| 3.4 Metode Praktis Pelatihan Mental demi Pengembangan
Pemusatan Pikiran,
 Samadhi
 Pelatihan mental untuk kemajuan batin terdiri atas
dua
 langkah. Langkah
 pertama adalah memurnikan pikiran dari semua kekotoran
dan
 memusatkannya
 pada satu titik tertentu. Sebuah usaha yang jelas (usaha
benar)
 harus
 dijalankan untuk menekan pikiran yang ragu-ragu atau
tidak
 yakin.
 Selanjutnya, perhatian benar harus diberikan pada objek
 tertentu dalam
 meditasi hingga pikiran yang terpusatkan pada satu titik
 (konsentrasi benar)
 tercapai. Dalam kondisi demikian, pikiran menjadi terbebaskan
 dari
 penghalang, menjadi murni, tenang, kuat, dan cerah. Barulah
 kemudian kita
 siap untuk maju ke langkah kedua, yang memungkinkan dicapainya
 penyadaran
 "Jalan dan Hasil" untuk bisa mengatasi rasa sedih dan
 ketidakbahagiaan.
 "Suttanta Pitaka" mencatat banyak metode meditasi
untuk
 mencapai pikiran
 yang terpusatkan pada satu titik. Dalam sutta-sutta di
Pitaka
 ini, diuraikan
 medote-metode meditasi tersebut, yang diterangkan oleh
Sang
 Buddha,
 kadang-kadang kepada perorangan, kadang-kadang kepada
kelompok
 tertentu
 sesuai dengan kondisi dan tujuan yang diinginkan. Sang
Buddha
 mengetahui
 adanya sifat dan kondisi mental, serta temperamen dan
 kecenderungan yang
 berbeda- beda dalam diri orang-orang yang memohon
 bimbingan-Nya. Dengan
 demikian, Beliau menyarankan metode yang tertentu kepada
setiap
 orang sesuai
 dengan sifat dan kebutuhannya masing-masing.
 Latihan pengembangan mental yang bertujuan akhir
mencapai
 pikiran yang
 terpusatkan pada satu titik dikenal dengan Samadhi Bhavana.
 Barangsiapa yang
 ingin mengembangkan Samadhi Bhavana harus telah melaksanakan
 sila, memiliki
 indera yang terkendali, tenang, dan dikuasai, serta harus
 berada dalam
 keadaan bebas dari gangguan. Setelah memiliki keempat
syarat
 ini, dia
 memilih tempat yang sesuai untuk bermeditasi, yaitu suatu
 tempat yang
 terpencil. Selanjutnya, dia harus duduk dengan kaki bersilang,
 badan tegak,
 dan dengan pikiran yang waspada, baru mulai memurnikan
 pikirannya dari lima
 penghalang, yaitu: nafsu birahi, kebencian, kemalasan
dan
 kedunguan,
 kegelisahan dan kecemasan, dan keragu-raguan, dengan
memilih
 metode meditasi
 yang sesuai baginya dan bermeditasi dengan penuh semangat
dan
 bergairah.
 Sebagai contoh, dengan metode Anapana, dia terus memperhatikan
 nafas yang
 masuk dan keluar hingga pikirannya bisa merasakan nafas
 tersebut pada ujung
 hidungnya.
 Setelah menyadari bahwa kelima penghalang bisa
dibebaskan, ia
 akan menjadi
 bahagia, gembira, dan tenang. Inilah permulaan Samadhi
 (pemusatan pikiran)
 yang selanjutnya akan berkembang hingga mencapai pikiran
yang
 berpusatkan
 satu titik.
 Jadi, pikiran terpusatkan tersebut adalah pemusatan
pikiran
 hingga sadar
 pada objek tertentu, dan hanya pada suatu objek yang
bersifat
 baik atau
 bermanfaat. Kondisi ini dicapai melalui latihan meditasi
pada
 salah satu
 dari antara objek-objek yang disarankan Sang Buddha demi
tujuan
 tertentu.
 3.5 Metode Praktis Pelatihan Mental untuk Pengembangan
Pengetahuan
 Penyadaran, Panna
 Objek-objek dan metode-metode meditasi seperti
yang diajarkan
 dalam
 sutta-sutta dalam Pitaka ditujukan baik untuk mencapai
Samadhi
 maupun
 pengembangan pengetahuan penyadaran, Vipassana Nana,
sebagai
 jalan langsung
 menuju Nibbana.
 Sebagai langkah kedua dalam melaksanakan meditasi,
setelah
 mencapai
 Samadhi, saat pikiran yang terpusatkan telah murni, kokoh,
dan
 tenang, orang
 tersebut mengarahkan pikirannya menuju pengetahuan penyadaran,
 Vipassana
 Nana. Dengan pengetahuan penyadaran ini, dia mengamati
tiga
 sifat dunia yang
 berkondisi, yaitu tidak kekal (anicca), merupakan penderitaan
 (dukkha), dan
 tanpa inti (anatta).
 Sejalan dengan latihannya, pikirannya menjadi semakin
murni,
 kokoh, dan
 tenang; dia mengarahkan pikirannya untuk memusnahkan
racun
 moral,
 Asavakkhaya Nana. Dia kemudian memahami dukkha 
dengan benar,
 penyebab
 dukkha, lenyapnya dukkha, dan jalan menuju lenyapnya
dukkha.
 Dia juga
 menjadi paham benar akan racun moral (asava) sebagaimana
 adanya, penyebab
 asava, lenyapnya asava, dan jalan menuju lenyapnya asava.
