri Sang
 Buddha, yang memohon untuk diterima menjadi anggota Persamuan,
 bagaimana
 Sang Buddha menolak permintaannya mula-mula, dan akhirnya
 Beliau mengabulkan
 permohonan itu karena permintaan Ananda atas nama ibu tiri
 Beliau.
 Kedua bagian terakhir menguraikan dua peristiwa sejarah yang
 penting, yaitu
 pelaksanaan Konsili para bhikkhu yang pertama di Rajagaha, dan
 yang kedua di
 Vesali.
 2.5 Parivara Pali
 "Parivara Pali", yang merupakan kitab kelima dan yang terakhir
 dalam
 "Vinaya Pitaka", berfungsi sebagai semacam petunjuk
 pelaksanaan. Kitab ini
 tersusun dalam bentuk pelajaran agama, yang memungkinkan
 pembacanya
 melakukan analisis terhadap "Vinaya Pitaka". Semua peraturan,
 tindakan
 utama, dan hal-hal lain tentang "Vinaya" dibagi dalam
 kelompok-kelompok
 terpisah sesuai dengan topik yang diuraikan.
 "Parivara" menjelaskan bagaimana peraturan Persamuan dibuat
 untuk mengatur
 perilaku para bhikkhu dan juga mengenai hal-hal administratif
 dalam
 Persamuan. Tata cara untuk menyelesaikan pertikaian dan
 menangani
 masalah-masalah pengambilan keputusan, pembentukan pengadilan
 Samgha, dan
 sumpah jabatan hakim Samgha yang baik, diuraikan dengan rinci.
 Kitab ini
 menetapkan cara Komite Samgha Vinicchaya (pengadilan Samgha)
 didirikan
 dengan terdiri dari vinayadhara, ahli dalam hal peraturan
 "Vinaya"
 terpelajar unduk mendengarkan dan memutuskan semua bentuk
 perselisihan
 kagamaan atau yang menyangkut kehidupan vihara.
 "Parivara Pali" berisi prinsip-prinsip dan penuntun umum yang
 harus
 diterapkan dalam semua tata cara Samgha Vinicchaya untuk
 mengakhiri
 perselisihan keagamaan atau yang menyangkut kehidupan vihara.
 BAB III
PENGENALAN SUTTANTA PITAKA
  "Suttanta Pitaka" adalah kumpulan semua khotbah yang
disampaikan oleh Sang
 Buddha pada berbagai kesempatan. (Beberapa khotbah yang
 diberikan oleh
 beberapa murid ternama Sang Buddha, seperti Bhikkhu Sariputta,
 Maha
 Moggallana, Ananda, dan sebagainya, berikut beberapa
 ilustrasinya juga
 terdapat dalam "Suttanta Pitaka".) Khotbah Sang Buddha yang
 disusun dalam
 "Suttanta Pitaka" diuraikan sesuai dengan berbagai situasi,
 untuk berbagai
 tipe orang yang bertemperamen berbeda-beda. Walaupun khotbah
 tersebut
 terutama ditujukan untuk para bhikkhu, dan menyangkut latihan
 hidup suci
 berikut uraian Ajaran-Nya, juga ada beberapa khotbah yang
 bertemakan
 kemajuan jasmani dan batin umat awam.
 "Suttanta Pitaka" menjelaskan dengan baik makna ajaran Sang
 Buddha,
 menguraikannya dengan rinci, melindungi, dan mencegahnya dari
 penyimpangan
 dan kesalahpahaman. Sama halnya dengan seutas tali yang
 berfungsi sebagai
 tali sipat untuk membantu tukang kayu dalam pekerjaannya,
 seperti sepotong
 benang yang mencegah hamburnya kelopak-kelopak bunga yang
 disatukan,
 demikian pula dengan bantuan sutta-sutta, makna ajaran Sang
 Buddha dapat
 diuraikan, ditangkap, dan dipahami dengan tepat serta dihindari
 dari
 kesalahpahaman.
 "Suttanta Pitaka" terbagi atas lima bagian terpisah yang
 disebut nikaya.
