Agenda 

Telp  Penting

Kebakaran    113
RSU       881-193
Ambulan       118
Polisi             110

Donor   Darah       882764         Kereta  Api             881-167

Berita Online

Radar  Bojonegoro

Hotel

Wina      881-238  Tengku Umar 38-40 
Kudus    881-376   Diponegoro  60

Depot

Banyuwangi  Mustika Depot  Gajah Mada Indah 3 Telp 889-458

Kedung Doro Ayam Goreng Untung Suropati 12 Telp 884-374

Kembang Sari Rumah Makan Gajah Mada Indah Bl D/1 Tep 885-657

Radio

     BASS FM       97,05 MHZ

PUSPA JAYA FM 98,65 MHZ

Swalayan

BRAVO Swalayan Jl. Kartini 28 

BINTER Swalayan JL Mastrip 

    Wisata

Kayangan Api
Taman Wisata
Meliswis Putih

Taman Wisata
Dander

Waduk Pacal

    Artikel

Bengawan Solo
Jaring Pengaman Sosial

    Kontak

Anda mempunyai Kegiatan sosial yang perlu dukungan Dana Silahkan Hubungi   webmaster 

   
Anda ingin berpartisipasi mendukung dana berbagai kegiatan sosial, Expresikan niat suci anda di Sosial Cyber Info

              | HomeProfil  |  Renungan Meditasi  |   Sosial Cyber InfoTips Bugar  |  Tips Bisnis  | 

                 Bengawan Solo, Riwayatmu Kini:

Bengawan Solo di akhir abad ke-20 ini sudah kehilangan sebagian besar

romantismenya. Apa yang masih bisa kita lakukan?

 

  BAGAIKAN Sungai Nil menghidupi peradaban Mesir Kuno, demikian pulalah Bengawan Solo memberikan kehidupan bagi masyarakat yang hidup di tepiannya. Sama seperti banyak peradaban besar yang dibangun di delta sungai-sungai besar, pada masanya bengawan yang bersumber di pegunungan kapur di selatan Jawa Tengah itu punya hikayatnya sendiri. Sejak zaman prasejarah, manusia sudah mendiami lembah sungai ini, dan hidup dari kemurahan yang ditawarkannya. Menyantap ikan-ikan dan kerang-kerang yang hidup di dalamnya, minum air jernihnya, mandi dan mencuci di tepiannya, dan ketika mereka mulai bercocok tanam, air sungai itu pun menghidupi sawah, ladang dan kebun. Sisa-sisa kehidupan manusia di Trinil dan Wajak adalah monumennya, artefak yang jadi saksi bisu pentingnya nilai sungai terpanjang di Pulau Jawa itu.

Berabad-abad kemudian, sebuah desa penyeberangan yang terletak di tepi sungai ini terpilih menjadi lokasi keraton baru pewaris tahta Mataram yang terpecah. Solo, nama desa itu. Seturut bergeraknya waktu, ia kemudian berkembang menjadi sebuah kota pusat pemerintahan, ekonomi, sosial dan budaya. Menariknya, ia tak bisa ingkar pada kesetiaannya Bengawan Solo yang menghidupinya. Solo pulalah yang memberikan nama bagi sungai yang sebelumnya hanya dikenal sebagai 'bengawan' itu.

Bengawan Solo, nama itu pula yang mengilhami seorang Gesang menciptakan suatu balada tentang sungai sepanjang 540 kilometer itu, dari mata airnya di Solo hingga ke muaranya di Gresik, Jawa Timur. Sebuah gubahan yang selalu menjadi bagian dari memorabilia kita atas kejayaannya di masa lalu, terutam sebab sejak lagu itu ditulisnya Bengawan Solo terus makin tak dipandang sebelah mata.

Kini, Solo memang bukan lagi ibukota sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan luas sepanjang lembah Bengawan Solo. Rakyatnya kini tunduk pada Jakarta. Sang Bengawan kini selalu mengering di kala kemarau, alirannya tak lebih deras dari selokan, ia sudah tak lagi menjadi arteri perhubungan yang penting. Jalan raya dan rel kereta api telah mengambil-alih tugas ini sejak abad yang lalu. Hanya beberapa penyeberangan dengan perahu kecil-kecil masih bertahan hingga kini, itu pun hanya terdapat di beberapa daerah yang terbelakang.