 Dengan pengetahuan tentang lenyapnya asava, dia
menjadi
 terbebaskan.
 Pengetahuan pembebasan muncul dalam dirinya. Dia mengetahui
 bahwa kelahiran
 kembali tidak ada lagi, bahwa ia telah menjalankan hidup
suci;
 dia telah
 melakukan apa yang harus dilaksanakan untuk menyadari
Magga;
 tidak ada lagi
 yang harus dilakukannya untuk mencapai penyadaran itu.
 Sang Buddha mengajarkan hanya satu hal-penghapusan
penderitaan
 dan
 pembebasan dari lingkaran kehidupan yang berulang-ulang.
Ini
 harus dicapai
 melalui latihan meditasi (untuk ketenangan dan penyadaran)
 sebagaimana
 dijelaskan dalam banyak sutta-sutta "Suttanta Pitaka".
 BAB IV SUTTANTA
PITAKA: DIGHA NIKAYA
 Kumpulan Khotbah Panjang Sang Buddha
Bagian yang berada dalam "Suttanta Pitaka" ini
("Digha
 Nikaya"),  terdiri
 atas tiga puluh empat khotbah panjang Sang Buddha, dan
terbagi
 atas tiga
 bagian: Silakkhanda Vagga, bagian yang menekankan kemoralan,
 Maha Vagga,
 bagian yang besar, Pathika Vagga, bagian yang dimulai
dengan
 khotbah tentang
 Pathika, petapa telanjang.
 4.1 Silakkhanda Vagga Pali - Bagian yang menekankan kemoralan
Bagian ini terdiri atas tiga belas sutta yang mengajarkan
 secara panjang
 lebar berbagai tipe kemoralan, yaitu: Kemoralan Rendah
(dasar
 kemoralan yang
 sesuai untuk semua orang), Kemoralan Menengah dan Kemoralan
 Tinggi (yang
 umumnya dilaksanakan oleh kaum Samana dan Brahmana).
Di sini
 juga
 dibicarakan pandangan salah yang banyak dianut dan pandangan
 para Brahmin
 tentang pengorbanan dan kasta, serta berbagai praktik
religius
 misalnya
 penyiksaan diri yang berlebih-lebihan.
 4.1.1 Sutta Brahmajala, Khotbah tentang jala kebijaksanaan
sempurna
 Di sini diuraikan sebuah argumentasi antara Suppiya,
seorang
 petapa
 pengelana, dengan muridnya Brahmadatta. Si guru menjelek-
 jelekkan Buddha,
 Dhamma, dan Samgha, sementara muridnya memuji Buddha,
Dhamma,
 dan Samgha.
 Perdebatan ini menyebabkan munculnya khotbah terkenal
yang
 ditulis pada awal
 Nikaya ini.
 Sehubungan dengan usaha untuk menjelek-jelekkan
Buddha,
 Dhamma, dan Samgha,
 Sang Buddha memperingatkan murid-muridnya untuk tidak
 tersinggung, atau
 tidak senang, atau marah, karena perilaku itu semua hanya
akan
 merugikan
 batin mereka. Demikian pula, terhadap pujian atas Buddha,
 Dhamma, dan
 Samgha, Sang Buddha menasihati murid-muridnya untuk tidak
 merasa gembira,
 senang, atau berbesar hati, karena itu hanya akan menjadi
 penghalang bagi
 perkembangan mereka dalam mengikuti Sang Jalan.
 Sang Buddha mengatakan bahwa bagaimanapun seseorang
yang
 duniawi
 (puthujjana) memuji Sang Buddha, dia tidak akan mampu
bersikap
 adil secara
 penuh atas kebajikan Sang Buddha yang tidak terbandingi, 
yaitu
 pemusatan
 pikiran tertinggi (samadhi) dan kebijaksanaan tertinggi
 (panna). Seorang
 yang duniawi hanya mampu menjangkau "hal-hal yang tidak
 berarti, bersifat
 rendah, dan kemoralan rendah". Sang Buddha menjelaskan
tiga
 tingkatan
 kemoralan dan mengatakan bahwa ada dhamma lain yang mendalam,
 susah dilihat,
 sukar diketahui, dan hanya mampu dipahami oleh si bijak.
Setiap
 orang yang
 ingin memuji kebajikan Sang Buddha yang sebenarnya dengan
tepat
 harus
 melakukannya hanya dengan cara yang ada dalam dhamma
ini.
 Kemudian Sang
 Buddha melanjutkan dengan menjelaskan berbagai pandangan
salah.
 Ada samana
 dan brahmana yang karena berspekulasi tentang masa lampau,
 terikat dan yakin
 akan pandangan salah mereka dalam delapan belas cara
yang
 berbeda, yaitu:
 1. empat jenis kepercayaan akan kekekalan, Sassata Ditthi;
 2. empat jenis kepercayaan dualisme akan kekekalan dan
 ketidakkekalan,
 Ekacca Sassata Ditthi;
 3. empat pandangan dunia terbatas atau tidak terbatas,
 Antananta Ditthi;
 4. empat jenis pengingkaran yang meragukan, Amaravikkhepa
Vada;
 dan
 5. dua ajaran tentang tidak-saling-menyebabkan,
 Adhiccasamuppanna Vada.
