Abu Thalhah al-Anshary
Zaid bin Sahal an-Najjary alias Abu Thalhah mengetahui bahwa perempuan
bernama Rumaisha' binti Milhan an-Najjariyah, alias Ummu Sulaim, hidup
menjanda sejak suaminya meninggal. Abu Thalhah sangat gembira mengetahui
Ummu Sulaim merupakan perempuan baik-baik, cerdas, dan memiliki
sifat-sifat perempuan yang sempurna.
Abu Thalhah bertekad hendak melamar Ummu Sulaim segera, sebelum
laki-laki lain mendahuluinya. Karena, Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki
lain yang menginginkan Ummu Sulaim menjadi istrinya. Namun begitu, Abu
Thalhah percaya tidak seorang pun laki-laki lain yang akan berkenan di
hati Ummu Sulaim selain Abu Thalhah sendiri. Abu Thalhah laki-laki
sempurna, menduduki status sosial tinggi, dan kaya raya. Di samping itu,
dia terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan di kalangan Bani
Najjar, dan pemanah jitu dari Yatsrib yang harus diperhitungkan.
Abu Thalhah pergi ke rumah Ummu Sulaim. Dalam perjalan ia ingat, Ummu
Sulaim pernah mendengar dakwah seorang dai yang datang dari Mekah,
Mushab bin Umair. Lalu, Ummu Sulaim beriman dengan Muhammad dan menganut
agama Islam. Tetapi, stelah berpikir demikian, dia berkata kepda dirinya,
"Hal ini tidak menjadi halangan. Bukankah suaminya yang meninggal
menganut agama nenek moyangnya? Bahkan, suaminya itu menentang Muhammad
dan dakwahnya.
Abu Thalhah tiba di rumah Ummu Sulaim. Dia minta izin untuk masuk, maka
diizinkan oleh Ummu Sulaim. Putra Ummu Sulaim, Anas, hadir dalam
pertemuan mereka itu. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya,
yaitu hendak melamar Ummu Sulaim menjadi istrinya. Ternyata Ummu Sulaim
menolak lamaran Abu Thalhah.
Kata Ummu Sulaim, "Sesungguhnya laki-laki seperti Anda, wahai Abu
Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi aku tidak akan kawin
dengan Anda, karena Anda kafir."
Abu Thalhah mengira Ummu Sulaim hanya sekedar mencari-cari alasan.
Mungkin di hati Ummu Sulaim telah berkenan laki-laki lain yang lebih
kaya dan lebih mulia daripadanya.
Kata Abu Thalhah , "Demi Allah! Apakah yang sesungguhnyayang
menghalangi engkau untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?"
Jawab Ummu Sulaim, "Tidak ada, selain itu."
Tanya Abu Thalhah, "Apakah yang kuning ataukah yang putih ...? Emas
atau perak?"
Ummu Sulaim balik bertanya, "Emas atau perak ...?"
"Ya, emas atau perak?" jawab Abu Thalhah menegaskan.
Kata Ummu Sulaim, "Kusaksikan kepada Anda, hai Abu Talhah,
kusaksikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika engkau Islam,
aku rela Anda menjadi suamiku tanpa emas dan perak, cukuplah emas itu
menjadi mahar bagiku."
Mendengar ucapan dari Ummu Sulaim tersebut, Abu Thalhah teringat akan
patung sembahannya yang terbuat dari kayu bagus dan mahal. Patung itu
khusus dibuatnya untuk pribadinya, seperti kebiasaan bangsawan-bangsawan
kaumnya, Bani Najjar.
Ummu Sulaim telah bertekad hendak menempa besi itu selagi masih panas (mengislamkan
Abu Talhah). Sementara Abu Thalhah terbengong-bengong melihat berhala
sesembahannya, Ummu Sulaim melanjutkan bicaranya, "Tidak tahukah
Anda, wahai Abu Thalhah, patung yang Anda sembah itu terbuat dari kayu
yang tumbuh di bumi?" Tanya Ummu Sulaim.
"Ya, Betul!" jawab Abu Thalhah.
"Apakah Anda tidak malu menyembah sepotong kayu menjadi Tuhan,
sementara potongannya yang lain Anda jadikan kayu api untuk memasak?