Namun tak berarti Bengawan Solo kini tak lagi penting bagi peradaban agraris di sekitarnya. Bengawan Solo masih dipercaya sebagai sarana irigasi persawahan di sekitarnya, menjadi sarana MCK bagi penduduk, dan menjadi sumber penghidupan bagi cukup banyak penduduk. Termasuk penambang pasir, pencari ikan, awak perahu penyeberangan dan lain-lain.

Dan ada lagi satu kelompok masyarakat yang tergantung pada Bengawan Solo: industri-industri yang bertumbuhan di Solo dan sekitarnya. Merekalah yang menjadi sang bengawan menjadi "tempat sampah raksasa", tempatnya mencurahkan ribuan meter kubik limbah setiap tahun. Asal tahu saja, sama nasibnya dengan baik sungai lain di kawasan urban, sebagian besar industri yang berdiri di tepi Bengawan Solo membuang langsung limbah mereka ke dalam aliran sungai ini, tanpa memperhitungkan akibat yang ditimbulkannya kepada lingkungan hidup dan manusia yang hidup di sekitarnya.

Sungai adalah "air susu ibu peradaban". Karenanya, bila dicemari methanol, merkuri, dan bermacam jenis limbah mematikan lainnya, bukankah itu bunuh diri namanya? Bukankah kita pula yang akan binasa secara perlahan karenanya?

Lihat saja apa jadinya kalau "sang naga penghuni Bengawan Solo" marah. Ganasnya sungai terpanjang di Jawa yang mengaliri Jawa Tengah dan Jawa Timur dapat dilihat pada buku Sejarah Proyek Induk Pengambangan Wilayah Sungai Bengawan Solo. Sepanjang musim kemarau, sekitar hampir 0,5 juta meter kubik air sungai Bengawan Solo mengairi ribuan hektare sawah. Sebaliknya ketika musim hujan berlangsung, terutama ketika curah hujan rata-rata 2.100 milimeter, kelebihan airnya tidak bisa ditampung oleh Sungai Bengawan Solo. Sejak tahun 1863 sungai telah menimbulkan banjir di daerah hulu. Pada tahun 1966, banjir mengakibatkan kerusakan parah. Tidak hanya menyerang kota Solo, tetapi melewati batas Propinsi Jawa Tengah, terutama di bagian hilir seperti kota Ngawi, Bojonegoro dan Lamongan.

Tidak kurang dari 142.000 hektare lahan pertanian tersebar di 93 kecamatan tergenang air serta 182.000 rumah rusak dan 168 orang tewas. Selain itu, banjir merusakkan infrastruktur perekonomian, seperti 42 jembatan besar dan kecil yang menghubungkan antardesa dan kabupaten, 19 fasilitas irigasi, 5 kilometer rel kereta api dan 3,8 kilometer tanggul. Banjir awal tahun 1993 dan tahun 1994, sekalipun dinilai oleh masyarakat penghuni bantaran sungai di Bojonegoro sebagai cukup besar, tetapi masih kalah jauh dibandingkan kerugian yang diakibatkan pada tahun 1966. Sementara kerugian pada tahun 1993 lalu diperkirakan sekitar Rp 13,29 miliar, yang diderita oleh 200.000 petani akibat lahan pertanian seluas 15.000 hektare tergenang air, sebagian di antaranya siap panen serta 4.000 hektare pekarangan terendam air. Penderitaan ini dirasakan oleh warga yang tersebar di 220 buah desa pada 36 kecamatan mulai dari Tuban, Bojonegoro, Lamongan dan Gresik.

Jika kini ada catatan muka duga air atau peilschaal untuk mencatat tinggi permukaan air dari waktu ke waktu, tetapi pada masa itu hanya bisa dilukiskan dengan sebuah pemeo uceng mangan manggar. Begitu tingginya genangan air hingga serangan air (uceng) bisa melewati bunga pohon kelapa (manggar), bunga pohon kelapa ini terletak di bagian paling atas dari pohon kelapa.

Wajarlah bila para penduduk sekitarnya, sebagai pihak yang paling dirugikan, paling keras memprotes perlakuan ini. Sayangnya, hingga kini protes mereka selalu terbentur telinga-telinga birokrasi yang tuli.