 Ada samana dan brahmana yang karena berspekulasi
tentang masa
 yang akan
 datang, terikat dan yakin akan pandangan salah mereka
dalam
 empat puluh
 empat cara, yaitu:
 1. enam belas jenis kepercayaan akan keberadaan Sanna
setelah
 kematian,
 Uddhamaghatanika Sanni Vada;
 2. delapan jenis kepercayaan akan ketidakadaan Sanna
setelah
 kematian,
 Uddhamaghatanika Asanni Vada;
 3. delapan jenis kepercayaan akan ketidakadaan Sanna
maupun
 non- Sanna
 setelah kematian, Uddhamaghatanika Nevasanni Nasanni
Vada;
 4. tujuh jenis kepercayaan akan pemusnahan, Uccheda Vada;
dan
 5.lima jenis Nibbana duniawi yang dapat disadari pada
kehidupan
 ini juga,
 Ditthadhamma Nibbana Vada.
 Sang Buddha mengatakan bahwa apapun yang dispekulasikan
oleh
 para samana
 maupun brahmana tentang masa lampau, atau masa yang akan
 datang, atau baik
 masa lampau maupun yang akan datang, mereka melakukannya
dalam
 keenam puluh
 dua cara ini atau salah satu di antaranya.
 Sang Buddha selanjutnya mengumumkan bahwa Beliau
mengetahui
 semua pandangan
 salah ini dan juga tujuan kehidupan berikutnya yang akan
 dialami oleh orang
 yang berpandangan seperti itu.
 Sang Buddha memberikan analisis yang mendetil tentang
 pandangan salah yang
 disebutkan dalam enam puluh dua cara dan menunjukkan
bahwa
 pandangan-pandangan seperti itu bersumber dari perasaan
yang
 muncul sebagai
 akibat hubungan yang berulang-ulang melalui enam landasan
 indera. Siapapun
 yang mempunyai pandangan salah tersebut, perasaannya
 menimbulkan nafsu
 keinginan, nafsu keinginan menimbulkan kemelekatan, kemelekatan
 mengakibatkan kehidupan, proses sebab-akibat  kamma
dalam
 kehidupan
 menimbulkan kelahiran kembali, yang selanjutnya mengakibatkan
 tua, kematian,
 duka, sedih, sakit, kecemasan, dan putus asa.
 Akan tetapi, jika seseorang mengetahuinya, sebagaimana
adanya,
 sumber
 keenam landasan indera penghubung, lenyapnya, kenikmatannya,
 bahayanya, dan
 cara melepaskan diri darinya, dia akan menyadari dhamma,
bukan
 hanya sebatas
 kemoralan (sila), tetapi juga pemusatan pikiran (samadhi),
 pembebasan
 (vimutti), dan kebijaksanaan (panna) yang mengatasi semua
 pandangan salah
 tersebut.
 Semua samana dan brahmana yang memiliki keenam
puluh dua
 kelompok pandangan
 salah terjaring dalam jala khotbah ini sebagaimana semua
ikan
 dalam danau
 terjerat dalam jala bermata halus yang ditebarkan nelayan
yang
 ahli atau
 muridnya.
 4.1.2 Sutta Samannaphala, Khotbah tentang Hasil kehidupan
seorang samana
 Pada suatu malam bulan purnama ketika Sang Buddha
sedang
 tinggal di
 Rajagaha dalam Hutan Mangga Jivaka, khotbah tentang buah
 kehidupan seorang
 samana ini, yang dialami secara pribadi dalam kehidupannya
itu,
 diberikan
 kepada Raja Ajatasattu atas permintaannya. Sang Buddha
 menjelaskan kepadanya
 keuntungan kehidupan seorang samana dengan memberikan
kepadanya
 contoh
 seorang pembantu rumah tangga istana  atau seorang
pemilik
 tanah yang
 mengolah tanah raja yang kemudian menjadi seorang samana
 sehingga kepadanya
 sang raja harus menunjukkan rasa hormat dan memberikan
 persembahan
 kebutuhannya, melindunginya, dan menjaga keamanannya
pula.
 Sang Buddha memberikan penjelasan tentang keuntungan
lain,
 yang lebih
 tinggi dan bermanfaat, jika menjadi seorang samana dengan
 menekankan pada:
 1. bagaimana seorang perumah tangga, setelah mendengar
dhamma
 yang diajarkan
 seorang Buddha, selanjutnya meninggalkan kehidupan berkeluarga
 dan menjadi
 samana atas dasar keyakinan yang murni;
 2. bagaimana dia memantapkan diri dalam tiga kelompok
sila,
 yaitu: yang
 rendah, menengah, dan tinggi;
 3. bagaimana dia mengendalikan organ-organ inderanya
sehingga
 tidak ada
 kondisi pikiran yang jelek, seperti ketamakan dan
 ketidakpuasan, yang bisa
 menguasainya;
 4. bagaimana dia penuh dengan kewaspadaan dan pengetahuan
yang
 jelas serta
 tetap bahagia;
 5.bagaimana, dengan menjauhkan dirinya dari lima penghalang,
 dia mencapai
 empat jhana-pertama, kedua, ketiga, dan keempat-yang
merupakan
 keuntungan
 yang lebih tinggi daripada yang telah disebutkan sebelumnya;
 6.bagaimana dia memiliki delapan  jenis pengetahuan
yang lebih
 tinggi,
 yaitu: Pengetahuan Penyadaran, kekuatan penciptaan dengan
 pikiran, kekuatan
 batin, kekuatan sakti pendengaran, kemampuan membaca
pikiran
 orang lain,
 pengetahuan akan kehidupan yang lampau, kekuatan sakti
 penglihatan,
 pengetahuan tentang pelenyapan racun moral.