 Nikaya-nikaya itu ialah: "Digha Nikaya", "Majjhima Nikaya",
 "Samyutta
 Nikaya", "Anguttara Nikaya", dan "Khuddaka Nikaya".
 3.1 Pelaksanaan dan Latihan menurut Ajaran Agama Buddha
Dalam "Suttanta Pitaka", tidak hanya ditemukan dasar-dasar
 Dhamma, tetapi
 juga penuntun praktis sehingga Dhamma menjadi bermakna dan
 dapat diterapkan
 dalam kehidupan sehari-hari. Semua pelaksanaan dan latihan
 Dhamma yang
 dijalani seseorang dalam Jalan Mulia Beruas Delapan akan
 menuntun ke arah
 pemurnian batin dalam tiga tingkat:
 Sila      - pemurnian
moral melalui tindakan benar
 Samadhi  - pemurnian pikiran melalui
meditasi (Samatha)
 Panna     - pemurnian
penyadaran melalui meditasi
 Vipassana.
 Untuk memulainya, seseorang harus membuat keputusan untuk
 berlindung pada
 Buddha, mengikuti ajaran para Buddha, dan dituntun oleh Samgha.
 Murid
 pertama yang menyatakan keyakinan dalam Buddha dan mengabdikan
 diri untuk
 mengikuti Ajaran-Nya adalah dua pedagang bersaudara, Tapussa
 dan Bhallika.
 Mereka sedang berkeliling bersama pegawai-pegawainya dengan
 lima ratus
 kereta bunga saat melihat Sang Buddha berada di sekitar pohon
 Bodhi setelah
 Beliau mencapai Pencerahan Sempurna.  Kedua pedagang ini
 menawarkan Beliau
 kue madu. Setelah menerima persembahan itu dan dengan demikian
 mengakhiri
 masa puasa yang dijalani-Nya selama tujuh minggu, Sang Buddha
 menjadikan
 mereka murid-murid-Nya dengan menyuruh mereka mengikuti Sang
 Buddha
 membacakan:
 "Buddham Saranam Gacchami"     
(Saya berlindung pada
 Buddha)
 "Dhammam Saranam Gacchami"
 (Saya berlindung pada Dhamma)
 Ucapan ini menjadi rumusan pernyataan keyakinan pada Buddha
 dan Ajaran-Nya.
 Selanjutnya, setelah Samgha didirikan, rumusan ini diperpanjang
 sehingga
 mencakup pernyataan ketiga:
 "Samgham Saranam Gacchami"
 (Saya berlindung pada Samgha)
 3.2 Menuju Jalan yang Benar dalam Memberikan Persembahan
Sebagai langkah latihan, yang memungkinkan adanya manfaat
 langsung dan
 berguna bagi umat dalam hidupnya, Sang Buddha memberikan
 khotbah tentang
 kegiatan sosial dan perberian persembahan dengan menjelaskan
 nilai
 kebaikannya, serta tentang usaha menuju jalan dan sikap pikiran
 benar yang
 membuat suatu persembahan dapat dilakukan demi kemajuan batin
 seseorang.
 Gaya pendorong untuk berderma ialah kehendak, keinginan untuk
 memberikan.
 Berderma ialah tindakan berjasa yang hanya muncul jika ada
 kemauan. Tanpa
 keinginan untuk memberikan, tidak akan ada tindakan tersebut.
 Kehendak untuk
 memberikan persembahan ada tiga jenis, yaitu:
 1. Kehendak yang diawali dengan pikiran, "Saya harus memberikan
 persembahan"
 dan  ada selama masa persiapan pemberian persembahan itu -
 Pubba Cetana
 (kehendak sebelum bertindak).
 2. Kehendak yang muncul pada saat memberikan persembahan atau
 dana - Munca
 Cetana (kehendak selama melakukan tindakan).
 3. Kehendak yang mengikuti kegembiraan dan kebahagiaan yang
 muncul akibat
 dari pengumpulan jasa kebajikan dan pahala atas pemberian
 persembahan -
 Apara Cetana (kehendak setelah bertindak).