Simak kisah para petani Desa Miri, yang sawahnya tercemar. Mereka yang sudah turun-temurun setiap harinya mengonsumsi air Bengawan Solo, terserang gatal-gatal dan harus menahan bau busuk yang ditimbulkan limbah metanol yang dibuang oleh PT Indo Acidatama Chemical Industries. Sejak tahun 1991, kasus tersebut telah diangkat ke pengadilan negeri setempat. Namun hingga kini, tak ada hasilnya. Bahkan, ganti rugi senilai Rp 751 juta yang diberikan secara tiba-tiba oleh PT IACI kepada para petani akhir Mei ini, ternyata nyaris tak ada artinya, karena ternyata para petani telah memiliki banyak hutang kepada PT IACI - karena sawah mereka tidak berproduksi akibat pencemaran - dan mereka terpaksa melunasinya dengan uang ganti rugi tersebut.

Begitulah, hampir sebagian besar sungai yang melintas kawasan perkotaan (apalagi kota besar yang berpenduduk sangat padat) menghadapi serbuan sampah atau limbah baik organik maupun anorganik, di samping gangguan ekosistem sungai bagian hulu, sehingga menimbulkan pendangkalan (sedimentasi) dan pencemaran bagian hilir. Sungai menjadi tumpahan berbagai macam barang sisa, baik dari perorangan, rumah tangga atau bekas aktivitas masyarakat pada umumnya. Dari limbah perkampungan, limbah kegiatan usaha (rumah potong hewan, cucian, industri garmen dan industri pencucian), buang hajat penduduk, bangkai hewan, plastik, kertas, besi, kaca mudah ditemukan di sungai.

Selain sungai mendangkal, airnya keruh, berbau dan debit airnya pun turun, suplai oksigen yang berkurang mengganggu kelangsungan biota air seperti alga atau ikan-ikan endemik. Kondisi air sungai yang demikian di lain pihak merangsang berkembangnya berbagai mikroorganisme patogen (bakteri dan virus), dan adanya bahan-bahan kimiawi berbahaya menjadikan sungai tidak aman bila digunakan sebagai sumber air golongan B. Yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga. Karena itu, bila pencemaran sungai terus menerus berlangsung, jelas sangat mempengaruhi tingkat pemanfaatannya.

Lalu mengapa penduduk sekitar sungai - yang justru sebenarnya lebih memiliki 'hak' atas sungai tersebut - selalu menjadi pihak yang paling tidak diuntungkan?

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari lemahnya kedudukan lingkungan hidup terhadap kepentingan ekonomi. Bahkan, perundang-undangan tentang lingkungan hidup (UU No. 4/1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup) pun tidak memiliki 'gigi' terhadap para pelanggar ketentuan. Selama sebuah perusahaan pencemar dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi pemerintah daerah tersebut, mereka cenderung untuk menutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan. Tidak bisa dilepaskan juga kedekatan para pemilik perusahaan dengan kekuatan-kekuatan politik yang untouchable.

Pemerintah pada dasarnya memang tidak pernah serius menyelesaikan masalah lingkungan. Misalnya, menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) kurang dari separuh laporan pengaduan hukum atas kerusakan lingkungan yang berakhir di pengadilan. Itu pastinya akan lebih sedikit lagi yang diberi ganjaran pidana yang setimpal. Pemerintah selama ini hanya melakukan tindakan persuasif terhadap pelanggar lingkungan.

Padahal jumlah laporan pengaduan hukum perlindungan lingkungan hidup hanyalah "puncak gunung es". Tak sampai "seujung kukunya" dari total jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi.

Lalu, solusi apa yang bisa ditawarkan?

Upaya persuasif tidaklah cukup. Perlu komitmen politik untuk menindak pencemar dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dibuat. Misalnya, Bapedal perlu diberi wewenang untuk bisa bersikap lebih tegas dalam penegakan hukum agar tak menjadi macan ompong. Sebenarnya, penduduk sekitar lokasilah yang paling berperan dalam pengawasan pencemaran. Sebab, mereka berada di lokasi 24 jam terus-menerus. Penduduk setempat tahu persis, kapan pabrik membuang limbah dan di mana tempat pembuangannya. Namun, sering kali masyarakat menghadapi kendala serius dalam menjalankan peran pengawasan. Terutama, soal perlindungan dalam melakukan itu. Selama ini, korban pencemaran atau sekadar pelapor harus berhadapan dengan aparat keamanan dan pemerintah, yang kerap kali berpihak pada industri. Tuduhannya macam-macam. Ada yang dianggap anti-pembangunan, membuat laporan palsu, melakukan pencemaran nama baik, ditunggangi LSM dan masih banyak lagi. Selama ini, mereka selalu disingkirkan, dan tidak pernah dianggap oleh para penguasa, yang selalu memutuskan "demi kepentingan rakyat". Pengorganisasian, atau pembinaan penduduk, terutama oleh ornop-ornop yang beraksi di bidang lingkungan hidup, merupakan satu hal yang diperlukan. Sebagai contoh misalnya Hiali, yang dalam kasus petani Miri versus PT IACI, bertindak sebagai penengah yang ikut berusaha menemukan solusi.