 Jadi, jika pengetahuan pembebasan muncul dalam
dirinya, dia
 mengetahui
 bahwa dia telah menjalani kehidupan dengan murni. Tidak
ada
 keuntungan lain
 jika menjadi seorang samana, yang dialami sendiri, yang
lebih
 membahagiakan
 dan lebih tinggi daripada ini.
 4.1.3 Sutta Ambattha
Ambattha, seorang murid muda Pokkharasati, brahmin
terpelajar,
 dikirim oleh
 gurunya untuk menyelidiki apakah Gautama adalah seorang
Buddha
 asli yang
 memiliki tiga puluh dua ciri orang besar. Sikapnya yang
 sombong, bangga akan
 kelahirannya sebagai seorang brahmin, menyebabkan Sang
Buddha
 untuk
 mengalahkannya dengan membuktikan bahwa khattiya pada
 kenyataannya lebih
 tinggi daripada seorang brahmin. Sang Buddha menjelaskan
lebih
 lanjut bahwa
 kesucian seseorang tidak berakar dari sifat kelahirannya,
 melainkan dari
 penyucian dirinya pada tiga kelompok kemoralan, pencapaian
 jhana, dan
 penerapan delapan jenis pengetahuan yang lebih tinggi.
 4.1.4 Sutta Sonadanda
Khotbah ini diberikan kepada Brahmin Sonadanda
yang menghadap
 Sang Buddha
 pada saat Beliau sedang tinggal di dekat Danau Gaggara,
Campa,
 negara Anga.
 Dia ditanyai Sang Buddha tentang ciri-ciri apa yang harus
 dimiliki seseorang
 untuk bisa diakui sebagai brahmin. Sonadanda menyebutkan
satu
 per satu,
 mulai dari kelahiran yang baik, penguasaan kitab suci,
 kepribadian yang
 baik, kemoralan, dan pengetahuan yang memadai untuk bisa
 menjadi seorang
 brahmin. Saat ditanyai selanjutnya oleh Sang Buddha,
dia
 mengatakan bahwa
 persyaratan minimum adalah kemoralan dan pengetahuan,
yang
 tanpa ini, tidak
 ada seorangpun dapat disebut sebagai brahmin. Atas
 permintaannya, Sang
 Buddha menjelaskan arti kemoralan dan pengetahuan, yang
diakui
 tidak
 diketahuinya, yaitu ketiga kelompok kemoralan, pencapaian
 keempat jhana, dan
 pencapaian delapan pengetahuan yang lebih tinggi.
 4.1.5 Sutta Kutadanta
Pada malam pesta besar persembahan pengorbanan,
Brahmin
 Kutadanta pergi
 menemui Sang Buddha untuk meminta nasihat tentang cara
terbaik
 mempersembahkan pengorbanan. Dengan memberikan contoh
raja
 terdahulu,
 Mahavijita, yang juga memberikan persembahan pengorbanan
besar,
 Sang Buddha
 menyatakan prinsip- prinsipnya berupa ijin keempat kelompok
 dari berbagai
 propinsi-bangsawan, menteri, brahmin kaya, dan wakil
penduduk-,
 delapan
 sifat yang harus dimiliki oleh raja yang akan memberikan
 persembahan, empat
 sifat brahmin penasihat kerajaan yang akan memimpin  
upacara,
 dan tiga
 sikap pikiran terhadap pengorbanan. Dengan terpenuhinya
semua
 kondisi ini,
 pesta yang dipersembahkan oleh raja akan sukses, tanpa
ada
 pembunuhan hewan
 korban, tanpa  tindakan kekerasan bagi rakyat, tidak
ada yang
 tertekan untuk
 membantu menyukseskan upacara, dan setiap orang bekerja
sama
 secara sukarela
 demi keberhasilan pesta besar itu.
 Brahmin Kutadanta kemudian menanyakan Sang Buddha
apakah ada
 pengorbanan
 yang dapat dilakukan dengan lebih mudah dan hanya membutuhkan
 usaha yang
 lebih sedikit, tetapi membuahkan hasil yang lebih baik.
Sang
 Buddha
 memberitahukan kepadanya kegiatan tradisional memberikan
 persembahan empat
 kebutuhan kepada bhikkhu yang bermoral tinggi. Yang lebih
mudah
 dan berguna
 adalah mendanakan vihara kepada bhikkhu Persamuan. Yang
lebih
 baik lagi
 ialah mengikuti latihan menurut urutan naiknya pengaruh
yang
 menguntungkan,
 yaitu:
 1. mencari perlindungan pada Buddha, Dhamma, dan Samgha;
 2. melaksanakan Pancasila;
 3. meninggalkan kehidupan berkeluarga untuk menjalankan
hidup
 suci,
 menerapkan kemoralan, mencapai keempat jhana, dan memiliki
 delapan jenis
 pengetahuan yang lebih tinggi yang dihasilkan dari penyadaran
 akan lenyapnya
 asava.
 Ini merupakan pengorbanan yang membutuhkan lebih sedikit
 kesulitan dan usaha
 tetapi membuahkan hasil yang melebihi hasil pengorbanan
 lainnya.