 Apapun persembahan yang diberikan untuk menghormati Buddha
 yang hidup atau
 sepotong kecil relik-Nya setelah Beliau mangkat, kehendak,
 keteguhan hati,
 dan kemurniaan persembahan itulah yang menentukan sifat hasil
 yang akan
 diperoleh.
 Juga dijelaskan dalam khotbah ini, sikap salah dalam pikiran
 yang tidak
 boleh ada selama kita memberikan persembahan.  Seorang yang
 berdana tidak
 boleh merendahkan orang lain yang tidak mampu memberikan
 persembahan yang
 sama, dan juga ia tidak boleh membangga-banggakan dana
 pribadinya. Karena
 terkotori oleh pikiran yang tidak berharga seperti itu,
 kehendaknya berada
 pada tingkatan yang rendah.
 Jika tindakan berderma didorong oleh harapan untuk mendapatkan
 hasil yang
 menguntungkan dalam hal kemakmuran dan kebahagiaan, atau
 kelahiran kembali
 di alam kehidupan yang lebih tinggi, kehendak yang melandasinya
 itu berada
 dalam kelompok menengah.
 Apabila tindakan kebajikan untuk memberikan dana dilakukan
 atas semangat
 pelepasan, didorong oleh pikiran ketidakegoan yang murni, dan
 hanya
 dimaksudkan untuk mencapai Nibbana-tempat semua penderitaan
 berakhir-, maka
 kehendak yang melandasi tindakan itu berada pada tingkat
 tertinggi.
 Di dalam khotbah ini, terdapat banyak sekali contoh-contoh
 yang menyangkut
 tindakan berderma dan motifnya.
 3.3 Pemurnian Moral melalui Tindakan Benar, Sila
perhatian.Latihan sila merupakan aspek yang paling mendasar dalam agama
 Buddha.
 Latihan ini terdiri atas ucapan benar, perbuatan benar, dan
 mata pencaharian
 benar untuk memurnikan seseorang dari perbuatan dan pikiran
 yang tidak baik.
 Bersama-sama dengan pernyataan Tisarana (seperti yang
 disebutkan di atas),
 seorang umat Buddha menjalankan Pancasila dengan berjanji
 bahwa:
 1. Saya berusaha untuk menghindari pembunuhan;
 2. Saya berusaha untuk menghindari pencurian;
 3. Saya berusaha untuk menghindari perbuatan asusila;
 4. Saya berusaha untuk menghindari berbohong;
 5. Saya berusaha untuk menghindari makanan atau minuman yang
 mengakibatkan
 ketagihan.
 Di samping aspek negatif rumusan di atas  yang menekankan
 usaha pencegahan,
 juga ada aspek positif dari sila. Sebagai contoh, kita temukan
 dalam
 berbagai khotbah pernyataan, "Dia menghindarkan diri dari
 pembunuhan,
 menjauhkan gada dan pedang; dengan penuh sikap kebaikan dan
 cinta kasih, dia
 hidup demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk hidup."
 Setiap janji
 untuk menghindari sesuatu dalam rumusan di atas memiliki kedua
 aspek ini.
 Bergantung pada perkembangan pribadi dan tahapannya, janji
 lain juga dapat
 dilaksanakan, yaitu Atthasila dan Dasasila. Untuk bhikkhu
 Samgha, bentuk
 latihan moral yang lebih tinggi dan maju dilaksanakan.
 Pancasila harus
 senantiasa dilaksanakan oleh umat awam yang kemudian dapat
 diteruskan untuk
 meningkatkan disiplin diri dengan Atthasila dan Dasasila. Untuk
 mereka yang
 menapaki jalan hidup suci, Dasasila merupakan keharusan pertama
 untuk bisa
 mencapai kemajuan berikutnya.
 Sila yang sepenuhnya murni berguna sebagai dasar bagi tahap
 kemajuan
 berikutnya, yaitu Samadhi-pemurnian pikiran melalui meditasi
 pemusatan
 |