Jika Anda masuk Islam, hai Abu Thalhah, aku rela engkau menjadi suamiku.
Aku tidak akan meminta mahar darimu selain itu," kata Ummu Sulaim.
"Siapakah yang harus mengislamkanku?" Tanya Abu Thalhah.
"Aku bisa," jawab Ummu Sulaim.
"Bagaimana caranya?" tanya Abu Thalhah.
"Tidak sulit. Ucapkan saja kalimat syahadah! Saksikan tidak ada
ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Sesudah itu
pulang ke rumahmu, hancurkan berhala sembahanmu, lalu buang!" kata
Ummu Sulaim menjelaskan.
Abu Thalhah tampak gembira. Lalu, dia mengucapkan dua kalimat syahadah.
Sesudah itu Abu Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim. Mendengar kabar Abu
Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim dengan maharnya Islam, maka kaum
muslimin berkata, "Belum pernah kami mendengar mahar kawin yang
lebih mahal daripada mahar kawin Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk
Islam.
Sejak hari itu Abu Thalhah berada di bawah naungan bendera Islam. Segala
daya yang ada padanya dikorbankan untuk berkhidmat kepada Islam.
Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim, termasuk kelompok tujuh puluh
yang bersumpah setia (baiat) dengan Rasulullah di Aqabah. Abu Thalhah
ditunjuk Rasulullah menjadi kepala salah satu regu dari dua belas regu
yang dibentuk malam itu atas perintah Rasulullah saw. untuk mengislamkan
Yatsrib.
Dia ikut berperang bersama Rasulullah saw. dalam setiap peperangan yang
dipimpin beliau. Dalam peperangan itu, tidak urung pula Abu Thalhah
mendapatkan cobaan-cobaan yang mulia. Tetapi, cobaan yang paling besar
diderita Abu Thalhah ialah ketika berperang bersama Rasulullah dalam
Perang Uhud. Dengarkanlah kisahnya!
Abu Thalhah mencintai Rasulullah saw. sepenuh hati, sehingga perasaan
cintanya itu mengalir ke segenap pembuluh darahnya. Dia tidak pernah
merasa jemu melihat wajah yang mulia itu, dan tidak pernah merasa bosan
mendengar hadis-hadis beliau yang selalu terasa manis baginya. Apabila
Rasulullah saw. berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau
sambil berkata, "Inilah dariku, kujadikan tebusan bagi diri Anda
dan wajahku pengganti wajah Anda."
Ketika terjadi Perang Uhud, barisan kaum muslimin terpecah-belah. Mereka
lari kocar-kacir dari samping Rasulullah saw. Oleh karena itu, kaum
muslimin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat beliau.
Musuh berhasil menciderai beliau, mematahkan gigi, melukai dahi, dan
bibir beliau, sehingga darah mengalir membasahi mukanya. Lalu kaum
musyrikin menyiarkan isu Rasulullah saw. telah wafat.
Mendengar teriakan Rasulullah saw. itu, kaum muslimin menjadi kecut,
lalu lari porak-poranda memberikan punggung mereka kepada musuh-musuh
Allah. Hanya beberapa orang saja tentar muslimin yang tinggal mengawal
dan melindungi Rasulullah. Di antara mereka adalah Abu Thalhah yang
berdiri paling depan.
Abu Thalhah berada di hadapan Rasulullah bagaikan sebuah bukit berdiri
dengan kokohnya melindungi beliau. Rasulullah berdiri di belakangnya,
terlindung dari panah dan lembing musuh oleh tubuh Abu Thalhah. Abu
Thalhah menarik tali panahnya, kemudian melepaskan tali anak panah tepat
mengenai sasaran tanpa pernah gagal. Dia memanah musuh satu demi satu.
Tiba-tiba Rasulullah saw. mendongakkan kepala melihat siapa sasaran
panah Abu Thalhah.
Abu Thalhah mundur menghampiri beliau, karena khawatir beliau terkena
panah musuh. "Demi Allah, janganlah Rasulullah saw. mendongakkan
kepala melihat mereka, nanti terkena panah mereka. Biarkan leher dan
dakaku sejajar dengan leher dan dada Rasulullah saw. Jadikan aku menjadi
perisai Anda," ujarnya mantap.