 4.1.6 Sutta Mahali
Mahali Otthaddha, penguasa Licchavi, pernah menemui Sang
Buddha
 yang
 kepada-Nya ia ceritakan panjang lebar tentang yang dikatakan
 Sunakkhatta,
 Pangeran Licchavi, kepadanya. Sebelumnya, Sunakkhatta
merupakan
 salah
 seorang murid Sang Buddha, selama tiga tahun, dan kemudian
 meninggalkan-Nya.
 Dia mengatakan kepada Mahali bahwa dia telah memiliki
kekuatan
 sakti
 penglihatan, yang membuatnya bisa melihat hal-hal menyenangkan
 yang tak
 terhitung banyaknya dan menggiurkan, yang terdapat dalam
alam
 dewa, tetapi
 belum pernah mendengarkan suara alam dewa itu. Mahali
ingin
 mengetahui dari
 Sang Buddha apakah Sunakkhatta tidak mendengar suara
alam dewa
 karena tidak
 ada suara-suara di sana, atau karena dia tidak mampu
 mendengarnya.
 Sang Buddha menjelaskan bahwa ada suara di alam dewa,
tetapi
 Sunakkhatta
 tidak mendengarnya karena dia telah mengembangkan pemusatan
 pikiran hanya
 untuk satu tujuan, yaitu mendapatkan kekuatan sakti
 penglihatan, dan bukan
 kekuatan sakti pendengaran.
 Sang Buddha selanjutnya menjelaskan bahwa semua murid-muridnya
 menjalankan
 kehidupan suci di bawah bimbingan-Nya bukan untuk mendapatkan
 kekuatan sakti
 seperti itu, tetapi dengan maksud meha, selama tiga tahun,
dan
 kemudian
 meninggalkan-Nya. Dia mengatakan kepada Mahali bahwa
dia telah
 memiliki
 kekuatan sakti penglihatan, yang membuatnya bisa melihat
 hal-hal
 menyenangkan yang tak terhitung banyaknya dan menggiurkan,
yang
 terdapat
 dalam alam dewa, tetapi belum pernah mendengarkan suara
alam
 dewa itu.
 Mahali ingin mengetahui dari Sang Buddha apakah Sunakkhatta
 tidak mendengar
 suara alam dewa karena tidak ada suara-suara di sana,
atau
 karena dia tidak
 mampu mendengarnya.
 Sang Buddha menjelaskan bahwa ada suara di alam dewa,
tetapi
 Sunakkhatta
 tidak mendengarnya karena dia telah mengembangkan pemusatan
 pikiran hanya
 untuk satu tujuan, yaitu mendapatkan kekuatan sakti
 penglihatan, dan bukan
 kekuatan sakti pendengaran.
 Sang Buddha selanjutnya menjelaskan bahwa semua murid-muridnya
 menjalankan
 kehidupan suci di bawah bimbingan-Nya bukan untuk mendapatkan
 kekuatan sakti
 seperti itu, tetapi dengan maksud menyadari dhamma, yang
jauh
 melebihi dan
 mengatasi berbagai jenis pemusatan pikiran duniawi itu.
Dhamma
 yang
 dimaksudkan ini ialah pencapaian Empat Kondisi Hasil
 Mulia-keadaan seseorang
 yang telah "menyeberangi arus", yang kembali sekali saja,
yang
 tidak kembali
 lagi, serta keadaan pikiran dan pengetahuan seorang arahat
yang
 terbebaskan
 dari semua asava karena telah dimusnahkan.
 Jalan yang memungkinkan dhamma-dhamma ini dapat disadari
ialah
 Jalan Mulia
 Beruas Delapan, yaitu: pandangan benar, pikiran benar,
ucapan
 benar,
 tindakan benar, mata pencaharian benar, usaha benar,
kesadaran
 benar, dan
 pemusatan pikiran benar.
 4.1.7 Sutta Jaliya
Suatu ketika, saat Sang Buddha tinggal di Vihara Ghositarama,
 dekat
 Kosambi, dua orang petapa pengelana, yaitu Mundiya dan
Jaliya,
 menemuinya
 dan menanyakan apakah jiwa adalah badan jasmani, atau
badan
 jasmani adalah
 jiwa, atau jiwa adalah sesuatu yang terpisah dari badan
 jasmani.
 Sang Buddha menjelaskan bahwa seseorang yang telah menyadari
 pembebasan
 tidak akan mempermasalahkan apakah jiwa adalah badan
jasmani,
 atau badan
 jasmani merupakan jiwa, atau apakah jiwa dan badan jasmani
 saling terpisah.
 4.1.8 Sutta Mahasihanada
Khotbah ini mendefinisikan bagaimana seorang samana yang
benar,
 bagaimana
 seorang brahmana yang benar. Sang Buddha sedang tinggal
di
 Taman Rusa
 Kannakathala di Urunna. Seorang petapa telanjang, Kassapa,
 menjumpai-Nya dan
 mengatakan bahwa dia pernah mendengar berita Samana Gautama
 menghina semua
 bentuk latihan penyiksaan diri dan Samana Gautama merendahkan
 mereka yang
 menjalani hidup sederhana.
 Sang Buddha menjawab bahwa mereka memfitnah-Nya atas
apa yang
 tidak
 dikatakannya dan yang tidak benar. Sang Buddha dapat
melihat
 dengan kekuatan
 sakti-Nya maksud baik maupun jahat orang- orang yang
 menjalankan latihan
 ekstrim penyiksaan diri sehingga bagaimana mungkin Beliau
 merendahkan semua
 bentuk penyiksaan diri.