Kemudian, perlu ada ketegasan di bidang penegakan hukum. Jangan sampai UU Lingkungan Hidup yang sudah repot-repot disusun tinggal menjadi kata-kata kosong yang tidak ada gunanya. UU No. 4/1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang telah berumur 15 tahun, memang masih banyak kelemahannya. Pasal 7, misalnya, menyebutkan: Kewajiban memelihara lingkungan harus dicantumkan dalam setiap izin. Persoalannya, izin yang mana, dan siapa yang mengeluarkan izin? Sebab, untuk membuat perusahaan atau melakukan kegiatan di Indonesia, diperlukan berbagai macam izin. Dan, izin tersebut dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara dari instansi yang berbeda-beda, dengan dasar hukum yang berbeda pula. Nah, masing-masing perundang-undangan yang mengatur perizinan itu merupakan kekuatan yang berdiri sendiri, terlepas satu sama lain. Lalu siapa pelaksananya? Itulah antara lain pertanyaan yang tak terjawab dalam UULH.

Juga, birokrasi harus lebih sadar lingkungan hidup, apalagi di tingkat menteri. Jangan terulang lagi, misalnya, seorang menteri urusan lingkungan hidup justru menyetujui impor limbah berbahaya, sedangkan para bawahannya yang memprotes 'kebijakan' itu malah ditendang.

Berikutnya, perlu diciptakan suatu perencanaan penggunaan sungai, persis seperti perencanaan kota (tata kota). Perlu dijelaskan dan direncanakan, penggunaan sungai, di mana industri boleh dibuat, bagaimana menjaga debit sungai agar memenuhi kebutuhan irigasi, dan lain-lain. Selama ini, badan pengelola daerah aliran sungai yang sudah ada tidak memiliki kemampuan perencanaan tersebut. Inilah yang perlu diberdayakan.

Nah, itulah beberapa tawaran mengenai apa yang bisa dilakukan terhadap Bengawan Solo. Mumpung belum separah Ciliwung atau Kali Sunter, ada baiknya kalau kita pertimbangkan lagi bagaimana cara kita memperlakukan sungai-sungai kita. Ingat, bahwa Bengawan Solo baru satu dari sekian banyak sungai di Indonesia. Diperkirakan lebih dari 5.000 sungai baik besar maupun kecil tersebar di Jawa, Sumatra, Kalimantan, maupun Irian Jaya.

Karena itu, kita perlu mengembalikan kejayaan sungai di Nusantara ini yang pernah melegenda. Termasuk salah satunya Bengawan Solo, yang konon dulu airnya jernih, berkelok-kelok, indah dan menjadi sumber kemakmuran rakyat. Bukan malah sebaliknya, karena kemajuan iptek begitu dahsyat dan sumber daya manusia yang profesional, tetapi sungainya gersang, kotor dan berbau. Mewujudkan sungai yang bersih, indah dan sehat saat ini harus menjadi suatu keharusan. Sebab, sungai selain diperlukan airnya juga berguna untuk berbagai tujuan baik konservasi, edukasi, maupun rekreasi. Bahkan, menjadi sumber devisa di era kesejagatan ini.

Indra Krisnamurti

                                                                              

                                                                                                 Previous              Next

                           
                                                               Copy Right ©  by WahyuTan 2000, HakCipta dilindung oleh undang-undang
                                                                   DIII Computer Control Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
                                                                                       JLRajawali 23 Bojonegoro Telp 0353 888-914
                                                                    E-Mail Wahyutan @ Mailcity.com , Wahyutan @ Samaggi-Phala.or.id
                                                                                                 Kritik Saran Dan Pertanyaan