Seorang prajurit muslim tiba-tiba lari ke dekat Rasulullah saw. sambil
membawa kantong anak panah. Rasulullah memanggil prajurit itu. Kata
beliau, "Berikan anak panahmu kepada Abu Thalhah. Jangan dibawa
lari!" Abu Thalhah senantiasa melindungi Rasulullah saw. sehingga
tiga batang busur panah patah olehnya, dan sejumlah prajurit musyrikin
tewas dipanahnya.
Allah menyelamatkan dan memelihara Nabi-Nya yang selalu berada dibawah
pengawasan-Nya sampai pertemuan usai.
Abu Thalhah sangat pemurah dengan nyawanya berperang fisabilillah, namun
lebih pemurah lagi mengorbankan hartanya untuk agama Allah. Abu Thalhah
mempunyai sebidang kebun kurma dan anggur yang amat luas. Tidak ada
kebun di Yatsrib seluas dan sebagus kebun Abu Thalhah. Pohon-pohonnya
rimbun, buah-buahnya subur, dan airnya manis.
Pada suatu hari ketika Abu Thalhah salat di bawah naungan sebatang nan
rindang, pikirannya terganggu oleh siulan burung berwarna hijau,
berparuh merah, dan kedua kaikinya indah berwarna. Burung itu melompat
dari dahan ke dahan dengan suka citanya, bersiul-siul dan menari-nari.
Abu Thalhah kagum melihat burung itu. Dia membaca tasbih, tetapi
pikirannya tidak lepas dari burung itu.
Ketika menyadari bahwa ia sedang salat, dia lupa sudah berapa rakaat
salatnya. Dua atau tiga rakaatkah dia tak ingat. Selesai salat dia pergi
menemui Rasulullah saw. dan menceritakan kepada beliau peristiwa yang
baru dialaminya dalam salatnya. Diceritakannya pula kepada beliau
pohon-pohon nan rindang dan burung yang bersiul sambil menari-nari
ketika dia sedang salat.
Kemudian katanya, "Saksikan wahai Rasulullah! Kebun itu aku
sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pergunakanlah sesuai kehendak
Allah dan Rasul-Nya."
Abu Thalhah sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya. Bahkan,
dia meninggal ketika sedang berpuasa dan berperang fisabilillah.
Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, kaum muslimin bertekad hendak
berperang di lautan. Abu Thalhah bersiap-siap untuk turut dalam
peperangan itu bersama-sama dengan tentara muslimin.
Kata anak-anaknya, "Wahai Bapak kami!" Bapak sudah tua. Bapak
sudah turut berperang bersama-sama Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar
bin Khattab. Kini Bapak harus beristirahat. Biarlah kami berperang untuk
Bapak."
Jawab Abu Thalhah, "Bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman,
yang artinya, 'Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan susah, dan
berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian
itu adalah lebih baik bagimu jika kamu menyadari.' (At-Taubah: 41).
Firman Allah itu memeritahkan kita semua, baik tua maupun muda. Allah
tidak membatasi usia kita untuk berperang."
Abu Thalhah menolak permintaan anak-anaknya untuk tinggal di rumah, dan
bersikeras untuk ikut berperang.
Ketika Abu Talhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal
bersama-sama dengan tentara muslimin di tengah lautan, dia jatuh sakit,
lalu meninggal di kapal. Kaum muslimin melihat-lihat daratan, mencari
tempat memakamkan Abu Thalhah. Tetapi, enam hari setelah wafatnya,
barulah mereka bertemu dengan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah
disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal tanpa berubah sedikit
pun jua. Bahkan, dia layaknya seperti orang yang tidur nyenyak saja. Di
mana beliau dimakamkan?
Di tengah lautan luas
Jauh famili dan kampung halaman
Jauh handai beserta tolan
Abu Thalhah dimakamkan, biarlah jauh dari mereka, asalkan dekat kepada
Allah, ia tak akan celaka.
Sumber: Shuwarum min Hayatis Shahabah, Abdurrahman Ra'fat Basya