 Kassapa kemudian mempertahankan bahwa hanya mereka yang
 memencilkan dirinya
 untuk melaksanakan latihan berdiri atau duduk, yang berpantang
 makanan,
 makan hanya sekali dalam dua hari, tujuh hari, lima belas
hari,
 dan
 seterusnya, merupakan samana dan brahmana yang sebenarnya.
Sang
 Buddha
 menjelaskan bahwa sia-sia saja melaksanakan penyiksaan
diri
 berlebih dan
 mengatakan bahwa hanya seseorang petapa yang menunjukkan
 kemoralan baik,
 memusatkan pikiran dan mengembangkan pengetahuan, menerapkan
 cinta kasih,
 dan ikut dalam membebaskan pikiran dan berusaha mencapai
 pembebasan melalui
 pengetahuan, yang dapat disebut seorang samana dan brahmana.
 Kemudian, Sang
 Buddha memberikan penjelasan penuh tentang kemoralan,
pemusatan
 pikiran dan
 pengetahuan, yang mengakibatkan Kassapa memutuskan untuk
 bergabung dengan
 Persamuan Buddha.
 4.1.9 Sutta Pottapada
Suatu ketika saat Sang Buddha sedang tinggal di Vihara
 Anathapindika di
 Hutan Jeta, Savatthi, Beliau mengunjungi Aula Ekasalaka
tempat
 berbagai
 pandangan diperdebatkan. Pada kesempatan itu Potthapada,
petapa
 pengelana,
 menanyakan kepada- Nya tentang lenyapnya kesadaran (sanna).
 Pottapada ingin
 tahu bagaimana cara untuk bisa mengalami lenyapnya kesadaran.
 Sang Buddha
 mengatakan kepadanya bahwa proses itu terjadi melalui
hubungan
 sebab dan
 akibatlah bentuk-bentuk kesadaran dalam suatu makhluk
muncul
 dan lenyap.
 Bentuk kesadaran tertentu muncul melalui latihan (adhicitta
 sikkha) dan
 bentuk kesadaran tertentu lenyap melalui latihan pula.
 Sang Buddha melanjutkan dengan menerangkan latihan-latihan
ini,
 mencakup
 pelaksanaan sila dan pengembangan pemusatan pikiran,
yang akan
 mengakibatkan
 muncul dan lenyapnya jhana-jhana secara berturut-turut.
Seorang
 yang
 bermeditasi akan maju tahap demi tahap hingga akhirnya
mencapai
 kondisi
 lenyapnya semua bentuk kesadaran (nirodha samapatti).
 4.1.10 Sutta Subha
Ini adalah khotbah yang diberikan bukan oleh Sang Buddha,
 tetapi oleh murid
 dekat-Nya, Bhikkhu Ananda, atas permintaan Subha muda.
Sang
 Buddha telah
 mangkat waktu itu. Dan Subha muda ingin mengetahui secara
 langsung dari
 murid dekat Sang Buddha, dhamma apa yang dikagumi Sang
Buddha
 dan dhamma apa
 yang dianjurkan Sang Buddha untuk dipraktikkan orang-orang.
 Ananda memberitahukan kepadanya bahwa Sang Buddha memuji
tiga
 kelompok
 dhamma, yaitu unsur kemoralan, unsur pemusatan pikiran,
dan
 unsur
 pengetahuan. Sang Buddha mendorong orang-orang 
untuk melatih
 dhamma-dhamma
 itu, menerapkannya dalam hidup mereka, dan mempertahankannya
 dengan kokoh.
 Ananda menjelaskan kumpulan dhamma ini dengan rinci kepada
 Subha muda, yang
 selanjutnya menyebabkannya menjadi murid awam yang mengabdi
 dengan setia.
 4.1.11 Sutta Kevatta
Sang Buddha sedang tinggal di Nalanda di Hutan Mangga
Pavarika.
 Seorang
 murid awam yang setia datang menemui-Nya dan mendesak
Beliau
 untuk
 membiarkan salah seorang murid-Nya membuat keajaiban
sehingga
 kota Nalanda
 akan lebih mengabdi kepada Sang Buddha.
 Sang Buddha memberitahukan kepadanya tiga jenis keajaiban
yang
 telah ia
 ketahui dan sadari sendiri melalui pengetahuan sakti.
Keajabian
 pertama,
 Iddhi Patihariya, ditolak oleh Sang Buddha karena dapat
 disalahpahami
 sebagai ilmu hitam yang disebut ilmu sihir Gandhari.
Sang
 Buddha juga
 menolak keajaiban kedua, Adesana Patihariya, yang bisa
 disalahpahami sebagai
 praktik sihir Cintamani. Beliau menganjurkan untuk menunjukkan
 keajaiban
 ketiga, Anusasani Patihariya, keajaiban kekuatan pengajaran
 yang melibatkan
 latihan kemoralan, pemusatan pikiran, dan pengetahuan,
yang
 akhirnya
 mununtun menuju punahnya asava, Asavakkhaya Nana.
 4.1.12 Sutta Lohicca
Khotbah ini menetapkan tiga tipe guru yang patut disalahkan,
 yaitu:
 1. guru yang belum menyelesaikan latihan suci dan mengajarkan
 murid-murid
 yang tidak mematuhinya;
 2.guru yang belum menyelesaikan latihan suci, tetapi
mengajar
 murid-murid
 yang melaksanakan instruksinya dan mencapai pembebasan;
dan
 3. guru yang telah menyelesaikan latihan suci, tetapi
mengajar
 murid-murid
 yang mengabaikannya.
 Guru yang patut dipuji ialah yang telah menyelesaikan
tiga
 latihan
 kemoralan, pemusatan pikiran, dan pengetahuan, serta
mengajar
 murid-murid
 yang kemudian mencapai kesempurnaan seperti dia sendiri.
 4.1.13 Sutta Tevijja
Dua Brahmin muda Vasettha dan Bharadvaja datang menemui
Sang
 Buddha saat
 Beliau sedang dalam perjalanan mengelilingi Kerajaan
Kosala.
 Mereka
 meninginkan Sang Buddha menyelesaikan pertengkaran di
antara
 mereka tentang
 cara yang benar-benar membimbing langsung ke penyatuan
dengan
 Brahma.
 Masing-masing di antaranya berpikir bahwa cara yang ditunjukkan
 oleh gurunya
 sendirilah yang benar.
 Sang Buddha memberitahukan mereka bahwa karena tidak
seorang
 pun dari guru
 mereka yang pernah melihat Brahma, mereka ibarat sederetan
 orang buta yang
 saling berbaris dengan berpegang pada orang yang di depannya
 masing-masing.
 Kemudian Beliau menunjukkan jalan yang benar-benar membimbing
 ke alam Brahma
 , yaitu: jalan kemoralan dan pemusatan pikiran, serta
 pengembangan cinta
 kasih, belas kasih, rasa simpati atas kebahagiaan pihak
lain,
 dan perlakuan
 yang seimbang terhadap semua makhluk
 4.2 Maha Vagga Pali - Bagian yang Besar
Sepuluh sutta di bagian ini termasuk yang terpenting
dalam
 Tipitaka, yaitu
 yang berhubungan dengan aspek sejarah, biografis, dan
ajaran
 dalam agama
 Buddha. Sutta yang paling terkenal adalah "Sutta
 Mahaparinibbana", yang
 memberikan keterangan tentang hari- hari terakhir dan
peristiwa
 mangkatnya
 Sang Buddha, serta pembagian relik-relik-Nya. "Sutta
 Mahapadana" secara
 ringkas menceritakan tujuh Buddha terakhir dan kehidupan
Buddha
 Vipassi.
 Yang dari segi keagamaan juga penting ialah Sutta Mahanidana,
 yang
 menjelaskan rantai sebab dan akibat, dan Sutta
 Mahasatipatthana, yang
 menyangkut Empat Metode Kesadaran Teguh serta aspek praktis
 meditasi
 kebuddhaan.
 4.2.1 Sutta Mahapadana
Khotbah ini diberikan di Savatthi kepada bhikkhu-bhikkhu
yang
 pada suatu
 hari membahas pengetahuan Sang Buddha pada kehidupan-
kehidupan
 sebelumnya.
 Beliau menceritakan kepada mereka tentang tujuh Buddha
 terakhir, berikut
 cerita lengkap kehidupan seorang di antaranya, Buddha
Vipassi,
 meliputi
 peristiwa yang dialami para Buddha, status sosial, ketenaran,
 suku, rentang
 usia hidup, murid-murid  utama, organisasi persatuan
pengikut,
 prestasi, dan
 pembebasan kekotoran batin mereka.
 Sang Buddha menjelaskan bahwa kemampuan-Nya untuk mengingat
dan
 menceritakan kembali semua peristiwa pada kehidupan yang
lampau
 disebabkan
 kearifan-Nya sendiri dan juga kekuatan dewa-dewa yang
membuat
 semua ini
 diketahui-Nya.
 4.2.2 Sutta Mahanidana
Khotbah ini diberikan di pusat kota Kammasadhamma kepada
 Bhikkhu Ananda
 untuk memperbaiki pandangan salahnya bahwa ajaran
 Paticcasamuppada, walaupun
 memiliki sifat mendalam dan luas, cukup jelas dan mudah
 diselami. Sang
 Buddha mengatakan kepadanya bahwa ajaran ini bukan sekadar
 mendalam dan
 luas, tetapi mendalam dan luas dalam empat hal, yaitu:
mendalam
 maknanya,
 mendalam dalam arti suatu ajaran, mendalam dalam hal
cara
 diajarkan, dan
 mendalam jika melihat peristiwa yang melahirkannya.
 Beliau kemudian memaparkan secara lengkap tentang ajaran
ini
 dan mengatakan
 bahwa karena kekurangan pengetahuan yang tepat dan pemahaman
 mendalam akan
 ajaran ini, makhluk-makhluk terperangkap dan tidak mampu
 melepaskan diri
 dari lingkaran kelahiran kembali yang menyedihkan. Beliau
 menyimpulkan bahwa
 tanpa pengetahuan yang jelas tentang ajaran ini, bahkan
bagi
 mereka yang
 pikirannya berhasil mencapai jhana, dapat diselimuti
gagasan
 atta.
 4.2.3 Sutta Mahaparinibbana
Sutta ini adalah sebuah cerita penting tentang hari-hari
 terakhir hidup
 Sang Buddha, riwayat rinci atas apa yang dilakukan-Nya,
yang
 dikatakan-Nya,
 dan yang terjadi atas diri-Nya selama tahun terakhir
hidup-Nya.
 Tersusun
 dalam bentuk cerita, bagian ini berisi banyak khotbah
tentang
 beberapa aspek
 yang paling penting dan mendasar dalam Ajaran Sang Buddha.
 Sebagai khotbah
 terpanjang dalam "Digha Nikaya", bagian ini terbagi atas
enam
 bab.
 Pada malam sebelum perjalanan besar, Sang Buddha ketika
tinggal
 di
 Rajagaha, membabarkan khotbah terkenal tentang Tujuh
Faktor
 Ketidakmerosotan
 seorang raja dan pangeran, dan Tujuh Faktor Ketidakmerosotan
 bhikkhu.
 Kemudian Beliau memulai perjalanan terakhir-Nya dengan
pergi ke
 Desa
 Patali, tempat Beliau mengajarkan tentang konsekuensi
kehidupan
 yang
 melanggar kemoralan dan yang sesuai dengan kemoralan.
 Selanjutnya, Beliau
 meneruskan ke Desa Koti, tempat Beliau memaparkan Empat
 Kesunyataan Mulia.
 Lalu, Beliau tinggal di Desa Natika, tempat khotbah terkenal
 tentang Cermin
 Kesunyataan  diberikan.
 Setelah itu, Sang Buddha pergi ke Vesali dengan ditemani
banyak
 bhikkhu. Di
 Vesali, Beliau menerima taman yang ditawarkan oleh pelacur
 Ambapali.  Dari
 Vesali, Sang Buddha berangkat ke sebuah desa kecil bernama
 Veluva, tempat
 Beliau diserang penyakit parah yang ternyata terbukti
fatal.
 Tetapi, Sang
 Buddha memutuskan untuk mempertahankan proses kehidupan
dan
 tidak mau
 meninggalkan dunia tanpa memberitahukan murid awam-Nya
dan
 tanpa mengalihkan
 tugas  Samgha. Saat Ananda memberitahukan Sang Buddha
betapa
 cemasnya ia
 akan penyakit Sang Buddha, Beliau memberikan amanat terkenal,
 "Jadikanlah
 diri anda sebagai pendukung dan pelindung anda sendiri.
 Jadikanlah Dhamma
 sebagai pelindung anda."
 Di Vesali, Sang Buddha memutuskan untuk mangkat dan menyadari
 Parinibbana
 dalam waktu tiga bulan. Saat membuat keputusan penting
ini,
 terjadi gempa
 bumi besar. Ananda, setelah belajar dari Sang Buddha
tentang
 alasan gempa
 tersebut, memohon kepada- Nya untuk mengubah keputusan,
tetapi
 tidak
 berhasil.
 Sang Buddha kemudian menghimbau Samgha untuk bersatu
di bawah
 pimpinan
 orang yang kepadanya Beliau umumkan Parinibbana. Kemudian,
 Beliau mengulangi
 semua prinsip fundamental Ajaran-Nya, serta memperingatkan
 murid-murid-Nya
 agar tetap waspada dan berhati-hati untuk mengendalikan
pikiran
 mereka
 sehingga bisa mencapai lenyapnya penderitaan.
 Sang Buddha kemudian meninggalkan Vesali dan pergi ke
Desa
 Bhanda, tempat
 Beliau melanjutkan memberikan khotbah-khotbah kepada
Samgha
 yang
 menemani-Nya tentang sila, samadhi, dan panna. Setelah
 melanjutkan
 perjalanan-Nya ke utara, Beliau memberikan khotbah tentang
 Empat Penguasa
 Besar, Mahapadesa, di Desa Bhoga.
 Dari sana, Beliau melanjutkan perjalanan ke Pava dan
tinggal di
 Hutan
 Mangga Cunda, anak tukang emas, yang memberikan persembahan
 makanan kepada
 Sang Buddha dan Persamuan bhikku-Nya. Setelah menyantap
makanan
 yang
 dipersembahkan Cunda, penyakit parah Beliau kambuh. Walaupun
 demikian,
 Beliau meneruskan perjalanan hingga ke Kusinara. Di Hutan
Sal
 milik
 pangeran-pangeran Malla, Beliau meminta Ananda untuk
 mempersiapkan
 balai-balai untuk-Nya. Kemudian, Beliau berbaring di
atasnya
 dengan penuh
 kesadaran  dan kewaspadaan, menunggu saat Parinibbana.
 Bahkan di balai-balai tempat mangkat-Nya, Sang Buddha
masih
 terus mengajar
 dan menjelaskan bahwa ada empat tempat yang perlu dikenang
dan
 dirawat,
 empat orang yang layak mendapat stupa, serta  menjawab
 pertanyaan Ananda
 tentang bagaimana seharusnya  seseorang memperlakukan
wanita,
 atau apa yang
 harus dilakukan setelah Beliau mangkat. Tindakan terakhir
yang
 menunjukkan
 ketidakegoisan-Nya ialah menguraikan Kesunyataan dan
 menunjukkan  "Jalan"
 kepada Subhadda, petapa pengelana.
 Kemudian, setelah memastikan bahwa tidak ada seorang
bhikku pun
 yang masih
 memiliki rasa bingung atau ragu-ragu akan Buddha, Dhamma,
dan
 Samgha, Sang
 Buddha mengucapkan kata-kata terakhir- Nya, "Sifat yang
 dimiliki oleh semua
 benda ialah kematian dan kemusnahan. Berjuanglah dengan
pikiran
 penuh
 kesadaran."
 Selanjutnya, setelah Persamuan bhikku, para pangeran,
dan
 orang- orang
 memberikan penghormatan yang tinggi kepada-Nya, Sang
Buddha
 mangkat,
 mengalami Parinibbana.
 |